-

Tuesday, February 21, 2012

Bela Negara vs Bela Rakyat

"Agar negara kuat rakyat harus dilumpuhkan" (Nicolo Machiavelli)
PASTI para pemimpin negara ini tidak setuju dengan filsafat Machiavelli itu. Namun ketidaksetujuan mereka tak nampak dalam dalam praktik manajemen pemerintahan dan kepemimpinan mereka. Faktanya, rakyat selalu mengalami marginalisasi dalam segala hal: hukum, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan sebagainya.

Dalam bidang hukum misalnya, kepentingan penguasa yang selalu terlindungi. Kemudian atas dasar menggaet investasi pemerintah sering mengabaikan kepentingan rakyat yang lebih besar. PT Freeport sampai sekarang selalu dibela mati-matian oleh pemerintah pusat. Papua yang kaya dengan sumber daya alam hidup dalam kemiskinan. Kemudian ketika muncul gerakan perlawanan kepada pemerintah dengan basis organisasi OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemerintah langsung mengklaim ini gerakan separatisme.

OPM adalah akumulasi kekecewaan kepada pemerintah yang berkuasa atas kegagalan pembangunan Papua. Dalam bidang ekonomi, hukum, politik, sosial budaya mereka tertinggal. Inilah bentuk kegagalan bela rakyat oleh negara, sementara pemerintah selalu mensosialisasikan bela negara melalui pendidikan, layanan iklan, dan bentuk himbauan resmi. Sementara konsep bela rakyat tidak pernah disosialisasikan, ataupun dalam tindakan.

Baru-baru ini muncul tragedi yang sangat memilukan wajah republik ini. Kasus tragedi atau pelanggaran HAM di Mesuji Lampung merupakan bentuk absteinisme negara. Rakyat di Mesuji sudah ratusan tahun dan bahkan itu merupakan tanah leluhur mereka dipinggirkan oleh investor yang di back up habis oleh negara. Mengapa negara justru hadir membela pengusaha? Kalau sejak awal pemerintah tegas mengatakan kepada pengusaha bahwa rakyat sekitar harus diperhatikan dan jangan melakukan tindakan semena-mena maka tragedi Mesuji mungkin tidak akan pernah terjadi. Belum lagi tragedi Bima yang membuat rakyat menagis.

Bagaimana seharusnya negara dalam artian yang dikendalikan oleh pemerintah yang berkuasa sekarang dalam melihat dan memahami rakyatnya? Sementara di negara kita yang namanya abai terhadap kepentingan rakyat sudah sangat sering terjadi. Bahkan tokoh-tokoh agama sudah pernah menyerukan bahwa negara kita ini adalah negara gagal dengan berbagai indikator. Negara gagal yang gagal memahami perasaan rakyatnya ketika rakyat menghadapi kesusahan hidup.

Mengubah Paradigma

Ketidakberpihakan DPR kepada rakyat merupakan bentuk kegagalan negara secara institusional. Padahal DPR adalah wakil rakyat yang seharusnya menampung aspirasi masyarakat agar bisa diperjuangkan secara politik kelembagaan. Partai politik yang seharusnya memberikan pendidikan politik kepada rakyat justru memberikan pembodohan politik massal. Parpol selalu berjanji menjaring kepala daerah yang mengerti kebutuhan rakyat. Hasilnya bukan kepala daerah yang mengerti kebutuhan rakyat, justru membuat peraturan yang memihak kroninya dan koleganya.

Sudah waktunya paradigma bela negara diganti dengan penekanan bela rakyat. Ada beberapa indikator keberhasilan bela rakyat atau jika pemerintah ingin membangun paradigma pemerintahan yang bela rakyat, pertama, masyarakat miskin harus punya akses kepada kesehatan dan pendidikan yang bermutu.

Bukan pemandangan asing lagi di negara kita kualitas pendidikan dan kualitas kesehatan kepada rakyat sangat rendah. Rakyat miskin sangat kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik di rumah sakit. Banyak keluhan yang dialami oleh masyarakat miskin. Mereka tidak diperhatikan karena menggunakan Jamkesmas. Sementara pasien dengan kategori VIP selalu didahulukan.

Anak-anak miskin banyak bersekolah di sekolah pemerintah yang sangat darurat. Lucu rasanya di negara kita sekolah swasta mutunya lebih bagus dari sekolah negeri. Padahal di sekolah negeri gaji guru dibayar oleh negara melalui pajak dari masyarakat. Akses masyarakat ke pendidikan tinggi pun sangat rendah karena ketidakmampuan rakyat membayar uang kuliah. Untuk itu kualitas pendidikan yang baik dan kualitas kesehatan yang baik harus bisa diakses oleh masyarakat miskin sebagai indikator keberhasilan pemerintah berparadigma rakyat.

Kedua, pemerataan pembangunan yang adil. Selama ini yang menikmati pembangunan hanya segelintir orang saja. Banyak ketimpangan pembangunan yang terjadi. Baik pembangunan desa dan kota. Keberhasilan pemerintahan yang berparadigma bela rakyat ditunjukkan dengan pembangunan yang merata di segala bidang. Selama ini konsentrasi pembangunan hanya di Pulau Jawa. Luar pulau Jawa kurang diperhatikan oleh pemerintah. Padahal luar Jawa memberikan sumbangan dan kontribusi yang sangat besar.

Ketiga, supremasi hukum yang tegak dan sama bagi semua warga negara. Hukum yang progresif adalah hukum yang berlaku sama bagi semua warga. Hukum tidak bisa pandang bulu. Bulu pejabat, bulu tukang bakso, bulu nelayan sama semua dihadapan rakyat. Hukum yang tidak tegak telah melahirkan korupsi yang sangat ganas di negara ini. Banyak pejabat merasa tidak tersentuh hukum jika melakukan korupsi. Ini menjadi preseden buruk kedepan dalam penegakan hukum. Pemerintah atau negara berparadigma bela rakyat tentu tidak melihat membedakan warga negara.

Kalau pemerintahan membela rakyat maka dengan sendirinya negara akan kuat. Siapa yang meninggalkan rakyatnya maka negara itu akan masuk dalam perangkap kehancuran. Kasus negara Tunisia, Lybia, Mesir atau fenomena "Arab Springs" menjadi bukti kuat bahwa negara yang meninggalkan rakyat penguasanya akan jatuh. Tragedi Mesuji, Papua, Bima dan banyak kasus lain yang merupakan bukti kegagalan negara membela rakyat harus menjadi pengalaman bagi pengelola bangsa ini. Saatnya negara tampil terdepan dalam membela rakyatnya.
Galamedia jumat, 17 februari 2012
Oleh : Acep Hermawan
(Penulis, kandidat doktor Pendidikan UIN SGD Bandung)**

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment