-

Saturday, September 15, 2012

Merenungkan Kembali Kebhinekaan Indonesia



Sejak Negara Republik Indonesia merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan kalimat Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan pada lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak zaman Kerajaan Majapahit sudah dipakai sebagai moto pemersatu Nusantara.

Semboyan itu pulalah yang menjadikan bangsa Indonesia dikenal di dunia internasional sebagai bangsa yang majemuk, dalam membina dan membangun kehidupan nasional di berbagai bidang. Namun saat ini semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diartikan "meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu" ini tampaknya sudah mulai luntur bagi masyarakat Indonesia.

Kita melihat begitu banyak konflik bersifat anarkis yang terjadi ditengah-tengah masyarakat saat ini, semakin menegaskan bahwa semboyan tersebut hanya menjadi simbol belaka. Tidak tercermin dalam praktiknya. Masyarakat Indonesia seperti kehilangan karakter dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengalami degradasi jati diri yang menyebabkan ketahanan dan keutuhan bangsa juga terancam. Jika dibiarkan terus, akan menciptakan penyakit sosial yang pada akhirnya merugikan seluruh masyarakat Indonesia.

Menurut Hertz dalam bukunya Nationality in History and Politics (1951), ada empat unsur nasionalisme. Yaitu, hasrat untuk mencapai kesatuan, hasrat untuk mencapai kemerdekaan, hasrat untuk mencapai keaslian, dan hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa. Maka dapat kita simpulkan, makna nasionalisme bisa dianggap sebagai manifestasi kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan pendorong bagi suatu bangsa, baik untuk merebut kemerdekaan atau mengenyahkan penjajahan. Juga sebagai pendorong untuk membangun dirinya maupun lingkungan masyarakat, bangsa dan negaranya.

Saat ini perjuangan untuk merebut kemerdekaan atau mengenyahkan penjajahan secara harfiah memang sudah tidak tepat lagi. Karena sebagai sebuah negara yang berdaulat, sudah tentu kita telah merdeka dan bebas dari penjajahan negara mana pun. Namun, bila kita melihat lebih teliti apa yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini, seakan-akan kemerdekaan itu telah terusik. Sebagai contoh adalah kemerdekaan dalam kebebasan beragama dan kemerdekaan dalam mendapatkan penghidupan yang layak.

Padahal sejatinya, para pendiri bangsa membangun bangsa ini atas dasar prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Akan tetapi, apa yang telah mereka tanam sebagai fondasi telah memudar. Krisis karakter bangsa yang dialami saat ini disebabkan oleh kerusakan individu-individu masyarakat yang terjadi secara kolektif, sehingga terbentuk kebiasaan yang telah menginternalisasi sanubari masyarakat Indonesia.

Sangat disayangkan, bangsa yang seharusnya dapat menjadi sebuah bangsa yang besar dan disegani di dunia internasional, perlahan-lahan hancur karena ulah manusianya sendiri. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan menghalalkan segala cara. Padahal seharusnya didahululan kepentingan bangsa dan negara dengan tetap mengedepankan nasionalisme dan menjunjung serta mengamalkan konsep Bhinneka Tunggal Ika.

Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan warisan nenek moyang kita dalam tata nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Dalam perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dengan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya, aktivitas mengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya.

Kearifan lokal itu tentu tidak muncul serta merta. Tetapi melalui proses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka. Keterujiannya dalam sisi ini membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan masyarakat. Dalam bingkai kearifan lokal ini, masyarakat bereksistensi, dan berkoeksistensi satu dengan yang lain.

Rekonstruksi kearifan lokal sangat perlu untuk dilakukan. Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya kembali pada jati diri mereka melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya mereka. Dalam kerangka itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal. Misalnya, keterbukaan dikembangkan dan dikontekstualisasikan menjadi kejujuran.

Kemudian kehalusan diformulasikan sebagai keramahtamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi dan demikian seterusnya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu.

Inilah yang dapat dijadikan sebagai modal untuk dapat menumbuhkan kembali kejayaan Indonesia. Diperlukan kerja sama antarseluruh elemen masyarakat, tanpa ada kerja sama dan keinginan yang kuat dari masyarakat itu sendiri, mustahil hal tersebut dapat terlaksana dengan baik. Garuda tidak akan pernah bisa terbang tinggi jika hanya menggunakan satu sayap.
(Penulis, mahasiswa hukum Universitas Padjadjaran)**
Oleh : MU'AMAR WICAKSONO
Galamedia
senin, 10 september 2012 00:46 WIB

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment