-

Saturday, January 21, 2012

Ada Apa dengan Cina, Cinta?


ADA apa dengan Cina, Cinta? Tentu ini bukan judul film yang kesohor itu. Toh, beberapa ustaz kerap bertutur carilah ilmu hingga ke negeri Cina. Ini bisa jadi, benar. Yang jelas, Herman Khan dari Hudson Institute kepada Reader Digest, September 1980 menganggap enteng bangsa manapun juga yang tidak kebagian warisan Kong Hu-Cu. Khan meyakini Kong Hu-Cu dari abad ke-5 sebelum masehi telah mewariskan etos bisnis luar biasa luar dalam bagi bangsa Cina.

Khan, benar. Membaca jiwa manusia Cina seperti melihat lukisan cinta berwarna abu-abu di selembar jalinan antagonis sekaligus protagonis. Mata sipit yang melingkar eksklusif itu, meski terkesan tertutup tetapi memiliki kedekatan kultur oikonomie dengan penduduk pribumi. Maklum, meski diadopsi sejarah sebagai "kelompok minoritas", tapi selalu saja dicatat sejarah sebagai sang mahkota ekonomi yang jauh lebih mumpuni di atas kemampuan mayoritas penduduk. Meski ujung dari etos kerja bisnis itu, kerap dicatat dengan tinta Cina tanpa cinta.

Etos Bisnis

Ini bermula ketika komunitas Hakka melihat ada pelangi di Batavia. Mereka hijrah menuju tanah yang menjanjikan masa depan. Menjadi pekerja kasar di tanah Parahiangan, mengerjakan pemasangan rel di jalur kereta api dari Bogor sampai ke Bandung. Hmm, berbekal kue keras terbuat dari tepung wijen, pekerja keras Cina itu tak lekang ditelan hujan tak basah ditelan matahari. Bergerak dari satu titik ke titik lain mengadiop kearifan kepercayaan leluhur sebagai etos kerja yang aduhai.

Itulah sudah! Sesudah itu, Cina adalah sejenis kue cakue, ampyang hingga moho. Juga sosok sederhana di teras minoritas berkaos singlet dan celana kolor berebut suara seraya makan kwaci. Bahkan dari titik tertentu, Cina yang dikenal sebagai kuli itu meubah diri menjadi sosok kuliner paling penting abad 19. Terus? Kuli kuliner itu mampu aktualkan diri menjadi sang primadosa ilegal bisnis.

Sebut saja sebuah nama pada 1874, Tam Long. Ia dikenal tidak hanya sebagai tukang kayu, juga berprofesi sebagai pemangkas rambut dan mengorek kotoran telinga dengan alat yang disebut "kili-kili". Dan pada saat lain ternyata menjadi penjaja "menu jajanan khas cina" di berbagai restoran. Salah satu jajanan itu adalah bacang ketan buatan Nyonya Jauw.

Bermula menjadi kuli, terus kuliner dan berakhir menjadi pebisnis, itulah Cina. Sejarah mencatat, menjelang lebaran, tanggal 15 Januari 1930, ada iklan potongan harga hingga 50% untuk berbagai barang manufactur di sebuah toko di sekitar Pasar Baru No. 32. Toko itu bernama Paris Bazar. Pemilik toko itu orang Cina. Tidak jauh dari tempat itu, tepatnya di Bragaweg ada sebuah toko milik orang Belanda dengan nama Au Bon Marche. Meski tak jelas apakah pribumi lebih tertarik pada penawarkan khas Cina atau gaya jualan khas Belanda, tapi di sini sejarah mencatat ada etos kerja khas leluhur Cina yang mulai merisaukan pedagang-pedagang Eropah.

Etos bisnis Cina itu tidak hanya berada di pusaran perkotaan, akan tetapi merebak hingga ke desa paling terpencil. Mereka menawarkan barang berkeliling dari desa ke desa. Dan dari sini, muncul sebutan khas dengan apa yang disebut Cina Mindring atau kerap disebut juga Cina rentenir. Mereka meminjamkan sejumlah kecil uang kepada pedagang kecil, pedagang penjaja, istri petani yang berjualan di pasar atau di pinggir jalan.

Era Jepang, perekonomian bergerak pada pusaran prihatin. Ini berpengaruh terhadap bisnis Cina. Tapi lagi-lagi etos kerja yang berakar kultur leluhur mencerdaskan mereka. Bukan Cina bila tidak piawai dalam bersiasat bisnis. Larangan dan pengawasan yang ketat ini malah menimbulkan perdagangan ilegal dalam skala yang cukup besar.

Akhir Juli 1946 adalah tahun emas Cina yang piawai dalam mengelola perdagangan ilegal dalam skala besar. Selalu saja ada cerita tentang penyelundupan yang memanfaatkan perusahaan-perusahaan negara dan kalangan revolusionis di berbagai daerah. Bahkan tidak sedikit pengusaha Cina berkolaborasi dengan personel militer. Konon, terbetik cerita ada puluhan ton gula diangkut dengan konvoi militer menuju Batavia.

Pada tahun 1950, Belanda meninggalkan Indonesia. Sebagai sang pesilat yang pintar menebak arah angin, pengusaha Cina mampu mengisi ruang kosong perdagangan. Mereka menguasai kehidupan ekonomi perdagangan. Mereka menjadi pemilik perusahaan besar, perantara, perusahaan kecil dan pengecer! Tak pelak, dunia bisnis sebagian besar berada di tangan orang Cina.

Belajar dari sejarah, perilaku orang Cina sangat adaptif. Mereka pintar menunjukkan kemampuan mereka untuk merasakan dan/atau menerima informasi yang pada akhirnya melahirkan etos sikap untuk tetap ajeg dalam memperjuangankan etnitas diri sebagai sang pemegang mahkota ekonomi. Ada usaha-usaha tertentu, ada trik-trik siasat tertentu, ada pendekatan kultural tertentu agar dapat menyesuaikan dengan situasi yang ada. Situasi yang terkadang tidak nyaman di tengah kebijakan yang cenderung diskriminatif tidak membuat mereka undur langkah dari pertarungan ekonomi malah mereka mampu menjadi pemain akrobat dalam ruang gelap korup.

Wong Ati Saudagar

Ada apa dengan Cina, Cinta? Saya hanya mantuk-mantuk. Terlebih ketika etos priyayi dalam perspektif budaya Jawa kerap memandang sinis terhadap bisnis. Para saudagar dituding sebagai bayang-bayang mentalitas tak terpuji. Selalu saja terdengar kearifan kuno yang mematikan hasrat untuk berbisnis bahwa sangu urip dudu emas dudu pari.

Bahkan tidak sedikit yang bertutur aneh bahwa dari setiap gemerencing uang yang dihitung, maka samar-samar akan terdengar keprihatinan suluk "Duwe duit duwe anggit" Bukankah gemerencing uang adalah pedang dosa yang akan memotong nasib kita untuk menjadi menusa Jawa yang linuwih? Bahkan tak sedikit yang berpendapat salah satu dari cacad besar sang priyayi adalah wong ati saudagar.

Dari kuli, kuliner hingga illegal bisnis, Cina mengalir dan terus mengalir hingga jauh, hinga tak terditeksi. Di titik tertentu, adakah kita pintar memaknai ini? Entahlah! (Penulis adalah kolumnis senior tingal di Bandung)**
Galamedia Kamis, 19 Januari 2012
Oleh: TANDI SKOBER

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment