-

Wednesday, September 12, 2012

Bahasa Inggris dalam Kultur Pendidikan



DALAM era globalisasi sekarang, sekat-sekat antara satu bangsa dengan dunia luar semakin menipis. Setiap bangsa seolah berlomba memberikan pengaruh dalam menunjukan peradabannya. Terutama di jaman revolusi informasi sekarang ini, setiap informasi di suatu negara akan serta merta diketahui belahan dunia lain, termasuk dengan bahasa Inggris yang begitu dominan memengaruhi ranah kehidupan setiap bangsa. Peran media juga seolah terus mengampanyekan bahasa inggris. Misalnya ketika di depan kamera, "supaya terlihat keren dan berwawasan" istilah-istilah bahasa Inggris selalu dikutip oleh sebagian orang.

Akibatnya manusia Indonesia sekarang seolah dituntut untuk bisa berbahasa Inggris ketika berbicara. Namun, yang harus diperhatikan, bagaimana dampak ketika kita terus menerus berkiblat pada bahasa inggris? Saya kira di sinilah letak yang kurang arif itu. Di mana bahasa nasional dan bahasa daerah akan semakin terdegradasi keberadaannya, ketika bahasa Inggris terus dijadikan acuan pemakaiannya. Lambat laun bahasa Indonesia dan bahasa daerah akan semakin tidak menarik untuk dipakai. Dan semua orang akan berbondong-bondong berbahasa Inggris --sehingga lebih akrab di telinga kita ketimbang bahasa daerah dan bahasa nasional kita.

Meminjam istilah Nyoman Kutharatna (2010), hal ini tidak terlepas dari apa yang disebut dengan wacana globalisasi. Terma glokalisasi menuntun setiap budaya (bahasa) global untuk dilokalkan. Dalam konteks ini, tentu saja bahasa Inggris sebagai produk global akan dipaksakan menjadi produk lokal melalui intensitas pemakaiannya.

Begitu pun pada wajah dunia pendidikan Indonesia saat ini. Entah kenapa, bahasa Inggris selalu menjadi acuan bagi peradaban yang lebih baik. Memang benar, saya pun tak memungkiri peran vital bahasa Inggris dalam masa kekinian. Bahasa Inggris menjadi bahasa yang menjembatani perkembangan ilmu pengetahuan dengan dunia luar. Namun akan sangat ironis, jika kita condong pada bahasa Inggris tapi kurang pengetahuan tentang bahasa daerah dan nasional kita.

Kebijakan kurang bijak

Gejala ini banyak menuntut semua orang untuk bisa berbahasa Inggris dengan acuannya nilai besar TOEFL. Sebuah kebijakan pemerintah yang kurang tepat dalam konteks keindonesiaan, karena semua tuntutan untuk bisa dan mengerti bahasa Inggris diberlakukan, namun banyak orang yang masih lemah pengetahuan bahasa Indonesianya. Masih banyak kosakata bahasa lokal yang tak diketahui. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa pendidikan bahasa lokal bisa dibilang gagal. Sikap latah bangsa kita yang selalu ingin meniru gaya luar yang berbahasa inggris dalam keseharianya, tak dibarengi dengan pengetahuan kebahasaan daerah dan nasional.

Dalam dunia pendidikan sekarang ini, kehadiran bahasa lokal (baca: daerah) seolah masih dipandang sebelah mata. Dalam kurikulum sekolah, bahasa daerah masih menjadi hal yang asing di rumahnya sendiri. Ini dampak dari sepinya penggunaan bahasa itu oleh para penuturnya --terutama kalangan muda-mudi. Mungkin karena dalam dunia pendidikan dan pembelajaran bahasa daerah belum terlalu intens. Akibatnya rasa kepemilikan (sense of belonging) siswa terhadap bahasa ibunya menjadi semakin berjarak. Sehingga bahasa daerah menjadi tidak enak digunakan oleh lidah penuturnya. Lambat laun jika hal ini terus terjadi, maka akan mengakibatkan bahasa daerah semakin terkikis ekistensinya.

Khususnya di sekolah RSBI, yang bahasa pengantarnya berbahasa Inggris, intensitas penggunaan bahasa lokal khususnya bahasa daerah akan semakin terkikis. Pola komunikasi yang terjalin antara guru dan murid, terus menerus dengan bahasa Inggris, sehingga kedekatan yang terjalin secara kultural kedaerahan itu tak nampak, yang ada hanya sebuah jarak.

Standardisasi RSBI

Dampak psikologis yang terjadi ialah ketika si murid yang secara kebahasaan kurang mampu berbahasa Inggris akan cenderung lebih pasif dan tertutup. Begitu pun ketika dalam kegiatan belajar mengajar. Aktivitas yang disokong dengan bahasa Inggris akan menimbulkan berbagai kemungkinan penafsiran. Karena saya yakin kemampuan berbahasa Inggris setiap murid tidak sama, maka kemungkinan untuk salah tafsir tentang apa yang dikatakan guru itu akan ada. Maka jika terjadi salah pemahaman, bukan kemajuan ilmu yang didapat, tapi hanya akan menjadi statis dan jalan di tempat karena kendala bahasa yang cenderung dipaksakan itu.

Seperti yang dikatakan oleh Djoko Subinarto, standardisasi sekolah internasional itu bukan ditentukan oleh bahasa pengantarnya, namun oleh kurikulum yang dipakai sebuah sekolah. Saya pikir pemaksaan dengan bahasa Inggris sebagai pengantar seolah membentuk sebuah ego citraan belaka. Karena dengan banyaknya para pengguna bahasa Inggris di sekolah bukan indikator penting kualitas kajian keilmuannya, namun sejauhmana keilmuan yang dipelajari, bisa dipahami dengan optimal dan tentunya diaplikasikan untuk kemajuan bangsa.

Menjadi hal yang penting untuk kita mempelajari bahasa Inggris. Namun harusnya hal itu dibarengi dengan kesadaran akan nilai lokalitas yang sudah tertanam dalam diri kita. Akan menjad bijak, jika kita mampu berbahasa Inggris dalam rangka menjembatani perkembangan ilmu pengetahuan dunia,lalu menerapkannya ke dalam kultur lokalitas kita, tanpa harus tercerabut dari identitas kebangsaan kita.
(Awan William, penulis lepas, aktivis Go Netika Studies Bandung)**
Galamedia
kamis, 06 september 2012 01:08 WIB
Oleh : AWAN WILLIAM

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment