-

Sunday, January 08, 2012

Memanusiakan Koruptor

Oleh: ACEP HERMAWAN
PARA koruptor yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah tak terhitung jumlahnya. Wajah dan identitas lengkap mereka sering tampil sebagai pemberitaan utama media massa. Demikian juga, sudah amat banyak terpidana korupsi dijebloskan ke penjara. Selama persidangan pun media massa memberikan sorotan intensif. Kejadian itu terus berulang sampai saat ini, namun semua itu menjadi ritual rutin yang tidak bisa memberikan efek jera. Para koruptor bagaikan memiliki watak tidak mengenal rasa malu dan rasa bersalah.

Tak memiliki rasa malu dan bersalah itu tak ada bedanya dengan sifat binatang, karena seluruh perilakunya tak dikendalikan dengan keimanan dan akal sehat. Lalu hukuman apakah yang dapat memanusiakan koruptor itu? Pidana mati, kemungkinan besar, sangat cocok. Jika dikaitkan dengan pertimbangan kemanusiaan, maka hukuman itu tidak relevan dilakukan karena terdapat pemahaman mendalam bahwa urusan hidup dan mati berada di tangan Tuhan.

Usulan yang lebih sesuai dengan rasa kemanusiaan bergulir dalam Konferensi Tahunan Advokat Internasional, International Bar Association (IBA) Annual Conference 2011, di Dubai, Uni Emirat Arab. Kegiatan itu membahas gerakan bersama memerangi penyuapan, korupsi, dan pencucian uang. Advokat sedunia pun membangun kesadaran bahwa korupsi sangat menyengsarakan rakyat. Hoyer E Mayer, Wakil Ketua Komisi Antikorupsi IBA, menyatakan sanksi apa pun bagi pelaku korupsi harus gencar dipublikasikan sehingga lebih banyak orang yang mengetahuinya. Hal ini akan memberikan efek malu bagi pelakunya (Kompas, 07/11/11).

Hukuman yang memberikan rasa malu kepada pelaku korupsi harus dicoba. Publikasi gencar adalah salah satu mekanisme. Tidak dalam bentuk pemberitaan kolosal saat koruptor diadili karena dalam situasi itu, koruptor dapat berlaku sebagai pihak teraniaya. Sekian bukti bisa disodorkan. Sekian banyak pembela juga dihadirkan.

Usulan menarik untuk mempermalukan koruptor dikemukakan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, yaitu membuat "kebun" bagi koruptor seperti layaknya kebun binatang. Kebun ini didirikan di 33 provinsi. Mahfud mengakui gagasannya dapat disebut gila. Namun ia berdalih bahwa koruptor tidak lebih sebagaimana halnya binatang. Publik nantinya bisa menyaksikan kebinatangan pelaku korupsi di kebun koruptor. Melalui cara ini rasa malu dimunculkan sehingga ada efek jera (www.antaranews.com, 27/11/11).

Gagasan itu secara sekilas memang kontroversial, tapi layak dipertimbangkan. Tidak ada alasan kemanusiaan yang dilanggar mengingat yang dilakukan sekadar memamerkan kebinatangan koruptor. Justru, aspek penyampaian pesannya lebih efektif. Dalam perspektif komunikasi, pesan efektif adalah impresi yang mudah diingat secara kognitif, menimbulkan kesan mendalam dari sisi afektif (sikap), dan menghadirkan perubahan perilaku yang signifikan. Itulah yang disebut efek jera dengan memberikan perasaan malu sehingga yang menyaksikannya tak berani menirunya.

Mempermalukan pelaku kejahatan sebenarnya bukanlah usulan baru. John Braithwaite, ahli kriminologi dari Australia dalam buku Crime, Shame, and Reintergation (1999) mengemukakan pandangannya tentang bagaimana tindakan mempermalukan dapat digunakan mengontrol perilaku masyarakat. Mempermalukan dalam kaitan ini merujuk pada penghunjaman perasaan bersalah bagi penjahat. Terdapat dua tipe untuk mempermalukan penjahat.

Pertama, disintegratif. Dalam domain ini, penjahat dihukum melalui stigmatisasi, yakni ditolak atau disingkirkan dari masyarakat. Teknik ini cocok dalam masyarakat yang memiliki relasi sosial yang lemah. Kedua, reintegratif, yaitu memperlakukan lebih positif, dengan cara memberi pemahaman, pengampunan, dan bahkan penghormatan. Hal yang amat dibenci adalah perbuatannya yang berdosa, sementara si pendosa tetap dicintai. Metode ini cocok dilakukan pada situasi masyarakat yang memiliki relasi sosial kuat.

Hukuman dengan teknik mempermalukan yang dikemukakan Braithwaite dapat diterapkan terhadap koruptor di Indonesia. Hanya saja terdapat catatan tersendiri. Sekali pun ikatan sosial dalam masyarakat kita cukup kuat, pelaku korupsi pantas mendapat hukuman dipermalukan yang bersifat disintegratif. Jika hanya memberi pemahaman, pengampunan, atau penghormatan, mereka tidak akan pernah merasa malu dan bersalah.

Bagi mereka, korupsi telah menjadi agenda yang harus dijalankan. Dalam situasi demikian, memberikan stigma (label paling buruk) --entah sebagai pengkhianat rakyat atau pembunuh kemaslahatan umat-- dan bahkan dikerangkeng layaknya binatang untuk dipertontonkan, pantas digulirkan agar timbul kesadaran bahwa mereka memang manusia yang meiliki iman dan akal sehat. (Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung Direktur Eksekutif Najah Islamic Center Bandung)**
galamedia Selasa, 03 Januari 2012

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment