-

Friday, November 30, 2012

Memuliakan Anak Yatim

Siang itu, di salah satu sudut Kota Madinah, sejumlah anak sedang asyik bermain. Semuanya mengenakan pakaian baru dan sangat gembira. Hari itu bertepatan dengan Idul Fitri. Di belakangnya, seorang anak tampak bersedih.

Seorang lelaki dengan penuh saksama memerhatikan mereka, tak terkecuali anak yang bersedih itu. Lelaki ini pun mendekatinya, kemudian bertanya, “Wahai ananda, mengapa engkau tak bermain seperti teman-temanmu yang lainnya?”

Dengan berurai air mata, ia menjawab, “Wahai tuan, saya sangat sedih. Teman-teman saya gembira memakai pakaian baru, dan saya tak punya siapa-siapa untuk membeli pakaian baru.”

Lelaki ini kembali bertanya, “Kemanakah orang tuamu?” Anak kecil ini menuturkan ayahnya telah syahid karena ikut berperang bersama Rasulullah. Sedangkan ibunya menikah lagi, sedangkan semua harta ayahnya dibawa serta, dan ayah tirinya telah mengusirnya dari rumah.

Lelaki ini pun kemudian memeluk dan membelainya. “Wahai ananda, mau engkau kalau saya menjadi ayahmu, Aisyah sebagai ibumu, dan Fatimah jadi saudarimu?”

Anak kecil itu pun tampak sangat gembira. Lelaki itu lalu membawa anak itu ke rumahnya, dan memberikan pakaian yang layak untuknya.

Beberapa saat kemudian, anak itu kembali menemui teman-temannya. Ia tampak sangat bahagia dengan pakaian yang lebih baru. Menyaksikan hal itu, teman-teman sebaya heran dan bertanya-tanya. “Kemarin aku lapar, haus, dan yatim. Tetapi sekarang aku bahagia, karena Rasulullah SAW menjadi ayahku. Aisyah ibuku, Ali adalah pamanku dan Fatimah saudariku. Bagaimana aku tak bahagia,” ujarnya.

Setelah mendengarkan perubahan itu, giliran teman-temannya yang bersedih. Mereka iri dengan anak itu, karena kini lelaki yang membawanya telah menjadi orang tua asuhnya yang tak lain adalah Rasulullah SAW.

Ketika Rasulullah SAW wafat, anak itu kembali menangis dan bersimpuh di atas pusara Rasul SAW dengan berlinang air mata. “Ya Allah, hari ini aku menjadi yatim yang sebenarnya. Ayahku yang sangat mencintaiku sudah tiada. Apakah aku harus hidup sebatangkara lagi?”

Mendengar hal itu, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq menghampirinya sambil membujuk dan memeluknya. “Akulah yang akan menjadi pengganti ayahmu yang sudah tiada.” (Diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA).

Kisah ini memberikan pelajaran bahwa menyantuni, memelihara, dan mengasuh anak yatim merupakan tanggung jawab kita semua. Kita berkewajiban untuk memberinya makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang layak, serta pendidikan yang memadai hingga mereka dewasa.

Rasulullah SAW adalah teladan umat manusia. Beliau sangat mengasihi dan menyayangi anak-anak yatim. Dalam salah satu sabdanya, Rasul menjelaskan, bahwa kedudukan orang yang memuliakan, menyantuni dan mengasihi anak yatim, akan mendapatkan surga yang jaraknya bagaikan jari telunjuk dan jari tengah.

Rasul SAW sangat membenci orang-orang yang menelantarkan anak yatim. Dalam Alquran, Allah SWT mengecam orang-orang yang suka menghardik anak yatim, dan enggan memberi makan fakir miskin. Allah menyebut mereka itu sebagai pendusta agama. (QS al-Ma’un [105]: 1-5). Wallahu a’lam.
Oleh: Syahruddin El-Fikri

sumber : www.republika.co.id

Thursday, November 29, 2012

Titik Pusat Cinta

CINTA kepada Allah SWT merupakan landasan untuk semua bentuk cinta. Untuk umat Islam, semua bentuk cinta harus ditempatkan di bawah cinta kepada Allah. Oleh sebab itu, siapa pun yang ingin dicintai, hendaklah dia mencintai Allah sehingga dia bisa mencintai apa yang dicintai-Nya dan membenci apa yang dibenci-Nya. Dalam benci itu terdapat cinta dalam pengertian, jika seseorang membenci sesuatu karena Allah pun membencinya, maka Allah akan mencintainya. Dengan cinta terhadap perintah dan benci pada larangan Allah yang didasarkan pada cintanya kepada Allah, berarti dia telah menjadi seorang yang taat dan tunduk kepada-Nya.

Seorang pencinta, hatinya pasti terpaut kepada kekasihnya, yaitu Allah ta'ala. Kemudian melaksanakan semua perintah dan menghindar dalam batas-batas yang telah ditetapkan-Nya, sebab dia mengakui bahwa Allah-lah yang menciptakan dan membuat dirinya menjadi ada serta menciptakan cinta, kesempurnaan, keindahan, keagungan, dan kemuliaan.

Allah menghendaki hamba-Nya saling mencintai di dalam cinta kepada-Nya, dan saling terikat satu sama lainnya. Dengan demikian, mereka akan cinta-mencintai, akan merasa tenang dan bahagia dalam limpahan cinta serta anugerah-Nya. Seterusnya Allah akan mengangkat jiwa mereka dan melimpahkan anugerah iman dengan membenarkan nubuwat para nabi dan para rasul-Nya, membenarkan kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, dan hari akhir dan yang darinya memancarkan berbagai aspek cinta, sampai dia masuk ke dalam perhambaan dan keimanan yang mendalam.

Memang betul bahwa terdapat cinta lain yang dibenarkan syara, yakni cinta kepada makhluk Allah, baik jenis manusia maupun jenis lainnya. Akan tetapi, cinta ini adalah cinta yang nisbi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sebab segala sesuatu selain Allah tidak boleh dicintai melebihi cintanya kepada Allah.

"Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang disukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya" (Q.S. At-Taubah: 24).

Dari penjelasan tersebut, kita dapat memahami bahwa semua sarana dan media itu mengantarkan kita untuk mencinta Allah, sebab cinta kita kepada Allah sesuai dengan perintah-Nya. Dari sini terungkap bahwa cinta yang dimiliki oleh hamba yang mencintai Allah yang ditempatkan dalam lingkaran keimanan, akan membentuk pedoman hidup yang akan memandu tindakan, pikiran, dan kesadaran menuju perintah Allah.

Ia akan menghangatkan qalbu orang yang mencintai Allah dengan nyala iman dan cinta, membimbing hatinya menuju amal yang baik sehingga dia bisa menjadi penunjuk jalan saat dia berpikir dan menalar, menjadi petunjuknya pada saat dia bekerja dengan tangan dan raganya, serta menjadi pembimbing saat dia bergaul dengan saudara-saudaranya sesama umat Islam. Dengan demikian, terbentuklah suatu umat yang hidup saling mencintai.

Cinta kepada Allah merupakan titik pusat dalam penyucian jiwa dari berbagai cela dan noda duniawi. Oleh sebab itu, cinta kepada Allah memiliki beberapa syarat berdasarkan syara, yang wajib dipenuhi agar cinta kepada Allah itu menjadi cinta murni. Maka dari itu, kalbu seorang yang beriman tidak memiliki dua bentuk loyalitas yang saling bertolak belakang, sebagaimana difirmankan oleh Allah, "Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua kalbu dalam rongga dadanya." (Q.S. Al-Ahzab: 4).
(Penulis, Dosen STAI Sabili dan Dosen LB FIB Universitas Padjadjaran)**
Galamedia
jumat, 19 oktober 2012 00:55 WIB
Oleh : Edi Warsidi

Wednesday, November 28, 2012

Mengenal Watak Hawa Nafsu

WATAK hawa nafsu adalah tabiat yang melekat pada dirinya. Ia tidak muncul kecuali terlebih dulu menampakkan tabiatnya. Adapun watak hawa nafsu itu antara lain condong kepada keburukan, lari dari kebaikan, dan memerintahkan kepada keburukan.

Selain itu, watak hawa nafsu adalah senang malas-malasan, santai, dan menganggur serta larut dalam syahwat, kendati di dalamnya terdapat kecelakaan dan kebinasaan.

Hal ini menjadi watak dari hawa nafsu, karena hawa nafsu merupakan kecenderungan jiwa kepada perkara-perkara yang keji, dosa dan hal-hal lainnya yang diharamkan agama, seperti dikatakan Zulaikha dalam Alquran Surat Yusuf (12) ayat 53.

"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Sebagai seorang yang beriman yang meyakini bahwa hawa nafsu yang terdapat dalam dirinya adalah musuh terbesar dalam hidupnya, maka wajib baginya untuk mengenal watak dari hawa nafsunya.

Ketidaktahuan kita terhadap watak hawa nafsu akan menjadikan kita mudah terpedaya olehnya, dan mudah terperosok ke dalam kubangan hitam hawa nafsu. Akibatnya kita akan mendapatkankan kecelakaan dan kebinasaan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Dalam kitabnya, Raudhatul Muhibin, Ibnul Qayyim berkata, "Sesungguhnya hawa nafsu itu adalah suatu larangan yang dengannya sekeliling neraka jahanam dikitari. Maka barang siapa terjerumus ke dalam hawa nafsu, maka ia terjerumus ke dalam api jahanam."

Ketika kita mampu mengenal watak hawa nafsu, memungkinkan kita untuk dapat mendeteksi sejak dini apabila hawa nafsu mulai menampakkan gejalanya, sehingga kita tidak terperangkap dalam perilaku memperturutkan hawa nafsu dan bersegera memeranginya serta bertekad, mengatasi seluruh perjuangannya melawan hawa nafsunya.

Oleh karena itu, bila watak hawa nafsu ini muncul dalam diri kita, hendaknya kita mengembangkan sifat yang baik dan mengendalikan nafsu buruk, bahkan menghindarinya dengan tidak memanjakan dan berlatih untuk menundukkannya dengan melawan seluruh kesulitannya.

Jika hawa nafsunya menyukai kehidupan santai, maka ia membuatnya lelah. Jika hawa nafsunya menginginkan syahwat, maka ia melarangnya. Jika dirinya tidak serius dalam ketaatan, dan kebaikan, maka ia menghukumnya, dan memarahinya, kemudian mewajibkannya mengerjakan apa yang tidak ia kerjakan dengan serius, mengganti apa yang ia sia-siakan dan ia tinggalkan.

Akhirnya, mari kita renungi sabda Rasulullah saw, sebagai bahan pijakan bagi kita untuk senantiasa mewaspadai hawa nafsu, sehingga kita tidak memperturutkan keinginan hawa nafsu sebagaimana sabdanya, "Sesungguhnya perkara yang paling aku takutkan terhadap kalian adalah menuruti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Adapun menuruti hawa nafsu dapat menghalangi dari kebenaran, sedangkan panjang angan-angan artinya sama dengan mencintai dunia." (H.R. Ibnu Abi Dunya). Wallahualam.
(Penulis, Ketua DKM Al-Hikmah RW 7 Sarijadi Bandung)**
Galamedia
jumat, 23 november 2012 00:06 WIB
Oleh : H. Moch. Hisyam

Tuesday, November 27, 2012

Banyak Buku, Sedikit Waktu

ADA dua kisah menarik yang patut diteladani untuk menangani masalah sempitnya waktu untuk membaca buku. Kedua kisah itu sangat bermanfaat ketika kita harus menghadapi buku-buku yang seabrek-abrek telah dikoleksi. Baik buku cetak maupun buku elektronik.

Saya pun menghadapi masalah yang sama. Buku cetak yang berhasil saya koleksi hampir dua ribu judul jumlahnya. Tersimpan di dua tempat. Di rumah, di Cikancung, Kabupaten Bandung, dan sebagian lagi tersimpan dalam tujuh rak bambu di Cibiru, Kota Bandung, di kamar kontrakan.

Sementara koleksi buku elektronik saya, hasil bergelut dengan internet, sejak tahun 2006 hingga sekarang, ada sekitar sepuluh ribu judul. Buku-buku elektronik itu tersimpan dalam puluhan bahkan ratusan keping cakram digital, berupa CD-R maupun DVD-R.

Buku-buku tersebut, memang tidak terbaca semuanya. Ada yang barangkali hanya dibaca sekilas-sekilas. Ada yang sekadar untuk memeroleh informasi dari buku tersebut. Namun banyak juga buku yang dibaca serius, dari awal hingga akhir, bahkan diulang-baca beberapa kali, agar pemahaman lebih mendalam.

Namun selama membaca, kadang rasa malas hinggap. Juga, waktu baca kadang kurang cukup, karena berbagai hal "mengganggu". Karena pekerjaan dan kegiatan lain banyak menyita perhatian. Namun, tetap saja tidak menghilangkan kewajiban untuk membaca buku. Saya merasa berdosa, bila buku yang berhasil dikumpulkan tidak terbaca.

Untuk mengatasi hal ini, dua kisah yang saya baca barangkali bisa menjadi semacam motivasi lebih untuk bertaut dengan buku. Kisah Sir William Osler (1849-1919) dan Sara Nelson, yang pandai memanfaatkan waktu untuk membaca buku. Pengalaman mereka bergelut dengan buku dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, sungguh menarik.

William Osler dikenal sebagai salah seorang ikon pengobatan modern dan dianggap Bapak Pengobatan Moderm. Selain itu, dia dikenal juga sebagai penulis dan penggila buku. Dia mendonasikan koleksi bukunya kepada McGill University, yang menjadi koleksi inti Osler Library yang berada di lingkungan McGill University dan dibuka pada 1929.

Sebagai penggila buku, Osler beraforisme, "Lebih mudah membeli buku daripada membacanya, dan lebih mudah membacanya daripada menyerap isinya". Satu lagi, sebagai dokter sekaligus penggila buku dia berujar, "Untuk mempelajari penyakit tanpa bantuan buku sama saja dengan melayari lautan yang tak terpetakan, sementara mempelajari buku tanpa pasien sama artinya tidak melaut sama sekali".

Namun yang lebih penting dia kukuh mengatur waktu untuk buku. Caranya? Menyempatkan 15 menit sebelum tidur atau kegiatan apapun. Sepanjang hayatnya, kebiasaan itu tetap dipertahankan. Bahkan, akhirnya, menjadi semacam kecanduan bila tidak membaca buku dahulu. Ya, intinya, dia memanfaatkan kesempatan apa saja setiap hari untuk membaca. Sesibuk apapun, membaca buku tetap menjadi tuntutan diri.

Lain lagi pengalaman Sara Nelson. Pekerjaannya sangat dekat dengan kegiatan tulis-menulis. Dia pernah bekerja di Glamour Magazine, kolumnis untuk The New York Observer, editor di The Book Publishing Report, dan lain-lain. Tahun 2003, terbit bukunya So Many Books, So Little Time: A Year of Passionate Reading. Isinya, campuran antara memoar dan kisah kehidupan sehari-hari, kala menjelajahi dunia pustaka dan kata bertaut yang bertaut dengan mengurus anak, perkawinan, perkawanan, dan lain-lain.

Di sini, dia menggambarkan caranya menyempatkan baca buku, di antara beragam identitas yang menuntut keterlibatannya. Dia merenungkan pengalaman selama membaca buku. Dan pada tataran praktisnya, dia menawarkan solusi. Dia membikin sistem untuk mendisiplinkannya baca buku. Caranya, membuat daftar buku yang hendak dibaca namun selalu tak sempat dilakukannya, atau diselesaikannya. Ia mendaftar buku wajib baca sebanyak 52 buku dalam 52 minggu, atau rata-rata seminggu satu buku selama setahun.

Cara membacanya? Kapan pun, di mana pun, ketika ada senggang atau luang. Sara mencontohkan: Ketika anaknya bermain bersama Little League, dia membaca dua buku tentang baseball. Saat buntu menulis, dia membaca kembali Bird by Bird karya Anne Lamott. Begitu pun dengan momen-momen lainnya, dia selalu memanfaatkannya dengan membaca buku.

Selain itu, ada kutipan yang menarik terkait ajakan kepada orang agar membaca buku. Dari latar belakang perkawinannya, Sara menikah dengan keturunan Jepang-Amerika, Akira Leo Yoshimura, yang tidak suka membaca buku. Oleh karena itu, Sara menyatakan, "Menjelaskan momentum hubungan antara pembaca dan buku kepada yang tak pernah berpengalaman membaca sama artinya menjelaskan hubungan intim kepada perawan".

Namun, tetap saja ada yang ditekankan Sara. Ia menyatakan, "Kau harus mengepung dirimu dengan buku-buku dan membiarkan buku-buku itu menemukan dirimu." Ini tentu saja muncul dari keyakinannya untuk selalu membeli buku yang menarik minatnya, karena katanya, "... Belilah apa pun yang kau mau dan tidak usah terlalu memikirkannya. Kemudian lihatlah di mana tempatnya yang cocok."
(Penulis bergiat di Pusat Studi Sunda/ PSS)**
Galamedia
jumat, 09 november 2012 01:13 WIB

Oleh : ATEP KURNIA

Monday, November 26, 2012

Hati yang Pemaaf

Pada saat Perang Uhud, kaum Muslim banyak yang gugur, bahkan wajah Rasulullah terluka tersayat pedang. Darah bercucuran dan satu gigi beliau tanggal terkena tombak musuh.

Pada saat itu, ada sebagian sahabat yang berkata, “Ya Rasulullah, berdoalah untuk kebinasaan orang-orang musyrik.”

Dengan suara lirih menahan rasa sakit, beliau menjawab, “Tidak, aku bukan tukang laknat. Sesungguhnya aku diutus sebagai pembawa rahmat.” (HR Muslim)

Ketika Rasulullah berdakwah di Thaif, beliau disambut dengan lemparan batu. Akibatnya, sekujur tubuhnya bersimbah darah. Beliau berjalan tertatih-tatih menyeret kakinya yang penuh darah dan berlindung di kebun anggur milik Utbah dan Saibah bin Rabi'ah.

Malaikat Jibril merasa iba menyaksikan penderitaan kekasih Allah yang telah dinista. Kemudian Jibril berbisik, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah sudah mendengar apa yang dikatakan kaummu kepadamu dan apa yang mereka lakukan terhadap dirimu. Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung. Agar engkau memerintahkan sesuatu menurut apa yang kau kehendaki.”

Beliau bersabda, “Sungguh, aku berharap bahwa kelak Allah akan mengeluarkan dari mereka anak-anak yang menyembah Allah dan tidak pernah mempersekutukannya.” (HR Bukhari-Muslim)

Betapa berat penderitaan Rasulullah di Thaif. Penderitaan itu terasa sangat menyakitkan, bahkan lebih berat dari yang dialami beliau sewaktu Perang Uhud. Namun, beliau tetap memperlakukan mereka yang telah menganiayanya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.

Peristiwa lain yang sangat spektakuler adalah ketika Rasulullah bersama kaum Muslim memasuki Kota Makkah dan meraih kemenangan (Fathu Makkah). Kaum Quraisy yang telah menganiaya dan membunuh kaum Muslim, hatinya terasa kecut karena takut akan pembalasan Rasulullah.

Namun, Rasul memahami kegelisahan dan kegundahan mereka. Beliau bersabda, “Aku akan mengucapkan apa yang diucapkan oleh saudaraku Yusuf bahwa pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampunimu.” (QS Yusuf: 92).

Berbagai peristiwa yang dialami Rasulullah bukan saja sebuah keteladanan tentang pemaafan dan kebesaran jiwa yang agung, melainkan sebuah pelajaran bagi kita bahwa menyampaikan kebenaran harus diiringi dengan sikap lemah lembut, penuh kasih sayang, dan menjauhi sikap kasar.

“Maka, disebabkan rahmat Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka...” (QS Ali Imran [3]: 159).

Karena keagungan akhlak Rasulullah itu pula, beliau mendapat dua gelar dari Asma Allah, yakni Ro'ufur Rahim, yang berarti penyantun dan penyayang. (QS at-Taubah [9]:128 ).

Sifat pemaaf, penyayang, dan bersikap lemah lembut adalah mutiara akhlak setiap pribadi Muslim. Ibaratnya, bila ada rombongan yang membenci dan dendam datang untuk menginap, seorang Muslim itu akan berkata, “Maaf Tuan, kamar hatiku telah penuh dengan tamu-tamu cinta, tidak ada lagi ruangan kosong yang tersedia di kamar hatiku.” Inilah sikap seorang Muslim yang tidak lain hanyalah menghasilkan untaian cinta. Wallahu a'lam.
Oleh: KH Toto Tasmara

sumber : www.republika.co.id

Sunday, November 25, 2012

Autentisitas Nilai Hijrah

DATANGNYA tahun baru Hijriah mengingatkan umat Islam akan sebuah dinamika dakwah Nabi Muhammad saw dan para sahabat ra. Dinamika ini terbaca dari strategi yang akurat ketika kaum kafirin Quraisy berusaha menjegal, mengintimidasi, dan meneror kaum muslimin yang tengah berusaha memasyarakatkan Risalah Ilahiah. Kenakalan itu tidak lantas dibalas dengan kekerasan, namun "dihindari" dengan membagun sentra baru super kondusif di Madinah. Hingga akhirnya terbentuk peradaban baru yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal.

Strategi akurat itu menjelma menjadi sebuah kekuatan autentik yang mengangkat derajat dan martabat umat Islam dalam masyarakat ideal yang disegani oleh semua kalangan di muka bumi. Autentisitas itu selanjutnya menjadi nadi peradaban yang semakin semakin kokoh saat Khalifah Umar bin Khattab dan kawan-kawan menentukan penanggalan tahun Hijriah secara definitif. Satu Muharam yang ditetapkan sebagai hari pertama tahun Hijriah menyiratkan peristiwa besar yang menjadi tonggak sejarah baru bagi peradaban umat Islam.

Umar beralasan bahwa pada saat itulah, sebuah peristiwa besar yang bersejarah dalam dunia Islam di mulai. Penegakan prinsip-prinsip keadilan, menghargai ilmu pengetahuan, membela hak asasi manusia, membebaskan para budak dan mereka yang tertindas, serta menganjurkan pemerataan kekayaan melalui perintah zakat dan sedekah, telah diwujudkan ketika Nabi hijrah dari Makkah ke Yatsrib tersebut. Aktualisasi atas prinsip-prinsip tersebut di kota Yatsrib, menjadikan kota tersebut beralih nama menjadi Madinah. Karena di kota inilah, deklarasi paradigmatik mengenai cita-cita masyarakat baru yang Qurani terbangun.

Kebangkitan total

Melihat bagaimana signifikansi perkembangan Madinah pasca-hijrah, para ahli sejarah lalu menghubungkan antara hijrah ini dengan kebangkitan umat secara total. Konsep hijrah, lalu tidak saja dimaknai sebagai sebuah perpindahan fisikal semata, melainkan upaya yang hakiki tentang "perubahan" paradigmatik seseorang mengenai sikap dan pola pikirnya. Dalam arti yang sederhana, hijrah tidak dimaknai sebagai "perpindahan dari masa lalu ke masa sekarang" atau dari "satu tempat ke tempat lain", melainkan sebuah "aktualisasi diri". Aktialisasi di sini tidak mengenal "waktu" maupun "tempat", melainkan sebuah "perubahan" yang harus terinternalisasi dalam seluruh segmen kehidupan.

Keniscayaan aktualisasi ini secara tersirat pernah diutarakan oleh Nabi Muhammad saw dalam sabdanya, "Man kaana yaumuhu khairan min amsihi, fahuwa raabih. Wa man kaana yaumuhu mitsla amsihi, fahuwa maghbuun. Wa man kaana yaumuhu syarran min amsihi, fahuwa mal'uun." (Siapa pun yang kualitas hidupnya hari ini lebih baik daripada hari kemarin, ia beruntung; siapa pun yang kualitas hidupnya hari ini sama dengan hari kemari, ia rugi; dan siapa pun yang kualitas hidupnya hari ini lebih buruk daripada hari kemarin, ia terlaknat). (HR Alhakim).

Perubahan ini, meniscayakan akan kemauan yang kuat, kegigihan yang mantap, dan cara pandang yang dinamis. Proses kerja keras dan cerdas ini pula yang senantiasa dimonitor oleh Allah, Rasul, dan kaum muslimin, sebagaimana firman Allah, "Wa qul i'maluu fasayarallaahu 'amalukum wa rasuuluhu wal mu`minuun (Katakanlah, bekerjalah kalian, maka Allah, Rasul-Nya, dan kaum muslimin akan melihat pekerjaan kalian." (Attaubah :105).

Negeri par excellence

Maka, yang patut kita renungkan bersama adalah tatanan Masyarakat seperti apa yang diharapkan Nabi di kota Madinah? Tawaran apa yang dilakukan Nabi di Kota Madinah, sehingga menjadi negeri par excellence? Kata "madinah" yang berarti "kota peradaban", masih seakar dengan kata "al-din" atau "religion", yang mengandung makna ketundukan terhadap suatu hukum ataupun undang-undang yang disepakati bersama oleh warga masyarakat, dalam mewujudkan tatanan tata tertib sosial.

Bagaimana dengan negeri ini? Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu Negara hukum Pancasila (rechsstaat/rule of law). Hal ini dengan tegas dirumuskan pada Pasal 1 ayat (3)UUD 1945, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Namun bagaimana cetak biru dan desain makro penjabaran ide negara hukum itu? Selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral (Jimly Asshiddiqie, 2009:3).

Penghormatan terhadap supremasi hukum tidak hanya dimaksudkan dengan galaknya pembangunan dan pembentukan hukum dalam arti peraturan perundang-undangan, akan tetapi bagaimana hukum yang dibentuk itu benar-benar dapat diberlakukan dan dilaksanakan, sehingga hukum berfungsi sebagai sarana (tool) penggerak aktivitas kehidupan bernegara, pemerintahan dan kemasyarakatan.

Untuk dapatnya hukum berfungsi sebagai sarana penggerak, maka hukum harus dapat ditegakkan dan untuk itu hukum harus diterima sebagai salah satu bagian dari system nilai kemasyarakatan yang bermanfaat bagi warga masyarakat, sehingga keberlakuan hukum benar-benar nyata pada rana empiris tanpa paksaan.

Oleh karena itu, ketika Nabi menuju kota Madinah, yang pertama kali dilakukan adalah membuat perjanjian atau kontrak sosial dengan seluruh warga Madinah, termasuk umat Yahudi dan Nasrani. Kontrak ini, sering disebut sebagai piagam madinah, yang merupakan common platform yang mengikat seluruh warga apapun suku dan agamanya, untuk hidup bersama, gotong royong, saling melindungi ketika ada musuh dari luar. Madinah saat itu menjadi model ideal sebuah negara karena telah berhasil menanamkan autentisitas nilai hijrah. Indonesia pasti bisa!
(Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan STAI Alazhary Cianjur)**
Galamedia
senin, 19 november 2012 00:41 WIB

Oleh : ACEP HERMAWAN

Saturday, November 24, 2012

Penurunan Eksistensi Sistem Penanggalan Hijriah

TANGGAL 14 November 2012, matahari terasa begitu tangguh bersinar. Ketika Sara menghampirinya, Luna tengah duduk di pelataran kampus sambil membaca sebuah novel karangan Paulo Coelho.

"Mau permen?" tanya Sara.

"Insyaallah, aku sedang berpuasa," jawab Luna.

Tanggapan segera didengar dari Rena yang duduk tak jauh dari keduanya. "Kau sedang puasa akhir tahun?" tanyanya yang segera dijawab Luna dengan anggukan.

Sara hanya diam, sementara sesuatu terus berputar dalam pikirannya untuk mencerna informasi yang baru saja ia terima. "Puasa akhir tahun? Ini masih awal November 'kan?" katanya.

"Akhir tahun dalam kalender Hijriyah, bukankah besok tahun baru Islam?" terang Luna, sementara Sara hanya ber-oh menanggapinya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

**

Kalender Hijriahatau kalender Islam adalah sebutan umum masyarakat bagi kalender lunar yang didasarkan pada siklus dari fase lunar, kususnya pada periode sinodis. Menurut Nurohman (2010), "Periode sinodis adalah waktu yang dibutuhkan bulan untuk bergerak dari satu konjungsi ke konjungsi berikutnya, yang diamati melalui perubahan fase bulan, dimulai dari bulan baru, crecent, quarter, dan full moon." Kalender Hijriahmemiliki kekhasan tersendiri, tidak seperti kalender lunar Cina yang menetapkan fenomena terjadinya bulan baru sebagai awal bulan, kalender Hijriahjustru menetapkan awal bulan sehari setelah bulan purnama atau bulan baru, yakni pada saat hilal (bulan sabit pertama) muncul.

Fase lunar yang dijadikan acuan dalam penentuan kalender Hijriahmerupakan bentuk penuangan nyata terhadap penafsiran Q.S. Attaubah: 36. "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah di waktu Ia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram." Sehingga secara struktural, seperti yang dikatakan Abdullah (2002: 58) kalender Hijriahmerupakan sistem penanggalan dengan ukuran dan penetapan peredaran waktu sesuai dengan hukum yang digariskan Allah, termasuk dalam penentuan bulan-bulan haram. Bahkan menurut Sayyid Quttub dalam tafsirnya "Fii Zhilali Quran" (di bawah naungan Quran) menyatakan, perputaran waktu tersebut berdasarkan ketetapan wahyu dan perhitungannya bersifat tetap, sehingga hukumnya tidak dapat diperselisihkan.

Ssistem penanggalan Hijriahmerupakan bukti konkret intelektualitas muslim sebagai peradaban tinggi pada masa khalifah Umar bin Khatab. Mengingat pada masa tersebut peralatan dan media sangat terbatas, tentunya hal tersebut menjadi sangat besar sebagai suatu penemuan yang hingga saat ini masih digunakan. Meskipun demikian, sebenarnya penanggalan lunar telah digunakan sejak pra kerasulan Muhammad, hanya saja belum mentapkan tahun, baru tanggal dan bulan. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem penanggalan Hijriahmerupakan penyempurnaan.

Tergeser

Kalender Hijriahdigunakan oleh umat Islam secara global dijadikan sebagai patokan dalam menentukan waktu yang sakral dan penting berkaitan dengan aktivitas keagamaan. Sayangnya, hal ini kemudian menjadi sebuah ironi karena eksistensi sistem penanggalan Hijriahtergeser oleh penanggalan Masehi yang lebih dominan di masyarakat. Hampir dalam setiap aktivitas sosial budaya, masyarakat mengacu pada penanggalan Masehi, sedangkan perhatian pada penanggalan Hijriahhanya terbatas pada minoritas.

Masyarakat, khususnya golongan muda, cenderung tidak bersikap representatif aktif terhadap eksistensi sistem penanggalan Hijriah. Mayoritas kaum muda muslim --bahkan orangtua-- hanya mengenal hari-hari besar Islam yang dicantukan dalam kalender Masehi, tanpa mengenal hari, tanggal, dan bulan dalam kalender Hijriah.

Hal tersebut muncul karena kebiasaan dan didikan yang diberikan sejak dini, serta media di sekitar yang menggunakan Masehi dalam penanggalan secara universal. Secara prinsip pengenalan dan kepopuleran kalender Hijriah yang minim di masyarakat justru mempersulit masyarakat dalam penggunaannya, sehingga tingkat familiar suatu sistem penanggalan menjadi sangat vital.

Tampaknya, untuk mengatrol ketertarikan masyarakat terhadap penanggalan Hijriahdiperlukan suatu rangsangan, khususnya dalam marginal pendidikan dan pengetahuan, serta pengenalan dini secara bertahap. Hal lain yang bisa dilakukan adalah memasukkan penanggalan Hijriah ke dalam kalender berdampingan dengan penanggalan Masehi, sehingga masyarakat dapat mengenal dan mencocokan penanggalan.

Memaknai nilai hijrah

Pada saat masyarakat mulai mengenal penanggalan Hijriyah, khususnya 1 Muharram sebagai awal tahun, paradigma masyarakat justru mulai terkikis dan terseret arus global. Masyarakat cenderung mengagungkan dan dipengaruhi oleh nilai-nilai kebudayaan barat. Bersikap kebarat-baratan karena ada anggapan bahwa barat merupakan tolak ukur kemajuan dan modernitas suatu bangsa. Gambaran mengenai tatanan masyarakat yang mengadopsi kebudayaan barat dengan paham modernismenya, namun cenderung tidak memegang prinsip local genius.

Misalnya saja, tahun baru Islam dilalui dengan perayaan meriah, meniru perayaan pergantian tahun Masehi yang sebenarnya didasarkan pada mitologi Romawi kuno sebagai bentuk penghormatan terhadap dewa. Secara harfiah dapat dikatakan bahwa hal ini bertentangan dengan nilai keislaman, karena Islam lebih menganjurkan untuk berintrospeksi diri. Hal ini dikuatkan dengan tidak ditemukannya dalil yang sahih mengenai perayaan tahun baru. Bahkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsmaini mengatakan bahwa pengkhususan hari tertentu sebagai hari besar harus dikembalikan pada ketentuan syari'at, bukan kepada adat, karena hal itu dapat memunculkan kesewenangan dan hari raya syar'i menjadi tidak berguna.

Itulah sebabnya melaksanakan saum pada tanggal 1 Muharam --seperti yang dijalankan Luna-- jauh lebih bermakna dan lebih menyentuh substansi syar'iyah ketimbang memeriahkannya dengan pesta dan hura-hura ala perayaan tahun baru Masehi.

Ada nilai historis yang mesti direnungi ketika memasuki tahun baru Hijriyah. Nabi Muhammad dengan tujuh orang sahabatnya --versi lain menyatakan 14 orang--meninggalkann sebuah tradisi yang penuh kebodohan, kekufuran, kezaliman, dan kemusyrikan menuju situasi yang mendukung tradisi tauhid. Kendati negara yang dituju Nabi Muhammad dan para sahabatnya bukanlah negara penyembah Allah, namun Muhammad melihat kepala negaranya adalah orang saleh yang amanah. Oleh karena itu beliau memilih hijrah (pindah, mengubah strategi) untuk mendukung cita-cita mulianya menegakkan tauhidullah.

Kini, di tahun ke-1434 H, setiap muslim --terutama generasi muda--sepatutnya melakukan perubahan besar dalam dirinya meski secara bertahap dengan strategis yang bagus. Pemuda muslim harus mengubah tradisi malas ke rajin, dari tradisi mendengar dan melihat ke tradisi membaca dan bicara, beranjak dari kebodohan menuju kecerdasan, maju selangkah dengan berbagai potensi dari keterpurukan dan ketertinggalan menuju kesuksesan; bergerak dengan penuh optimistis dan percaya diri dari kubangan sikap pesimistis yang selalu dihantui rendah diri.

Memperingati tahun baru Hijriahberarti merancang strategi untuk mewujudkan cita-cita generasi muda Islam yang memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan sosial. Berani melakukan perubahan untuk memosisikan diri menjadi personal yang brilliant, berkarakter, memiliki jatidiri, dan bermanfaat secara personal maupun sosial. Membuka lembaran baru tahun Hijriahberarti mengungkap sejarah, mengambil makna, dan berkarya demi masa depan yang lebih sukses.
(Penulis, Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran)**
Galamedia
senin, 19 november 2012 00:42 WIB
Oleh : AULIYA MILLATINA FAJWAH

Friday, November 23, 2012

Keteladanan sang Pemimpin

Ali bin al-Ma'mun al-Abbasi dikenal sebagai seorang gubernur dan putra seorang khalifah.

Ia menjalani hidup mewah di sebuah istana yang besar. Apa pun yang ia inginkan di dunia ini dengan mudah ia peroleh.

Suatu hari, ia melongok ke bawah dari balkon istananya. Ia melihat seseorang yang sedang bekerja keras di ladang. Orang itu terlihat sangat bahagia dengan pekerjaannya. Dia bekerja penuh semangat.

Pada hari-hari berikutnya, Ali terus memerhatikan orang yang bekerja di ladang itu. Dia sangat tertarik melihat orang yang selalu bekerja sejak pagi itu. Dia begitu rajin dan tak pernah mengeluh. Di sela-sela kesibukannya, dia tetap melaksanakan shalat lima waktu.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai diri orang itu, Ali mengundangnya ke istana. Ia mengajukan beberapa pertanyaan, hingga akhirnya Ali mengetahui si pekerja itu mempunyai seorang istri, dua adik perempuan, dan ibu yang semuanya berada di bawah tanggungannya. Untuk membiayai mereka, ia harus bekerja keras.

Mengetahui hal itu, Ali semakin kagum terhadapnya. Ia tak bisa membendung hasratnya untuk mengenal orang itu lebih jauh lagi. "Adakah sesuatu yang bisa membuatmu mengeluh?"

Orang itu menjawab, "Tidak. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam."

Ali terpesona dengan jawaban ringkas nan padat yang disampaikan orang itu, Ali pun memutuskan untuk meninggalkan istananya dan mundur dari jabatannya sebagai gubernur. Ia mengembara dari satu kota ke kota lain, untuk melihat lebih dekat kehidupan rakyat kecil. Ia menemukan ketenangan batin dan kebahagiaan sejati kala menjadi rakyat jelata.

Selama pengembaraannya, Ali merasakan langsung denyut nadi kehidupan rakyat kecil. Ia bekerja menjadi seorang tukang kayu dan mendapatkan kebahagiaan yang tak pernah diraihnya saat berada di istana. Hingga ia pun memilih hidup sederhana hingga akhir hayatnya di daerah Khurasan.

Sosok pemimpin seperti Ali, mungkin sudah sulit ditemukan saat ini. Kita tentu tidak menginginkan pemimpin kita pergi dan meninggalkan jabatannya. Kita ingin mereka tetap di posisinya untuk memimpin rakyatnya menuju kehidupan yang lebih baik.

Pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kisah ini adalah pentingnya seorang pemimpin untuk menengok ke bawah dan melihat dari dekat kehidupan rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin tidak selayaknya hanya menunggu laporan bawahannya. Ia harus turun ke lapangan untuk memastikan laporan itu sesuai dengan fakta yang sesungguhnya. Dengan turun ke bawah, seorang pemimpin bisa mendengar langsung keluhan rakyat. Sehingga, mudah merumuskan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan rakyat, sekaligus menaikkan taraf hidup rakyat yang dipimpinnya.

Ini semua menjadi pelajaran bagi pemimpin untuk selalu memperhatikan kondisi rakyat. Mendengarkan keluh kesahnya dan menentukan langkah yang tepat untuk memberikan solusi terbaik dalam menyelesaikan permasalahan.

Sebab, kepemimpinan itu akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Rasul SAW bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kalian pimpin."

Oleh: Khairunnas

sumber : www.republika.co.id

Thursday, November 22, 2012

Hijrah

Tak ada kebangkrutan yang paling mendera jiwa, kecuali kita tak mampu mengolah harta sendiri. Tak ada kesedihan yang paling mengharu biru, kecuali kita tak memiliki lagi harga diri.

Perhatikanlah di sekitar kita, betapa harta dan jati diri sedikit demi sedikit digerus oleh derasnya arus duniawi. Hidup seakan tak ada pilihan, kecuali harta atau mati.

Karenanya, tanpa merasa berdosa, ada di antara kita yang hidupnya menjadi hamba harta, takhta, dan wanita. Mata hati telah buta.

Keserakahan telah membius diri, seperti binatang lapar yang siap menerkam binatang lainnya. Pantaslah Allah menyebut mereka lebih sesat dari binatang ternak. (QS al-A'raf [7]: 179). Caranya bertutur, bersikap, dan bertindak penuh kontradiksi dengan apa yang diyakininya.

Kita pandai membuat pernyataan, tetapi bodoh dalam kenyataan. Setiap saat bibir kita basah membaca Surah al-Fatihah agar kita tidak termasuk orang yang dimurkai dan zalim, tetapi perilaku kita seakan menentang apa yang kita ucapkan itu. Lantas, di manakah shalat kita?

Ketika Rasulullah diminta nasihat, beliau bersabda, “Jangan marah.”  Namun anehnya, ada di antara kita yang menampakkan wajah penuh amarah, dendam, dan beringas. Di manakah sikap penyantun yang menjadi mutiara akhlakul karimah?

Ketika Rasul mengatakan, “Muslim itu adalah mereka yang menyebabkan Muslim lainnya selamat dari tangan dan lidahnya,” sebaliknya, kita menentang sabda Rasulullah dengan menampakkan sikap anarkisme, bahkan tak segan merusak sehingga menyebabkan orang lain gelisah dan ketakutan.

Masih Muslimkah kita? Pantaslah seorang ulama berkata, “Cahaya Islam tertutup karena kelakuan umat Islam itu sendiri.”

Maka, kini saatnya kita melepaskan diri dari belenggu kegelapan untuk menggapai dan menari dalam cahaya Ilahi. Inilah makna hakiki dari hijrah. Mutiara akhlak yang harus dimiliki setiap pribadi Muslim.

Hijrah yang berarti meninggalkan (at-tarku), berpindah (al-intiqâl, tukhariku) atau berubah (taghyir), adalah perbendaharaan umat yang paling berbinar. Hijrah adalah semangat perubahan yang tak kenal henti. Ia bagaikan ombak samudra yang terus-menerus menerpa pantai.

Hijrah adalah etos kerja untuk meraih cita-cita dan kedudukan mulia (maqaman mahmuda). Hijrah adalah pedang kelewang yang akan menebas segala kegelapan, kebodohan, kemiskinan, dan kebatilan.

Dengan semangat hijrah itu pula, kita akan mengubah nasib dan melepaskan topeng-topeng buruk yang telah menutupi keindahan wajah dan jati diri kita sebagai pembawa pelita cahaya rahmatan lil alamin. Karena, kita sadar bahwasanya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya. (QS ar-Ra'du: 21).

Akan tetapi, hijrah tidaklah berdiri sendiri. Hijrah adalah senyawa iman dan kesungguhan. “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda, dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”(QS at-Taubah [9]: 20 ).

Iman, hijrah, dan jihad adalah rumus sukses untuk meraih tujuan. Namun, bagaimana kita akan mencapai tujuan kalau tidak tahu jalan ke mana harus pergi. Maka, kenalilah jalan, raihlah kemenangan. Selamat berhijrah.
Oleh: KH Toto Tasmara
Republika Kamis, 15 November 2012, 18:01 WIB

Wednesday, November 21, 2012

Hijrah, Capaian Peradaban Periode Makkah

Penetapan kalender Islam yang didasarkan pada peristiwa hijrah Rasulullah SAW oleh Khalifah Umar bin Khattab syarat dengan makna.

Salah satu sebab yang melatarbelakangi penetapan kalender tersebut antara lain pentingnya umat Islam memiliki perhitungan tahun yang didasarkan pada bulan-bulan yang disebutkan di dalam Alqur'an.

Hebatnya, kalender tersebut tidak didasarkan pada momentum kelahiran Rasululah SAW, padahal semua orang tahu bahwa pada hari kelahiran tersebut terkumpul kebaikan, berkah dan rahmat bagi alam semesta.

Namun, demi maksud menghindari penyerupaan agama lain yang menetapkan kalender tahunan berdasarkan kelahiran panutannya, maka kalender Islam dihitung dengan berpatokan pada hijrah Rasulullah SAW ke Madinah.

Hal tersebut tidak lain karena penyerupaan terhadap agama lain termasuk perbuatan yang dilarang dalam Islam, disamping umat Islam diidealkan sebagai umat terbaik sepanjang zaman (QS. Ali Imran: 110) dan menjadi saksi atas semua fenomena yang terjadi di dunia (QS. 143).

Lebih dari itu, sesungguhnya hijrah merupakan capaian peradaban Islam periode Makkah, sebab selain peristiwanya menorehkan tinta emas sejarah, pelaksanaan hijrah telah menjadi permulaan kemerdekaan bagi kaum muslimin, terbitnya peradaban Islam, pendirian negara ideal, pelaksanaan sistem kehidupan dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan, serta ide yang semangatnya terus diperbarui dan diaktualisasikan sepanjang zaman.

Hijrah dengan demikian bukan semata-mata perpindahan fisik untuk kehidupan yang lebih baik, melainkan harapan dan aktualisasi keimanan untuk penegakan dakwah Islam dengan landasan hikmah, pengajaran baik dan perdebatan yang bermartabat. (QS. An-Nahl: 125).

Oleh sebab itu, hijrah tidak berarti pemutusan terhadap masa lalu, melainkan menyulam masa lalu dengan masa kini demi kecemerlangan peradaban masa mendatang. Karenanya, penduduk Makkah yang kafir dan memusuhi Islam tetap menjadi core dakwah, disamping pemantapan masyarakat madani di Madinah.

Para sahabat tahu betul bahwa hijrah Rasul ke Madinah menyiratkan harapan besar bagi berdirinya komunitas Islam yang kokoh dan kuat. Maka kendati Rasulullah SAW dikepung dan dikejar oleh pasukan kafir Quraish, namun Allah SWT memberikan janji pertolongan (QS. At-Taubah: 40).

Di dalam setiap hijrah terkandung harapan pertolongan dari Allah dan optimisme masa depan yang lebih baik. Maka pada saat menuju Madinah pun, ketika Suraqah bin Malik mengejar Rasulullah bersama Abu Bakar dengan menunggang kuda dan pedang terhunus di tangannya, Rasulullah SAW tidak berpaling ke belakang.

Dan ketika jarak keduanya tinggal beberapa langkah, kuda Suraqah ditelan bumi, sehingga ia yakin bahwa Muhammad bukanlah manusia biasa, melainkan seorang Nabi yang disebut di dalam Taurat dan Injil serta ajarannya menjadi penutup wahyu dari langit.

Suraqah yang semula berambisi menghabisi Muhammad berbalik meminta ampunan dan memohon diberikan karamah yang bermanfaat bagi masa depannya sebab ia meyakini masa depan ada pada Islam.

Demikianlah, hijrah yang bukan saja menyejarah melainkan menjadi buah dari sejarah (peradaban) yang senantiasa diperbarui makna dan substansinya demi perubahan dan peradaban masa depan yang lebih baik. Selamat Tahun Baru Hijriyah. Semoga sepanjang Tahun Anda Senantiasa Dalam Kebaikan. Wallahu a'lam.
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Republika

Tuesday, November 20, 2012

Menunggu Kaum Anshar


,Dalam sejarah Islam, istilah Anshar tidak bisa dipisahkan dari Muhajirin. Anshar (orang-orang yang menolong) adalah sebutan untuk masyarakat Madinah yang menerima dengan tangan terbuka kedatangan Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Sedangkan Muhajirin (orang-orang yang hijrah) adalah sebutan untuk penduduk Mekah yang eksodus ke Madinah. Mereka terpaksa mengungsi, dengan perbekalan seadanya, karena selalu dikejar-kejar oleh kaum kafir Mekah.
Banyak sekali kejadian menakjubkan di antara kedua golongan ini. Kaum Anshar membantu secara total kaum Muhajirin yang papa itu. Sebagai ilustrasi, dalam sebuah hadis diceritakan bahwa ada seorang Anshar yang rela memberikan, bukan meminjamkan, separo hartanya kepada seorang Muhajirin. Bahkan, saking tingginya rasa persaudaraan mereka, kaum Anshar berusaha memenuhi segala kebutuhan para pengungsi, termasuk kebutuhan batin. Bahkan, ada di antara orang Anshar yang mempersilakan Muhajirin memilih salah seorang isterinya untuk dinikahi setelah dia menceraikan istrinya itu.
Dengan sangat indah Allah mendeskripsikan peristiwa langka di sepanjang sejarah manusia itu dalam Alquran: Dan penduduk Madinah yang telah beriman sebelum kedatangan Rasul (kaum Anshar) sangat mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (kaum Muhajirin). Mereka tidak pernah berkeinginan untuk mengambil kembali apa yang telah diberikan kepada Muhajirin. Bahkan, kaum Anshar lebih mengutamakan kebutuhan kaum Muhajirin dibanding diri mereka sendiri, sekalipun mereka sedang dalam kesulitan. Dan orang-orang yang memelihara dirinya dari sifat kikir, itulah orang-orang yang beruntung. (QS. 59: 9).
Kaum Anshar, mestinya tidak hanya tinggal kenangan manis bagi sejarah Islam yang statis. Anshar harus selalu ada dan diciptakan dalam setiap episode sejarah umat Islam. Mereka merupakan simbol masyarakat berbudaya yang memiliki keimanan dan rasa kemanusiaan sangat tinggi. Mereka tidak minta garansi apapun ketika mengulurkan tangan menolong para pengungsi yang eksodus ke daerahnya. Banyak di antara mereka yang sebelumnya tidak pernah bertemu, apalagi berkenalan. Namun, semua itu tidak menghalangi orang-orang Anshar untuk menyelamatkan kehidupan para Muhajirin.
Saat ini, sebagian besar rakyat Indonesia sangat menantikan datangnya kaum Anshar, terutama saudara kita yang sedang mengalami kesulitan hidup -- dari mereka yang ter-PHK, tidak mempunyai pekerjaan hingga para pengungsi di berbagai daerah. Mereka menawarkan surga kepada semua kita.
Ini merupakan saat yang tepat untuk membuktikan kepada Allah bahwa kita memang merupakan hamba pilihan-Nya. Jangan terlalu lama berpikir dan menunggu, sebelum terlambat. Tangan yang diulurkan belakangan seringkali tidak dibutuhkan lagi. Tidak ada artinya mengulurkan tangan jika orang yang akan ditolong telah berada di atas, atau sudah terkapar di dasar jurang. Kita sedang berlomba dengan malaikat maut yang sudah sejak lama bersiap merenggut nyawa saudara dan bangsa kita. Kita semua harus datang sebagai Anshar bagi mereka, jika tidak ingin diteriaki oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai orang yang mendustakan agama. Wallahu a'lam bis-shawab.


sumber : www.republika.co.id

Monday, November 19, 2012

Konversi

Sejelek-jeleknya dan sesusah-susahnya manusia, baik dia miskin banget atau sedang dihukum di penjara, tetap saja makan dan minumannya yang sesuai dengan kebutuhan manusia untuk dimakan dan diminum.

Tak ada manusia yang mau makan kotorannya sendiri. Tapi pemakan harta haram, sejatinya ia memakan kotorannya sendiri.

Belum lagi bicara makanannya nanti ketika ia menjadi penghuni neraka. Makanan dan minumannya lebih serem. Zaqqum salah satunya. Pohonnya sendiri tumbuh di dasar neraka. Saya membayangkannya saja sudah bergidik.

Tumbuh di dasar neraka. Sedangkan neraka itu bila dijatuhkan benda dari atasnya, maka perlu perjalanan 70 tahun baru sampai ke dasarnya. Di mana satu harinya sama dengan 1.000 tahun hitungan di dunia. Masya Allah.

Mudah-mudahan Allah mengizinkan kita memiliki rasa takut akan nerakanya Allah sehingga hati-hati melangkah hidup di dunia ini, dan hati-hati terhadap apa yang kita makan minum, hanya yang halal saja.

Kita pernah belajar, 5+3 itu tidak selalu 8. Bisa jadi dia -2 (minus dua). Yakni bila gaji kita itu Rp 3 juta, lalu kita dapatkan pemasukan yang haram Rp 5 juta. Maka itu sama dengan tekor Rp 2 juta.

Tau yang saya khawatirkan? Bila kita punya uang haram tiap bulan Rp 2 juta, lalu setahun Rp 24 juta, dan Allah “tungguin” sampai kita sadar. Setelah ditungguin setahun, ternyata nggak sadar-sadar, maka Allah akan ambil itu yang Rp 24 juta.

Nah, yang begini saya nggak terlalu khawatir. Hitungannya impas. Yang saya khawatirkan adalah kalau Allah tidak ambil ketekoran itu di dunia, melainkan dihajar total di akhirat, atau dikonversi.

Kita bisa membayangkan, Rp 24 juta itu dikonversi ke sesuatu yang lain. Ini juga sangat mengerikan. Sebab kerusakannya nggak akan bisa disadari. Misalnya dikonversi ke istri, anak dan keluarga? Maka yang hancur adalah rumah tangga, keluarga dan anak-anak jadi berantakan. Masya Allah.

Maaf ya, ini buat muhasabah bagi mereka yang merasa. Selama ini, banyak rumah tangga yang hancur, nggak memikirkan bahwa sumber hartanya berasal dari harta yang haram. Dikiranya cuma sebab nggak cocok, sehingga rumah tangganya bubar. Bukan itu, tapi sebab dibubarkan oleh Yang Sudah Menyatukan dua insan.

Tentu jangan digeneralisasi. Sebab bagi yang lain, ini bisa jadi bukan konversi harta haram, melainkan ujian semata. Yang bisa berpikir, hendaknya berpikirlah dan mulai menjauhi harta haram, jika memang saat ini hidup bergelimang harta haram.

Mulailah berpikir dan berpikir terus, untuk hanya hidup dengan harta halal. Kalau mau kaya, kalau mau hidup lebih dan senang, banyak cara yang sudah ditunjukkan Allah. Allah menutup satu pintu, pintu yang haram, namun Allah membuka sebanyak-banyaknya pintu yang lain.

Bukan hanya pintu yang halal, tapi juga bisa menjadi ibadah dan penuh ridha-Nya. Dan yang pasti, pintu-pintu kekayaan dan kesenangan yang Allah buka, nggak bakal bikin kita berurusan sama polisi, pengadilan, apalagi dengan KPK. Bahkan, kita juga tidak akan berurusan sama Malaikat Kubur dan Penjaga Neraka.

Insya Allah, pada edisi berikutnya, kita akan membahas pintu-pintu (amalan-amalan yang membawa pada) kekayaan dan kesenangan, dengan cara-cara yang cepat, aman, dan selamat.
Oleh: Ustaz Yusuf Mansur

sumber : www.republika.co.id

Sunday, November 18, 2012

Saleh Finansial

Suatu hari, Umar bin Khatab berjalan di sebuah pasar dan dia melihat seorang sahabatnya sedang membawa barang belanjaan dalam jumlah yang sangat besar.

Maka Umar pun bertanya, "Mengapa engkau membeli demikian banyak barang?"

Sahabatnya itu menjawab, karena aku ingin membelinya!"

Mendengar jawaban itu, Umar marah. "Apakah engkau akan membeli setiap yang engkau inginkan?"

Banyak orang yang membelanjakan hartanya dengan sesuatu yang dia sendiri tidak membutuhkannya, dia hanya menginginkannya. Dan inilah yang membuat Umar gusar. Sahabat utama Rasulullah itu melihat kebiasaan buruk yang tidak menggambarkan esensi ajaran Islam. Dan itu tidak menunjukkan sebuah kesalehan finansial.

Uang yang masuk ke dalam rumah kita hendaknya didapatkan dari sumber yang halal, dengan cara yang baik dan dipergunakan untuk hal-hal yang baik. Seorang yang memiliki kesalehan finansial akan cermat memilih uang yang dia dapatkan dan saat menggunakannya.

Sebab, uang yang dia dapatkan bukan hanya akan dimintai pertanggungjawabannya di dunia, namun juga di akhirat kelak.

Allah telah memberikan bimbingan dan arahan sempurna bagaimana seharusnya seorang Muslim membelanjakan hartanya. Dia tidak boros, tapi juga tidak kikir (pelit). Cara belanja moderat ini menjadi tanda utama yang disebut oleh Allah sebagai Ibadur Rahman. (QS al-Furqan: 67).

Allah tidak menyukai orang-orang yang belanja dengan cara yang boros karena orang-orang yang boros itu merupakan teman setan, dan setan sangat kufur pada Tuhannya. Boros dan kikir adalah tindakan tidak cerdas dan tidak saleh.

Keduanya merupakan penyakit jiwa yang menghancurkan. Boros akan mencelakakan diri sendiri dan kikir akan membuat orang lain menderita.

Saleh finansial akan membuat seseorang bersikap arif terhadap uang. Dia beranggapan bahwa uang adalah karunia Allah dan amanah yang harus disyukuri dan dipergunakan dengan benar dan tepat sasaran.

Kesalehan finansialnya akan membuat dia senantiasa mempergunakan uangnya untuk sesuatu yang bermanfaat, baik bagi diri, keluarga, maupun masyarakat umumnya.

Dia akan senantiasa dimintai pertanggungjawaban finansial sangat berat di sisi Allah di hari kemudian. Bila kesalehan finansial ini menjadi kebiasaan yang ada pada para penguasa, politisi, anggota dewan, para petinggi negeri ini pasti korupsi tak akan mendapatkan ruang. Keculasan keuangan akan teredam.

Rasulullah mengingatkan kita tentang pertanyaan yang harus dijawab di hari kiamat. “Kaki seorang hamba tidak akan beranjak pada hari kiamat hingga dia ditanya empat perkara; tentang umurnya untuk apa dihabiskan, tentang ilmunya untuk apa dia pergunakan, tentang hartanya dari mana didapatkan dan untuk apa dibelanjakan, tentang raganya untuk apa dia pergunakan.” (HR Turmidzi).

Ancaman ketidaksalehan finansial ini telah begitu nyata. Banyak orang sudah tak lagi peduli apakah uang yang didapatkan itu melalui jalan halal atau haram. Sungguh benar sabda Rasulullah, “Akan datang sebuah zaman di mana  orang tidak lagi peduli dari mana dia mendapatkan harta; apakah lewat jalur halal atau haram.” (HR Bukhari ).
Oleh: Ustaz Samson Rahman

sumber : www.republika.co.id

Friday, November 16, 2012

Esensi Takwa


Kata takwa sering dimaknai dengan khasyyatullah (takut pada Allah). Selain itu, ia juga dimaknai secara definitif sebagai imtitsalul awamir wa ijtinabun-nawahi (melaksanakan segala perintah [Allah dan Rasul] serta menjauhi segala larangan-Nya).

Dalam membangun karakter bangsa, kata takwa ini harus menjadi fondasi. Karena takwa memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan karakter yang dibutuhkan. Dan, ibadah yang diperintahkan pun bertujuan untuk meraih predikat takwa.

Secara rinci, sifat-sifat takwa secara spiritual dan sosial diterangkan Alquran dan hadis Rasulullah SAW. Pada awal surah al-Baqarah [2], misalnya, masalah ketakwaan serta sifat-sifatnya, di antaranya, disebut pada ayat 2-4 (muttaqin). Orang yang bertakwa itu akan memperoleh al-falah (kebahagiaan), baik di dunia maupun akhirat.

Pada surah Ali Imran [3]: 133-135 disebutkan pula sifat takwa itu, yakni orang yang selalu menafkahkan hartanya pada waktu senang dan susah, menahan amarah, dan pemaaf terhadap orang lain, selalu zikir pada Allah, dan bertaubat ketika telah melakukan kesalahan.

Keberhasilan membangun karakter muttaqin adalah kesuksesan membangun umat dan bangsa. Takwa merupakan fondasi penting dalam membangun karakter bangsa ini. Ketakwaan harus menjadi bekal dalam kehidupan keseharian, baik sosial maupun politik.

Rasulullah SAW selalu membaca ayat-ayat yang berkaitan dengan takwa ketika menasihati calon pengantin. "Takwalah kepada Allah dalam (menghadapi) perempuan-perempuan. Sesungguhnya mereka adalah "mitra" yang ada dalam penguasaan kalian.”

Haji adalah ibadah yang dilakukan pada waktu  dan tempat tertentu, serta dengan tata cara yang khusus dan banyak berinteraksi dengan yang lain. (QS al-Baqarah [2]: 197). Dalam ayat ini, jamaah dilarang berkata rafats (ucapan dan perbuatan tidak senonoh, walau pada istri); tidak fasiq (berbuat dosa), dan jidal (konflik). Maka, takwa harus menjadi bekal untuk para calon haji tersebut.

Tanpa bekal takwa ini haji yang mahal dengan menunggu waktu dan penantian yang panjang serta perjalanan yang jauh dan menguras tenaga, maka hajinya akan menjadi tanpa makna. Takwa yang dibawa ketika berhaji dan menjadi bekal utama, harusnya dibawa kembali ke tempat asal (daerah), sehingga ia menjadi pribadi muttaqin.

Karakter muttaqin ini sangat didambakan setiap para haji. Sebab, hanya dengan karakter takwa yang akan menjadi penjaga dan pemelihara dirinya, keluarganya, bangsa, dan negara.

Dengan takwa, tidak akan ada tindakan yang haram di negeri ini, seperti korupsi, perampokan, dan zina. Karena banyak yang sudah muttaqin dan bergelar haji yang sudah mampu memelihara ketakwaannya.

Haji mabrur adalah harapan setiap orang yang melaksanakan haji. Karena kemabruran itulah yang akan membebaskan dirinya dari api neraka, bahkan dijamin masuk surga. Nilai-nilai haji mabrur yang bersumber dari ketakwaan ini, hendaknya tertanam dalam setiap hati umat untuk membangun karakter bangsa yang maju dan kuat. Wallahu a'lam.
Oleh: Maman Abdurrahman

sumber : www.republika.co.id

Thursday, November 15, 2012

Integritas Pemimpin

Suatu hari Amirul Mukminin Umar bin Khatab RA membeli kuda dari seorang pedagang A'rabi. Selang beberapa waktu, ketika dituntun pulang, tiba-tiba kudanya pincang. Maka, kembalilah beliau menggugat pada si penjual kuda.

Ia menuntut dikembalikannya uang karena tak ingin membeli kuda pincang. Karena masing-masing merasa tidak bersalah, baik Umar maupun penjual kuda bersepakat menunjuk hakim atau qadhi untuk menyelesaikan masalah mereka.

Keduanya kemudian menemui seorang pemuda yang terkenal objektif dan adil di Madinah. Setelah mendengar permasalahan dari keduanya, berkatalah sang pemuda, "Wahai Amirul Mukminin, saat kau menerima kuda apakah kakinya sehat atau sudah pincang?'' Umar pun menjawab, "Kakinya sehat dan tidak pincang."

Lalu sang pemuda memutuskan, "Kalau begitu, wahai Amirul Mukminin, engkau boleh mengembalikan kuda itu ke penjual dengan catatan, kaki kudanya harus sehat dan tidak pincang."

Umar tentu saja kaget, namun ia juga tak bisa menyembunyikan kegeliannya. Umar tertawa, seraya berkata, ''Semudah itukah memutuskannya?'' Sang pemuda menjawab tegas, "Ya, semudah itu."

Umar kembali tertawa dan berkata kepada sang pemuda, “Segera berkemaslah dan pergilah ke Bashrah (Irak). Kamu aku angkat menjadi Qadhi  (hakim) karena di sana banyak permasalahan pelik yang membutuhkan orang sepertimu untuk menyelesaikannya.''

Pemuda itu bernama Syuraih. Dalam sejarah, ia tercatat sebagai seorang hakim yang sangat fenomenal karena keputusannya mengalahkan dua Amirul Mukminin, yaitu Umar bin Khatab dan Ali ibn Thalib dalam sebuah persidangan.

Pelajaran berharga dari  kisah ini adalah integritas, baik dari sisi penggugat maupun sang hakim. Bisa kita bayangkan jika hakimnya tidak punya integritas yang tinggi, dia tidak akan berani mengalahkan sang superpower,  Amirul Mukminin, atau pemimpin.  Apalagi lawan tandingnya hanyalah rakyat kecil biasa.

Namun, yang juga luar biasa adalah integritas dari sang Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Bagaimana dia mampu mengalahkan egonya sebagai seorang pemimpin dengan tidak memutarbalikkan fakta yang ada untuk kepentingan pribadinya.

Kata kunci untuk menjelaskan hal itu semua adalah karena rasa takutnya kepada Allah SWT. Rasa takut mereka karena didasarkan keimanan yang kuat. Rasa takutnya Syuraih sebagai hakim akan keputusannya adalah bila untuk kepentingan duniawi ia memenangkan sang khalifah. Demikian pula, takutnya Umar karena kalau ia menggunakan kekuasaan tanpa hak maka hal itu akan menzalimi orang lain hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.

Mencermati kasus-kasus hukum dan korupsi di negeri ini,  sejatinya kita membutuhkan integritas dari para pemimpin, baik di eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Tanpa itu, keinginan untuk melihat tegaknya keadilan yang berujung pada kesejahteraan rakyat dan negara ini, seperti menanti hujan di musim kemarau. Wallahu'alam bish-shawab.

Oleh: Edi Sukur

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, November 14, 2012

Buah Bakti pada Ibu

Hari itu, Sabtu, seusai makan siang, ibu berkata kepadaku, “Nak besok kamu kan tidak kerja, ibu ingin kamu membelikan seekor ikan kakap yang besar di tempat pelelangan ikan (TPI). Ibu mau menjamu beberapa anak yatim di RT kita. Lagi pula besok genap 11 tahun bapakmu wafat. Ibu baru baca di Surah an-Nisa' ayat 134, salah satu ciri orang bertakwa adalah berinfak di saat lapang dan di saat susah.”

Aku terkesima, dan tak mampu menjawab pernyataan ibu. Istriku dengan lugas, langsung menyetujui ucapan ibu.

Di kamar, sambil tersenyum halus, istriku menyodorkan cincin kawin, mahar pernikahanku dulu. “Jual cincin ini, Bang. Ini beratnya 7 gram, Abang beli lagi cincin yang sama modelnya seberat 5 gram, ibu pasti tidak akan tahu,” ujar istriku.

Kembali aku terkesima. Saat itu, aku benar-benar tidak punya uang. “Ini kan cincin kawin kita, mahar dariku untukmu, sayang,” kataku tersendat.

“Apalah artinya sedikit pengorbanan kita dibandingkan dengan upah yang dijanjikan Allah jika kita berbakti pada ibu?” jawab istriku. Kupeluk dia, air mata kami jatuh berderai di pipi.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, aku membeli ikan kakap seberat 10 kg. Setibanya di rumah, dengan sigap istriku membersihkan sisik ikan itu, sementara aku memegang parang besar yang sudah kuasah kemarin sore. Aku yang akan membelah-belah ikan itu, pikirku.

Saat istriku membelah perut ikan dan mengeluarkan isinya, tiba-tiba, sebuah benda jatuh ke lantai. Dia memungut benda itu dan mencucinya di ember. Sejurus kemudian mata kami terbelalak. Benda itu sebuah cincin berlian besar. Cahayanya berkilau memantulkan cahaya surya pagi itu.

Ringkas cerita, siang itu anak-anak yatim berkumpul di ruang tengah rumah kami. Mereka tertawa-tawa kecil, setelah menyantap gulai kakap buatan ibu dan istriku. Kami ini orang Melayu, memang piawai menggulai ikan dan lahap pula memakannya.

Lepas shalat Zhuhur, aku bergegas ke pasar batu cincin di kotaku. Kutawarkan cincin berlian dari perut ikan itu pada Toke Liem, pemilik toko berlian paling besar di pasar itu. Dan, hampir-hampir aku tidak percaya dengan ucapan Toke Lim.

Ia menyebut angka Rp 50 juta. Dengan gemetar, kutelepon istriku. “Sayang, cincin itu harganya Rp 50 juta.” Aku menjerit memberitahukannya pada istriku lewat HP tuaku.

Saat pulang ke rumah, ibu sedang duduk bersama istriku di atas tikar di ruang tamu rumah kami. Wajahnya tersenyum puas menyambutku. Aku menangis dan menubruk tubuh ibuku. Kuletakkan wajahku ke pangkuannya dengan airmata yang bercucuran.
Lidahku terasa kelu dan tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Dengan bergetar tanganku menyodorkan plastik kresek, dan mengeluarkan lima ikat uang pecahan Rp 100 ribuan, hasil penjualan cincin dari perut ikan itu.

Ya Allah, sungguh hari ini aku meraih 'ainul yaqin', bahwa bakti pada ibu akan berbuah manis, bahkan selagi masih hidup di dunia yang fana ini. Rabbanaghfirlana, wali walidina, warhamhuma kama rabbayana shighara. Ya Allah, ampunilah dosa kami, dan dosa ibu bapak kami, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kami saat masih kecil.
Oleh: Tengku Zukarnain

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, November 13, 2012

Korelasi Bulan dan Surah Haji

Bukan merupakan suatu kebetulan jika surah Al-Hajj di dalam Alqur'an memiliki kaitan erat dengan ibadah haji.

Kendati perintah ibadah haji terdapat di dalam surah Al-Baqarah: 196, namun surah Al-Hajj secara keseluruhan membicarakan mengenai masalah tauhid dan ancaman bagi mereka yang menyembah selain Allah SWT yang merupakan titik inti pelaksanaan seluruh ibadah haji.

Permulaan surat Al-Hajj diawali dengan pembicaraan mengenai hari kiamat, riuh-rendah suasana hari kebangkitan di alam kubur dan semua manusia menuju pada satu tempat yang sama dengan pakaian sama di bawah terik matahari yang menyengat.

Suasana tersebut tidak jauh berbeda dengan suasana di Arafah, lalu berangkat menuju Mina dengan menginap di Muzdalifah. Suasana hari kebangkitan serupa dengan suasana bermalam di Muzdalifah yang bangun dari tidur setelah wukuf arafah dalam suasana lelah, sesak, dan berdebu.

Kemudian datang ayat-ayat yang membicarakan mengenai masalah perjuangan (jihad) setelah ritual haji, sebab pada dasarnya pelaksanaan ibadah haji merupakan pelatihan kegiatan jihad dengan tipe kegiatan yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, kelelahan dan kecapaian, konsistensi pada waktu dan penegakan syiar yang diperintahkan Allah SWT.

Selanjutnya surah Al-Hajj membericarakan mengenai penyembahan kepada Allah SWT dengan landasan sifat ihlas sebab semua manusia di dalam ibadah haji hanya menyembah kepada Tuhan yang Esa. Bahkan semua makhluk yang ada di langit dan bumi, tidak terkecuali pepohonan, bintang, bulan, matahari dan hewan melata kesemuanya menyembah dan bertasbih kepada Allah SWT.

Satu-satunya surah yang di dalamnya terdapat dua (2) sujud tilawah ini seakan merupakan isyarat ilahi tersambungnya sujud sebagai lambang ibadah secara keseluruhan dengan ibadah sempurna (jihad) dan paripurna (haji).

Pantaslah saat Sayyidah Aisyah RA bertanya kepada Rasulullah SAW: "Kami memandang bahwa jihad merupakan perbuatan yang utama. Apakah kami harus berjihad?" Rasulullah SAW menjawab: "Tidak! Akan tetapi jihad yang paling utama adalah haji mabrur." (HR. Bukhari).

Haji dengan demikian merupakan jihad yang dimulai dengan niat suci semata-mata karena Allah SWT sebab mereka memenuhi panggilan sebagai tamu Allah di rumah-Nya yang diberkahi. Talbiyah merupakan ungkapan pemenuhan panggilan ketuhanan dan komitmen pada Tuhan yang satu.
Thawaf merupakan konsistensi dalam lingkaran ketuhanan. Sai merupakan perjuangan yang dilandasi dengan kesucian dan sikap tegar. Dan Tahalul merupakan konsistensi pada pilihan terbaik di antara yang dihalalkan Allah SWT.

Jika substansi tersebut mewarnai ritual haji, maka tidak ayal lagi pernyataan Hasan al-Bashri mengenai haji mabrur dengan ciri khas "makin zuhud dalam urusan dunia dan pengharapan yang makin besar dalam urusan akhirat" akan teraktualisasikan pada diri para hujjaj pasca pelaksanaan ibadah haji. Hal tersebut karena orientasi keduniaan adalah tauhid, semua karena Allah dan untuk Allah SWT.

Berdasarkan pandangan substansialis ini pula, ibadah haji bukan hanya konferensi internasional secara fisik, namun lebih dari itu merupakan konperensi internasional jutaan hati/jiwa yang hidup dan hidupnya hati/ jiwa.

Artinya, para hujjaj adalah pribadi-pribadi yang jiwanya senantiasa terpanggil secara otomatis oleh seruan dan perintah Allah SWT, sebagaimana digambarkan di dalam firman Allah SWT: "Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan." (QS. Al-Anfal: 24).

Betapa indah pelaksanaan rukun Islam yang paripurna ini karena mengantarkan pelakunya mengalami kehidupan jiwa dan jiwa yang hidup sehingga sampai kepada tujuan hidup yang sesungguhnya, Allah SWT. Wallahu a'lam.Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

sumber : www.republika.co.id

Monday, November 12, 2012

Merindukan Kematian

Hidup selalu menghadirkan dua sisi yang tidak dapat terelakkan, yaitu kebahagiaan dan kesedihan. Dua sisi itu Allah hadirkan sebagai bagian dari fase kehidupan.

Kesedihan yang terkadang membuat hidup tak nyaman, juga bahagia yang tak selalu menjadi kawan. Inti dari fase kehidupan itu adalah pendakian hidup yang senantiasa bermuara pada momen tak terbantahkan: kematian.

Kematian dilukiskan bak antrian dalam wawancara sebuah pekerjaan. Ia seolah hanya tinggal menunggu panggilan, sesuai urutan. Saat malaikat Zabaniyah datang tanpa undangan, jiwa dan raga pun tercabik, tertarik, tercekik, tiada kawan, hanya Tuhan sebagai sumber pertolongan.

“Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, pasti akan menemui kamu. Kemudian kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Maha Mengetahui, yang ghaib dan yang nyata lalu dia berikan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan,” (QS Al-Jumuah: 8)
Cerminan dahsyatnya kematian seharusnya menjadi bahan renungan untuk tiap insan. Betapa kita benar-benar putus harapan saat kematian ada di hadapan. Kekayaan, jabatan, pasangan hidup nan menawan, dan segala hasrat keduniawian sirna saat panggilan itu menimpa kita secara tiba-tiba.

Semua yang bernyawa akan merasakan mati, begitu firman Allah mengingatkan kita dalam QS Al-Ankabut ayat 57. Pun Rasulullah SAW. juga menghadapi kematian merasakan sakitnya sakaratul maut.

Kematian Rasulullah dilukiskan Aisyah dengan berkucurnya keringat dari dahi, leher dan sekujur tubuh beliau. Rasulullah pun bersabda pada Aisyah, “Hai Aisyah, sesungguhnya ruh orang mukmin itu keluar dengan keringat dan ruh orang kafir keluar dari kedua rahangnya seperti nyawa keledai,” dan detik-detik kematian, beliau bersabda, “Kerjakanlah shalat, kerjakanlah shalat!” (HR. Thabrani)

Rasulullah—sebagaimana kita tahu telah terjamin masuk surga—hingga pada puncak sakaratul mautnya, apakah Allah mengundurkan waktu barang sejenak untuk tidak memerintahkan Izrail mencabut nyawanya? Apakah Rasulullah tidak merasakan sakit sama sekali?

Tidak. Sebagai manusia biasa, Rasulullah merasakan sakitnya saat ruh keluar dari tiap-tiap urat syarafnya—di luar konteks derajat kenabian.
Mengutip dari Imam Ghazali, dalam “Dzikrul Maut Wa Maa Ba’dahu”, beliau melukiskan betapa Rasulullah merasakan kepedihan yang sangat, bahkan tampak rintihan dari beliau hingga warna kulit beliau berubah. Dahi beliau juga berkeringat, hingga tarikan dan embusan nafasnya mengguncangkan tulang rusuk kanan dan kiri beliau sehingga orang-orang yang menyaksikan beliau menangis—berjuang menahan rasa sakit.

Dahsyatnya sakaratul maut pun membuat beliau terus berdoa tiada henti, “Ya Allah, ringankanlah atasku sakaratul maut,” adapun doa yang lain dalam riwayat Ibn Abd Dunya, “Ya Allah, sungguh Engkau mengambil ruh di antara urat-urat dan anak-anak jari. Ya Allah, tolonglah aku atas kematian dan ringankanlah.”

Esensi dari dua doa tersebut ialah bahwa Rasulullah lebih mengetahui pedih dan sakitnya sakaratul maut yang dideskripsikan bahwa kematian itu sama dengan tiga ratus kali tebasan dengan pedang.

Jika Rasulullah Saw saja meminta rukhsah pada Allah, lalu, bagaimana dengan kita? Adakah persiapan maksimal untuk menuju ke alam keabadian? Kembali Imam Ghazali menuturkan bahwa mengingat kematian dapat mengikis nafsu-nafsu duniawi yang penuh tipu daya ini.

Sebaliknya, tamak kepada dunia dan mengambilnya berlebihan, dapat melemahkan iman, menyisihkan zikir dari lisan, meruntuhkan baiknya perbuatan, hingga lalai terhadap kematian. Na’udzubillah. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang memiliki cukup perbekalan sehingga rindu akan kematian.
 Oleh: Ina Salma Febriani
sumber : www.republika.co.id

Sunday, November 11, 2012

Melon, Semangka, Mangga

Masyarakat akrab banget sama buah melon, semangka, dan nangka. Sangat mudah dijumpai, enak dibuat jus, dan harganya terjangkau.

Buah-buahan ini sekarang bisa ditanam tanpa tanah, di pot. Semua rumah bisa punya tanaman ini, supaya nggak harus beli.

Cara menanam buah-buahan di pot ini bagaimana?  Tulisan ini bukan untuk ngajarin cara menanamnya. Saya hanya ngasih inspirasi bahwa di setiap rumah sangat bisa punya tanaman melon, semangka, dan mangga, meski nggak ada pekarangannya.

Cukup di pot, dirawat yang benar. Insya Allah bisa berbuah. Kalo sudah berbuah, bisa dibagikan ke tetangga, ke jamaah di masjid, ke kawan-kawan kantor. Bisa juga dikiloin, lalu dijual sambil olah raga akhir pekan. Lumayan, sehat, dan nambah duit.

Saya mengajak kawan-kawan semua yang sudah akrab dengan buah ini untuk membayangkan sedikit melon masak, semangka masak, mangga masak, dan dari varietas yang bagusnya. Ranum buahnya, bagus warnanya, wangi aromanya, sedap rasanya. Dan yang segar (fresh), airnya banyak.

Saat Anda memotong dan mengupasnya jadi bagian kecil-kecil, ada tetesan air buahnya yang jatuh. Bila memotongnya di atas keramik putih, maka ada tetesan air warna hijau untuk melon, merah untuk semangka, kuning untuk mangga. Bila Anda nggak hati-hati, dan memakai baju putih, tetesan itu bisa jadi noda di baju Anda. Minimal membasahi pisau dan tangan. Bisa ya Anda bayangkan?

Untuk mereka yang masih mencintai harta haram dan mereka yang menyenangi harta halal, saya suka bercerita ke anak-anak santri di Pesantren Daarul Qur’an, juga anak-anak saya, keluarga saya, tentang pohon dan buah Zaqqum. Agar saya dan mereka hanya mencari yang halal, dan hidup hanya dengan yang halal.

Di dalam surah al-Waqiah, disebutkan, “La-akiluna min syajaratin min zaqqum (pasti mereka akan memakan buah Zaqqum). Fama-li-una minhal buthun (maka akan penuh perutmu dengan buahnya). Fasyaribuna ‘alaihi minal hamim (setelah itu kamu akan meminum air yang sangat panas). Fasyaribuna syurbal him (maka kamu minum seperti unta yang kehausan). Hadza nuzuluhum yaumaddin, (sebagai hidangan untuk mereka di hari pembalasan).” (QS al-Waqiah: 52-56).

Lalu adalah hadis Rasulullah, “Law anna qithratan minazzaqum qatharat/quthirat fi darid-dunya lafsadat ‘ala ahlid-dunya ma’ayisyahum (jikalau setetes dari buah zaqqum menetes atau diteteskan di dunia, maka rusaklah seluruh kehidupan dunia).” (HR An-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Sekarang bayangkan, jika setetes saja dari Zaqqum jatuh ke dunia, maka dunia ini akan hancur. Bagaimana jika kita memakan buahnya, dan meminum airnya? Masya Allah. Sungguh saya sudah membawa Anda akan buah melon, semangka, mangga, yang bila kita kupas itu kulitnya, potong itu buahnya, maka tentu ada air yang menetes. Maka inilah permisalannya.

Semoga hati saya, pikiran saya, bisa memahami, dan kemudian menginsyafi. Semoga kita semua hanya mencari dan makan yang halal, supaya tidak dihidangkan Zaqqum di neraka nanti. Tulisan mendatang kita bahas sedikit tentang apa dan sifat pohon Zaqqum itu. Insya Allah. Wallahu a’lam.

Oleh Ustaz Yusuf Mansur

sumber : www.republika.co.id

Saturday, November 10, 2012

Amal yang Istiqamah

Musibah datang secara beruntun, usaha selalu berujung pada kegagalan, dan di tempat kerja diserang banyak fitnah.

Rumah tangga tidak pernah berhenti dari percekcokan, bahkan berakhir dengan perceraian. 

Inilah keadaan yang lazim kita temukan dalam keseharian kita, atau terkadang kita sendiri yang mengalaminya.

Hal yang tidak bisa dibantah adalah keadaan ini pasti berpengaruh terhadap sikap keberagamaan kita. Bagi yang rusak akidahnya maka akan menambah jarak yang jauh bahkan semakin jauh dengan Allah. Tapi, jika sedang bagus akidahnya maka dia akan bersegera mendekat kepada Allah.

Namun, yang perlu diperhatikan saat kita berada dekat dengan Allah adalah konsistensi. Jangan sampai ibadah dan pertaubatan kita terkesan hanya dilakukan kalau sedang butuh, sedang saat dilanda musibah, atau sedang disempitkan dengan ujian dan kesusahan, kita jauh dari Allah.

Peribadatan kita seakan temporal (sesaat). Sementara kalau sudah kembali normal, kemampuan mendekat dan bersenang-senangnya bersama Allah malah menghilang.

Bagi yang amalnya temporal, ketika menjelang pernikahan tiba-tiba saja ibadahnya jadi meningkat; shalat wajib tepat waktu, tahajud tampak khusyuk. Tapi, anehnya ketika sudah menikah, jangankan tahajud, shalat Subuh pun terlambat.

Ini perbuatan yang jelas menipu dan mengecewakan Allah dan malaikat. Sudah diberi kesenangan, justru malah melalaikan perintah-Nya. Harusnya sesudah menikah berusaha lebih gigih lagi dan semakin istiqamah.

Atau, ketika menjadi imam shalat, bacaan Alquran kita kadangkala digetar-getarkan atau disedih-sedihkan agar orang lain ikut sedih. Tapi, sebaliknya ketika shalat sendiri, shalat kita laksana kilat, ringkas, dan cepat.

Kalau shalat sendirian dia begitu gesit (cepat), tapi kalau ada orang lain jadi kelihatan lebih bagus. Hati-hatilah bisa jadi ada sesuatu di balik ketidakikhlasan ibadah-ibadah kita ini.

Yang jelas diharapkan adalah kemampuan istiqamah dan konsistensi dalam ibadah dan amaliah. Tidak penting dalam keadaan apa pun kita.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka meneguhkan istiqamah mereka, maka malaikat (Kuasa Ilahi) akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ”Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS Fushilat [41]: 30).

Nabi SAW bersabda, “Istiqamahlah kamu dan janganlah menghitung-hitung (amal ibadahmu),” (HR Bukhari).

Dari Abu Amr atau Abu Amrah RA, Sufyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi RA berkata, aku berkata, “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan menanyakannya kepada seorang pun selain padamu." Rasulullah menjawab, “Katakanlah, saya beriman kemudian istiqamahlah.” (HR Muslim).

Oleh: Ustaz M Arifin Ilham
sumber : www.republika.co.id

Friday, November 09, 2012

Bung Karno dan Bung Hatta Jadi Pahlawan Nasional

JAKARTA (GM) - Tiba di Tanah Air, Presiden SBY langsung menggelar rapat terbatas di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Di antaranya, Presiden membahas penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada presiden dan wakil presiden pertama RI, Soekarno dan Mohammad Hatta.

Gelar pahlawan nasional untuk dua proklamator itu akan ditahbiskan dalam sebuah upacara kenegaraan di Istana Negara, hari ini Rabu (7/11). "Akan dilakukan penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soekarno-Hatta besok (hari ini) pukul 11.00 WIB," kata Menko Polhukam, Djoko Suyanto usai rapat kabinet terbatas, Selasa (6/11).

Alasan di balik penganugerahan itu akan disampaikan oleh Presiden SBY dalam sambutan khusus. "Besok Presiden akan memberikan sambutan khusus, mengapa layak mendapatkan gelar pahlawan nasional," kata Djoko.

Hasil kajian

Menurutnya, penetapan itu merupakan hasil kajian Dewan Gelar dan Kehormatan tahun ini. "Tahun ini diberikan kepada dua orang, Ir. Soekarno dan Drs. M. Hatta. Beliau akan dianugerahi gelar pahlawan nasional," katanya.

Menurut Djoko, Keppres soal itu akan ditandatangani Selasa sore. Gelar pahlawan nasional itu akan disampaikan kepada keluarga keduanya.

Secara tidak langsung, gelar pahlawan nasional baru diterima Soekarno pada 2009. Itu artinya 64 tahun setelah Indonesia merdeka, yakni saat UU No. 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan disahkan. Sebelumnya, Soekarno dan Hatta hanya diberi gelar proklamator.
rabu, 07 november 2012 00:44 WIB
Galamedia

Thursday, November 08, 2012

Tugu Juang Baleendah Makin Memprihatinkan

Tangan dan Kaki Pahlawan HancurBALEENDAH (GM) - Tugu Juang yang terletak di Jln. Siliwangi (Pengkolan) Baleendah, Kabupaten Bandung, kondisinya sangat memprihatinkan. Selain banyak coretan, areal Tugu Juang juga tidak dirawat, banyak sampah berserakan dan aksi vandalisme lainnya. Sejumlah patung pejuang banyak yang hancur bagian tangan maupun kakinya. Sebelum perayaan hari ulang tahun (HUT) TNI, Oktober lalu, kawasan Tugu Juang sempat dibersihkan oleh Muspika Kecamatan Baleendah.

Menurut warga, Didi Sopandi (63), Tugu Juang bukannya kurang mendapat perawatan, tetapi minimnya kesadaran masyarakat, terutama kalangan generasi muda. Menurutnya, generasi muda kurang menghargai jasa para pahlawan yang diabadikan dalam Tugu Juang.

"Ini yang menjadi prihatin saya terhadap generasi muda. Saya sempat memergoki sejumlah pelajar yang merusak sejumlah patung di Tugu Juang," ungkap Didi yang ditemui di sekitar Tugu Juang, Senin (5/11).

Didi mengatakan, kurangnya tenaga pemelihara Tugu Juang menjadikan monumen itu tidak terawat. "Kurangnya tenaga pemelihara menjadikan kawasan ini seperti kurang terurus," katanya.

Didi berceita, Tugu Juang dibangun pada tahun 1973 dan diresmikan tahun 1975 oleh Kodam III Siliwangi yang kemudian dititipkan ke Pemkab Bandung. Jadi, kata dia, pemeliharaan Tugu Juang di Baleendah merupakan kewenangan Pemkab Bandung.

Didi berharap, pemerintah lebih memperhatikan Tugu Juang maupun tugu lainnya sebagai penghormatan pada para pejuang. "Pemeliharaan Tugu Juang ini harus semua pihak terlibat, kalau bukan oleh kita, oleh siapa lagi," katanya.

Tak punya anggaran

Sekretaris Kecamatan Baleendah, Saefulloh yang ditemui terpisah mengatakan, Muspika Kecamatan Baleendah sempat membersihkan Tugu Juang pada hari TNI, beberapa waktu lalu. Dikatakannya, pemeliharaan Tugu Juang dilakukan oleh Dinas Sosial (Dinsos) Pemkab Bandung.

"Pemerintah kecamatan tidak memiliki anggaran untuk pemeliharaan Tugu Juang. Kalaupun ada, itu pun untuk hari-hari tertentu," ujarnya.

Saefulloh mengakui, jika kesadaran belum tumbuh di kalangan masyarakat untuk memelihara Tugu Juang. Akibatnya, mereka masih enggan memelihara Tugu Juang.

Dikatakannya, pihaknya sering melakukan kontrol bersama aparat Muspika dan Polsek terhadap Tugu Juang. Pasalnya, disinyalir Tugu Juang sering dijadikan tempat nongkrong maupun kegiatan negatif lainnya. "Pihak Polsek dan Satpol PP bahkan sering melakukan razia, terutama pada malam Minggu. Jadi upaya tetap ada dilakukan oleh pemerintah," ujarnya.
(B.81)**
Galamedia
selasa, 06 november 2012 00:31 WIB

Wednesday, November 07, 2012

Antara Surga dan Neraka

Diriwayatkan dari Abu Ayyash al-Qathan, dia mengatakan, ada seorang raja yang hartanya melimpah ruah.

Dia hanya mempunyai seorang putri yang sangat dicintai dan disayanginya. Sang raja sangat memanjakan putri kesayangannya itu dengan aneka rupa harta. Dan yang demikian berlangsung sekian lama.

Sementara di samping raja itu ada seorang ahli ibadah. Dan ketika suatu malam dia membaca Alquran, suaranya meninggi ketika membaca ayat berikut, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS at-Tahrim: 6).

Ketika pelayannya mendengar, dia pun mengingatkan tetangganya itu. “Berhentilah!” Namun, si abid (ahli ibadah) tetap melanjutkan dan malah mengulang-ulang membaca ayat itu. Si pelayan terus mengingatkan agar si abid berhenti membaca ayat itu. Namun, si abid tetap tak berhenti.

Mendengar ayat tersebut, putri raja meletakkan tangannya ke kantong seraya merobek-robek bajunya. Kemudian, para pelayannya datang menemui raja, seraya menceritakan apa yang terjadi.

Raja pun menemui buah hatinya. “Duhai sayang, apa yang terjadi denganmu sejak semalam? Apa yang menyebabkanmu menangis?” ujar sang raja.

Sang putri menjawabnya dengan mengutarakan pertanyaan. “Wallahi (demi Allah), ananda ingin bertanya kepada ayah, 'Apakah Allah punya rumah yang di dalamnya ada api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu?” Sang raja mengiyakannya.

“Lantas apa yang menghalangi ayah untuk menceritakan hal itu padaku? Wallahi, ananda tidak bisa makan dengan enak dan tidak bisa tidur dengan pulas, sampai nanda tahu di mana kediaman saya kelak; di surga atau neraka?”

Pertanyaan yang diajukan cukup menggetarkan jiwa. Ya, ketika seseorang hidup dalam gelimang kemewahan, lebih-lebih di saat materi diagung-agungkan sedemikian rupa sehingga menjadi parameter baik-buruknya seseorang.

Kemudian, muncul kesadaran akan adanya surga dan neraka, maka hal itu menjadi suatu anugerah dan hidayah yang tiada terkira. Karena beragam perilaku menyimpang, antara lain, dipicu lantaran seseorang melupakan surga dan neraka.

Takut terhadap neraka dan merindukan surga adalah bagian iman yang sangat penting dan keyakinan ini pulalah yang mewarnai kehidupan manusia. Di kalangan sahabat, banyak yang rela mengorbankan apa pun, termasuk jiwanya, demi meraih surga. Misalnya, Umair bin Hamam, yang syahid dalam Perang Badar, dan Amru bin Jamuh yang gugur dalam Perang Uhud. Kedua sahabat ini dijanjikan surga oleh Rasulullah SAW yang luasnya seluas langit dan bumi.

Kalau Nabi juga bersabda, “Haji  yang mabrur, tiada balasan baginya kecuali surga,” (HR Bukhari dan Muslim), seyogianya hal itu menginspirasi para haji (hujjaj) untuk terus merindukan surga, sehingga yang tampil darinya adalah sifat-sifat ahli surga.

Setara dengan kerinduan terhadap surga adalah ketakutan terhadap neraka. Banyak sahabat dan shalafush-shalih yang sudah mencontohkannya. Dengan kondisi jiwa seperti inilah, diharapkan bisa mendorong seseorang untuk beramal sebanyak mungkin dan meredam sekecil apa pun dosa.

Oleh: Makmun Nawawi      sumber : www.republika.co.id

Tuesday, November 06, 2012

Keutamaan Makkah dan Madinah

Makkah dengan Masjid Al-Haram dan Madinah dengan Masjid Nabawi merupakan dua wilayah yang memiliki keutamaan tertinggi di banding tempat mana pun di dunia.

Hal itu karena Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kalian melakukan bepergian kecuali ke tiga masjid; Masjid Al-Haram, Masjidku ini, dan Masjid Al-Aqsha." (HR. Bukhari-Muslim).

Namun keutamaan dua kota tersebut tidak semata-mata karena sabda Rasulullah SAW, melainkan karena di kedua wilayah tersebut terdapat "tanah haram" dengan status wilayah aman dan diharamkan peperangan di dalamnya.

Keharaman Makkah ditegaskan oleh Nabi Ibrahin AS dan keharaman Madinah ditegaskan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana sabdanya, "Sungguh Ibrahim telah mengharamkan Makkah, dan aku mengharamkan Madinah, di antara tepinya, janganlah ditebang kayu berdurinya dan diburu binatang buruannya." (HR. Muslim).

Keutamaan Makkah juga terletak pada  keutamaan Masjid Al-Haram khususnya tidak terputusnya manusia yang melakukan thawaf di sekitar Ka'bah hingga hari kiamat dan thawafnya jutaan malaikat di Bait Al-Makmur, tepat di atas Ka'bah. (QS. At-Thur: 1-4). Sedangkan keutamaan Madinah terletak pada keutamaan Masjid Nabawi khususnya kemuliaan Raudhah yang menjadi taman-taman surga.

Keutamaan Makkah dan Madinah terletak pula pada bebasnya kedua wilayah tersebut dari pengaruh Dajjal, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Tidaklah setiap negeri melainkan Dajjal akan menginjakkan kakinya di sana kecuali Makkah dan Madinah." (QS. Bukhari-Muslim).

Lebih jauh lagi, keutamaan Makkah dan Madinah juga terletak pada banyaknya keberkahan yang terdapat di dalamnya. Rasulullah SAW bersabda, "Madinah banyak menyimpan kebaikan dan menghilangkan keburukan sebagaimana api menghilangkan kotoran pada perak." (HR. Muslim).

Bahkan di dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa orang-orang yang menanggung kesusahan di kedua wilayah tersebut atau meninggal di dalamnya akan mendapat jaminan syafaat dari Rasulullah SAW. (HR. Muslim).

Penelitian Yassin al-Syauk tahun 2008 dengan gagasan pemunculan "Jam Makkah" menyebutkan bahwa wilayah Makkah merupakan pusat poros bumi. Oleh karenanya, waktu Makkah merupakan patokan waktu internasional yang tepat secara ilmiah, sehingga gagasan "Jam Makkah" yang arah jarumnya bergerak ke kiri disesuaikan dengan gerakan orang-orang yang melakukan thawaf yang disinyalir sejalan dengan fitrah perputaran gerakan seluruh planet.

Atas dasar berbagai keuatamaan kedua kota tersebut, maka sebagian ahli fikih mensyaratkan ihram dari Miqat setiap kali memasuki Kota Makkah. Tindakan tersebut dilandasi oleh sikap penghormatan dan pemuliaan terhadap Masjid Al-Haram. Tentu sikap tersebut merupakan tindakan mulia pada tempat yang istimewa.

Namun yang perlu dipahami adalah bahwa syarat ihram tersebut tidak bersifat mutlak karena di dalam hadis riwayat Imam Muslim diceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah memasuki Makkah dengan tanpa ihram. Terlebih lagi tidak ada satu hadis pun apalagi ayat Alquran yang mensyaratkan ihram dari miqat, kecuali bagi mereka yag hendak melakukan ibadah haji maupun umrah.

Dengan demikian pandangan mayoritas ulama fikih yang membolehkan masuk Makkah tanpa ihram bagi yang tidak berniat haji maupun umrah merupakan pandangan umum dan diikuti serta memberi kemudahan bagi semua pihak, sebab banyak orang masuk Makkah untuk keperluan berdagang, menyopir, mengantarkan kerabat, bekerja dan lain sebagainya.

Namun mereka yang masuk Makkah dengan ihram dari miqat berarti memuliakan posisi Masjid Al-Haram dan tentunya berhak mendapat pahala yang besar dari Allah SWT. Wallahu a'lam.
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

sumber : www.republika.co.id

Monday, November 05, 2012

Museum Geologi (Pilihan Seru Weekend)

JIKA memiliki waktu berlibur cukup panjang di Kota Bandung, tidak ada salahnya berkunjung ke Museum Geologi. Sebab di museum tersebut masih menyimpan kerangka Tyranosaurus Rex. Bahkan, museum tersebut tak hanya tempat untuk menyimpan benda antik atau kuno, tetapi berperan sebagai sarana pendidikan, informasi, rekreasi, dan wisata.

Museum Geologi yang didirikan tanggal 16 Mei 1928 di Jalan Diponegoro 57 Bandung ini adalah merupakan museum bersejarah yang menyimmpan materi-materi geologi, seperti fosil, batuan, serta mineral. Museum ini telah mengalami renovasi dan dibuka lagi pada tanggal 23 agustus 2000.

Museum Geologi terbagi dalam beberapa ruang pamer yang terdiri atas 2 lantai. Kurang lebih ada 60.000 koleksi fosil, dan 250.000 koleksi batuan serta mineral. Di museum ini juga ada kerangka tiruan T-Rex (Tyranosaurus Rex) yang dibuat di Kanada pada tahun 1998.

Di museum ini juga terdapat fosil-fosil hewan maupun manusia purba yang ditemukan di tanah air. Para pengunjung juga dapat mempelajari tentang kegiatan di bumi. Seperti mengapa terjadi tanah longsor, gunung meletus, mengapa ada gempa bumi dan pergeseran lapisan bumi.

Selain itu pengunjung akan mengetahui tentang perkembangan sejarah bumi. Hal itu mulai dari pembentukan bumi, hingga munculnya berbagai macam makhluk hidup seperti, dinosaurus, manusia purba, hingga manusia seperti kita saat ini.

Sejarah museum geologi

Museum Geologi Bandung berkaitan erat dengan sejarah penyelidikan geologi, dan pertambangan di Indonesia yang telah dimulai sejak abad ke 17. Untuk mewadahi penyelidikan tersebut pemerintah Belanda membentuk suatu badan yang bernama "Diens van het Mijnwezen" pada tahun 1850. Tahun 1922, lembaga ini berubah menjadi "Diens van het Mijnbouw". Dalam perkembangannya, lembaga tersebut memerlukan tempat menyimpan hasil analisis dan penyelidikan, sehingga dibangunlah gedung untuk lembaga tersebut yang terletak di Rembradnt Straat (sekarang Jalan Diponegoro Bandung).

Gedung ini dirancang dengan gaya Art Deco oleh Ir. Menalda van Schouvbug, seorang arsitek berkebangsaan Belanda diresmikan pada tanggal 16 Mei 1929 yang bertepatan dengan pembukaan kongres ke-IV Ilmu Pengetahuan Pasifik yang di selenggarakan di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Gedung ini pun di fungsikan sebagai perkantoran yang dilengkapi dengan sarana laboratorium geologi. Ada juga museum untuk menyimpan dan memperagakan hasil penelitian geologi dan kebumian dengan nama "Geologisch Laboratorium", yang kemudian lebih dikenal dengan "Geologisch Museum"

Museum Geologi tidak lepas dari sejarah perkembangan dunia, saat perang dunia ke-2 sekitar tahun 1941, perkembangan museum terkena dampak langsung. Gedung tersebut dijadikan markas Angkatan Udara oleh Belanda. Sehingga berbagai koleksi dipindahkan ke Gedung Pensioen Fonds (Gedung Dwiwarna) dan tak sedikit koleksi yang rusak maupun hilang.

Sempat terabaikan

Pada masa pendudukan jepang 1942, Museum Geologi difungsikan kembali dengan nama "Kogyo Zimusho", dan kemudian berganti menjadi "Chisitsu Chosasho". Namun, pengelolaannya kurang mendapat perhatian, dan terkesan diabaikan. Keadaan seperti ini terus berlangsung selama perang kemerdekaan.

Usai kemerdekaan Republik Indonesia, Museum Geologi mulai bergeliat. Tepatnya pada 22 Februari 1952, saat museum geologi dikelola Djawatan Pertambangan Republik Indonesia. Namun penataan secara meyeluruh baru dilakukan pada tahun 1998, melalui kerjasama pemerintah RI dengan Jepang. Museum Geologi pun sempat ditutup hingga tahun 2000. Baru pada Agustus 2000 Museum Geologi kembali dibuka. Pembukaan secara resmi dilakukan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.

Koleksi museum geologi

Museum Geologi Bandung bukan hanya memiliki ratusan ribu batuan dan puluhan ribu fosil purba berumur puluhan jutaan tahun, tetapi juga memiliki koleksi langka yang tidak dimiliki museum lain di dunia seperti museum di Amerika atau di Eropa. Museum Geologi memiliki berbagai fosil hewan bertulang belakang (vertebrata) yang berasal dari Indonesia.

Fosil-fosil tersebutdi antaranya fosil gajah purba "inomastodon bumiayuensis", gajah purba berumur 1,2 hingga 1,5 juta tahun lalu yang bentuk badannya lebih kecil dan gading lurus. Gajah purba generasi berikutnya "stegodon trigonocephaus" yang hidup sekitar 1 hingga 1,2 juta tahun lalu, dengan ukuran lebih besar dan gadingnya melengkung.

Gajah purba "elephus lysudrindicus" yang hidup sekitar 800 ribu tahun lalu, dengan bentuk badan lebih besar dan gading melengkung serta "elephus maximum" kelompok gajah yang masih ada saat ini. Selain memiliki koleksi fosil gajah purba, Museum Geologi juga memiliki berbagai koleksi hewan purba lainnya, seperti Dinosaurus, yang menguasai daratan pada zaman "Mesozoikum", jauh sebelum manusia ada. Dinosaurus muncul pada zaman Trias, berkembang pada zaman Jura, dan punah pada zaman Kapur.

Koleksi lainnya adalah Badak Sunda "Rhinoceros Sondaicus", Kuda Nil "Hippopotamus Simplex", Kerbau "Bubalus Palaeokeraba" dan kura-kura raksasa "Geochelone Atlasi". Fosil-fosil ini sebagian besar ditemukan di situs sekitar aliran Bengawan Solo.

Fosil lain yang tak kalah menarik adalah babi rusa "Celebochoerus Heekereni", Komodo "Varanus Komodoensis", gajah kerdil "Stagodon Sompoensis, Stegodon Sondari", dan "Eleephas Celebeensis", semuanya hidup di luar Palau Jawa.

Berbagai fosil manusia purba juga meghiasi ruang pamer Museum Geologi, di antaranya fosil manusia yang ditemukan di sepanjang aliran Bengawan Solo, yakni fosil "Pithecanthroupus Erectus" yang disebur-sebut sebagai "The Missing Lin" oleh penemunya Eugine Dubois yang melakukan eskavasi tahun 1891-1893.

Pengunjung juga bisa menikmati fosil kekayaan alam Indonesia berupa aneka bebatuan yang disimpan secara terbuka di halaman Gedung Museum Geologi dan diberi nama Taman Situs Batu, yang baru diresmikan sekitar dua bulan lalu. Di taman ini dipamerkan aneka fosil batu, di antaranya fosil batu lumba-lumba asal Kasui, Waykambas, dan Lampung seberat 3,6 ton. Fosil batu Indian Berdoa, berumur 2 sampai 3 juta tahun dan fosil batu tangan, serta fosil evolusi bebatuan.
Galamedia
sabtu, 27 oktober 2012 02:04 WIB

Sunday, November 04, 2012

Revitalisasi Karakter Sabilulungan

LUAS Kabupaten Bandung adalah 176.238.67 Ha, yang terbagi dalam 31 kecamatan, 267 desa dan 10 kelurahan dengan jumlah penduduk sekitar 3.215.548 jiwa, permasalahan sosialnya relatif beragam. Dalam Rencana Pembangunan Jangan Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2010-2015, arah pembangunan Kab. Bandung dituangkan dalam sebuah visi yaitu "Terwujudnya Kabupaten Bandung yang maju, mandiri, dan berdaya saing melalui tata kelola pemerintahan yang baik, dan pemantapan pembangunan perdesaan berlandaskan religius, kultural, dan berwawasan lingkungan."

Visi ini tentu harus diaktualisasikan dan dijadikan rujukan didalam pengambilan kebijakan pembangunan. Alam Kay dalam Suwardi Luis (Vision, Mission, and Value Statements, 2009:4), mengatakan, cara terbaik untuk meramalkan masa depan adalah dengan cara berikhtiar menciptakan masa depan. Ramalan masa depan itulah yang kemudian di sebut visi. Dengan kata lain visi lebih merupakan cita-cita, tujuan, alasan keberadaan (raison de etre) dan penentu arah. Tetapi meramalkan saja tentu bukanlah pilihan yang bijak kalau tanpa dibarengi dengan usaha yang sungguh-sungguh. Suwardi berpendapat bahwa visi adalah ide, dan ide itu melampaui waktu, ide melampaui umur , ide melampaui zaman.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba menggambarkan tentang pentingnya revitalisasi karakter bangsa untuk keberhasilan visi pembangunan yang telah disepakati bersama. Dalam dalam konteks lokal Kab. Bandung diterjemahkan menjadi karakter "Sabilulungan", sebuah karakter lokal yang berkembang di masyarakat Sunda yang oleh penulis dijadikan sebagai motto pembangunan di Kabupaten Bandung.

Persoalan karakter bangsa

Banyak definisi yang memberi penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan pembangunan, namun secara umum pembangunan diartikan sebagai sebuah proses perubahan yang terencana menuju ke keadaaan yang lebih baik (Ginanjar Kartasasmita:1994). Pembangunan tidak hanya diartikan sebagai proses perubahan secara fisik semata, namun perubahan karakter bagian dari proses pembangunan itu sendiri. Dengan kata lain keberhasilan pembangunan akan sangat ditentukan pula sejauh mana kualitas karakter masyarakatnya.

Dalam UU Sisdiknas tahun 2003 pun secara implisit disebutkan kualitas sumber daya manusia tidak hanya pada kecerdasannya saja tapi juga terletak pada kepribadiannya dan akhlaknya yang mulia, yang dalam istilah Dr Martin Luther King disebut dengan intelligence plus character.

Dalam konteks negara, rasa kecintaan kita kepada tanah air (nasionalisme) bagian dari karakter bangsa yang harus dijaga, dan terus ditumbuhkembangkan ke seluruh elemen masyarakat. Karena rasa nasionalisme akan menjadi jalan yang memberi kesadaran kepada setiap warga negara Indonesia tentang visi keindonesiaan yang harus diperjuangkannya, baik visi negara yang menghendaki kesejahteraan, visi negara yang anti korupsi, anti kemiskinan dan kebodohan dan lain sebagainya.

Dalam opininya yang dimuat harian Kompas 24 Agustus 2012 lalu,

Sri Edi Swasono mengungkapkan keprihatinannya tentang telah terkikisnya rasa nasionalisme di negeri ini, melalui artikelnya beliau memberi pesan bahwa hilangnya rasa nasionalisme kini mulai muncul dari kalangan para cendekiawan kita. Mereka menganggap nasionalisme pandangan kuno yang tidak lagi relevan dengan kekinian.

Pandangan di atas bertabrakan dengan pandangan cendekiawan lain di muka bumi ini, yang justru menganggap bahwa nasionalisme merupakan kekuatan pembangunan yang tidak ada tandingannya didunia masa kini, sebagaimana dikatakan Ian Lustic (2002).

Visi pembangunan sehebat apa pun hanya akan indah di atas kertas apabila semua elemen bangsa telah kehilangan karakternya yang menyebabkan hilang pula jati dirinya dan rasa kebanggaanya sebagai bagian dari warga bangsa.

Karakter Sabilulungan

Era Otonomi Daerah merupakan produk orde reformasi yang telah membuka peluang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif menentukan arah dan kebijakan pembangunan. Pola kebijakan tidak lagi top-down tapi lebih bersifat bottom up.

Otonomi Daerah ini dimulai ketika pemerintah menyusun UU no 22 tahun 1999 yang mengusung demokratisasi pemerintahan daerah dan desentralisasi sebagai salah satu instrumennya. Kemudian lahir UU no 32 tahun 2004 yang menghendaki prinsip efisien, transparan dan efektif dalam memberikan pelayanan publik.

Dalam perjalanan otonomi daerah ini seringkali dianggap sebagai biang munculnya "raja- raja kecil", serta euphoria yang berlebihan. Pada titik tertentu memunculkan disharmoni akibat adanya perbedaan kepentingan antara pemangku kebijakan di institusi pemerintahan yang lebih tinggi dengan institusi yang ada di bawahnya.

Keduanya merasa memiliki kedaulatan yang secara penuh dilindungi oleh undang-undang dan merasa sama-sama memiliki mandat dari rakyat. Sering program pembangunan di level pemerintah daerah (kota dan kabupaten), mendapat tantangan dari pemerintahan dan masyarakat di desa, karena adanya perbedaan persepsi dalam melihat satu persoalan.

Dalam perspektif kebudayaan, otonomi daerah harus dipahami sebagai peluang membangkitkan kembali nilai-nilai budaya dan karakter masyarakat lokal yang dianggap sudah mulai memudar. Hal itu pula menjadi komitmen bagi Pemkab Kab. Bandung, sebagai di amanatkan dalam visi pembangunannya yang berkehendak menjunjung aspek-aspek kultural keSundaan dalam prosesi pembangunan.

Prof. A. Chaedar Alwasilah (2006:18) menyebutkan, setidaknya ada tiga langkah yang harus dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut, yaitu : (1) pemahaman untuk menimbulkan kesadaran, (2) perencanaan secara kolektif, (3) pembangkitan kreatifitas kebudayaan. Menurut Prof. Chaedar, tanpa pemahaman yang kaffah terhadap budaya Sunda, Ki Sunda akan sulit merumuskan etos budaya Sunda yang mantap, jika bangsa Jepang memiliki etos bushido, lantas etos apa yang dimiliki ki Sunda?.

Semangat atau karakter Sabillulungan ki Sunda bisa dijadikan salah satu alternatif. Karena Sabilulungan mengandung makna silih asah, silih asuh, silih asih, silih wawangi yang kesemuanya akan berkontribusi pada pembentukan kondisi masyarakat yang mempunyai karakter dan ber-etos kerja tinggi.

Sabilulungan dalam bahasa Sunda mengandung arti gotong royong dan dalam bahasa Indonesia dengan makna yang lebih luas. Dalam kata sabilulungan terkumpul sekumpulan nilai-nilai luhur yang berkembang dalam masyarakat Sunda, yaitu "sareundek saigel sabobot sapihanean, rempug jukung sauyunan rampak gawe babarengan", yang memiliki makna seia sekata, seayun selangkah, sepengertian sepemahaman, senasib sepenanggungan, saling mendukung, saling menyayangi, saling membantu, bekerja sama, rasa persaudaraan yang sedemikian erat dan kebersamaan.

Sabilulungan bisa hidup tumbuh dan berkembang di berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Dalam dimensi ekonomi ada budaya yang disebut leuit yaitu menyimpan sebagian hasil panen di lumbung padi untuk cadangan pangan yang digunakan bagi masyarakat yang membutuhkan. Pada dimensi sosial ada yang disebut dengan beas perelek semacam sistem jaring pengaman sosial yang dilakukan secara mandiri oleh masyarakat. Dimensi pembangunan ada istilah kerja bakti yaitu bekerja bersama-sama membangun fasilitas umum. Sedangkan pada dimensi keamanan dan ketertiban, Ngaronda operasi keamanan kampung secara bergiliran setiap malam dan lain sebagainya.

Namun, tampaknya karakter sabilulungan ini perlahan mulai memudar oleh lemahnya sistem pewarisan nilai dari satu generasi ke generasi selanjutnya, bahkan di anggap sebagai sebuah budaya yang tidak lagi sesuai dengan kondisi zaman. Untuk itu penulis memandang sabilulungan penting untuk kembali di revitalisasi keberadaanya dengan penerjemahan baru yang sesuai dengan konteks zaman.

Misalnya, bagaimana sabilulungan mampu terlibat dalam upaya untuk menurunkan angka kemiskinan dan pemberantasan kebodohan, bagaimana sabilulungan bisa berperan menekan angka pengangguran dan meningkatkan kesehatan masyarakat, inilah nampaknya yang harus segera kita rumuskan bersama-sama.

Kesimpulan

Nilai-nilai, karakter dan filosofi yang hidup didaerah merupakan bagian dari kekayaan kultural bangsa yang harus dijaga dan dipelihara, karena eksistensi nilai-nilai budaya dan karakter nasional tidak akan berarti banyak tanpa ditopang oleh eksistensi nilai dan budaya yang ada di daerah.

Keduanya saling melengkapi dan menjadi isu strategis yang sama pentingnya, jikalau kita berasumsi bahwa nasionalisme perlu dpelihara oleh semua warga negara untuk keberlangsungan martabat bangsa. Maka di daerah selain nasionalisme, juga perlu dikembangkan nilai-nilai budaya lokal yang dianggap bisa memberi dampak positif terhadap kehidupan sosial budaya yang ada di masyarakat. Untuk masyarakat Sunda, gerakan revitalisasi karakter sabilulungan layak untuk dipertimbangkan, tinggal bagaimana isu ini bisa menjadi isu kolektif masyarakat Sunda, untuk itu perlu langkah-langkah konkrit agar keinginan tersebut bisa terwujud. Wallahu 'alam bish shawwab.
(Penulis adalah Bupati Bandung periode 2010-1015)**
Galamedia
senin, 29 oktober 2012 01:19 WIB
Oleh : H. Dadang M. Naser, S.H., S.I.P.