-

Sunday, October 07, 2012

Kearifan Lokal di Era Digital

KITA tahu, Indonesia dihuni berbagai latar etnik. Di negeri tercinta ini, ada sekitar lebih dari 17.500 pulau, 400 bahasa lokal, dan 600 etnis. Apabila dikelola secara baik, tentu saja akan menjadi kekuatan besar untuk membangun bangsa. Namun di tengah perkembangan zaman, setiap generasi bermetamorfosa, baik secara kultural, sosial, filsafat, dan pandangan hidup.

Indonesia masih menyisakan narasi kultural yang diwakili masyarakat Indonesia yang kukuh dengan warisan falsafah hidup lokal. Mereka berada di pelosok-pelosok desa yang tidak ngeh dengan kebudayaan dari luar. Biasanya, komunitas seperti ini terdapat di lingkungan masyarakat adat, kampung yang jauh jaraknya dengan perkotaan, dan jika dekat dengan kota, mereka punya peraturan ketat untuk terus kukuh terhadap adat-istiadat.

Selain itu, di negeri kita juga masih menyisakan narasi kultural yang diwakili kalangan muda Indonesia yang telah "melek" dengan kebudayaan dari luar. Generasi muda Indonesia ini, lahir sebagai etnik Indonesia, hidup di wilayah yang banyak dihuni beragam kebudayaan, hingga membentuk pola pikir yang plural dan melahirkan laku yang menjauh dari adat-istiadat keindonesiaan. Mereka, biasanya, berasal dari pelajar sekolah, mahasiswa, dan kaum tua "gila" dengan ideologi kapitalisme yang dibawa arus globalisasi, yang terbujuk rayu globalisasi hingga meminggirkan nilai-nilai lokal dalam hidup kesehariannya.

Bumi pertiwi ini juga masih dihuni masyarakat pada narasi kultural yang menyisakan kerinduan terhadap identitas kultural aslinya, tanpa terperangkap pada konsumerisme buta. Mereka memiliki pola pikir yang sama dengan generasi Indonesia plural, karena melek dengan perangkat globalisasi (seperti HP, internet, video digital, komputer, note book, dll); tapi punya kekhasan kultural seperti yang dipegang secara kukuh oleh masyarakat adat.

Narasi kultural yang ketiga inilah yang kita butuhkan eksistensinya di era kini. Istilah sosiologis untuk menyebut narasi ketiga ini --mengutip pendapat sosiolog kontemporer Roland Robertson (1992)-- ialah masyarakat glokal (global and local); berpikir global bertindak lokal. Secara sosiologis, mereka melakukan sebuah gerakan kultural dengan cara memanfaatkan perangkat atau produk globalisasi untuk mengeksiskan identitas lokalitas, seperti menulis di website, blog, dan media sosial di internet, dengan konten kebudayaan lokal. Gerakan ini sangat penting bagi bangsa Indonesia agar memicu lahirnya kekuatan bangsa. Karena perkembangan teknologi --seperti kehadiran komputer dan internet-- menjadi keniscayaan dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dalam mengeksiskan eksistensi etnik kultural di Indonesia kepada dunia.

Kreasi berbasis teknologi tanpa melupakan jati diri lokalitas warga menjentik kita, jangan melupakan keaslian jati diri bangsa. Kuntowijoyo (Budaya dan Masyarakat, 2006: 6), berpendapat dalam budaya kita akan ditemukan adanya tiga komponen pokok, yaitu lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya (norma-norma). Lembaga budaya menanyakan siapa penghasil produk budaya, pengontrol, serta bagaimana kontrol itu dilakukan. Isi (substansi) budaya menanyakan apa yang dihasilkan atau simbol-simbol apa saja yang diusahakan. Sementara itu, efek budaya menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan.

Kini kebudayaan digital seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Hampir setiap lorong kehidupan manusia ter-digitalisasi hingga menciptakan ruang penuh keterasingan diri dari realitas sosial. Saat ini, kita sedang menghadapi wabah kecanduan perangkat yang mampu menghadirkan informasi secara digital. Kehadiran gadget super cerdas seperti Ipad, Iphone, Blackberry, dan Apple iBooks, menciptakan kebudayaan berkomunikasi baru pada sebagian masyarakat melek informasi. Tak hanya itu, merebaknya jejaring sosial facebook dan situs microblogging Twitter juga menginisiasi gaya manusia modern ketika mencari informasi untuk menambah wawasan.

Fenomena ini melahirkan semacam digitalisasi ide-ide yang dapat membangun kolektivitas bangsa oleh masyarakat melek informasi, melalui perangkat teknologi sebagai gudang mencari informasi. Isu-isu lokal kedaerahan di era digital ini pun dapat disebarkan secara massif. Dalam dunia pewayangan, kita selalu menemukan "pertarungan dahsyat" antara Pandawa dan Kurawa, yang sebetulnya mimesis sikap kita terhadap arus kapitalisme yang dilakukan masyarakat pada narasi kultural yang ketiga (globalisasi). Konfigurasi tokoh serupa Semar, merupakan petanda pentingnya kearifan dan kebijaksanaan dalam menyikapi perkembangan zaman.

Falsafah hidup warga -- yang kini sedang berada di alam teknologis baru -- sangat mendesak dihadirkan di aras kebudayaan digital. Eksistensi media-media baru merupakan tempat yang begitu cocok untuk dijadikan kanal informasi ikhwal kearifan hidup ketika berbangsa dan bernegara. Bangsa yang terdiri dari aneka ragam suku, agama, status sosial, dan kepercayaan berbingkai spiritualitas agama dan kearifan lokal, mesti dijadikan modal atau kekuatan.

Mengkaji ulang warisan budaya adalah sebuah keniscayaan, apalagi dalam konteks kekinian, Indonesia diklaim sebagai salah satu negara yang tingkat kekerasannya terbilang tinggi. Setiap warga sejatinya aktif menanggulangi persoalan kekerasan, misalnya teror, pemiskinan struktural, dan impor bahan pokok dengan memanfaatkan kebebasan berpendapat di dunia maya. Kita tidak mengharapkan kerawanan sosial menggejala ke permukaan. Dan, kita berharap pada internet --melalui akses digitalnya-- dapat menyebarkan pemahaman toleran atas perbedaan yang niscaya hadir di Indonesia.
(penulis, adalah blogger dan pegiat media sosial)**
Oleh : Sukron Abdilah
Galamedia
kamis, 04 oktober 2012 01:14 WIB

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment