-

Friday, June 08, 2012

Politik Berbahasa Sunda

PERDA tentang penggunaan, pemeliharaan, dan pengembangan bahasa, sastra, dan aksara Sunda yang ditetapkan melalui sidang paripurna di gedung DPRD Kota Bandung, Senin (28/05/2012), dilatarbelakangi oleh kekhawatiran semakin merosotnya motivasi masyarakat dalam menggunakan bahasa Sunda. Dalam Perda tersebut antara lain diatur bahwa setiap hari Rabu segenap warga Kota Bandung, baik pejabat maupun masyarakat, wajib menggunakan bahasa Sunda. Di sekolah pun pelajaran Bahasa Sunda wajib kembali dijadikan kurikulum, mulai dari SD, SMP, hingga SMA. Mengapa menggunakan bahasa dan budaya sendiri saja harus diatur lewat Perda? Serendah inikah kesadaran masyarakat kota Bandung akan bahasanya sendiri?

Penulis termasuk yang optimis, sesungguhnya tanpa ada Perda ini pun bahasa Sunda masih dan selalu dipergunakan dalam percakapan keseharian warga masyarakat. Di tengah makin multikulturalnya warga Kota Bandung yang membuat bahasa Indonesia menjadi pilihan dalam berkomunikasi, bahasa Sunda masih tetap bertahan. Juga di tengah gempuran snobisme penggunaan bahasa Inggris, khususnya di sektor ekonomi, bahasa Sunda masih dipergunakan.

Memang benar, banyak ikon Bandung yang tidak menunjukkan kesundaan. Buktinya di tempat-tempat strategis seperti hotel-hotel, kantor-kantor perusahaan, toko-toko, dan sebagainya, jarang sekali (mungkin tidak ada) spanduk yang bertuliskan "wilujeng sumping", tapi "welcome". Istilah-istilah asing lain sudah tidak asing lagi di sana. Sebut saja "wisata kuliner", "factory outlet", "big sale", "cut price", dan sebagainya, tentu merupakan istilah bahasa asing.

Akan tetapi, mari kita berjalan sedikit ke pasar-pasar tradisional atau ke daerah-daerah pedalaman, bahasa Sunda terasa masih sebagai bahasa yang hidup. Orang-orang masih setia berbicara dalam bahasa Sunda. Dengan atau tanpa Perda pun mereka sudah sangat terbiasa berbahasa Sunda. Demikian juga di sejumlah kampus, bahasa Sunda biasa juga dipergunakan mahasiswa. Mahasiswa asal luar Jawa Barat dan bukan orang Sunda pun tidak sedikit yang biasa bertutur dan belajar bahasa Sunda. Tentu saja, itu bukan lantaran Perda.

Bahasa memang bagian dari identitas budaya yang akan terus dipelihara oleh kelompok budayanya. Jadi formalisme berbahasa Sunda karena ada Perda tak akan banyak berpengaruh pada perilaku berbahasa masyarakat. Karena bagi masyarakat penutur bahasa Sunda, bahasa adalah entitas hidup yang setiap saat menjadi alat komunikasi sosialnya. Mereka lebih perduli pada bagaimana substansi berbahasa ketimbang formalisme berbahasa.

Gerakan kultural yang dilakukan orang Sunda untuk menjaga bahasanya akan terus berkembang. Mereka sangat biasa bertutur bahasa Sunda. Meski kini bahasanya banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa asing selain bahasa Arab. Namun inilah cerita bahasa hidup, yang tumbuh dan berkembang layaknya manusia, hewan, dan tumbuhan.

Stimulasi Berbahasa

Berbahasa adalah cerminan motivasi, sikap dan penalaran penuturnya. Kekhawatiran bahwa banyak orang yang enggan memakai bahasa Sunda di lingkungan keluarga, dapat ditelusuri dengan melihat tiga aspek ini. Motivasi berbahasa sangat beragam, bergantung situasi ujaran dan hubungan peran antara para penutur. Sikap bahasa adalah reaksi evaluatif para penutur terhadap bahasa. Sikap bahasa yang positif terhadap bahasa Sunda akan meningkatkan motivasi untuk menjadi pemakai, pecinta, penggiat politik dan perencana bahasa Sunda.

Ada beberapa hal yang membuat seseorang bersikap positif terhadap bahasa Daerah: (1) keteladanan pemuka masyarakat, ilmuwan, budayawan, dan aparatur pemerintah dalam menggunakan bahasa daerah; (2) tersedianya repertoar kebudayaan yang ditulis dalam bahasa daerah, seperti fiksi, sejarah, koran, dan majalah; (3) adalanya hiburan dan wisata intelektual melalui bahasa daerah seperti buku teks, acara-acara TV, dan siaran radio; (4) banyaknya terjemahan karya tulis dari berbagai bahasa ke dalam bahasa daerah; dan (5) banyaknya penutur bahasa daerah lain dan orang asing yang mempelajari bahasa daerah (Alwasilah, 2000: 22).

Selama ini kawula muda sering dituding paling enggan menggunakan bahasa Sunda. Mereka lebih suka menggunakan bahasa Indonesia. Untuk itu perlu adanya pendekatan psikologi (bahasa). Pada usia ini umumnya mereka senang membaca novel-novel populer dan mendengarkan lagu-lagu pop baik dalam bahasa Indonesia maupun Barat. Tersedianya karya terjemahan dalam bahasa Sunda dari bahasa Indonesia maupun asing, termasuk terjemahan Alquran, kamus dwibahasa: asing-daerah dan daerah-asing, siaran radio dalam bahasa Sunda, koran dan majalah bahasa daerah akan meningkatkan vitalitas bahasa Sunda, dan dengan sendirinya akan menanamkan rasa bangga memiliki bahasa daerah sendiri.

Selama ini juga tidak banyak penerbit yang penerbitkan buku teks dalam bahasa Sunda untuk mengembangkan nalar kesundaan, mungkin karena alasan kesulitan pemasaran. Namun sebenarnya, ini tidak bisa dijadiakan alasan, sebab jika kita lihat, jumlah penutur bahasa Sunda di Jabar, misalnya, mencapai lebih dari 24 juta orang. Ini seharusnya merupakan pangsa pasar potensial bagi pemasaran berbagai terbitan dalam bahasa Sunda. Di sinilah pentingnya keterlibatan Pemda, antara lain dengan memberikan subsidi bagi penerbitan buku-buku yang secara ekonomis tidak menguntungkan, namun bermanfaat bagi perkembangan budaya dan bahasa Sunda.

Pada tataran lembaga pendidikan, kurikulum KTSP memberikan kesempatan bagi pelaku perencana bahasa daerah untuk memanfaatkan apa yang disebut muatan lokal. Alokasi muatan lokal ini bisa dimanfaatkan untuk pengajaran bahasa dan budaya Sunda secara lebih terencana, dan lebih terintegrasi dengan bidang lain, seperti Sejarah, IPS, IPA, dan lain-lain.

Walau tanpa Perda pun bahasa Sunda diyakini akan tetap hidup, namun Perda itu adalah upaya politik bahasa yang sangat bermakna jika disertai komitmen dan kesadaran semua pihak akan pentingnya bahasa Sunda.
(Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan STAI Alazhary Cianjur)**

Galamedia Oleh : ACEP HERMAWAN
sumber marurah

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment