-

Tuesday, May 22, 2012

Politik Para Pemimpin



SEJAK merdeka sampai hari ini, kekuasaan di negeri kita dikendalikan oleh para "pemimpi" dan pemimpin. Yang pertama adalah mereka yang bercokol di semua lini yang dengan lantang menyuarakan kepentingan rakyat, tetapi justru menistakan kepentingan rakyat, malah tampil menjadi "penjuang" koruptor dan penjahat-penjahat lain dengan aneka macam wujud kenistaan tingkah lakunya. Yang kedua adalah mereka yang dengan sepenuh hati mencurahkan segenap kemampuan yang dimilikinya, baik material maupun spiritual, untuk kepentingan rakyat. Pengorbanan mereka tidak semu, tetpi atas nama idealisme unruk mengangkat harkat dan martabat rakyat.

Berdasarkan sejarah pergerakan nasional, hakikat "pemimpi" adalah pengkhianat dengan dua nomena. Pertama, dengan segenap sekutunya para "pemimpi" itu menggiring kehidupan berbangsa dan bernegara menyimpang dari cita-cita proklamasi kemerdekaan RI 1945 yang telah dirintis sejak awal abad XX oleh para patriot bangsa dengan seluruh pengorbanannya. Kedua, mereka juga telah menciptakan tatanan ketidakadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Dua nomena itu, sebagai fenomena, muncul dalam banyak aneka wujud, tetapi selalu dimentahkan dan dikaburkan oleh para "pemimpi" sebagai agen-agen antireformasi total 1998 yang oportunistik. Para oportunis ini agaknya tidak tahu (karena bodoh atau buta sejarah) atau pura-pura tidak tahu (karena kepentingannya terganggu) tentang hakikat keindonesiaan dan orientasi RI, sebagaimana dicita-citakan pendiri bangsa.

Tatanan politis prorakyat, oleh para "pemimpi" dan semua kliknya diselewengkan, dimanipulasi, dan dibengkokkan menjadi tatanan politis hari-hari ini yang tidak prorakyat meski pawai retorika para "pemimpi" berkata sebaliknya. Jadi, partai-partai politik dengan ideologi apapun sebagai perkakas pemimpi, sejatinya badut-badutan belaka. Pasalnya, ujung ideologi pemimpi hanyalah oportunisme atau paling dari jenis pendekatan yang paling konyol.

Para "pemimpi" memang tengah bermimpi di arena kekuasaan yang dihiasi oleh lampion-lampion menawan hati. Politik praktis telah mereka telah menjelma menjadi surga dunia membuat mereka lupa akan amanat rakyat pemberi amanat. Berbagai bentuk penyelewengan berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah dramaturgi kesempatan untuk memperkaya diri sepuasnya. Karena disadari atau tidak, mereka pun mengerti bahwa kesempatan itu jarang dating dua kali.

Maka logis jika tatanan politik di bawah kendali para "pemimpi" yang ahistoris itu, pada sektor ekonomi misalnya, ujungnya hanya menguntungkan para penguasa di semua tingkat (makin tinggi tingkat makin bergelimang dolar) dan kaum saudagar serta segenap klik lainnya. Mereka dapat kursi basah dengan suguhan roti empuk, sedangkan rakyat jelata dapat remeh-temehnya. Padahal RI kaya raya. Satu pernik kecil dalam lautan penghasilan Negara, sebagai contoh, ada satu sentra industri tambang di Tanah Air yang mampu setor 7 juta dolar AS ke pemerintah RI, bukan tiap tahun, tapi tiap hari.

Kenyataan itu menandai kemenangan "pemimpi" atas pemimpin. Ini tampak antara lain dalam dua gejala. Pertama, dengan banyak pesan yang dangkal, heboh, mengecoh, dan dominasi para "pemimpi" menggiring kehidupan berbangsa dan bernegara menuju politik "kanan". Kedua, 1001 perbendaharaan nilai dan terminologi berwatak "kanan" tiap hari dipromosikan, membodohi benak publik, dengan segala cara, antara lain lewat strategi media gaya koboi dan mafia. Mafia hukum, pendidikan, ekonomi, dan segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Sosialisme ala Indonesia

Sejarah kita mencatat: perintis patriot bangsa Indonesia terdiri atas banyak suku, agama, ras, dan banyak paham hidup: berbagai isme termasuk kiri dan kanan terpadu bahu-membahu, berproses dinamis saling memberi masukan, demi tujuan Indonesia Raya, negeri yang makmur sentosa, berwibawa dalam pergaulan dunia.

Dalam konteks dinamika saling memberi masukan itulah lahir Pancasila sebagai penyelaras konflik kiri dengan kanan. Salah satu butirnya, sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (oleh Bung Karno disebut sosialisme ala Indonesia) adalah hasil pergulatan panjang penggalian memadukan Declaration of Independence dan Manifesto Komunis yang membelah dunia dalam Blok Barat dan Blok Timur yang amat melelahkan.

Bung Karno pernah mengatakan: Hari depan revolusi Indonesia bukanlah menuju ke kapitalisme, dan sama sekali bukan menuju ke feodalisme.... Hari depan revolusi Indonesia adalah masyarakat adil dan makmur atau... sosialisme Indonesia (Oejito, RS Jitno, SP Kentjono, Doktrin Revolusi Indonesia, 1963).

Di tengah kekacauan situasi politik, ekonomi, sosial, hukum, keamanan di Indonesia, segalanya menjadi tidak pasti kecuali satu hal; bahwa sebagai kaum sosialis sudah seharusnya berdiri secara pasti di atas keyakinan dan kekuatan diri sendiri bersama kelas-kelas tertindas yang berjejalan di negeri ini.

Sudah bukan berita aneh lagi ketika kita mendengar terjadi kasus korupsi di Indonesia, juga dengan hukumannya yang tergolong ringan dibanding nominal yang telah dikurasnya. Fenomena ini terjadi saat terdakwa berasal dari golongan orang yang sakunya tebal. Namun, tatkala terdakwa berasal dari rakyat kecil, hukum pun diterapkan tanpa hati nurani.

Kita setuju, mencuri, korupsi, dan kenakalan lainnya adalah perbuatan tercela yang pantas mendapatkan hukuman. Akan tetapi, pantaskah ketika hukuman tegas tersebut hanya diberikan kepada rakyat kecil? Ketika golongan berduit yang mencuri uang rakyat, bahkan ketika kerugian yang ditimbulkannya jauh lebih besar dibanding nominal curian sang rakyat kecil, hukuman yang diberikan terkesan lebih ringan.

Hukum di negeri ini cenderung tidak berdaya melawan penguasa dan pemilik modal. Para elite negeri ini dapat dengan mudah berkelit dari jeratan hukum, menggunakan kekuasaan dan uang yang ia miliki. Bahkan tidak hanya perangkat hukumnya, aparat penegak hukum juga pemerintah saat ini kurang memiliki keberpihakan terhadap rakyat kecil. Negeri ini lebih didominasi oleh para "pemimpi" dibanding para pemimpin.
(Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan STAI Alazhari Cianjur)**
Galamedia
Oleh : ACEP HERMAWAN

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment