-

Saturday, August 18, 2012

Playing God; Bertindak Seolah Tuhan

KADANGKALA dalam kehidupan sehari-hari, tanpa sadar kita banyak mengambil alih peran Tuhan. Kehidupan diri sendiri, keluarga, dan orang lain ditentukan dengan mengambil sebuah keputusan. Entah itu persoalan kerja, misalnya, dengan mem-PHK karyawan atau memutuskan keluar dari pekerjaan.

Keputusan tersebut tentunya akan berdampak pada kehidupan kita dan orang lain. Pun yang kerap terjadi di dunia kedokteran. Keputusan-keputusan penting yang menyangkut nyawa dan kehidupan, ditentukan dari meja seorang dokter. Inilah yang disebut dengan bertindak seolah Tuhan (Playing God), yang tentunya bukan monopoli profesi dokter an sich.

Tetapi yang terjadi banyak menimpa profesi dokter, yang secara intensif berdekatan dengan soal hidup dan mati. Ketika seorang pasien menderita penyakit kronis dan katastropik (mengancam nyawa) dengan jumlah yang mencapai ratusan ribu, selalu saja ada wacana euthanasia. Dalam posisi demikian, seorang dokter membutuhkan kekuatan spiritual yang kuat untuk memutuskan melakukannya atau menolak. Tetapi, praktik euthanasia di Indonesia dilarang secara tegas seperti tercantum dalam Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, "Barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain

atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun." (halaman 57).

Euthanasia secara terminologis berarti pencabutan nyawa seseorang dengan cara yang baik dan terhormat (death with dignity) yang dilakukan atas permintaan orang tersebut. Istilah ini, berasal dari bahasa Latin "eu" yang artinya baik dan "thanatos" yang berarti kematian. Di Indonesia, malah sering terjadi apa yang disebutkan penulis buku ini, dr Rully Roesli, dengan euthanasikon. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan bahwa yang menyebabkan seorang pasien bukan didasarkan kondisi penyakit yang parah; melainkan disebabkan kondisi sosial ekonomi yang serba terbatas.

Pelayanan kesehatan di Indonesia memang mengkhawatirkan hingga lahir istilah, "Sadikin" (yang sakit jadi miskin). Inilah yang membuat Rully Roesli menyuarakan keprihatinannya sebagai seorang dokter melalui buku ini. Dengan mahalnya biaya pengobatan mengharuskan dia bertindak seolah Tuhan yang sering menentukan siapa yang hidup dan siapa yang mati.

Penulis buku ini ialah salah satu cucu seorang pengarang besar roman Siti Nurbaya, Marah Roesli, dan kakak dari seniman besar Kota Bandung, Harry Roesli. Pria kelahiran Solo, 23 Juli 1948 ini bernama Rully Marsis Amirullah Roesli (RMAR), seorang Guru Besar kedokteran FK UNPAD. Ia merupakan dokter spesialis penyakit dalam, yang banyak bergulat dengan penyakit-penyakit berbahaya dan merenggut nyawa pasien. Di klinik tempat prakteknya, RSKG Habibie, ia banyak mendapatkan sebuah pengalaman berharga ikhwal penentuan keputusan bagi pasien. Setiap hari Jumat, ia memimpinrapat untuk menentukan siapa saja pasien yang berhak mendapatkan cuci darah gratis.

Pengalamannya selama menjalankan aktivitas mulia memberikan pengobatan kepada pasien miskin, dituangkan ke dalam buku pejal dan sederhana ini. Bahasa tuturnya sangat memukau pembaca. Kesukaannya pada seni musik, disinyalir membuatnya memilih judul "Playing God" yang mirip dengan salah satu judul lagu dalam album Band Rock dari luar negeri, Megadeath. Buku setebal 198 halaman ini memadukan spiritualitas agama, ilmu kedokteran, pengalaman, dan bagaiaman peran etika medik yang harus dipegang teguh seorang dokter.

Setidak-tidaknya, topik utama buku "Playing God" terbagi ke dalam lima topik. Pertama, membahas tentang keputusan penting yang dapat memengaruhi kehidupan orang lain. Pembahasannya yang dilengkapi dengan eksplorasi pengalaman dan data-data, ditambah teks-teks keagamaan semakin menarik untuk dibaca halaman demi halaman. Di dalam bab pertama ini, porsi bahasan tentang euthanasia dan euthanasikon mendapat perhatian lebih, karena berkaitan dengan sebuah pengambilan keputusan tentang kehidupan orang lain.

Kedua, topik pembahasannya diarahkan pada bagaimana pengambilan keputusan penting yang bisa mengakibatkan pengaruh besar bagi diri sendiri. Di dalam bab ini, kita dapat menemukan bagaimana pertarungan seorang dokter ketika hendak mengambil keputusan bagi kehidupan orang lain dan berdampak pada diri sendiri. Betapa tidak, jiwanya tersentuh ketika melihat ketidakberdayaan ekonomi yang menimpa pasien, warga, dan orang-orang di lingkungannya. Situasi ini mengakibatkan ia harus berani memutuskan untuk menolong atau tidak.

Ketiga, topiknya berkutat pada pengalaman-pengalaman yang menyadarkan kita bahwa dibalik keputusan penting yang berdampak pada orang lain dan diri sendiri itu, ada peran kuat Tuhan yang tak bisa dibantah lagi. Sementara, pada bagian keempat buku ini, kita diajak untuk mengenal sosok personal seorang dokter, yang posisinya sederajat dengan manusia lain. Seorang dokter bisa juga sakit, bisa juga sedih, bisa juga tidak seperti dewa, dan membutuhkan kekuatan spiritual kuat dalam menghadapi liku kehidupan.

Terakhir, pada bagian kelima buku ini kita akan mendapatkan sebuah kekuatan spiritual ikhwal makna dibalik kematian; yang kadang-kadang tidak mampu diprediksi dengan ilmu pengetahuan. Buku ini, bukan hanya untuk mahasiswa kedokteran; melainkan setiap individu pantas membacanya dikarenakan isinya yang menyatukan antara ilmu pengetahuan, spiritualitas, doktrin Islam, dan pengalaman Rully Roesli yang dikemasnya dalam bahasa sastrawi. Selamat menikmati buku ini untuk membuka wawasan Anda tentang makna kematian, etika medik, spiritualitas, dan moralitas yang dihasilkan ajaran Islam.
(Sukron Abdillah, publisis Penerbit Mizan, Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung)**
Galamedia
kamis, 14 juni 2012 01:03 WIB

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment