-

Monday, April 30, 2012

Nenek-nenek 82 Tahun yang Jago Kungfu

Meskipun telah berumur 82 tahun, nenek-nenek ini masih jago kungfu. Ms.zhao yuafang nenek berusia 82 tahun dari Beijing, China telah membuat orang terkejut dan terkagum-kagum. Bagaimana tidak, dengan usianya yang cukup tua tersebut, ia masih bisa menggerakkan bagian-bagian tubuhnya menjadi sangat lentur seperti kungfu. Dulunya saat masih muda dia sangat jago dalam bela diri dan berolahraga secara teratur, seperti Yoga, wushu dan bela diri lainnya.







Sumber http://forum.kompas.com/teras/80453-nenek-nenek-82-tahun-yang-jago-kungfu.html

Berkata Jujur

Ka’ab bin Malik RA adalah salah satu sahabat Nabi SAW yang tidak ikut berperang dalam Perang Tabuk. Penyebabnya, karena terlena dengan urusan dirinya yang menjadikan ia tertinggal dan tidak ikut berperang bersama Nabi SAW.

Ketika perang selesai dan  berita kepulangan Nabi SAW tersiar, Ka’ab dihantui kerisauan. Terbetik dalam dirinya untuk berbohong, agar terhindar dari kemarahan Rasulullah SAW. Namun, ia tak berani berbohong. Ia membulatkan tekad untuk berkata jujur.

Setelah Nabi SAW tiba, Ka’ab segera menghadap Nabi SAW. Beliau tersenyum hambar sambil memalingkan wajahnya yang mulia. Ka’ab berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah berpaling dari saya. Demi Allah, saya bukanlah orang munafik dan  saya meyakini keimanan saya.” Beliau bersabda,“Kemarilah, mengapa engkau tidak ikut berperang, bukankah engkau sudah membeli unta sebagai kendaraan?”

Ka’ab pun menjawab, “Ya Rasulullah, kalau kepada orang lain sudah tentu saya dapat memberikan berbagai alasan agar ia tidak marah, karena Allah telah mengaruniakan kepada saya kepandaian berbicara. Tetapi kepada engkau, walaupun saya dapat memberikan keterangan dusta yang dapat memuaskan hatimu, sudah tentu Allah akan murka kepadaku.”

Ka’ab menambahkan, “Sebaliknya jika saya berkata jujur sehingga engkau marah, saya yakin Allah akan menghilangkan kemarahan engkau. Maka, saya akan berkata dengan sejujurnya. “Demi Allah, saya tidak memiliki halangan apa pun. Seperti halnya orang lain, saya berada dalam keadaan lapang dan bebas. Bahkan, pada saat ini saya memiliki kesempatan yang lebih baik daripada masa-masa sebelumnya.”

Rasulullah SAW bersabda, “Engkau telah berkata jujur, berdirilah, Allah akan memutuskan segala urusanmu.” Setelah itu, Ka’ab meninggalkan Nabi SAW dan pulang ke rumahnya. Dalam masa penantian menunggu keputusan Allah SWT, Ka’ab dilarang berbicara pada siapa pun dan ia juga diperintahkan untuk menjauhi istrinya.

Orang-orang pun menjauhinya dan mengucilkannya seakan-akan dunia menolaknya. Bukan hanya itu, saudaranya pun tidak mau berbicara kepadanya dan bahkan ada orang yang mengajaknya keluar dari agama Islam. Semua ini menjadikan Ka’ab sangat bersedih.

Pada hari yang ke-50, kabar gembira pun datang kepadanya, bahwa Allah menerima tobat Ka’ab dan dua sahabatnya. Dengan hati gembira Ka’ab datang menghadap Nabi SAW. Beliau bersabda, “Bergembiralah dengan meraih saat yang penuh kebaikan, yang belum pernah kau lalui sejak engkau dilahirkan ibumu.”

Sebagai rasa syukur Ka’ab pun menyedekahkan sebagian hartanya dan ia berkata, “Ya Rasulullah, Allah sungguh telah menyelamatkan diriku dengan kejujuran, maka sebagai bagian dari pertobatanku, aku tidak akan berbicara kecuali dengan kejujuran selama sisa hidupku.”

Kejujuran adalah kesesuaian amal dengan tuntunan perintah-perintah syariat.  Semoga kisah ini menjadi teladan bagi kita untuk berlaku jujur  dalam berbagai kondisi walaupun hal itu berisiko, karena kejujuran membawa pada kebaikan dan pada surga. Wallahu'alam.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:  H Moch Hisyam

Saturday, April 28, 2012

Menjadi Umat Terbaik, Inilah Caranya

Manusia adalah wujud dari kemahasempurnaan Allah SWT yang menciptakan (al-Khaliq), yang mengadakan (al-Bari'), dan yang membentuk rupa (al-Mushawwir). Di samping kesempurnaan jasmani dan rohani, kapasitas intelektual adalah alasan penting mengapa manusia dipilih untuk menerima amanah sebagai khalifah di muka bumi.

Kesempurnaan manusia adalah pada kemampuannya berpikir, menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan, memanfaatkan fakultas-fakultas yang dimilikinya, yaitu as-samu (pendengaran), al-bashar (penglihatan), dan al-fuad (hati).

Menuntut ilmu adalah tugas pertama dan utama seorang anak manusia. Allah SWT telah mengajarkan nama-nama benda kepada Adam AS pada awal penciptaan sebagai landasan bagi penguasaan ilmu pengetahuan. (QS al-Baqarah [2]:31).

Perintah membaca (iqra) dan menulis dengan pena (al-qalam) juga merupakan perintah pertama dari risalah kenabian. Wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah perintah membaca dan menulis. (QS al-Alaq [96]:1-5).

Belajar, mencari, menguasai, dan mengembangkan ilmu pengetahuan adalah tugas yang pertama dan utama dari umat Muhammad SAW. Dengan bekal ilmu pengetahuan yang dimilikinya, manusia dapat memakmurkan bumi dan mencegahnya dari kerusakan.

Di samping sebagai hamba dan wakil Allah SWT di muka bumi, umat Islam adalah umat terbaik (khaira ummah) karena mereka senantiasa memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah SWT. (QS Ali Imran [3]:110).

Untuk dapat memelihara eksistensi dan kehormatannya sebagai umat yang terbaik, khaira ummah, the best nation of peoples for the people, umat Islam perlu terus-menerus belajar, beriman, dan beramal menyampaikan pesan-pesan Islam dengan contoh dan perbuatan serta tetap bersabar di dalam melaksanakannya. Pengetahuan yang mencerdaskan sekaligus mencerahkan tersebut diperoleh dengan menjelajahi dan mendalami ayat-ayat Allah SWT (the Spoken Verses) dan tanda-tanda di dalam ciptaan-Nya (the Creation Verses).

Kemampuannya untuk menggunakan hati (zikir) dan nalar (pikir) di dalam menjelajahi tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah ciri utama dari seorang Muslim cendekia (ulul albab, men of understanding). Itu sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, pengikut, dan pewaris terbaiknya. (QS Ali Imran [3]: 190-191).

Mengenai turunnya ayat ini, Abdullah Ibnu Umar RA menceritakan, dari Ummul Mu'minin Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW berdiri di dalam shalat malamnya dan menangis hingga janggutnya menjadi basah. Beliau menangis hingga air matanya membasahi lantai. Beliau kemudian berbaring dan bertumpu pada bagian sisinya seraya menangis.

Ketika Bilal datang untuk mengingatkan waktu shalat Subuh, dia berkata, "Ya Rasulullah, apa gerangan yang membuatmu menangis, padahal Allah SWT telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan akan datang.” Beliau SAW berkata, "Ya Bilal, apa yang dapat menghalangi tangisku, ketika malam ini, ayat ini (QS Ali Imran [3]:190), diturunkan kepadaku. Celaka orang yang membaca ayat ini, tetapi tidak merenungkannya." Wallahu a'lam.
Republika
Oleh: Abi Muhammad Ismail Halim

 

Thursday, April 26, 2012

Dilema Penurunan Suku Bunga Bank

TREND rendahnya tingkat inflasi dan penurunan suku bunga induk (BI-rate) hingga level 5,75% pada awal maret 2012 (terendah sejak pemberlakuan suku bunga induk) oleh Bank Indonesia, seharusnya dapat menjadi berita gembira untuk semua kalangan seperti pengusaha, debitur kredit pemilikan rumah (KPR) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) karena diharapkan kebijakan bank sentral ini akan diikuti dengan penurunan bunga kredit bank.

Seperti yang kita ketahui, bunga kredit memang sudah mulai turun. Besarannya bervariasi, mulai dari 11% hingga 14%. Bahkan untuk kredit consumer dalam bentuk KPR, bunganya mulai mengarah ke arah single digit. Ada beberapa bank yang menerapkan KPR hingga 8% untuk fiks tiga tahun. Bunga kredit komersial memang belum turun signifikan, sementara berbagai kalangan menyatakan bahwa bunga kredit yang wajar adalah dua atau tiga persen di atas BI rate. Namun, jangan khawatir dulu, penurunan suku bunga itu jelas sangat terbuka luas.

Fenomena ini memberikan signal positif penurunan suku bunga dana dan kredit, karena salah satu faktor yang dianut oleh Indonesia dalam menentukan suku bunga bank ialah BI rate. Dengan demikian, penurunan bunga dana dan kredit adalah sebuah kemungkinan, walaupun masih ada faktor lain yang mempengaruhi suku bunga bank, selain BI rate.

BI rate turun membuat suku bunga simpanan juga turun. Dalam beberapa hal, kondisi ini mengkhawatirkan lantaran dapat memicu berkurangnya nilai simpanan yang dimiliki oleh bank dalam menggalang dana. Jika bunga deposito turun, maka biaya dana atau cost of fund akan turun juga, sehingga tidak ada alasan perbankan untuk tmenurunkan suku bunga kreditnya, artinya dana akan tetap mahal, cost of fund akan tetap mahal.

Suku bunga pinjaman sangat tergantung pada suku bunga dana, kalau suku bunga dana tidak bisa di turunkan, otomatis suku bunga kredit tidak bisa diturunkan, karena perebutan dananya semakin sulit. Hal ini terjadi karena orang yang mempunyai uang makin mengurangi deposito dan mengalihkan dananya ke reksa dana, karena reksa dana memberikan yield yang tinggi selama tiga tahun terakhir seperti yang dikatakan Ekonom INDEF, Aviliani.

Bankir pun berupaya membendung keluarnya dana masyarakat ini dengan imingiming suku bunga deposito tinggi untuk menggalang dana. Inilah awal dari sulitnya menurunkan suku bunga deposito bank belakangan ini. Jadi, untuk menurunkan suku bunga kredit, tidaklah semudah dan seindah yang dibayangkan banyak pihak. Begitu banyaknya faktor yang perlu bersinergi untuk menurunkan bunga kredit, dengan bunga penjaminan turun, maka bank akan menurunkan bunga simpanan atau deposito yang artinya akan mengurangi nilai simpanan.

Penurunan bunga kredit juga masih harus mempertimbangkan pengumpulan dana pihak ketiga, pertumbuhan kredit dan target laba. Bagaimana mungkin bank menurunkan bunga kredit jika akhirnya dikhawatirkan kinerja mereka di bursa memburuk, yang ditandai dengan kecilnya laba yang diperoleh, sehingga akan menurunkan nilai harga sahamnya di bursa efek.

Suku bunga BI maupun suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah rujukan tapi tingkat suku bunga ditentukan pasar dan pasar tidak bisa dikontrol. LPS sudah tidak lagi menggunakan BI rate sebagai patokan karena bunga yang efektif digunakan di pasar oleh perbankan adalah bunga operasi moneter BI seperti discount facility dan term deposit overnight sebesar 3,75 persen.

Barangkali penurunan bunga kredit ini masih berproses dan membutuhkan dukungan sejumlah pihak, termasuk masyarakat. Pemerintah perlu menerbitkan kebijakan yang mendorong peningkatan investasi dan perkembangan dunia usaha, sehingga pangsa pasar perbankan nasional terus bertumbuh.

Banyaknya dana-dana masuk dari luar negeri/hot money yang berdampak pada bergairahnya harga-harga saham (IHSG), digunakan sebagai momentum untuk menurunkan suku bunga bank. Terlebih di tengah-tengah tingkat inflasi tahunan yang hanya 4%, semestinya akan memacu perbankan untuk segera menurunkan suku bunga dana dan gilirannya berdampak pada penurunan bunga kredit.

Jika suatu saat nanti BI kembali mengumumkan penurunan BI rate, maka semua kalangan seperti pengusaha kecil dan menengah, debitur kredit pemilikan rumah (KPR) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) diharapkan bisa merasa gembira karena kebijakan bank sentral itu akan diikuti dengan penurunan bunga kredit bank dan akses peminjaman yang cepat dan mudah sehingga dapat meningkatkan dunia usaha di Indonesia.
(Penulis adalah Mahasiswi Institute Management Telkom Bandung)**
kamis, 19 april 2012 03:48 WIB
Oleh : Rialda Annisya

Wednesday, April 25, 2012

Wanita-wanita dalam Pentas Dunia

BEBERAPA tokoh wanita telah menorehkan perannya dalam peradaban dunia. Di antaranya Cleopatra sebagai Ratu Mesir, simbol perempuan yang pernah berkuasa disertai kecantikannya yang melegenda sepanjang masa. Ia memerintah sekitar tahun 51-30 SM.

Ratu Balqis yang berkuasa di wilayah Arabia selatan sekitar Yaman. Ia memerintah sekitar tahun 1000 SM dan beriman kepada Allah melalui Nabi Sulaiman as. sekitar tahun 965-926 SM. Kisahnya diabadikan dalam Alquran (beberapa ayat) dalam surah An- Naml. Namun, secara makro para wanita di dunia pada waktu itu berada dalam budaya patriarki. Baik fisik, psikis, maupun hak-haknya dalam kehidupan sosial masyarakat tertindas dan terabaikan.

Empat belas abad silam, Rasulullah saw. menanamkan hak asasi manusia dan mengangkat derajat wanita dari masa pencampakkan di era-jahiliah ke masa kemuliaan wanita. Hal itu salah satunya tampak dalam Alquran surat Al-Ahzab ayat 35, "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, lakilaki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar."

Di antara makna ayat di atas bahwa Islam menjunjung tinggi hak wanita sesuai kodratnya. Bahkan, Rasulullah saw. menjelang wafatnya berwasiat agar menjaga kaum wanita. Secara tidak langsung bahwa Nabi mengisyaratkan agar hak wanita tidak diabaikan.

Dengan demikian, pemikiran tentang emansipasi telah didengungkan semenjak dahulu. Di Eropa pun mulai awal abad ke-19 gencar menyerukan kesetaraan gender. Di antaranya dengan mengampanyekan kesamaan hakhak asasi wanita, hak suara bagi perempuan di dunia, dan masalah pendidikan.

Gerakan emansipasi tersebut, menjalar ke Indonesia yang waktu itu tengah berlangsung perjuangan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Mulai berlangsungnya politik etis (politik balas budi) di Indonesia yang dilakukan Belanda atas instruksi dari Ratu Wilhelma (Belanda). Politik etis tersebut memberlakukan dukungan terhadap bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikan bagi kaum pribumi. Imbasnya munculnya keinginan adanya pendidikan bagi kaum wanita yang diprakarsai oleh RA. Kartini. Kemudian dikenal dengan emansipasi wanita.

Emansipasi di Indonesia

Di negeri ini tercatat beberapa perempuan Indonesia yang berjuang melawan penjajah dan membela rakyatnya. Di antaranya Cut Nyak Dien 1850-1908 yang melakukan perang gerilya bersama suaminya (Teuku Umar) melawan Belanda, Cut Meutia 1870-1910 yang gugur melawan penjajah Belanda, Martha Kristina Tiahahu 1800-1818 berjuang bersama ayahnya melawan Belanda, Nyi Ageung Serang (Jawa) 1752-1838 yang sejak kecil sudah mengikuti ayahnya melawan Belanda sampai akhir hayatnya dan sempat memimpin wilayah Serang menggantikan ayahnya. Nyi Ahmad Dahlan 1872-1946 yang giat memperjuangkan persamaan hak bagi wanita, mendirikan asrama-asrama putri, dan memimpin organisasi perempuan. Selain itu, ia aktif pula membantu para pejuang dengan mendirikan dapur-dapur umum. Raden Dewi Sartika 1884- 1947 yang gigih memperjuangkan nasib dan harkat kaum perempuan. Ia mendirikan Sakola Istri yang berganti menjadi Sakola Kautamaan Istri, lalu berubah lagi menjadi Sekolah Raden Dewi (di Bandung). Ia pun mendirikan organisasi Sakola Kautamaan Istri di Tasikmalaya yang berfungsi menaungi sekolah-sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika.

Adapula RA Kartini 1879-1904 yang aktif memperjuangkan citacitanya untuk mewujudkan persamaan hak wanita dan pria, serta mendirikan sekolah untuk perempuan di Rembang yang kemudian menyebar ke wilayah lainnya.

Secara khusus, mengenai perjuangan emansipasi wanita di Indonesia terukir setelah adanya pencerahan pemikiran kaum wanita oleh RA Kartini di Jepara. Hal itu diawali ketika Kartini selalu melakukan kontak korespondensi dengan teman-temannya di Belanda. Di dalam surat-suratnya, berisi keinginannya untuk memajukan kaum wanita sebagaimana yang tengah terjadi di Barat. Setelah Kartini wafat, 106 pucuk suratsuratnya dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku oleh temannya yang bernama J.H. Abendanon. Buku tersebut diberi judul "Door Duistenis Tot Licht" yang diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang."

RA Kartini menggelorakan emansipasi yang bertujuan untuk memajukan wanita Indonesia sesuai dengan kodratnya. Wanita bisa maju dalam pendidikan, menjadi guru atau dosen, menjadi polwan, tekhnokrat, birokrat, politisi, dokter, dan sebagainya. Namun, tetap suatu saat wanita tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya sebagai wanita yang bisa melahirkan dan menyusui, serta sebagai ibu bagi anak-anaknya dan istri bagi suaminya.

Kini, pendidikan sebagian kaum perempuan telah maju, berbagai aspek ranah kehidupan telah dimasukinya, bahkan beberapa di antaranya menjadi tokohnya. Katakanlah Megawati Soekarnoputri, Sri Mulyani, Ceu Popong Jungjunan, Hj. Ratu Atut Chosiyah, dan sebagainya.

Namun, tak dapat dimungkiri adanya pencorengan nama baik wanita Indonesia oleh beberapa oknumnya, di antaranya beberapa waktu lalu yang ramai dibicarakan. Selain itu, tidak dimungkiri pula bahwa masih banyak wanita Indonesia yang masih terbelakang, baik di dalam pendidikan dan tentunya juga di dalam karir. Di antara mereka dengan sangat terpaksa meninggalkan anak dan suaminya untuk menjadi TKW. Ada juga tereksploitasi menjadi wanita tunasusila, dan sebagainya. Jadi, apabila melihat kenyataan pahit seperti itu, perjuangan wanita Indonesia masih panjang.

Peringatan hari Kartini tanggal 21 April, bisa menjadi salah satu momentum untuk merenungkan kembali tentang keberadaan, fungsi, dan kemajuan kaum wanita Indonesia. Selanjutnya, dijadikan satu pijakan yang kuat untuk melangkah ke arah yang lebih baik dan lebih maju dari sebelumnya, tanpa menanggalkan kodrat kewanitaannya.

Melihat kemajuan wanita yang sangat signifikan sebagaimana di atas, penulis yakin bahwa ke depannya, wanita-wanita Indonesia akan semakin maju dalam berbagai bidang. Tinggal pembinaannya semakin ditingkatkan dan pemberdayaannya semakin diperhatikan oleh pihak yang terkait, dalam hal ini oleh pemerintah, apalagi ada Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA). Namun dengan catatan, kemajuan tersebut tidak sampai mengabaikan hak keluarganya.
(Penulis, penggiat pengajian ibu-ibu di Majelis Taklim At-Taqwa, Bandung Barat)**
Galamedia
senin, 23 april 2012 02:54 WIB
Oleh : Asep Juanda

Sunday, April 22, 2012

Kunci Kebahagiaan

DUA hal yang dicari manusia dalam hidup ini. Pertama adalah kebaikan dan kebahagian. Namum, setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda saat memahami hakikat keduanya. Perbedaan inilah yang biasanya mendasari bermacam-macam gaya hidup.

Pandangan Islam gaya hidup dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu gaya hidup islami dan jahiliah. Gaya hidup Islam mempunyai landasan yang mutlak dan kuat yaitu tauhid. Inilah gaya hidup orang yang beriman.

Sedangkan gaya hidup jahiliah landasannya bersifat relatif dan rapuh, yakni syirik. Setiap muslim mau tidak mau harus memilih gaya hidup islami menjadi kehidupannya. Ini sejalan dengan firman Allah, "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (Q.S. Yusuf :108).

Ayat di atas menyebutkan bahwa gaya hidup islami hukumnya wajib atas setiap muslim, dan gaya hidup jahiliah adalah haram baginya.

Namun, dalam kenyataan justru membuat prihatin dan sangat menyesal, sebab justru gaya hidup jahiliah (yang diharamkan) itulah yang melingkupi sebagian besar umat Islam.

Hal ini yang pernah dikhawatirkan Rasulullah SAW dalam sabdanya: "Sesungguhnya kamu akan mengikuti jejak orang-orang yang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta, bahkan kalau mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kamu mengikuti mereka". Kami bertanya, "Ya Rasulullah, orang Yahudi dan Nasrani? Jawab nabi, "Siapa lagi?" (H.R. Al-Bukhari dari Abu Sa'id Al-Khudri, shahih).

Hadis tersebut menggambarkan suatu zaman di mana sebagian besar umat Islam telah kehilangan kepribadian Islamnya karena jiwa mereka telah terisi oleh jenis kepribadian yang lain. Mereka kehilangan gaya hidup yang hakiki karena telah mengadopsi gaya hidup jenis lain.

Kiranya tak ada kehilangan yang patut ditangisi selain dari kehilangan kepribadian dan gaya hidup islami. Sebab apalah artinya mengaku sebagai orang Islam kalau gaya hidup tak lagi islami malah persis seperti orang kafir?

Inilah bencana kepribadian yang paling besar, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka." (H.R. Abu Daud dan Ahmad, dari Ibnu Abbas R.A.).

Menurut hadis tersebut orang yang gaya hidupnya menyerupai umat yang lain hakikatnya telah menjadi seperti mereka. Lalu dalam hal ini? Al-Munawi berkata: "Menyerupai suatu kaum artinya secara lahir berpakaian seperti pakaian mereka, berlaku/berbuat mengikuti gaya mereka dalam pakaian dan adat istiadat mereka". Wallahualam.
(Penulis adalah Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Cimahi)**
jumat, 23 desember 2011 09:05 WIB Oleh : Drs. H. Hilmy Rifa'i, M.Si.

Sunday, April 15, 2012

Tanjakan Maraga Cinta

Mipit bukit palasari, tanjakan maraga cinta. Sundana: apik ka ati nyaah ka tanaga, udaran cangreud tina beuheung, tina cangreud loba biheung. Jeung sasama silih papatahan silih pikaheman. Nu matak sok pedar jodo panjang duriat, jodo meunang jodo, jadi opat modalna kasukaan, jadi kalimana.

TEKS yang ditulis Haji Hasan Mustapa di atas untuk menafsir satu ayat dari sebuah Kitab Suci. Pesan moral yang hendak disampaikannya adalah nilai penting manusia memiliki keinsafan untuk menebarkan kasih kepada sesama. Manusia tidak mungkin meraih damai dari langit kalau tidak mau berdamai dengan bumi.

Sebuah ungkapan yang menyiratkan tentang keharusan agama --atau lebih substantif lagi rasa iman yang dikukuhinya-- memiliki korelasi positif dengan hasrat membangun kemanusiaan berkeadaban. Iman bukan sekadar ungkapan verbal dan kayakinan yang mengendap dalam sanubari tapi otentisitas iman itu diartikulasikan dalam wujud tindakan positif. Iman aktif dan efektif menjadi energi yang menggerakkan daya manusia ke arah hidup yang lebih bermakna.

Wacana keberagamaan yang terlampau jatuh dalam kutub ílangití bukan hanya tidak cukup bermanfaat namun juga sejatinya berseberangan dengan semantik iman. Kita simak bagaimana Haji Hasan Mustapa dengan memikat memberikan interpretasi tentang hal ini:

He, kabeh anu ngarakukeun mumin-mumin! Keur naon nyaritakeun nu henteu dipigawe ku maneh? Gede salahna di Alloh nu nyarita naon-naon nu henteu dipigawe; sabab iman taya iman, karana ngaran iman teh wawanen, aman salamet amanat puraga jiwa ragana, tacan nelah lamun tacan kapilampah

Dalam bahasa lain religiositas itu tolok ukurnya bukan sekadar upacara (ritual) yang berkaitan dengan kasalehan indvidual melainkan keikhlasan bersama-sama membangun kaselahan dan kohesivitas sosial.

Bangunan sosial itu bisa bernama birokrasi yang dikelola secara bersih dan transparan bebas dari hama korupsi, ekonomi yang mengalirkan kesejahteraan, pendidikan yang memberikan kesadaran baru, politik yang membawa perubahan ke arah kebaikan atau kebudayaan yang menginjeksikan keinsafan tentang humanisasi dan transendensi.

Suatu keniscayaan

Tentu saja di sini mengandaikan hadirnya sikap diri yang terbuka, iman inklusif, keberagamaan yang lapang, dan kesediaan berdialog hatta dengan mereka yang berlainan keyakinan. Sikap-sikap seperti ini bukan bentuk pendangkalan rasa iman, justru untuk mematangkannya dan sebagai pintu masuk cakrawala yang lebih luas. Untuk menanamkan satu kayakinan bahwa keragaman pluralisme dan multikulturalisme) adalah fakta sosial yang tidak bisa kita hindari dan merupakan kenyataan sejarah yang harus diapresiasi sebagai rahmat.

Kebinekaan bukan untuk diseragamkan tapi kenyataan empirik keseharian yang harus menjadi pemicu dirayakannya kebaikan. Jeung sasama silih papatahan silih pikaheman. Inilah sesungguhnya jalan Tuhan itu. Mipir bukit palasari. Jalan yang dapat menyambut fajar peradaban.

Tentu dalam menempuh jalan seperti ini tidaklah mudah. Akan ada dialektika. Tidak terhindarkan upaya terus-menerus menyalakan semangat mencari Kebenaran sebagaimana nampak dalam sebuah guguritan:

Mapay talapakan sanubari//Di mana nya mukti sari//Di mana Alloh kaula//Bisi pahili papanggih//Kadungsang-dungsang kasandung//Manggih lain manggih lain//Rek nanya nanya ka saha//Keur pada ngalain-lain...Di buru da lain kitu//Di lain-lain da bukti//Di jaga-jaga ka saha//Di sidik-sidik aringgis//Wantu mapay nu neangan//Kapanggih aringgis lain.

Proses pencarian ini selamanya tidak akan pernah final, akan tetap bergejolak. Namun justru dalam kondisi seperti ini manusia akan tetap sadar dan rendah hati bahwa kebenaran yang diyakininya adalah sesuatu yang subjektif, sepanjang berkaitan dengan nalar. Bahwa memonopoli sebuah kebenaran seraya menisbahkan kesesatan kepada íyang lainí bukan hanya berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia namun juga bertentangan dengan makna iman itu seperti dengan sangat bagus tergambarkan dalam "Puyuh Ngungkung dina Kurung" Ngalantung neangan tungtung/Kawit deui kawit deui/Sapanjang neangan padang/surem deui surem deui.

Refleksi mutakhir

Selama ini diakui atau tidak acapkali muncul kerusuhan dan konflik yang berlatarbelakang keagamaan, salah satu pemicunya sesugguhnya adalah ketidak akuratan dalam memaknai iman itu. Karena iman ditempatkan dalam kata benda yang statis (bukan pencarian yang dinamis), maka akhirnya orang tidak lagi bergairah melakukan kajian ulang terhadap faham dogmatis kalu tidak malah menerima ajaran agama secara taken for granted yang ditransfer secara indoktrinasi walaupun hal itu bertentangan dengan nalar, bertabrakan dengan etika sosial, dan melanggar hak asasi manusia.

Dari iman tertutup yang disampaikan oleh agama resmi mana pun sangat potensial memicu tumbuhnya persengketaan. Ujungnya, iman seperti ini dengan mudah menyerukan manusia untuk berperang bukan melawan hawa nafsunya sendiri melainkan melawan orang lain yang berbeda dengan dirinya bahkan kalau perlu mengiming-imingnya dengan balasan surgawi.

Di titik ini muncul terorisme berbasis faham keagamaan yang menyimpang. Di titik ini pula mencuat pemaknaan ayat-ayat perang dengan salah kaprah, muncul pengertian jihad secara serampangan. Menjamur organisasi kemasyarakatan yang merasa paling islami dan memandang mereka yang tak sehaluan sebagai nu lian yang layak mendapat stigma sesat, murtad, kafir, dan tukang maksiat.

Haji Hasan Mustapa dengan tafsir imannya yang inklusif, berbasis tradisi kultural dan nafas penghayatan kesundaan yang kuat sudah selayaknya diapresiasi dan dijadikan pijakan epistemologi kultural untuk membangun tatar Pasundan khususnya dan bangsa Indonesia umunya yang terbebas dari paham keagamaan yang ekstrem, fundamentalis, a historis dan utopis.

Sebuah sumbangan besar dari filsuf Sunda yang patut kita syukuri dan aplikasikan. Agar kehidupan kembali menemukan harkatnya. Hirup panggih jeung huripna.
(Penulis, pemerhati sosial budaya/dosen IAILM dan UIN Bandung)
Galamedia
kamis, 29 maret 2012 05:16 WIB
Oleh : ASEP SALAHUDIN

Saturday, April 14, 2012

Sifat Ragu

KERAGUAN adalah keadaan tidak tetap hati (dalam mengambil keputusan, menentukan pilihan, dan sebagainya); bimbang; sangsi (kurang percaya); syak. Setiap orang pernah merasakan keraguan terhadap sesuatu hal dalam hidupnya, baik dalam masalah jodoh, sekolah, pekerjaan atau bahkan sesuatu yang berkaitan dengan masalah agama. Keraguan merupakan sifat yang kerap hinggap dalam diri manusia.

Keraguan ini muncul ketika seseorang kurang atau tidak memiliki pengetahuan terhadap sesuatu hal dan ketika seseorang kurang percaya atas kemampuan dirinya sendiri.

Ragu merupakan sifat yang tercela. Bahaya dari sifat ragu akan berdampak sistemik dalam kehidupan kita. Orang yang selalu dihinggapi keraguan bukan hanya akan membahayakan dirinya, tetapi juga orang lain.

Keraguan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan masalah duniawi hanya membuat manusia menderita di dunia. Namun jika kita ragu terhadap masalah-masalah agama, bukan hanya menyebabkan penderitaan di dunia, tapi juga di akhirat kelak.

Di dalam Alquran, Allah SWT dengan tegas melarang kita menjadi orang yang ragu, sebagaimana firman- Nya, "Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekalikali kamu termasuk orang-orang yang ragu" (Q.S. Al-Baqarah: 147).

Begitu juga sabda Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan kita untuk mengusir sifat ragu. Sebagaimana sabdanya, "Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu" (H.R. Tirmidzi dan An-Nasai).

Meninggalkan yang meragukan ini berlaku secara umum, baik dalam ibadah, muamalah, pernikahan, juga dalam setiap disiplin ilmu.

Mengingat buruk dan besarnya bahaya sifat ragu, kita harus berusaha menjauhi sifat ini. Caranya, pertama dengan memperdalam pemahaman terhadap ajaran agama dan senantiasa meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. Sebab orang yang beriman tidak akan dihinggapi keraguan.

Sebagaimana firman Allah SWT, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul- Nya, kemudian mereka tidak raguragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar" (Q.S. Al-Hujurat: 15). (Penulis, Ketua DKM Al-Hikmah RW 07 Sarijadi Bandung, anggota Komisi Pendidikan danDakwah MUI Kel. Sarijadi, Kec. Sukasari, Kota Bandung)
Galamedia
jumat, 27 januari 2012 10:55 WIB
Oleh : H. Moch. Hisyam, S.Ag.

Sunday, April 08, 2012

Keraton, Kekayaan Budaya Nasional

KERATON-KERATON di wilayah Cirebon, bukan hanya merupakan budaya lokal, melainkan sudah menjadi kekayaan budaya nasional bahkan internasional. Oleh sebab itu sudah sewajarnya keberadaan keraton-keraton tersebut mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Demikian diungkapkan Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat, Drs. H. Uu Rukmana, M.Si., pada acara dialog hearing DPRD Provinsi Jawa Barat dengan tokok-tokoh keraton, budayawan, dan pelaku usaha di Cirebon, belum lama ini.

Terkait hal tersebut, kata Uu, DPRD Provinsi Jawa Barat sangat membutuhkan masukan-masukan serta pendapat dari seluruh elemen masyarakat di Cirebon agar pemerintah bisa membuat kebijakan yang benar-benar mengedepankan pelestarian budaya keraton.

"Karena itulah melalui kegiatan dialog hearing ini diharapkan DPRD bisa mengetahui aspirasi dan masukan dari stake holder yang ada. Dengan begitu kami bisa memperjuangkan aspirasi itu, agar nantinya pelestarian keraton tidak hanya membawa manfaat bagi sektor budaya, tetapi juga memberi manfaat bagi perekonomian masyarakat sekitar," ujar Uu.

Sebagai upaya pelestarian budaya ini, Uu Rukmana memandang perlu ada regulasi berupa peraturan daerah (Perda) mengenai cagar budaya yang mengatur kewenangan provinsi, kabupaten/kota. Selain itu dalam perda tersebut disertakan juga aturan reward dan punishment serta mekanisme pemberian bantuan agar jumlah cagar budaya di Jawa Barat tidak berkurang.

Ketua Komisi B DPRD Provinsi Jawa Barat, Selly A. Gantina, menambahkan, segi budaya Cirebon memiliki kekayaan budaya yang sangat potensial untuk dikembangkan. Wajar apabila masyarakat Cirebon menuntut perhatian dan bantuan yang lebih dari Pemprov Jabar.

"Dalam rangka meningkatkan sektor pariwisata, saat ini Pemprov Jabar akan mengembangkan destinasi wisata. Kami meminta kegiatan ini tidak hanya terpusat di wilayah Bandung sekitarnya. Dengan warisan budaya yang dimiliki kami tentunya akan mengupayakan agar wilayah Cirebon menjadi salah satu destinasi wisata yang perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari Pemprov Jabar," kata Selly.

Menurutnya, dialog hearing merupakan kegiatan rutin DPRD Provinsi Jawa Barat yang bertujuan untuk menjaring aspirasi, masukan serta pendapat dari masyarakat. Kegiatan ini juga dalam rangka sosialisasi kegiatan DPRD. Kegiatan dialog hearing yang dilaksanakan di Keraton Kacirebonan ini bertemakan "Upaya Peningkatan Sektor Perekonomian yang Berbasis Budaya Lokal".

Selain dihadiri oleh kalangan keraton, budayawan serta pelaku usaha dan masyarakat di Cirebon juga dihadiri oleh Anggota DPRD dari Komisi B dan E serta Anggota DPRD Jabar asal daerah pemilihan Jabar VIII (Kab./Kota Cirebon).

Sultan Keraton Kacirebonan P.R. Abdul Gani Natadiningrat, selaku tuan rumah mengemukakan, pihaknya menyambut baik pelaksanaan dialog/hearing DPRD Provinsi Jawa Barat di Keraton Kacirebonan. Ia mengharapkan perhatian pemerintah terhadap keraton dapat lebih ditingkatkan.

"Saya berharap keraton dapat menjadi pusat budaya yang juga membawa manfaat perekonomian bagi masyarakat sekitarnya," ungkapnya.
(eli siti wasliah/"GM")**
jumat, 09 maret 2012 11:22 WIB

Ngamumule Bahasa Ibu

TANGGAL 21 Februari lalu merupakan tanggal Hari bahasa Ibu Internasional (HBBI). Tanggal tersebut ditetapkan oleh UNESCO pada tanggal 21 Februari 1999 sebagai wujud kepedulian dunia terhadap kelestarian bahasa Ibu. Dengan latar belakang adanya demonstrasi mahasiswa di Paskistan Timur atau sekarang Bangladesh pada tanggal 21 Februari 1952 yang berkaitan dengan pemertahanan bahasa Bangla sebagai bahasa ibu agar tidak punah. Hal itu karena pemerintah Pakistan pada tanggal 21 Maret 1948 menetapkan bahasa Urdu sebagai satu-satunya bahasa resmi di negera tersebut. Yang dimungkinkan akan menelantarkan bahasa Bangla. Akhirnya setelah adanya demonstrasi tersebut yang sampai memakan jiwa dari para demonstran maka sejak itu setiap tanggal 21 Februari di Pakistan Timur diperingati sebagai Language's Martyr's Day oleh masyarakat di Pakistan Timur.

Bahasa Ibu adalah bahasa yang pertama kali diterima anak dari keluarganya atau khususnya dari ibunya. Bahasa tersebut mengakar dalam kemampuan lingual anak sampai dewasa. Walaupun selanjutnya si anak telah menguasai bahasa lain. Namun, bahasa tersebut merupakan bahasa yang utama bagi dirinya secara individu. Selanjutnya, bahasa ibu identik pula dengan bahasa daerah karena pada dasarnya bahasa pertama yang diterima oleh anak adalah bahasa daerahnya. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan bahasa ibu adalah bahasa daerah.

Urgensi bahasa daerah

Menurut Abdul Khaer dalam bukunya "Sosiolinguistik: Perkenalan Awal" (2010:226) Bahasa daerah mempunyai tugas sebagai (1)lambang kebanggan daerah, (2) lambang identitas daerah, (3) sarana perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, dan (4) sarana pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah. Selain itu, di dalam hubungannya dengan tugas bahasa Indonesia, bahasa daerah ini bertugas pula sebagai (1) penunjang bahasa nasional, (2) sumber pengembangan bahasa nasional, dan (3) bahasa pengantar pembantu pada tingkat permulaan di sekolah dasar di daerah tertentu untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain.

Berdasarkan uraian di atas, tampak begitu urgen keberadaan bahasa daerah, baik untuk kepentingan daerah itu sendiri maupun pengembangan bahasa nasional. Untuk itu, pemerintah daerah sangat sigap akan hal itu sehingga mempunyai perda yang berkaitan dengan pelindungan bahasa daerah.hal itu di antaranya Perda No. 5/2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah.

Di Jawa Barat para penuturnya rata-rata sebagai penutur bilingual, yaitu penutur bahasa daerah dan bahasa nasional. Jelasnya menggunakan bahasa Sunda, Cirebon, atau Melayu Betawi dan bahasa Indonesia. Dengan demikian, kadang-kadang penuturnya menggunakan bahasa Sunda atau bahasa Indonesia atau kedua-duanya sekaligus (bahasa campuran).

Dari penggunaan bahasa secara campur tersebut, lambat laun akan bergeser terhadap penggunaan bahasa yang digunakan lebih luas, secara nasional bahasa tersebut adalah bahasa Indonesia sehingga pada akhirnya terjadi pergeseran bahasa, dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia.

Secara pribadi hal itu penulis alami sendiri, penulis dan istri adalah orang Sunda asli. Tinggal di tatar Sunda yang bukan komplek perumahan. Namun, entah dari mana tetangga ataupun orang (sesama orang Sunda asli) yang mau berkomunikasi dengan anak penulis yang belum sekolah suka menggunakan bahasa Indonesia. Ketika di TK anak-anak sudah mempelajari dua bahasa nondaerah, bahasa Indonesia sebagai pengantar pelajaran dan bahasa asing sebagai salah satu materi pelajaran yang diajarkan. Apabila tidak kuat pantauan dan arahan guru maka anak-anak tersebut tidak mampu membedakan antara bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Sementara bahasa daerah sendiri seakan-akan terabaikan. Dengan demikian, alangkah lebih bijak apabila pembelajaran bahasa daerah secara langsung atau pun tidak sudah diterapkan di pendidikan usia dini, paling tidak sebagai bahan pengantar pembelajaran sebelum anak belajar di tingkat sekolah menengah pertama. Selain itu, kesempatan komunikasi di luar jam pelajaran dianjurkan untuk menggunakan bahasa daerah.Dengan demikian, penggunaan bahasa daerah dikukuhkan di keluarga, kemudian diperkuat oleh peran lingkungan dan pendidikan di sekolah. Hal itu sebagai beberapa wujud nyata dalam rangka ngamumule bahasa daerah sebagai bahasa ibu.
(Penulis, Staf Teknis Balai Bahasa Bandung, Badan Bahasa, Kemendikbud RI)**
jumat, 16 maret 2012 10:01 WIB Galamedia
Oleh : Asep Juanda