-

Friday, October 12, 2012

Cegah Trafficking dari Sekolah

"KITA harus mempunyai komitmen untuk memerangi kejahatan perdagangan manusia". Demikian kalimat yang disampaikan Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat, Netty Heryawan dalam kampanyenya memerangi perdagangan manusia (human trafficking) (Galamedia, 2/9). Sebelumnya dalam PR (1/9) ia menyatakan bahwa anak remaja usia 14-15 tahun pulang dalam keadaan hamil. Ini mengerikan bagi perjalanan bangsa ke depan. Makanya, kita dorong terus angka rata-rata lama sekolah anak-anak.

Usia 14-15 merupakan usia sekolah, kurang lebih antara kelas VIII dan kelas IX SMP. Kalau masuk SD-nya berusia enam tahun berarti usia 15 tahun sekitar kelas XI SMA. Dengan demikian, usia tersebut masa-masa menimba ilmu, mengenyam pendidikan di tingkat SLTP dan SLTA.

Namun, kenyataan membuktikan bahwa tidak semua usia tersebut masih berada di bangku sekolah. Berbagai sebab menggiringnya untuk meninggalkan bangku sekolah atau tidak dapat mengenyam bangku pendidikan ke jenjang berikutnya. Salah satu sebabnya karena faktor ekonomi. Terlebih karena bukan saja orang tuanya tidak mampu membiayai sekolahnya, tetapi juga orang tuanya mendorong dirinya untuk meninggalkan bangku sekolah untuk mendapatkan rupiah.

Permasalahan putus sekolah sebenarnya bukan hal baru. Namun, agak miris kalau saat ini masih banyak yang putus sekolah untuk tingkat SD dan SLTP karena pemerintah telah menganggarkan adanya dana bantuan operasional sekolah (BOS). Ya, ternyata permasalah pendidikan sangat kompleks, tidak hanya biaya sekolah saja. Di antaranya kondisi keluarga siswa turut menentukan. Dengan demikian, perlu adanya integritas pemahaman yang sama dari orang tua untuk mendukung anaknya bersekolah.

Ketika anak putus sekolah, baik usia SD, SMP, atau SMA sebenarnya sangat riskan. Tidak sedikit akibat anak putus sekolah menimbulkan beban dan penyakit masyarakat. Walau pun anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Namun, lihat saja misalnya, kita sering melihat anak-anak usia sekolah berada di setopan lampu merah sekedar untuk menerima belas kasih pengendara bermotor. Mereka mengaharap rupiah dengan berbagai cara, di antaranya dengan memukul-mukulkan sepotong kayu kecil yang telah ditempeli beberapa tutup botol ke tangannya sambil bernyanyi yang tak jelas; atau seorang anak yang masih usia SD menggendong balita berkeliling menengadahkan tangan ke pengendara bermotor, dan sebagainya.

Di sisi lain, putus sekolah mendorong peningkatan human trafificking atau penjualan orang. Dari beberapa kasus didapati bahwa tidak sedikit remaja usia sekolah yang tergiur oleh iming-iming penghasilan kerja yang lumayan besar. Akhirnya, sekolah pun ditinggalkan untuk bekerja. Terlebih, bagi yang telah putus sekolah terlebih dahulu, ajakan tersebut merupakan angin surga. Yang padahal pekerjaan yang diterima ternyata tidak sesuai dengan yang dijanjikan semula. Hal itu tentu berdampak buruk bagi perkembangan jiwa remaja tersebut. Melihat fenomena tersebut, ada benarnya apabila Linda Amalia Sari Gumelar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2&PA), mengatakan bahwa perda gangan orang kebanyakan diakibatkan kemiskinan dan pendidikan yang rendah. Selain itu, gaya hidup instan yang dikejar kalangan remaja.

Inilah dua hal utama yang perlu diwaspadai orang tua dan pihak sekolah. Selanjutnya keduanya dapat bekerja sama untuk terus memotivasi siswa agar bersemangat mengikuti pelajaran di sekolah sekaligus agar tidak putus sekolah. Sebab pada dasarnya, siswa berada di sekolah untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) kurang lebih hanya delapan jam dari 24 jam sehari-semalam. Sisanya, lebih banyak di rumah atau di tempat pergaulannya di luar sekolah. Dengan demikian, selepas siswa mengikuti KBM di sekolah, peran orang tua sangat diperlukan untuk mengawasi dan membimbingnya.Termasuk, mengetahui arah dan model pergaulan anaknya sehingga dapat mengarahkan ke pergaulan yang lebih baik dan bermanfaat.

Selain itu, orang tua dan pihak sekolah memberikan arahan pada siswa untuk menghidari budaya instan yang membahayakan. Di antaranya agar siswa tidak mudah terbujuk mengikuti gaya hedonisme yang menyesatkan. Ketiga, rembug dengan orang tua dan pihak yang terkait untuk mencegah terjadinya siswa yang putus sekolah.

Selain hal di atas, tentu faktor agama tak dapat diabaikan. Sebenarnya itu merupakan benteng utama yang semestinya dimiliki siswa. Untuk itu, siswa selain mendapat wawasan dan ilmu agama di sekolah, juga selayaknya untuk gemar mengaji di masjid, musala, atau majlis taklim yang berada di lingkungan rumahnya. Sementara ini, anak-anak gemar mengaji kebanyakan sampai usia SD. Ketika mereka menginjak SMP atau SMA sudah enggan lagi mengikuti pengajian. Hal ini tentu sebenarnya mesti menjadi bahan pemikiran orang tua dan pihak sekolah. Oleh sebab itu, perlu terjalin komunikasi yang baik antara orang tua, pihak sekolah, dan pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) atau pesantren. Paling tidak melalui buku penghubung.

Berkaitan dengan hal itu, Allah swt telah mengingatkan kita di dalam Alquran. Di antaranya dalam Alquran surah Thaha ayat 123-124, "Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta."

Rasulullah saw bersabda, "Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku." (HR. Abu Hurairah).

Dengan beberapa ikhtiar di atas, sebenarnya kita pun berarti telah turut mendukung pemerintah dalam memerangi penjualan orang, sebagaimana pemerintah telah mengeluarkan Perpres No. 69/2009 untuk melawan dan memberantas perdagangan orang dan anak.
(Penulis, guru di lingkungan YPP Darul Falah, Cihampelas, Bandung Barat)**
Galamedia
senin, 08 oktober 2012 01:31 WIB
Oleh : ASEP JUANDA

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment