-

Monday, January 09, 2012

Bunuh Diri Sama dengan Pahlawan?

Oleh: RESTI NURFAIDAH
KATA pahlawan selalu terkait dengan jasa seseorang. Kata tersebut berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu phala-wan yang bermakna seseorang yang dari dalam dirinya terdapat buah (phala) yang berguna bagi negara, bangsa, dan agama. Makna pahlawan sendiri, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah "orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani".

Jika kata pahlawan itu kita kaitkan dengan sederet nama-nama pejuang berikut, seperti Hasanuddin, Pattimura, Yos Sudarso, Setiabudhi, Kartini, Dewi Sartika, dll., tentu saja makna kata itu tepat karena kita sudah mendapatkan gambaran tentang sederet jasa dan perjuangan mereka dalam mendongkrak kondisi bangsa dan negeri ini. Ironisnya, kata yang sama kerapkali diberikan kepada orang-orang yang notabene sesungguhnya tidak layak menduduki salah satu tahta sebagai pahlawan. Masih terngiang dalam ingatan kita betapa dahsyatnya peristiwa Bom Bali pada beberapa tahun silam? Sederet pelakunya menuai kebencian berbagai kalangan di seantero permukaan bumi. Namun, apa pandangan anggota keluarga pelaku? Sebaliknya, mata mereka menatap sang pelaku itu sebagai seorang "pahlawan"!!! Bagi pelaku dan kebanyakan keluarganya, "tugas mulia" yang menelan darah nyawa korban tidak berdosa tersebut merupakan jihad fisabilillah!

Sebagai balasannya, "pahlawan" tersebut mendapatkan perlakuan yang serupa dengan korban-korbannya. Dua balasan pun mereka terima. Pertama sebagai pelaku yang terjun di lapangan dengan gelar "pengantin", mereka turut hanyut ke alam baka bersama para korbannya. Hanya tersisa bola-bola kepala mereka yang kelak dapat ditunjukkan sebagai bukti bagi pihak berwajib dan masyarakat. Sementara itu, "pahlawan di belakang layar" mendapat ganjaran yang lebih manis, sebuah persidangan alot dengan vonis pasti, eksekusi mati!!! Pasca eksekusi itu, kematian mereka juga menuai kontradiksi. Pertama, kesedihan bagi keluarga para terpidana. Kedua, kehilangan bagi jaringan bomber tempat mereka "bernaung". Ketiga, kegembiraan berujung sorak gembira pihak-pihak yang sudah lama menanti kematian terpidana.

Peristiwa kepahlawanan ironis selanjutnya kerapkali terjadi pada beberapa kasus besar di negeri ini. Kasus tersebut mencuatkan aksi saling memojokkan lawan dan "mencuci tangan" agar satu pihak tampak tetap bersih dan steril. Begitu pula di dunia para glamor negeri ini. Beberapa peristiwa, yang meski permirsa sudah mengetahui duduk permasalahannya, kerap dibuat abu-abu karena pihak yang terlibat bersikukuh untuk terlihat sebagai pahlawan di kubunya sendiri.

Terakhir, peristiwa serupa yang ditunjukkan oleh Sondang Hutagalung dalam sebuah aksi demo di depan Istana Negara pada tanggal 7 Desember 2011. Sondang lantang berteriak, "Berantas korupsi, hukum mati koruptor!" beberapa saat sebelum menyulut tubuhnya menjadi obor hidup. Aksi sensasional tersebut berimbas cukup lumayan, masa kritis selama hampir empat hari dengan tingkat luka bakar 97 persen, yang berujung kematian! Sebuah kematian yang menuai isi mulut banyak kalangan. Ada yang mengungkapkan kesedihannya, ada yang menunjukkan kekagumannya, dan ada pula yang menunjukkan kebenciannya.

Aksi Sondang Hutagalung, mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK), tersebut terangkat ke permukaan karena aspek sensasionalnya. Peristiwa sensasional kerapkali muncul di negeri ini dan selalu menjadi eye catching selama beberapa waktu bagi mata warga negeri ini. Peristiwa sensasional selalu hadir silih berganti dengan kurun waktu yang seolah "diatur" dan urutan kehadiran yang "tersusun rapi". Panasnya kasus Centuri pada titik tertentu seakan terhapus dengan berbagai peristiwa lain yang dibuat dramatis hingga akhirnya hadir Norman Kamaru. Setelah itu kasus lain muncul silih berganti, ditangkapnya Nunun Nurbaeti, sampai titik peristiwa Sondang Hutagalung, si pejuang hak para ibu! Berkali-kali negeri ini menghadirkan peristiwa sensasional dengan deretan pahlawan "tidak layak" yang penuh sensasi pula.

Pascaaksi yang dilakukan Sondang, berbagai media marak memberitakan hal-hal di balik aksi itu. Di satu pihak, berderet artikel yang menjunjung tinggi dan mendukung penuh aksi itu. Sondang dianggap sebagai ikon perjuangan dalam peristiwa itu. Adhie Massardi, salah seorang aktivis Gerakan Indonesia Bersih, bahkan terinspirasi untuk menulis sebuah puisi untuk mengenang aksi sang pemuda. Bunyi puisi yang berjudul Sondang (ditayangkan secara live di salah satu stasiun tv swasta) itu sebagai berikut, //Langit runtuh/ Hukum tersungkur/ di kaki para koruptor yang bercokol/ di pusat kekuasaan/ Kau hanya anak sopir angkutan/ yang mengais rejeki sepanjang jalan/ tak akan sanggup melawan para tiran/ yang mengendalikan semua aturan// Maka kemarahanmu yang membara/ menghanguskan tubuhmu/ Apimu memercik ke penjuru negeri/ Membakar semangat perlawanan/ Tubuhmu kini menyala/ di hati sopir taksi, pedagang asongan,/ ibu setengah baya yang mulai beruban,/ dan kaum marhaen yang kau cintai// Dan mereka lalu menyeru:/ "Patriot Perubahan akan terus melawan!"/ Jakarta, 11.12.11.//

Lirik itu sarat dengan dukungan sang penulis dan segenap pihak lain yang menyetujui aksi itu. Namun, ada pula pihak yang menuliskan ketidaksetujuannya dengan hal itu. Dalam Kompasiana.com, Yohanes Budi Cahyono menyatakan bahwa aksi bunuh diri itu bukan sekadar dilakukan demi perjuangan hak kaum ibu dan hak-hak lain yang diperjuangkannya. Cahyono mengaitkan aksi yang dilakukan Sondang dengan data-data yang ada di sekitar kehidupan (aspek psikologis) pribadi Sondang sendiri. Ia kurang menyetujui aspek bunuh diri yang dilakukan pemuda tumpuan keluarga itu. Tekanan dari sisi kehidupan pribadi Sondang sendiri yang ditenggarai Cahyono sebagai pemicu niat dan tekad untuk mengakhiri hidupnya itu. Sondang gagal mengikuti wisuda yang seharusnya ia tunaikan pada 24 Nopember 2011 karena tersandung kendala dalam karya tulisnya. Mahasiswa cerdas yang berasal dari kalangan biasa itu diduga mengalami depresi akibat kegagalan tersebut dan menjadikan ajang demo dan aksinya itu sebagai pelampiasan depresi.

Saya cenderung mendukung pendapat Cahyono tadi. Sondang adalah korban salah satu budaya patriarki. Sebagai anak laki-laki dalam keluarga Batak, Sondang tentu mendapatkan kedudukan yang lebih daripada yang lain. Terlebih ia memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Keluarga tentu menaruh harapan yang tinggi kepadanya. Tingginya harapan keluarga, kemungkinan, membuat Sondang lupa bahwa sebagai laki-laki harapan ia juga harus memiliki bekal sikap ksatria yang kokoh. Wisuda yang sudah di depan mata terpaksa harus membuatnya kecewa karena satu kerikil yang menyandung kakinya. Rasa kecewa yang berlebihan (Sondang cenderung tertutup dalam hal-hal pribadi) yang berujung depresi, perubahan sikap yang tiba-tiba menjelang kematiannya, dan pengalihan ekspresi kekecewaan yang sensasional, menunjukkan bahwa ada satu sisi di dalam dirinya yang membuat Sondang tidak siap dalam mengatasi masalah.

Makna pahlawan sudah selayaknya dikembalikan pada hakikatnya yang utuh. Seorang pahlawan harus hidup dan berjuang dengan cara yang terhormat, serta menjemput ajal dengan cara yang terhormat pula. Sayang sungguh sayang, Sondang, caramu dalam berjuang sangat mengecewakan. Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosamu! (Resti Nurfaidah, Staf Teknis Balai Bahasa Bandung)**
Galamedia Selasa, 03 Januari 2012

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment