-

Tuesday, December 31, 2013

Jilbab

Kapolri bakal disayang Allah, Rasul-Nya, dan masyarakat muslim muslimah di Tanah Air, bila nggak menunda keinginan para polisi wanita (polwan) untuk memakai jilbab. Sebab, memakai jilbab adalah perintah Allah. Karena itu, sambil menunggu aturan, sebaiknya tetap jalan saja.

Soal dana, masyarakat mau kok membantu Polri untuk pengadaan jilbabnya. Kita patungan saja. Saya yakin, banyak yang setuju dan siap membantu.
Karena itu, saya ajak semuanya, kawan-kawan, untuk mendoakan Kapolri dan kita semua, supaya semuanya dimudahkan.

Kalo kata orang Lombok, Kajuman. Kajuman itu maksudnya adalah adanya sesuatu yang harusnya nggak dikerjakan, malah dikerjakan. Yang harusnya nggak diomongin, malah diomongin.

Soal jilbab, akhirnya jadi rame lagi. Dua jempol dah kita berikan kepada Kapolri yang telah membolehkan polwannya untuk berjilbab. Sayangnya, itu hanya seumur jagung.

Tapi, kita tetap berdoa, sebab bila Kapolri mengizinkan polwan untuk berjilbab, Insya Allah, banyak masyarakat yang akan membela dan membantu, bila Polri ada masalah.

Agak susah-susah gampang mendakwahi soal jilbab. Nah, ini ketika sudah pada pengen pake jilbab, maka ini harusnya jadi kesempatan. Jadi pahala dan kebaikan, pasti akan mengalir kepada pimpinan Polri.

Sambil menunggu peraturan manusia, biarkan saja saudari-saudari kami di institusi Polri memakai jilbab yang ada. Karena sesungguhnya itu akan menjadi kebaikan.

Ini jadi perhatian banget loh buat muslim-muslimah. Maaf ya. Jadi agak sensi nih. Pimpinan yang muslim saja, susah banget. Bagaimana kalau pimpinannya dari yang lain?

Ini mau nggak mau jadi bicara seperti ini. Pimpinan, pemerintahan, yang muslim, mayoritas muslim, ternyata pelaksanaan ajaran Islam nggak selancar yang diharapkan.
Bagaimana kalau pimpinannya bukan muslim? Inilah, kata orang Lombok, Kajuman. Nggak efektif, nggak produktif. Jadi selalu memunculkan kecurigaan.

Kita doakan, semoga pimpinan Polri membolehkan polwannya memakai jilbab, tanpa menundanya. Kita bersedia membantu soal dana pengadaan jilbab. Supaya nggak nggak perlu melewati proses panjang ketok palu anggaran.

Kita lihat beberapa waktu ke depan ya. Yang pasti kita doakan, sebab polri dan pimpinannya, serta yang lainnya juga, adalah saudara kita, teman kita.

Kita butuh Polri, atas izin Allah. Kita doakan semuanya, buat negeri kita, keluarga, yang sedang sakit, yang sedang kesusahan, semoga semuanya diberikan jalan kemudahan dan keberkahan.

Silakan buka Alquran surah an-Nur ayat 39-40. Baca, pahami, resapi, dan jalankan, insya Allah akan diberikan kemudahan dan jalan. Salam.
, Oleh Ustaz Yusuf Mansur


sumber : www.republika.co.id

Monday, December 30, 2013

Memuliakan Wanita

Dunia adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salihah. Wanita dalam beragam kebudayaan dan persepsi sebelum Islam ibarat sayap yang patah, tidak memiliki kehormatan, hak-haknya dirampas, dan dianggap sebagai barang murahan jika sudah tidak layak jual. Astaghfirullah.

Islam datang, salah satunya, membawa misi memuliakan kaum wanita, mengembalikan kehormatan, kedudukan, dan kemanusiaannya. Selain itu, wanita adalah sebagai mitra bagi kaum pria dalam membangun peradaban dunia.

Di antara bentuk-bentuk pemuliaan Islam terhadap wanita itu adalah, pertama, persamaan yang sempurna dalam hal pembentukan, kesatuan makhluk, pengadaan, asal, dan tempat tumbuh bersama kaum pria. (QS An-Nisa’ [4]: 1).

Kedua, wanita menyamai pria dalam taklif syariat, dan penerapan keimanan, kecuali dalam hal-hal yang khusus bagi wanita mengingat karakter dan penciptaannya. (QS An-Nisa’ [4]: 124).

Ketiga, investasi pahala dalam mengurus wanita. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barangsiapa mengurus dua anak gadis sehingga keduanya berakal, maka aku dan ia akan masuk surga seperti dua jari ini.” (Shahih Jami’).

Keempat, wanita memiliki hak sebagaimana suami memiliki hak atasnya. (QS Al-Baqarah [2]: 228). Kelima, haram menuduh wanita Muslimah melakukan perzinaan. (QS An-Nur [24]: 4).

Keenam, kebebasan wanita memilih calon suami apabila sekufu (sebanding) dengannya. (HR Bukhari). Ketujuh, mahar itu adalah hak wanita. (QS An-Nisa’ [4]: 4). Kedelapan, seruan mengajarkan kepada wanita hal-hal yang bermanfaat baginya. (HR Bukhari).

Kesembilan, wanita berhak untuk berkarya. (QS An-Nisa’ [4]: 32). Kesepuluh, perintah untuk berhijab dan menutup aurat. Islam memuliakan kaum wanita, dan mewajibkan atasnya hijab guna menjaganya dari keburukan dan penglihatan manusia, serta memelihara masyarakat dari auratnya.

Dalam riwayat Aisyah RA, bahwasannya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah SAW dengan pakaian tipis, lantas Rasulullah berpaling darinya dan berkata, “Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haidh (akil baligh) maka tak ada yang layak terlihat kecuali ini, sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan.” (HR Abu Dawud dan Baihaki).

Semoga Allah membimbing kita, para istri dan anak putri kita, tumbuh berkembang menjadi wanita-wanita yang salihah.  Aamiin.
, Oleh Siti Mahmudah 

sumber : www.republika.co.id

Saturday, December 28, 2013

Belajar Qana’ah

Suatu ketika Nabi Muhammad SAW  bertanya kepada Abu Dzar Al-Ghifari. "Wahai Abu Dzar, apakah menurutmu banyaknya harta itu merupakan kekayaan?” Abu Dzar diam saja, tidak menjawab.

Pertanyaan itu lalu dijawab sendiri oleh Nabi: “Kekayaan hakiki adalah kekayaan hati; dan kemiskinan sejati adalah kemiskinan hati. Siapa yang memiliki kekayaan hati, maka kondisi  duniawi apapun yang dialaminya tidak akan mendatangkan kemudharatan baginya. Sebaliknya, siapa yang miskin hati, maka  apapun yang melebihi isi dunia  tidak akan pernah mencukupinya." (HR Ibnu Hibban)

Nabi SAW lalu melanjutkan pesan moralnya, “Jadilah engkau orang yang wara’, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling ahli ibadah; dan jadilah engkau yang selalu merasa cukup (qana’ah), niscaya engkau menjadi orang yang paling pandai bersyukur.” (HR Al-Baihaqi).

Sebab Allah SWT menegaskan, “Dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS Saba’ [34]: 13). Dengan kata lain, bersikap qana’ah merupakan kunci menjadi orang yang bersyukur.

Qana’ah berarti merasa cukup, puas, dan ridha (menerima) terhadap bagian rezki atau apapun yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada kita.
Orang yang qana’ah, menurut al-Jahizh, selalu merasa berkecukupan, tidak merasa kurang dengan terus mengeluh, dan tidak juga serakah dalam meraih kekayaan, kedudukan, dan jabatan, termasuk jabatan politik.

Karena  setiap manusia pada dasarnya sangat mencintai kekayaan/kedudukan duniawi (QS  Al-Adiyat [100]: 8). Qana’ah itu tak ubahnya seperti rem yang dapat mengendalikan nafsu duniawi dan syahwat politik menuju tawakkal dan bersyukur kepada Allah SWT.

Qana’ah dalam berbagai hal, termasuk jabatan politik, sangat penting menjadi benteng moral, terutama bagi penguasa dan calon penguasa.
Qana’ah merupakan manifestasi kecerdasan moral yang dapat memerdekakan seseorang dari penghambaan diri terhadap urusan duniawi yang menyilaukan dan tidak pernah memuaskan.

Sikap ini  juga menjadi terapi mental penyakit hati seperti: tama', hasad (iri hati), namimah (adu domba, provokasi), dan kebohongan publik.

Qana’ah juga dapat menumbuhkan kelapangan jiwa (legowo), zuhud (asketis), dan rasa percaya diri bahwa rezki dan rahmat Allah SWT itu maha luas, tidak terbatas pada kedudukan dan jabatan yang disandang seseorang.

Karena itu, belajar qana’ah dalam menjalani kehidupan ini merupakan salah satu bentuk pendakian spiritual yang sangat penting dalam rangka pendekatan diri kepada Allah SWT. Tanpa belajar qana’ah, manusia cenderung menjadi serakah, tama’ dan korup.
Lebih-lebih jika ketiadaan qana’ah itu disandingkan dengan kekuasaan politik, maka yang bersangkutan akan semakin tidak bisa mengendalikan dirinya dari korupsi dan memperkaya diri sendiri.

"Jika engkau mempunyai hati yang qana’ah, maka engkau dan pemilik dunia ini sama saja." Perkataan Imam Syafi'i ini senada dengan wasiat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu, "Qana’ah  itu merupakan kekayaan yang tidak pernah sirna."

Jabatan dan kekayaan itu datang silih berganti, dan tidak pernah abadi. “Siapa bersikap dan belajar qanaah, hidupnya selalu bahagia. Sebaliknya siapa berlaku tama’, ia akan menderita sepanjang masa,” demikian kata Imam Ibn al-Jauzi.

Belajar menjadi qana’ah sebenarnya tidak sulit. Menurut Ibrahim bin Muhammad  al-Haqil,  dalam bukunya, al-Qanaah Mafhumuha, Manafi’uha, al-Thariq Ilaiha, ada beberapa kiat menjadi qana’ah.

Pertama, pengakuan secara tulus bahwa Allah itu Mahaadil dalam membagi rezki bagi semua makhluk-Nya, termasuk manusia.
Rezeki yang diberikan oleh Allah kepada manusia tidak diukur menurut tingkat pendidikan, kedudukan, dan jabatan. Rezki tidak selalu berbanding lurus dengan status sosial, jabatan, dan jenjang pendidikan.

Kedua,  melatih diri untuk tidak iri dan dengki terhadap kelebihan dan kekayaan yang diberikan kepada orang lain. Sebab iri dan dengki hanya akan menambah penderitaan jiwa dan pengikisan amal kebajikan si pendengki.

Kekayaan yang diberikan oleh Allah merupakan ujian bagi yang menerimanya: apakah dia bisa memanfaatkan dan mensyukurinya dengan baik atau justeru mengingkarinya?

Ketiga, menyadari sepenuh hati jabatan dan kekayaan itu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.
Karena itu, ambisi berlebihan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, khususnya kekuasaan politik, hanya akan memperturutkan nafsu politik daripada mengedepankan kearifan dan peningkatan kinerja demi kemaslahatan dan kemajuan umat manusia.

Keempat, menyikapi dan meresponi segala anugerah, kecil maupun besar, sedikit maupun banyak, dengan meningkatkan rasa syukur. Yakinilah bahwa yang membuat pemberian Allah itu bermakna dan bernilai tambah adalah syukur.

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat." (QS. Ibrahim [14]: 7).
, Oleh Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Friday, December 27, 2013

Sang Guru

Namanya Uwaimir bin Malik al-Khazraji, lebih dikenal dengan panggilan Abu Darda. Sebelum Islam, Abu Darda berteman akrab dengan Abdullah bin Rawahah. Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, dua orang teman akrab tersebut berbeda jalan.

Abdullah bin Rawahah segera menjadi Muslim sementara Abu Darda tetap dengan kemusyrikannya. Setiap hari dia menyembah berhala yang diletakkan di salah satu kamar rumahnya. Tiap hari pula berhala itu dibersihkan dan diberi wewangian.

Kesadarannya baru muncul tatkala pada suatu hari dia menemukan berhalanya itu hancur berkeping-keping karena dikapak oleh teman akrabnya sendiri, Abdullah bin Rawahah, secara diam-diam. Semula dia sangat marah, tetapi di ujung marahnya, kesadarannya muncul.

“Seandainya berhala itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.” Ditemani Abdullah bin Rawahah, Abu Darda segera menemui Nabi dan masuk Islam. Tetapi, dia sangat menyesal terlambat menjadi Muslim.

Temannya tidak hanya lebih dahulu masuk Islam, tapi juga sudah ikut berjuang dalam Perang Badar. Untuk mengejar ketertinggalannya itu, Abu Darda mengurangi aktivitas dagangnya agar lebih banyak waktu menghafal Alquran dan beribadah sepuasnya.

Gaya hidup Abu Darda berubah total, sekarang dia memilih hidup zuhud. Tatkala suatu kali tamu-tamunya bertanya ke mana perginya kekayaannya selama ini, Abu Darda menjawab, “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Setiap kali memperoleh harta, langsung kami kirim ke sana. Jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki sehingga kami sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa.

Pada masa Khalifah Umar bin Khatab, Abu Darda pernah ditawari jabatan yang tinggi di Syam, tapi dia tanpa ragu menolaknya.
Tatkala Umar marah, Abu Darda menyatakan bersedia bertugas ke Syam bukan sebagai pejabat tinggi, melainkan jadi guru yang mengajarkan Alquran, sunah, serta membimbing umat. Umar setuju.

Maka, berangkatlah Abu Darda ke Damaskus. Dia tidak hanya mengajar di masjid, tapi juga berkeliling ke tengah-tengah masyarakat, masuk ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya, dijawabnya segera, jika bertemu dengan orang bodoh, diajarinya, jika melihat orang lalai, diingatkannya.

Abu Darda tidak mau kehilangan waktu sedikit pun dalam membimbing umat ke jalan Allah. Pada suatu hari, Abu Darda menyaksikan ada seorang laki-laki dipukuli orang banyak. Lalu, dia bertanya, “Apa yang terjadi?”

Dijelaskan bahwa laki-laki itu pendosa besar maka dipukuli. Dengan bijak, Abu Darda  bertanya, “Jika kalian melihat orang yang jatuh ke dalam sumur, apa yang akan kalian lakukan? Tidakkah kalian keluarkan dia dari sumur itu?”

Jawab mereka, “Tentu.” “Oleh sebab itu, janganlah kalian memukulinya, tapi berilah dia nasihat dan sadarkan dia.” Mereka bertanya, “Apakah engkau tidak membencinya?” Abu Darda menjawab, “Saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatan dosanya maka dia adalah saudara saya.”

Tatkala seorang pemuda meminta nasihat kepadanya, Abu Darda mengatakan, “Wahai, anakku! Ingatlah kepada Allah pada waktu kamu bahagia maka Allah akan mengingatmu waktu kamu sengsara.

Hai, anakku,” lanjutnya, “Jadilah engkau orang yang berilmu atau penuntut ilmu atau pendengar, jangan jadi yang keempat karena yang keempat pasti celaka.” Sampai akhir hayatnya, Abu Darda—radhiyallahu ‘anhu—tetap menjalankan tugas yang mulia menjadi guru di Damaskus.
, Oleh: Prof Yunahar Ilyas

sumber : www.republika.co.id

Thursday, December 26, 2013

Mengambil Pelajaran dari Basmalah

Basmalah merupakan ayat pertama dari setiap awal surah dalam Alquran. Basmalah berjumlah 19 huruf. Setiap huruf mempunyai makna masing-masing. Dalam Alquran, setiap surat diawali dengan kata bismillahirrahamanirrahim.

Artinya, dengan menyebut nama (Allah) yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ayat tersebut memiliki berbagai macam manfaat dan tidak semua orang Muslim mengetahuinya. Allah SWT menganjurkan agar kita selalu membaca basmalah di setiap kegiatan.

Di antara manfaatnya adalah menghadirkan ketenangan hati manusia. Allah SWT selalu menganjurkan agar kita berzikir kepada-Nya. Dan, zikir paling mudah yang dapat dilakukan manusia adalah membaca basmalah.
Menyerukan basmalah juga merupakan wujud tawakal kita kepada Allah, mengharapkan kasih sayang-Nya, mengharapkan keridhaan dan keberkahan yang dimiliki-Nya pada setiap pekerjaan yang kita lakukan.

Dalam salah satu hadis dinyatakan, “Barang siapa yang melakukan suatu pekerjaan tanpa diiringi dengan basmalah maka keberkahan itu akan terputus”. Pada basmalah terdapat kata ar-Rahman dan ar-Rahim yang menjelaskan mengenai kasih sayang Allah yang begitu luas.

Siapa pun yang menginginkan ar-Rahman dan ar-Rahim dari Allah maka Allah selalu memberikannya. Ini tentu bagi siapa saja yang mau mendekati diri-Nya. Wujudnya adalah memberikan pertolongan kepada kita setiap dalam kesusahan.

Selain itu, Allah memberikan suatu keberkahan dalam setiap pekerjaan yang tak terduga dan memberikan perlindungan bagi umatnya yang sedang dalam musibah. Ar-Rahman dan ar-Rahim Allah juga mengajarkan kepada umat manusia untuk saling mengasihi.

Basmalah memiliki kekuatan yang sangat besar. Sayangnya, tak semua umat manusia mampu merasakan kekuatan kalimat tersebut. Allah mengajarkan agar umat Islam selalu mengucapkan basmalah ketika menjalankan setiap kegiatan.

Melalui basmalah, kita didorong untuk selalu mengingat Allah. Inilah kandungan dari basmalah yang mempunyai banyak makna dan tidak semua umat Islam mengetahui makna dari basmalah.
, Oleh Zena Fajrin Naufal

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, December 25, 2013

Saling Mendoakan

Jika kita ingin meminta kebahagiaan, kesehatan, kesenangan, rezeki berupa uang, pekerjaan, rumah tangga, anak-anak keturunan yang saleh salehah, lagi sehat-sehat, panjang umur, maka mintalah bukan hanya untuk diri kita.
Tapi juga untuk semua manusia di jagad alam ini. Kalo perlu, ketika bicara rezeki, minta buat seluruh penghuni alam semesta.

Ya, hanya dengan menambahkan sedikit kalimat, kita bakal menangguk kebaikan yang bukan main banyaknya. Energi doa buat yang lain, baliknya segede, seluas, sebanyak, sebaik, doa-doa yang kita panjatkan untuk yang lain.

Apalagi Islam memberi penilaian spesial, pahala dan kebaikan tambahan. Bahwa di setiap doa untuk semua mukmin mukminah, muslim muslimah, maka tiap satu orang tersebut, dihitung sebagai sedekah. Sedang setiap sedekah, diganjar 10 kali hingga 700 kali lipat.

Bayangkan ketika kita mendoakan dua milyar penduduk muslim? Itu akan bertambah-tambah, misalnya, ketika kita menyebut doa kita untuk semua muslim muslimah di semua zaman hingga akhir zaman. Masya Allah jumlahnya.

Ditambah lagi jika mau memohonkan kebaikan untuk semua manusia, misalnya untuk kesehatan, keamanan,  keselamatan, yang tentunya boleh, plus bagi semua makhluk di muka bumi.

Allahu akbar. Untuk pepohonan, dedaunan, pasir, air, udara... Bisa juga kita doakan, agar misalnya, amal tasbih penghuni alam diterima.

Malaikat-malaikat, yang pastinya diterima tasbih dan zikirnya, bisa juga kita doakan agar diterima Allah amal-amalnya. Para nabi, para rasul, para alim ulama, hingga ulama-ulama akhir zaman, kita doakan pula.

Allahu akbar, betapa dahsyatnya kebaikan yang kembali buat kita. Secara kita doakan saja Rasul kita, Nabi kita, Muhammad shalla 'alaih, udah nggak keruan banyaknya kebaikan, ini semua nabi.

Ya, pokoknya saat berdoa, lebarin, luasin, panjangin, banyakin, buat orang lain dan alam, di luar diri kita dan keluarga kita.

Hingga satu pagi, santri-santri Daarul Qur'an, ketika ditanya, "Gimana ananda berdoa saat mau mengerjakan ujian di hari ujian?". Jawabannya, menggembirakan. Buah dari pengajaran dan pengasuhan ustadz ustadzah di pondok.

Jawabannya, "Yaa Allah, ampuni saya, dan semua santri di Daarul Qur'an, berikut semua pengasuh, pengurus, pesantren, dan keluarga besarnya kami semua. Ampuni seluruh keluarga besar pesantren lain sedunia-Mu. Mudahkan saya, dan kawan-kawan sepesantren Daarul Qur'an, dan seluruh pesantren di seluruh dunia-Mu. Berikan kebaikan buat yang bikin soal, yang ngawasin, yang mereksa, yang nilai. Dan berikan kemudahan dan kesuksesan ujian dan penyelenggaraan ujian, di ujian-ujian berikutnya, dari santri-santri yang datang setelah kami hingga akhir zaman nanti..."

Subhaanallaah... Terasa kepedulian dan kebersamaannyan bahkan ketika masih berwujud doa. Mudah-mudahan juga nanti di amal-amal salehnya, di rizkinya, juga bukan untuk dirinya sendiri saja. Tapi untuk alam semesta dan seisinya.

Kiranya, mulai sekarang, kalau minta sembuh dari flu, batuk, doanya dilebarin, diluasin, dipanjangin... "Sembuhkanlah flu saya, dan flunya mereka-mereka yang flu. Juga flunya yang flu yang menimpa orang-orang kemudian...".
Hingga bila flu itu menimpa orang lain, maka kebaikan mengalir buat beliau yang flu, dan mengalir balik ke kita. Bayangkan itu. Kembangkan lagi di semua urusan doa dan mendoakan.
, Oleh Ustaz Yusuf Mansur
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, December 24, 2013

Pandai Bersyukur

Allah SWT berfirman dalam Alquran yang artinya, “Jika kalian bersyukur atas nikmat-Ku, maka Aku akan tambahkan nikmat tersebut kepada kalian, dan jika kalian kufur maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Mensyukuri nikmat Allah SWT adalah keharusan yang dilakukan manusia, karena sangatlah banyak nikmat Allah yang diberikan kepada manusia.

Biasanya kita bersyukur kepada Allah SWT kalau dapat uang, kita pun mengucapkan Alhamdulillah. Atau tatkala jabatan di kantor naik, barulah kita mengucap syukur kepada Allah SWT.

Sangat disayangkan, hingga saat ini yang ada dalam benak kita, rezeki Allah itu identik dengan harta, jabatan, kedudukan dan hal-hal materi lainnya.

Bahkan ada seorang hamba Allah yang merasa sangatlah miskin karena tidak punya uang, tidak punya kendaraan dan tidak punya rumah mewah. Dia merasa sangatlah miskin.

Setiap hari yang ia lakukan adalah mengeluh atas kondisinya. Yang dia inginkan adalah harta, uang, kekayaan dan lain sebagainya. Baginya, rezeki itu adalah uang, harta dan kekayaan.

Suatu malam dia bermimpi bertemu orang kaya. Dia meminta sejumlah uang. Orang kaya itu pun berkata, “Baiklah, saya akan berikan kepadamu Rp 50 juta, tapi kamu harus memotong dan menyerahkan kepada saya tangan kananmu.”

Mendengar itu, si miskin menjawab, “Saya tidak mau. Buat apa saya punya uang Rp 50 juta tapi tangan saya buntung.”
Orang kaya itu menaikkan tawarannya, “Baiklah kalau kamu tidak mau, saya akan beri kamu uang Rp 100 juta tapi kamu harus memotong kakimu sebelah kiri dan menyerahkannya kepada saya.” 

Si miskin dengan tegas menjawab, “Saya tidak mau. Buat apa punya uang Rp 100 juta tapi kaki saya buntung?”
Mendengar jawaban si miskin, orang kaya itu pun menaikkan tawarannya “Baiklah, saya naikkan tawaran saya, kamu akan saya beri uang Rp 200 juta, tapi congkel kedua matamu dan serahkan kepada saya.”

Mendengar itu, lagi-lagi si miskin berkata, “Buat apa saya punya uang Rp 200 juta tapi mata saya buta? Saya tidak mau,“ kata si miskin tegas.

Setelah tiga tawaran yang diajukan, orang kaya itu berkata, “Lantas, untuk apa kamu mengeluh terus menerus, tidak punya uang, tidak punya harta dan kekayaan? Bukankah dalam dirimu sudah kaya sekali? Bersyukurlah kepada Allah SWT atas nikmat yang diberikan.”

Mendengar penjelasan tersebut, si miskin terbangun dari tidurnya. Ia langsung beristighfar menyadari akan kekeliruannya selama ini.

Nikmat yang Allah berikan kepada umat manusia sangatlah banyak. Mulai dari nikmat sehat, nikmat iman dan nikmat islam. Semuanya itu jika dihitung, tidak akan pernah bisa dihitung.

Cobalah sejenak kita hitung dan renungkan berbagai nikmat Allah SWT mulai dari nikmat bangun tidur, nikmat bisa melaksanakan shalat Subuh berjamaah di masjid, nikmat membaca Alqur’an di pagi hari, nikmat bisa menghirup udara segar dan nikmat bisa melihat matahari pagi.

Juga nikmat bisa berolahraga, nikmat sarapan pagi, nikmat berangkat ke kantor, nikmat mengendarai kendaraan, nikmat selamat sampai di kantor, nikmat bisa kembali ke rumah dengan selamat, nikmat memiliki istri dan anak-anak yang shaleh.

Nikmat dan karunia yang Allah SWT berikan kepada kita, tidak selalu berupa uang, melainkan berupa hal-hal lain yang nilainya sangat mahal.

Perbanyaklah bersyukur kepada Allah SWT agar kita semua menjadi abdan syakuro (hamba yang pandai dan selalu bersyukur) atas nikmat yang Allah SWT berikan kepada kita. Amin. Wallahu 'alami bish shawab.
, Oleh: Ustaz Ahmad Dzaki, MA
sumber : www.republika.co.id

Monday, December 23, 2013

Menjaga Kehormatan

Baru-baru ini, mayoritas Umat Islam dikejutkan oleh kebijakan kontroversial bernama Pekan Kondom Nasional. Pada program itu dilakukan pembagian kondom secara gratis di sejumlah kampus, seakan mengajak kalangan mahasiswa menggunakan kondom.
Tentu saja aneh. Mahasiswa yang notebene mayoritas belum menikah itu diajak untuk melakukan hubungan badan dengan menggunakan kondom.

Kebijakan kontroversial itu diklaim sebagai upaya untuk menekan angka penularan penyakit AIDS. Tentu saja kebijakan seperti itu sangat aneh. Di satu sisi pemrintah ingin menekan pengidap AIDS di Indonesia yang setiap tahunnya meningkat. Tetapi di sisi lain, program itu seperti mengajak penduduk Indonesia untuk melakukan seks bebas dengan menggunakan alat kontrasepsi kondom.

Kebijakan itu sangat melukai hati umat Islam. Perilaku seks bebas d ikalangan remaja dan orang dewasa saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Ditambah dengan kebijakan Pekan Kondom Nasional, dipastikan banyak remaja dan orang dewasa yang semakin melakukan gaya hidup seks bebas. 

Sudah jelas-jelas bahwa gaya hidup ini merupakan gaya hidup masyarakat barat dimana orang bebas untuk melakukan hal-hal diatas tanpa takut menyalahi norma-norma yang ada dalam masyarakat. Berbeda dengan budaya timur yang menganggap semua itu adalah hal tabu sehingga sering kali kita mendengar ungkapan “jauhi pergaulan bebas”.
           
Dalam Islam, pergaulan bebas yang mengarah kepada seks bebas sudah jelas-jelas dilarang. Hal ini tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nuur: 30-31 Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.”

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.

Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.

Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S. An-Nuur: 30-31)
           
Dalam ayat itu sudah sangat jelas bahwa Islam telah mengatur bagaimana cara bergaul dengan lawan jenis. Ayat itu juga menerangkan bahwa hendaknya setiap Umat Islam menjaga pandangan mata dalam bergaul.
           
Dalam ayat lain, Allah SWT sudah melarang prilaku-prilaku yang dapat mengarah kepada perbuatan zina. Firman Allah, "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan sejelek – jelek jalan." (Q.S. Al Isra' : 32)

Sabda Nabi Muhammad SAW : “Demi Allah sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah wanita.”(HR Bukhari-Muslim).
, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein

sumber : www.republika.co.id

Sunday, December 22, 2013

Manajemen Pengendalian Diri

Pada suatu hari Khalid bin al-Walid, Bilal bin Rabah, Abu Dzarr al-Ghifari, dan Abdurrahman bin 'Auf  berdiskusi mengenai strategi perang.

Diskusi yang tidak dihadiri Nabi Muhammad SAW ini meruncing, karena masing-masing tidak dapat mengendalikan diri, saling emosi dan ngotot mempertahankan pendapatnya. Usulan Abu Dzarr dinilai salah oleh Bilal.

Abu Dzarr tidak terima dan menyatakan: "Hai Negro, engkau telah berani menyalahkan pendapatku!". Bilal pun marah dan bersumpah akan mengadukan penghinaan Abu Dzarr itu kepada Nabi SAW.
   
Bilal kemudian meninggalkan tempat menuju rumah Nabi SAW. “Wahai Rasulullah, aku baru saja menerima perlakuan diskrimitif dari Abu Dzarr. Aku dibilang negro,” tutur Bilal kepada Nabi SAW. Seketika wajah Nabi SAW tampak memerah mendengar pengaduan itu.

Berita pengaduan ini pun akhirnya sampai kepada Abu Dzarr, sehingga ia bergegas menemui Nabi SAW di masjid Nabawi. "Wahai Abu Dzarr, engkau telah melakukan diskriminasi dengan menghina ibunya (Bilal). Sungguh dalam dirimu masih tertanam sifat jahiliyah," kata Nabi kepadanya.
    
Mendengar nasehat Nabi SAW tersebut Abu Dzarr menangis, dan memohon kepada Nabi SAW agar memintakan ampun kepada Allah SWT. Ia menyesali tindakan diskriminatifnya. Ia berjanji di hadapan Nabi SAW untuk tidak mengulanginya, dan segera  memohon maaf kepada Bilal.
   
Setelah itu, Abu Dzarr keluar dari masjid menemui Bilal sambil merangkak menempelkan pipinya di tanah. "Wahai Bilal, aku tidak akan mengangkat pipiku sebelum aku mencium kakimu. Engkau sungguh mulia, akulah orang yang terhina," seru Abu Dzarr sambil sesunggukan.
    
Melihat sikap penyesalan Abu Dzarr, Bilal pun menitikkan air mata, lalu mengulurkan tangannya kepada tangan Abu Dzarr agar berdiri. Keduanya kemudian berpelukan dan saling menangis: menyesali apa yang telah terjadi.
   
Kisah tersebut sarat dengan pesan moral mengenai pentingnya manajemen pengendalian diri, terutama berinteraksi dengan sesama dan dalam situasi penuh perbedaan pendapat.

Sebab, jika tidak dikelola dan dikendalikan dengan baik, seseorang akan mudah marah. Marah yang berlebihan dapat menyebabkan kehilangan akal sehat dan cenderung bertindak bodoh: menghina, diskriminasi, caci maki, anarki, dan sebagainya.
    
Karena itu, ketika ada seseorang menemui dan meminta wasiatnya, Nabi SAW menyatakan: "Janganlah engkau marah". Orang itu mengulangi lagi permintaannya sampai beberapa kali, Nabi SAW tetap menjawab sama: "Jangan marah!" (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Ketidakmampuan mengendalikan diri berupa kemarahan itu ibarat bara api yang menyala dalam hati. Jika tidak dipadamkan, maka bara itu akan membakar dan menjerumuskan orang yang marah itu dalam kenistaan dan kehinaan.
     
Manajemen pengendalian diri dapat diaktualisasikan dengan beberapa tuntutan Nabi SAW berikut. Pertama, ketika mulai emosi dalam menghadapi suatu masalah atau kondisi, ucapkanlah a'udzu billahi minasy syaithanir rajim (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).

Kedua, sabda Nabi SAW: "Apabila salah seorang di antara kamu marah, segeralah berwudhu karena marah itu ibarat api." (HR Abu Daud). "Marah itu karena setan, sedangkan setan itu diciptakan dari api. Api hanya bisa dipadamkan dengan air. Karena itu, jika engkau marah, berwudhulah." (HR Abu Daud).

Ketiga, menurut riwayat Abu Hurairah, jika Nabi SAW marah dalam posisi berdiri, beliau lalu duduk. Ketika marah dalam posisi duduk, beliau kemudian berbaring, maka hilanglah marahnya." (HR. Ahmad dan at-Turmudzi).

Keempat, seperti dilakukan oleh Abu Dzarr, segerahlah beristighfar kepada Allah dan memohon maaf kepada yang dimarahi atau dihina, agar bara emosi itu padam, dan pengendalian diri menjadi lebih stabil, tenang, dan menjadi pribadi yang menyenangkan.

Kelima, pembiasaan puasa sunnah untuk lebih dapat mengendalikan diri, menstabilkan emosi, dan meredam gejolak nafsu amarah yang berlebihan. Karena puasa merupakan salah satu solusi pengendalian diri yang paling efektif. Wallahu a’lam bish-shawab!
, Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id

Saturday, December 21, 2013

Ringan Memberi

Suatu hari, seorang lelaki datang meminta-minta ke rumah Rasulullah SAW. Tidak berapa lama, Rasul keluar untuk memberi bekal kepada orang tersebut. Keesokan harinya, laki-laki peminta-minta itu datang lagi, Rasulullah juga memberinya lagi.

Keesokan harinya, datang lagi dan kembali meminta, Rasulullah pun memberinya lagi. Keesokan harinya, ia datang kembali untuk meminta-minta.

Kali ini Rasulullah berkata, “Aku sudah tidak mempunyai apa-apa saat ini. Tapi, ambillah yang kau mau dan jadikan sebagai utangku. Kalau aku mempunyai sesuatu kelak, aku akan membayarnya.

Melihat kedermawanan tersebut, sahabat Umar bin Khattab lalu berkata, “Wahai Rasulullah, janganlah memberi di luar batas kemampuan engkau.” Rasulullah rupanya tidak terlalu menyukai perkataan Umar tadi.

Tiba-tiba, datang seorang laki-laki dari sahabat Anshar menghampiri Rasulullah sambil berseru, “Wahai Rasulullah, janganlah engkau takut untuk terus memberi sedekah. Janganlah engkau khawatir dengan kemiskinan.

Mendengar ucapan laki-laki tadi, Rasulullah tersenyum, seraya berkata kepada Umar, “Ucapan itulah yang diperintahkan oleh Allah kepadaku.” (HR Turmudzi).

Begitulah, Rasulullah merupakan figur makhluk termulia, manusia paling dermawan, paling pemaaf, murah senyum, dan penuh kasih sayang terhadap umatnya.

Telapak tangannya dipenuhi curahan kebaikan. Air kedermawanan mengucur dari bukit kebaikannya. Beliau suka memberi, sosok insan yang gemar bersedekah tanpa pernah takut akan kefakiran dan kemiskinan menimpa dirinya.

Apalagi, ketika Ramadhan tiba. Kecepatan beliau dalam bersedekah melebihi kecepatan embusan angin. Begitu cepatnya dan begitu seketika tanpa perhitungan lagi. Wusss … begitu ada yang minta, kasih. Begitu ada yang memerlukan, beliau beri.

Begitu ada yang perlu pertolongan, beliau bantu. Bahkan, sebelum meminta pun beliau begitu perhatian dan penuh kepedulian.
Hingga, sahabat Anas bin Malik memberikan kesaksiannya, “Rasul belum pernah menolak permintaan seseorang demi tegaknya Islam.” (HR Muslim).

Sahabat Jabir bin Abdullah pun berujar, “Sekali saja tidak pernah Rasulullah mengatakan tidak untuk menolak permintaan orang.” (HR Bukhari Muslim). Rasul adalah pemimpin rumah tangga yang senantiasa menyediakan hidangan di rumahnya untuk dhuafa, tetangga, dan tamu.

Beliaulah yang mengajari kita memperbanyak kuah sayur untuk berbagi dengan sesama tetangga. Pantaslah kalau beliau mengingatkan kita dalam sabdanya, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia muliakan tetangganya dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tamunya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Pada hadis lainnya, beliau mengatakan, "Sesungguhnya Allah Maha Pemurah, Dia mencintai sifat pemurah, Dia mencintai akhlak yang tinggi dan membenci akhlak yang rendah.” (HR Baihaqi).

Kita saja yang kadang atau malah sering kali terlalu sayang memegang uang, sehingga lupa berbagi kepada yang meminta atau memerlukan. Kita berangapan harta itu milik kita pribadi. Padahal, hakikatnya itu titipan Allah yang dipercayakan kepada kita.
, Oleh: Ali Farkhan Tsani

sumber : www.republika.co.id

Friday, December 20, 2013

Menjadi Insan yang Pandai Bersyukur

Dalam kitab /Shahihain/ disebutkan Nabi SAW senantiasa menunaikan shalat malam,  hingga membuat kedua telapak kaki beliau bengkak. Melihat hal itu, Siti Aisyah RA bertanya, "Mengapa engkau melakukannya, ya, Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu baik yang terdahulu maupun yang terkemudian?" Nabi pun menjawab, "Tidak bolehkah aku bila menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?" (HR Bukhari)
Kisah di atas penuh dengan nilai keteladanan. Rasulullah SAW yang memiliki kedudukan mulia di hadapan Allah SWT dan segenap manusia, tidak lantas berjumawa dan lupa diri. Sebaliknya, Nabi tak melupakan nikmat yang diberikan kepadanya, dan mensyukuri karunia Allah itu sepanjang waktu.
Sesungguhnya,  bersyukur kepada Allah adalah amalan tertinggi, yang bahkan oleh Muhammad bin Shalih al-Munajjid dikatakan sebagai separuh iman, dengan separuhnya lagi adalah sabar.  Dalam buku /Silsilah Amalan Hati/, al-Munajjid, mengungkapkan,  Allah telah menggandengkan perintah mengingat-Nya dengan perintah bersyukur kepada-Nya.
Adapun perintah bersabar dalam pengerjaannya adalah sarana untuk mewujudkan keduanya. Maka itu, Allah akan memuji orang yang bersyukur, dan memberikan predikat sebagai mahluk-Nya yang terpilih. "Dan Allah menjanjikan bagi hamba yang bersyukur dengan balasan terbaik," ujar al-Munajjid.
Bersyukur secara pengertian bahasa yakni mengakui kebajikan. Ada istilah /syakartullaha/ yang berarti mensyukuri nikmat Allah. Dalam arti lain, bersyukur mengandung makna berterima kasih kepada pihak yang telah berbuat baik atas kebajikan yang diberikannya.
Lawan kata syukur adalah kufur.  Artinya mendustakan atau mengingkari nikmat. Dia juga ingkar kepada tanda-tanda kekuasaan Allah.  Menyangkut pihak-pihak yang kufur, Allah sudah menengarai.  "Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." (QS: al-Insaan [76] : 3)
Adalah iblis yang berada di belakang layar munculnya sikap kufur tadi. Itulah memang salah satu tujuan dari iblis, yakni menjauhkan manusia dari rasa bersyukur. "Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)." (QS al A'raaf [7] : 17)
Allah SWT lantas mewartakan bahwasanya orang-orang yang bersyukur kepada-Nya berjumlah sedikit. "Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur." (QS Saba' [34] : 13). Adapun sebagian besar lainnya cenderung bersenang-senang dengan nikmat yang diperoleh.
"Mereka enggan berterima kasih kepada Allah," ungkap Ibnu Qayyim.  Sehingga, sambung ulama terkemuka  itu, Allah mencirikan sesungguhnya yang mau beribadah kepada-Nya adalah orang yang bersyukur, dan mereka yang tidak mau bersyukur berarti bukan termasuk yang menyembah-Nya.
Dalam arti lain, bersyukur adalah tujuan penciptaan dan tujuan perintah-Nya. "Maka Allah menjadikan bersyukur sebagai penyebab bertambahnya karunia di sisi-Nya," tutur al-Munajjid.

sumber : www.republika.co.id

Thursday, December 19, 2013

Alquran, Manusia dan Alam

Konsep sederhana dari suatu sistem kehidupan adalah keutuhan hubungan (unity), yang untuk itu, sistem meniscayakan berlangsungnya harmoni hubungan antarkeseluruhan komponen yang membentuknya. 

Mobil, sebagai contoh sistem mekanik, yang terbentuk dari hubungan ratusan komponen, bila salah satu hubungan komponennya terganggu, maka mobil itu akan mogok. Demikian halnya dengan badan manusia sebagai sistem biologis, yang terbentuk dari hubungan sekitar 100 triliiun sel, bila di tempat tertentu hubungan antar sel terputus, maka akan membengkak, bahkan bisa jadi membusuk.

Karena itu, disimpulkan bahwa formula kehidupan  sebagai sistem (sunnatullah) adalah keniscayaan adanya harmoni hubungan antarsemua komponen konstitutif dari sistem bersangkutan. Maka begitulah, hukum kehidupan ini, berlaku dalam keseluruhan sistem kehidupan, baik sistem kehidupan mikro maupun makro.

Dalam konteks sistem makro, keseluruhan sistem kehidupan ciptaan Allah, terdiri dari tiga (sub) sistem besar: sistem Alquran, sistem sosial (manusia) dan sistem  semesta (alam). Tiga komponen sistem kehidupan ini, sesuai desain Allah, telah diciptakan-Nya dengan peranan yang jelas dan harmoni hubungan antarketiganya.

Peranan manusia adalah sebagai khalifah Allah di bumi: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi" [QS Al-Baqarah (2):30]. Peranan alam semesta adalah sebagai sumber daya untuk mendukung keberhasilan kekhalifahan manusia: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...” [QS  Al-Baqarah (2):29].

Dan peranan Alquran adalah sebagai petunjuk bagi manusia dalam melaksanakan tugas-tugas kekhalifahannya: “Kami turunkan kepadamu Al-kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” [QS Annahl (16):89].

Maka peranan manusia sebagai khalifah, meniscayakannya untuk selalu menggunakan (berhubungan dengan) Alquran yang berperan sebagai petunjuk hidupnya. Sehingga, tatkala manusia mengerjakan kemungkaran, itu berarti ia sengaja memutuskan harmoni hubungannya dengan Alquran. Maka hal ini, sesuai formula kehidupan di depan, pasti akan mencelakakan hidupnya.

Melakukan korupsi misalnya, bila ia tertangkap KPK, kendati ia pejabat tinggi sekalipun bila terbukti bersalah, maka sisa hidupnya akan berujung di penjara. Itu berarti kehidupan diri, anak, istri dan keluarga dekat lain akan terganggu. Persis seperti mobil yang mogok atau tubuh manusia yang luka  dalam contoh di depan.

Bila para koruptor dan semua orang yang telah mengerjakan kemungkaran tidak tertangkap di dunia, maka pengadilan Allah di akhirat pasti tidak akan membuat mereka lolos.

Karena Allah berfirman: “Luqman berkata, "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus [QS Luqman (31:16].

Begitu pula dengan hubungan manusia dengan alam. Seharusnya bersifat membangun dan memelihara dengan prinsip harmoni hubungan yang keberlanjutan. Bila sebaliknya, yaitu hubungan penguasaan dan ekploitasi, maka itu pasti mencelakakan manusia sendiri.  Stunami, banjir bandang, cuaca ekstrim adalah contoh-contoh yang telah terbukti mencelakakan banyak orang.

Maka, adalah keniscayaan bagi kita untuk menciptakan harmoni hubungan dengan Alquran dan alam. Dan ini akan terwujud hanya melalui pemahaman tentang alam (Iptek) dan Al-Quran (agama), serta integrasi keduanya melalui amalan (akhlak mulia).

Maka, marilah kita tumbuhkan keluarga kita menjadi keluarga yang di samping akrab dan ramah dengan alam sekitar, juga dan terutama sekali, menjadi keluarga yang ramah dan akrab dengan kitab suci kita: Al-Quranul Al-Karim. Fasih membacanya, paham maknanya dan mengamalkan pesan-pesanya. Sehingga, ‘rumah kita adalah surga kita’. Karena di dalamnya ada harmoni (sakinah), hubungan saling sapa dengan cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah).

Allah ‘alamu bishshawab.

Oleh DR M Masri Muadz MSc  (Penulis buku Paradigma Al-Fatihah)

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, December 18, 2013

Dahsyatnya Syahadat

Hampir bisa dipastikan, semua Muslim mengetahui atau setidaknya pernah mendengar kisah teladan seorang budak hitam, tapi terhormat di mata Rasulullah SAW. Dialah Bilal bin Rabah, seorang sahabat dari dataran Etiopia (Habsyi).

Bilal pernah mengalami beratnya penyiksaan dan penindasan yang dilakukan Umayyah bin Khalaf, salah seorang pemuka kafir Quraisy.

Fathi Fawzi Abd al-Mu’thi dalam Qashash Islamiyah fi Ashabiha Ayat Qur’aniyyah (2008) menceritakan, Bilal dipanggang di bawah terik matahari dengan tangan dan kaki terikat. Tak puas dengan kekejian itu, Umayyah bin Khalaf mengikat tubuh Bilal.

Bilal kemudian dijemur di atas hamparan pasir panas dan dadanya ditindih batu besar. Dalam rasa sakit yang luar biasa itu, Bilal tetap kukuh mempertahankan keyakinan dan keimanannya. Ia menahan pedihnya siksaan itu dan lisannya terus melafalkan, “Ahad…. Ahad….”

Penderitaan yang sama juga dialami Ammar bin Yasir beserta ayah dan ibunya, Samiyyah. Ketiganya harus merasakan siksa pedih dan berat dari keluarga Bani Makhzum yang kafir.

Abu Jahal yang ikut menyiksa akhirnya memukul Samiyyah hingga meninggal dalam keadaan mempertahankan pengakuan keesaan Allah dan kerasulan Muhammad. Ayah Ammar juga ditikam belati oleh Abu Jahal karena tak mau mengingkari keimanannya kepada Allah.

Ammar bin Yasir yang dikubur hidup-hidup di tengah padang pasir panas justru tidak pernah melepaskan kata, “Allah…. Allah….” Seakan, ia begitu terang memandang indah dan sejuknya surga.

Tidak kalah berat adalah siksaan yang harus diterima Khabbab bin al-Urti. Ia didera siksaan oleh majikannya, Ummu Anmar. Majikan perempuan kafir Quraisy itu tega menyeterika tubuh Khabbab dengan besi panas hingga kulit dan daging di punggungnya mengelupas.

Anmar menyuluti tubuh budaknya itu dengan api, sehingga banyak bagian tubuh Khabbab rontok. Namun, subhanallah, Khabbab tetap bersikukuh dalam keyakinannya kepada Allah. Lisannya tidak mau menghina dan mengingkari keesaan Allah dan kerasulan Muhammad.

Belum lagi, Rasulullah SAW yang harus menerima berbagai macam siksaan dan cobaan demi tegaknya dua kalimat syahadat di atas bumi Allah ini. Mulai dari dilempari kotoran manusia, hingga harus menerima lemparan batu berdarah-darah.

Mengucapkan syahadat atau dua kalimat syahadat merupakan syarat bagi orang yang hendak menjadi Muslim. Kalimat syahadat memang sangat sederhana. “Aku bersaksi tidak ada tuhan (ilah) selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah.”

Namun, kesahajaannya mampu menggoncang dan memecah belah fanatisme kesukuan masyarakat Arab saat itu. Para bangsawan Arab marah dan merasa dihinakan kehormatannya setelah Muhammad mendakwahkan kalimat syahadat ini.

Sebaliknya, dengan syahadat itu, para budak dan orang-orang lemah-tertindas merasa memperoleh pencerahan hidup dan optimisme. Sebab, tauhid dan syahadat memancarkan nilai-nilai egalitarianisme dan humanisme sejati.

Syahadat merupakan sebuah pembebasan dan jalan kemerdekaan yang mampu membangkitkan semangat hidup dan keputusan revolusioner orang-orang tertindas. Syahadat juga sebuah perjanjian dan kontrak hidup antara manusia dan Allah.

Dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, berarti seseorang menyadari sepenuhnya hidup dan kehidupan ini adalah ciptaan dan milik Allah. Hidup dan matinya seorang Muslim hanya untuk memperoleh ridha Allah.

Dengan demikian, kata Komaruddin Hidayat (2006), bersyahadat berarti keyakinan untuk memutuskan semua bentuk penghambaan selain Allah SWT.

Mengingat begitu dahsyatnya syahadat, umat Islam pun diwajibkan melafazkannya setidaknya sembilan kali setiap hari semalam dalam shalatnya. Ini penting karena hati, pikiran, dan perilaku perlu pengarahan, pembaharuan, dan penyegaran komitmen.

Di sinilah syahadat berfungsi sebagai penyangga seluruh bangunan di atasnya, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Mengingat begitu dahsyatnya syahadat, bisa dimaklumi jika umat Islam tersinggung oleh mereka yang suka bermain-main dengan syahadat.

Di antara mereka, ada yang mengucapkannya hanya untuk menikahi seorang perempuan lalu “meludahkannya” kembali. Seakan, hal ihwal keimanan adalah sebuah permainan yang tidak berpengaruh dalam kehidupan seorang Muslim. Semoga, Islam tetap menjadi agama ya’lu wala yu’la alaih. Amin. Wallahu a’alamu.
Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
sumber : www.republika.co.id

Kunci Kebahagiaan

Sudah pasti, tak satu pun manusia menginginkan kesengsaraan. Sebaliknya, seluruh manusia mendambakan kebahagiaan.
Tetapi, dunia adalah pentas yang Allah sediakan untuk melihat bagaimana perilaku manusia kala menerima qadha dan takdir-Nya.

Sudah sunnatullah dalam hidup ini ada yang kaya dan ada yang miskin. Bagi Allah, perkara yang paling penting dari seorang hamba adalah bagaimana sikapnya dalam menerima takdir-Nya. Apakah tetap melakukan amal terbaik dalam segala kondisi (QS 67:2) atau tidak?

Soal kaya dan miskin tidak semata-mata ditentukan hukum kausalitas (sebab-akibat). Dan, kebahagiaan di dalam Islam tidak bisa dibeli dengan materi. Sejauh ini, masih ada anggapan siapa yang rajin dan berilmu pasti ia akan mendapatkan kekayaan dunia.

Anggapan ini memotivasi banyak orang belajar untuk kelak dapat hidup kaya (secara materi), sehingga melakukan apa saja untuk itu. Padahal, di dalam Islam menuntut ilmu dengan rajin itu untuk mendapat ridha Allah dengan beriman dan bertakwa kepada-Nya.

Di sisi lain, kaya atau tidak manusia di dunia, itu bergantung dari niat di dalam hatinya. Jadi, akan mengejar apa seorang manusia sangat ditentukan olehniatnya.

Di dalam Alquran Allah menegaskan, “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.’’ (QS 11: 15-16).

Dalam tafsir Ibnu Katsir, Qatadah berpendapat, “Barang siapa yang menjadikan dunia ini sebagai tujuan, niat, dan sesuatu yang selalu ia kejar maka Allah akan memberikan balasan di dunia atas kebaikan yang telah ia lakukan, sehingga ketika menuju alam akhirat kelak, tidak ada lagi kebaikan baginya yang dapat diberikan sebagai balasan. Sedangkan, seorang mukmin akan diberikan balasan di dunia atas kebaikan yang telah dilakukannya dan diberikan pula pahala atasnya kelak di akhirat.”
Sebagai Muslim, kita mesti sadar Allah pasti akan memberikan ujian kepada seluruh hamba-Nya. Entah itu berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. (QS 2: 155).
Hal ini tidak bisa dihindari karena memang sudah ketetapan Allah bagi seluruh hamba-Nya yang mengaku beriman. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. 29: 2).

Artinya, kebahagiaan itu adalah ketika kita mengimani dengan kekuatan ilmu bahwa hidup ini hakikatnya adalah ujian, sehingga hadir keridhaan yang dalam dan keikhlasan yang menghujam terhadap segala qadha dan takdir Allah yang diterimanya. Ridha itulah kunci kebahagiaan.

Nabi bersabda, “Akan merasakan indahnya iman (bahagia), orang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul utasan Allah SWT.'' (HR Muslim).
, Oleh: Imam Nawawi

sumber : www.republika.co.id

Thursday, December 05, 2013

Adab Bertetangga

Manusia ditakdirkan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup sendiri, tanpa kerja sama dengan orang lain atau bermasyarakat.
Karena itu, dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita selalu hidup bertetangga, membutuhkan satu sama lain.

Tetangga merupakan mitra sosial terdekat kita. Dengan tetangga, kita belajar hidup bersama (learning to life together) secara simbiosis-mutualistik, saling berbagi dan saling menguntungkan.

Bertetangga dengan baik (rukun dan harmoni) merupakan manifestasi keimanan yang sempurna. Belum sempurna iman seseorang jika masih suka menyakiti tetangganya. "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tentangganya." (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Namun, terkadang kita menjumpai tetangga yang tidak tahu diri. Ibnu Mas'ud pernah didatangi oleh seorang sahabat yang mengadukan perlakuan tetangganya terhadap dirinya.
"Saya mempunyai seorang tetangga yang selalu menyakitiku, mencaci maki diriku, dan mempersempit gerak langkahku."

Ibnu Mas'ud menasehatinya, "Pergilah..! Jika tetangga itu maksiat kepada Allah, maka engkau harus tetap taat kepada-Nya dalam memperlakukannya!"

Hidup bertetangga secara baik merupakan miniatur moral hidup bernegara. Kita harus saling memahami hak dan kewajiban masing-masing.
Interaksi antartetangga dapat berjalan dengan baik jika semuanya mau hidup berbagi suka dan duka, tidak mengedepankan individualitas.

Suatu ketika Rasul SAW bertanya kepada para sahabat, "Tahukah kalian, apa saja yang menjadi hak-hak tetangga itu?" "Hanya Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu," jawab mereka.

Rasul lalu menjelaskan, "Hak-hak tetangga itu adalah: jika ia meminta pertolongan kepadamu, tolonglah dia; jika meminta pinjaman kepadamu, pinjamilah dia; jika meminta bantuan kepadamu, bantulah dia; jika ia sakit, jenguklah dia; jika ia memperoleh kebaikan atau kesuksesan, berilah ia ucapan selamat; jika ia mengalami musibah, berikanlah ta'ziyah (doa dan penghiburan); jika ia meninggal dunia, antarkanlah jenazahnya.

Janganlah engkau meninggikan bangunan rumahmu sehingga menghalangi ventilasi udara tetanggamu tanpa seizinnya; janganlah pula engkau menyakitinya karena engkau memasak suatu makanan yang baunya dapat dirasakan oleh tetanggamu tanpa engkau memberi sebagiannya.”
Jika engkau membeli buah-buahan, berikanlah sebagian untuknya. Jika engkau tidak memberinya, maka bawalah masuk buah-buahan itu ke dalam rumahmu secara sembunyi-sembunyi. Dan janganlah anak-anakmu sampai membawa keluar rumah buah-buah itu, sehingga anak-anak tetanggamu menjadi tahu dan memicu kemarahan mereka." (HR Tabrani).

Sungguh indah adab bertetangga yang diteladankan Rasul SAW. Jika hak-hak tetangga tersebut dapat dilaksanakan dalam kehidupan, niscaya konflik, kelaparan, kemalangan, dan penderitaan yang dialami tetangga tidak perlu terjadi.

Sebaliknya, dengan memenuhi hak-hak tetangga, semua warga masyarakat akan saling memiliki kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang tinggi.

Adab bertetangga tidak hanya penting dipahami oleh warga bangsa, melainkan juga penting diteladankan oleh para pemimpin. Keteladanan dari pemimpin menjadi salah satu barometer terwujudnya keharmonisan sosial.

Adab bertetangga yang diajarkan Rasulullah SAW tersebut tetap relevan diaktualisasikan di dalam masyarakat modern, terutama masyarakat perkotaan yang cenderung individualis dan menutup diri. Wallahu a’lam.
Oleh Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, December 04, 2013

Belajar dari Tanah

Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.'' (QS.22:5)

Dalam Kitab Suci Al-Qur’an,  ungkapan mengenai tanah banyak ditemukan dalam berbagai bentuk kata dan makna. Tanah disebut dengan turab (3:59), ath-thiin (7:12), dan al-Ardh (11:61).

Kemudian, arti tanah pun meluas sesuai konteksnya. Misalnya, shalshaalin yakni tanah liat kering berkaitan dengan penciptaan manusia (15:33). Sha’idan juruza yakni tanah tandus sebagai ujian terhadap manusia (18:8). Sha’idan zalaqon yakni tanah yang licin karena basah disirami hujan (18:40).

Juga sha’idan thayyiba yakni tanah yang suci untuk bertayammum (4:43). Ada pula tanah suci yang dihormati di muka bumi yang disebut haraman aaminan (28:57, 29:67), termasuk kesucian Palestina yang disebut al-ardhal muqaddasah (5:21). 

Tanah adalah asal manusia dan kelak akan menjadi tanah (20:55,30:20,15:28). Setelah manusia mati dan menjadi tulang belulang akan dibangkitkan kembali (23:82,37:16,53,27:67). Kelak orang kafir  akan menyesal dan ingin menjadi tanah lagi (78:40). 

Tanah seringkali dikaitkan dengan air hujan. Banyak ayat yang menjelaskan hujan yang membasahi bumi dan kebun-kebun (2:22,265,35:27).
Hujan turun ke bumi yang kering (mati), lalu Allah menyiraminya kemudian tumbuh rerumputan dan pepohonan. Hal ini diumpamakan kebangkitkan manusia di Hari Akhir (6:99,7:57,16:65,35:9).
Dalam Kitab Riyaadush-Shalihiin karya Imam Nawawi, diriwayatkan dari Abu Musa ra, Nabi SAW, bersabda : “Sesungguhnya perumpamaan hidayah dan ilmu yang diberikan Allah SWT kepadaku, seperti hujan yang membasahi permukaan bumi.'' (HR. Muttafaq alaih).

Dalam Hadits ini, ada tiga jenis tanah yaitu : Pertama ; Tanah Yang Subur. Kelompok ini disebut Nabi SAW. dengan naqiyyatun qobilatil maa-a fa anbatatil kala-a wal ’usybal katsiir (tanah subur yang bisa menyerap air sehingga  menumbuhkan banyak tumbuhan dan rerumputan).  

Ketika musim kemarau datang, lalu langit mendung dan hujan turun menyerap ke dalam tanah. Bibit tanaman tumbuh subur dan berbuah.
Tanah yang seperti ini ibarat orang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT yang senantiasa membuka hati dan pikiran untuk menerima ilmu dan hikmah.

Tiada henti menuntut ilmu (thalabul ’ilmi), mengajarkan dan mengamalkannya. Mereka selalu takut kepada Allah SWT, (58:11,39:9,35:28).

Kelebihan orang ’alim (berilmu) terhadap ’aabid (ahli ibadah yang tak berilmu) seperti kelebihanku terhadap orang yang paling rendah diantara kalian. Allah, malaikat dan penghuni langit dan bumi, sampai-sampai semut di sarangnya dan ikan di lautan, senantiasa meminta rahmat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”. (HR.Turmudzi). 
 
Kedua ; Tanah yang Gersang. Kelompok yang kedua yaitu ajaadibu amsakatil maa-a fa nafa’allahu bihan- nasa fa syaribuu wa saqamuu wa zara’uu' (tanah yang gersang namun masih bisa menyimpan cadangan air untuk diminum, mengairi lahan pertanian dan bercocok tanam). 

Nabi SAW. menyebut kelompok ini sebagai orang yang tidak bisa mengangkat kepalanya, yakni mengabaikan ilmu dan hidayah yang sudah diterimanya. Mereka adalah orang-orang yang berilmu pengetahuan tapi tidak mengajarkan dan mengamalkannya dengan baik.
Mereka tahu kebenaran dan kebaikan, namun hanya menyampaikan kepada orang lain. Mengajak orang berbuat baik tapi ia sendiri tidak melakukannya (2:44) dan berkata tapi tak berbuat (61:2-3).

Pepatah  mengatakan, ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon tak berbuah' (al-‘ilmu bilaa ‘amalin kasy-syajarin bilaa tsamarin).

Kelompok manusia seperti ini adalah orang fasik yakni berdosa besar. Hidayah dan ilmunya tidak bisa menerangi jalan hidupnya, meskipun bermanfaat bagi orang lain.

Ketiga ; Tanah yang Tandus. Kelompok ketiga yaitu qii’aanun laa tumsiku maa-an wa laa tunbitu kala-an (tanah tandus yang sama sekali tidak bisa menyimpan air dan menumbuhkan tanaman).

Tanah jenis ketiga diibaratkan orang yang tidak mau menerima hidayah Allah.  Mereka tidak mau belajar dan menuntut ilmu, tidak mau meminta dan menerima nasehat apalagi memberi manfaat bagi orang lain.

Ibarat tanah, ia tandus dan berbatu tak bisa ditanami, tak mengandung air untuk dijadikan sumur. Ia hanya hamparan tanah kosong yang tandus dan tak disenangi manusia.

Lahirnya manusia hidup tapi seperti mayit berjalan, karena tidak memberi manfaat bagi orang lain, bahkan untuk dirinya sendiri. Kehadirannya hanya menjadi beban dan ganjala. Merekalah orang-orang kafir dan munafik (2:6-20,9:84).

Begitu indahnya Allah SWT dan Rasul-Nya memberi perumpamaan. Sungguh, nasehat tersebut sangat menyentuh dan menyentil kita.
Seakan Allah SWT dengan bijak dan santun mengingatkan agar kita menjadi kelompok yang pertama, yakni laksana tanah yang subur. Bukan kelompok kedua apalagi yang ketiga.

Kalaupun dalam hidup ini kita sering melakukan dosa, namun jika penyesalan masih muncul itu pertanda akan ada kesempatan melakukan kebaikan.

Nasehat  Imam Ibn Athaillah patut menjadi motivasi.  ”Ma’shiatun awrosat dzullan waftiqooron khairun min thaa’atin awrosat ’izzan wastikbaaron (kemaksiatan yang menimbulkan rasa hina dan penyesalan, lebih baik dari pada ketaatan yang melahirkan rasa bangga dan kesombongan). Allahu a’lam bish-shawab.

Ketua Yayasan Dinamika Umat dan Dosen Unida Bogor
, Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung MA

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, December 03, 2013

Pengemis Buta dan Kemuliaan Akhlak Rasulullah SAW

Di sebuah sudut jalan ada seorang pengemis buta yang setiap harinya selalu mengumpat Rasulullah SAW. Ia berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad. Dia itu orang gila, pembohong, tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya!”

Tiada hal lain yang dilakukan si buta setiap hari, kecuali menengadahkan tangan dan mengumpat meneriakkan kata-kata itu berulang kali. Namun demikian, setiap hari di waktu pagi selalu ada seorang pria yang mendatangi pengemis itu dengan membawakannya makanan. Dan, tanpa berucap sepatah kata pun, pria itu selalu menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis buta itu.

Suatu ketika, pria yang biasanya datang memberinya makan tidak lagi datang kepadanya. Pengemis buta itu semakin hari semakin lapar dan bertanya-tanya dalam dirinya apa yang terjadi terhadap pria itu. Sampai suatu pagi ada seorang pria yang mendatanginya dan memberinya makan.

Namun, ketika pria itu mulai menyuapinya, si pengemis buta itu marah sambil menghardik, “Siapakah kamu? Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku!”

“Aku adalah orang yang biasa,” ujar pria itu.

“Tidak mungkin. Engkau bohong!” kata si pengemis buta itu.

“Sebab, apabila dia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah,” jawab pengemis buta itu lagi.

Mendengar jawaban si pengemis buta itu, pria tadi tidak dapat menahan air matanya. Dia menangis sambil berkata kepada pengemis itu. “Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Namaku Abu Bakar. Orang mulia yang biasa memberimu makan itu telah meninggal dunia. Dia adalah Muhammad SAW.”

Pengemis buta itu terkejut. Tubuhnya bergetar. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hanya air mata yang mengalir di pipinya. Deras, seolah tak terbendung, mengenang “Manusia Mulia” yang selalu dimakinya setiap hari. Subhanallah, sungguh keikhlasan dan kesabaran Rasulullah tiada tara.

Pada umumnya semua orang bisa sabar dan ikhlas saat diuji Allah dengan hal yang menyenangkan, tapi saat diuji dengan berbagai macam kesulitan, seperti kehilangan sesuatu atau musibah, maka kebanyakan merasa begitu sulit. Kisah Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ajaran Allah SWT bukanlah sebuah perjuangan yang mudah. Sebaliknya, itu merupakan perjuangan berat yang kemungkinan besar tidak akan mampu ditempuh oleh orang-orang atau bahkan nabi-nabi selain Muhammad.

Beliau harus berhadapan dengan orang-orang yang luar biasa liciknya, kejam, dan penguasa yang zalim. Diterpa berbagai hinaan, cacian, makian, fitnah, sumpah serapah, dan ejekan pun harus diterimanya. Luar biasanya, semua itu Rasul lalui dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Seolah dia tidak merasakan beban dan perjuangan yang sangat berat itu.

Ikhlas dan sabar merupakan dua kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dijalankan. Maka, apabila keduanya dijalankan bersamaan, Allah pasti akan menggantinya dengan kebaikan yang jauh lebih baik dari apa yang kita inginkan. Ikhlas menerima semua pemberian dari Allah dan bersabar bila semua pemberian dari-Nya diambil kembali.
Karena, sesungguhnya semua pemberian dari-Nya tidaklah kekal. Marilah kita ikhlas dan sabar dalam segala keadaan, yakinlah bahwa janji Allah pasti benar. Percayalah, ikhlas dan sabar akan membuahkan kebahagian hidup.

Wallahu a’lam.
, Oleh Oktavia

sumber : www.republika.co.id

Monday, December 02, 2013

Belajar Merasakan

Terkisah dari Ibnu Arabi dalam Futuhat al-Makkiyah. Di satu pagi, seorang santri menemui gurunya dalam keadaan pucat pasi. “Wahai Tuan Guru, semalam aku mengkhatamkan Alquran dalam shalat malamku.

Sang Guru tersenyum. “Bagus Nak. Nanti tolong hadirkan bayangan diriku di hadapanmu saat kau baca Alquran itu. Rasakanlah seolah-olah aku sedang menyimak apa yang engkau baca.”

Esok harinya, sang murid datang dan melapor pada gurunya. “Tuan Guru,”  katanya, “Semalam aku hanya sanggup menyelesaikan separuh dari Alquran itu.”

Engkau sungguh telah berbuat baik,” ujar sang guru sembari menepuk pundaknya. “Nanti malam lakukan lagi dan kali ini hadirkan wajah para shahabat Nabi yang telah mendengar Alquran itu langsung dari Rasulullah. Bayangkanlah baik-baik bahwa mereka sedang mendengarkan dan memeriksa bacaanmu.”

Pagi-pagi buta, sang murid kembali menghadap dan mengadu. “Duh Guru,” keluhnya, “Semalam bahkan hanya sepertiga Alquran yang dapat aku lafalkan.

Alhamdulillah, engkau telah berbuat baik,” kata sang guru mengelus kepala si santri. “Nanti malam bacalah Alquran dengan lebih baik lagi, sebab yang akan hadir di hadapanmu untuk menyimak adalah Rasulullah Saw sendiri. Orang yang kepadanya Alquran diturunkan.''

Seusai shalat Shubuh, sang guru bertanya, “Bagaimana shalatmu semalam?” “Aku hanya mampu membaca satu juz, Guru,” kata si santri sambil mendesah, “Itu pun dengan susah payah.”

Masya Allah,” kata sang guru sambil memeluk sang santri dengan bangga. “Teruskan kebaikan itu, Nak. Dan nanti malam tolong hadirkan Allah di hadapanmu. Sungguh, selama ini pun sebenarnya Allah-lah  yang mendengarkan bacaanmu. Allah yang telah menurunkan Alquran. Dia selalu hadir di dekatmu. Jikapun engkau tidak melihat-Nya, Dia pasti melihatmu. Ingat baik-baik. Hadirkan Allah, karena Dia mendengar dan menjawab apa yang engkau baca.”

Keesokan harinya, ternyata santri itu jatuh sakit. Sang Guru pun datang menjenguknya. “Ada apa denganmu?” tanya Sang Guru.
Sang santri berlinang air mata. “Demi Allah, wahai Tuan Guru,” ujarnya, “Semalam aku tak mampu menyelesaikan bacaanku. Hatta, Cuma al-Fatihah pun tak sanggup aku menamatkannya. Ketika sampai pada ayat, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin” lidahku kelu. Aku merasa aku sedang berdusta. Di mulut aku ucapkan “Kepada-Mu ya Allah, aku menyembah” tapi jauh di dalam hatiku aku tahu, aku sering memperhatikan yang selain Dia. Ayat itu tak mau keluar dari lisanku. Aku menangis dan tetap saja tak mampu menyelesaikannya.”

Nak...,” kata sang guru sambil berlinang air mata, “Mulai hari ini engkaulah guruku. Dan sungguh aku ini muridmu. Ajarkan padaku apa yang telah kau peroleh. Sebab meski aku membimbingmu di jalan itu, aku sendiri belum pernah sampai pada puncak pemahaman yang kau dapat di hari ini.

Ikhwah, para pecinta sejati tentu akan saling membimbing diri untuk bersama mendekat kepada Rabbnya. Mereka tidak akan canggung berbagi peran. Untuk belajar merasakan. Wallahu A’lam.
, Oleh: Muhammad Arifin Ilham
sumber : www.republika.co.id

Sunday, December 01, 2013

Sabar Jadi Kekuatan

Dalam medan apa pun, selalu dibutuhkan hadirnya orang-orang yang sabar. Membangun gedung, merawat tanaman, mendidik anak, mengembangkan usaha, membina masyarakat, hingga mengelola negara, berlangsung baik jika dilakukan orang yang punya kesabaran.

Pada semua jenis amal kebajikan dan kerja kesalehan, kesabaran menemukan keniscayaannya. Karena, amal adalah suatu proses. Dan, proses itu memerlukan waktu. Sedangkan, waktu menjadi salah satu batu ujian dalam menentukan tingkat kesabaran dalam beramal.

Sabar adalah seni dalam beramal. Ia menjadi hiburan spiritual yang membuat ahlul-'amal justru bisa merasakan kenikmatan di tengah-tengah lelahnya bekerja dan beramal.  Ia menjadi serum yang membuat para pencinta amal kebal dari penyakit putus asa dan cepat bosan.

Ia menjadi pil antibiotik yang bisa membentengi seorang yang beramal dari rasa kesia-siaan ketika tujuan belum tercapai. Sabar melipatgandakan kekuatan.
Dengan kesabaran, 20 orang mukmin akan mampu mengalahkan 200 orang kafir. Seratus orang mukmin yang sabar akan mampu mengalahkan 1.000 orang kafir.

Allah SWT menegaskan rumusan ini dalam firman-Nya, “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada 20 orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan 200 orang musuh. Dan, jika ada 100 orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan 1.000 orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (QS al-Anfal: 65).

Selemah-lemahnya orang yang sabar, dia tetaplah masih lebih baik dua kali lipat dibanding musuh hingga mampu mengalahkan mereka.
Inilah ruh yang harus dimiliki orang-orang mukmin, yaitu ruh kesebaran. Baik dalam beramal, berjuang, juga dalam menghadapi berbagai ujian.

Baik ujian menyakitkan, maupun mengenakkan. Keburukan dan kebaikan, dua-duanya ujian dan harus dimenangkan dengan kesabaran.
Ambillah pelajaran dari sejarah Bani Israil yang tidak pernah bisa bersabar ketika dihadapkan pada keterbatasan hidup dan penderitaan.

Mereka merasa bosan, mengeluh, dan berputus asa. Allah berfirman, “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: 'Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja...',” (QS al-Baqarah: 61).

Sebaliknya, ketika dihadapkan pada fasilitas dan kenikmatan hidup, mereka tamak dan lupa diri. Akhirnya, mereka menjadi lemah semangat dan tak punya nyali untuk menghadapi musuh.

Semoga Allah memberi kita kesabaran dalam beramal, berjuang, dan dalam menghadapi berbagai ujian. “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu).” (QS al-A'raaf: 126). Wallahu a'lam bish-shawab.
, Oleh Dedi Nugraha
sumber : www.republika.co.id

Saturday, November 30, 2013

Sumber Kesulitan

Tidak sedikit orang bersedih dan berputus asa ketika dilanda kesulitan dalam hidupnya. Padahal, bersama setiap kesulitan itu pasti akan datang kemudahan (QS Asy-Syarh [94]: 6). Percayalah.

Supaya terhindar dari segala bentuk kesulitan hidup, baik di dunia maupun akhirat, seseorang harus menjauhi hal-hal yang menjadi sumber datangnya kesulitan. Pertama, berpaling dari peringatan Allah SWT.

Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan sempit dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadan buta.”  (QS Thaha [20]: 124).

Kedua, durhaka kepada orang tua. Rasulullah SAW bersabda, “Semua dosa akan ditunda hukumannya menurut kehendak-Nya sampai hari kiamat nanti, kecuali hukuman terhadap perbuatan zina dan durhaka kepada kedua orang tua atau memutuskan silaturahim, sesungguhnya Allah akan memperlihatkan kepada pelakunya di dunia sebelum datang kematian.” (HR Bukhari).

Ketiga, bermuamalah dengan riba. Allah berfirman, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS al-Baqarah [2]: 275).

Keempat, bersifat bakhil. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang diberikan oleh Allah harta kepadanya, kemudian ia tidak mengeluarkan zakatnya, ia akan berwujud ular sangat besar yang akan menariknya dengan dua tulang rahangnya yang lebar, kemudian ia berkata, ‘Saya adalah harta simpananmu.’ Kemudian, Nabi membacakan ayat ‘Sayuthawwaquuna Maa Bakhiluu Bihi Yaumal Qiyaamati’ sampai akhir ayat.” (HR Muttafaq ‘alaih).

Kelima, kebiasaan menggunjing. Rasulullah SAW bersabda, “Ketika aku mi’raj ke langit, aku melewati suatu kaum yang mencakar-cakar wajah dan dada mereka dengan kuku yang terbuat dari timah. Kemudian, aku bertanya, ‘Siapakah mereka itu, wahai Jibril?’ Ia menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia dan senang menggunjing kehormatan mereka.’” (HR Abu Dawud).

Keenam, menyakiti tetangga. Rasulullah bersabda, “Demi Allah, tidaklah beriman. Demi Allah, tidaklah beriman. Demi Allah, tidaklah beriman.” Para sahabat bertanya, “Siapa, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Orang yang tetangganya merasa tidak aman dari kejahatannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis yang lain, “Sungguh, tidak akan masuk surga orang yang tetangganya merasa tidak aman dari kejahatannya.” (HR Muslim).

Ketujuh, menyebut-nyebut pemberian. Dari Abu Dzar bahwa Rasulullah bersabda, “Tiga hal yang menyebabkan Allah tidak akan berbicara dengannya dan tidak akan melihatnya pada hari kiamat dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih. Kemudian, ia berkata, ‘Rasulullah SAW mengulanginya sebanyak tiga kali.’ Abu Dzar berkata, ‘Mereka sungguh kecewa dan merugi, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Mereka adalah orang yang memanjangkan pakaiannya, yang menyebut-nyebut pemberian, dan yang menggunakan hartanya dari sumpah dusta.’” (HR Muslim). Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai hal yang dapat mendatangkan kesulitan hidup. Amin.
, Oleh: Imam Nur Suharno
sumber : www.republika.co.id

Thursday, November 28, 2013

Hati yang Santun


"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah  telah menjadi teman yang sangat setia." (QS Fushshilat [41]: 34)

Pada suatu malam khalifah Umar bin Abdul Aziz melakukan ronda di kawasan Damaskus. Ia ditemani seorang polisi. Keduanya masuk sebuah masjid yang kebetulan lampunya padam. Kondisi masjid itu gelap gulita.

Tak disangka sang khalifah mendapati seseorang sedang tidur di dalamnya. Orang yang tidur itu terbangun dan berkata kepada Umar: "Apakah engkau itu gila?" "Tidak, saya tidak gila," jawab khalifah.

Polisi  yang mengawal sang khalifah sempat tersinggung atas upacan tidak sopan itu. Ia bermaksud memukulnya, tapi dicegah oleh khalifah. "Jangan kau pukul dia. Dia cuma bertanya: "Apakah kamu gila? dan sudah saya jawab: tidak".

Sebagai Amirul Mukminin, saya sama sekali tidak merasa dihina atau dilecehkan. "Engkau jangan mudah marah, mungkin dia bertanya begitu karena belum sepenuhnya sadar. Dan boleh jadi kedatangan kita mengganggu tidurnya," nasehat Umar kepada polisi.

Kisah unik tersebut memberi pesan moral kepada kita bahwa berhati dan bersikap santun, tidak mudah emosi, dan mampu membawakan diri dalam berbagai situasi merupakan kunci kedamaian sosial.
Sebab emosi yang tidak terkendali hanya akan membawa kericuhan, pertengkaran, ketidak-harmonisan dalam bermasyarakat.

Kesantunan (al-hilm) dalam bersikap dan berperilaku dapat mengantarkan kita kepada persahabatan yang sejati. Hati yang santun tidak hanya dapat meredam permusuhan, dan mengalahkan nafsu amarah yang diprovokasi oleh setan, juga dapat mencerdaskan emosi dan tidak mudah menyakiti hati orang lain sehingga membuatnya mudah bergaul, beradaptasi, dan bermasyarakat secara empati dan baik hati.

Muslim yang berhati santun pasti tidak mudah marah dan meluapkan emosi tanpa pengendalian diri. Nabi Muhammad SAW adalah figur berhati santun yang patut diteladani. 

Beliau pernah dilempari kotoran setiap kali melewati rumah seorang Yahudi, tetapi beliau tidak balas dendam dan sakit hati. Pada kali yang keempat lewat di depan rumahnya, beliau justeru merasa heran, kenapa orang yang biasa melemparinya dengan kotoran busuk itu tidak mengulangi lagi perbuatannya.

Setelah diselidiki, ternyata orang Yahudi itu sakit. Beliau malah merespon positif dengan mendatangi rumahnya untuk menjenguk dan mendoakan kesembuhan baginya.

Melihat perlakuan Nabi SAW yang luar biasa santun dan murah hati seperti itu, si Yahudi itu malu hati dan sempat menduga kedatangannya untuk membalas dendam.
Sesampai di rumahnya, beliau ternyata memberi senyum ramah kepadanya sembari menanyakan sakitnya sekaligus mendoakannya agar segera sembuh dan pulih seperti sedia kala.

Ia kemudian meminta maaf kepada beliau. "Sungguh engkau adalah orang yang sangat berhati mulia, santun, dan pemaaf. Engkau tidak menaruh dendam sedikit pun kapadaku, padahal aku telah menyakiti hatimu. Agama yang membuatmu berhati santun dan pemaaf itu pastilah agama yang benar dan sesuai dengan fitrah manusia," tutur Yahudi itu kepada beliau. Akhirnya, orang Yahudi itu pun masuk Islam.

Sungguh indah hati yang santun itu, karena hanya akan melahirkan kata-kata, sikap, dan perbuatan yang santun pula.
Begitulah dahulu Nabi SAW berdakwah dengan kesantunan hati, sehingga  orang Yahudi yang sangat keras permusuhannya terhadap orang-orang  beriman (QS Al-Maidah [5]: 82) itu pun mengakui kemuliaan dan keluhuran moralitas Islam yang diteladankan Nabi SAW.

Dari hati yang santun seperti itulah, Islam sebagai rahmat bagi semesta raya dapat diwujudkan dalam kehidupan kita yang semakin hari semakin gersang dari kesantunan hati. Semoga! Wallahu a'lam bish Shawab.
, Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, November 27, 2013

Keutamaan Hidup Ikhlas

 Hidup kadang kala bahagia, kadang kala mendapat musibah. Di kala kita berada di puncak kesuksesan, kita akan mudah dan bahagia menjalankannya. Ibarat gula, diri kita akan disanjung-sanjung banyak orang. Banyak orang yang ingin mendekat dengan kita. Segala kebutuhan dan keinginan fisik kita akan mudah terpenuhi. Mau makan enak dan lezat, bisa. Mau bepergian ke tempat-tempat destinasi mewah, bisa. Mau apapun kita bisa lakukan. Kita pastinya ingin hidup seribu tahun.


Namun bagaimana jika kita tengah mendapatkan ujian. Ujian musibah, ujian penyakit hingga kekurangan harta? Hidup bagaikan roda yang terus menggelinding dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Tidak ada sanjungan dari orang. Orang-orang yang dahulu mendekati, kini satu persatu menjauh. Kekayaan yang sebelumnya kita mudah dapat, kini sangat sulit. Tidak ada lagi kemewahan, yang ada malah kesengsaraan dan kelaparan. Pada posisi ini, terkadang kebanyakan dari kita mengeluh. Tiada hari tanpa berkeluh kesah. Kebanyakan dari kita memaki keadaan. Padahal, pada kondisi ini jiwa kita tengah diuji.

Dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 155-157, Allah SWT berfirman: “ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah [2] : 155-157).

Surah ini seharusnya menjadi dasar kita dalam menjalani hidup. Ketahuilah, sabar akan sangat sulit dilakukan, apabila kita tidak mampu menyadari, bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, pada hakikatnya hanyalah ujian. Harta yang kita miliki, karir yang bagus, rumah dan mobil mewah yang kita miliki, anak dan keluarga, itu semua adalah ujian dari Allah dan titipan Allah. Apakah kita bersyukur atau menjadi kufur?

Kita harus memahami dengan sebaik-baiknya bahwa Allah SWT pemilik yang sebenar-benarnya atas segala sesuatu apapun yang kita miliki di dunia ini.  Dengan kesadaran itu, maka Insya Allah kita akan lebih mudah menjalani hidup. Karena kita menyadari, bahwa semua itu adalah milik Allah dan titipan Allah.  Dan yang namanya titipan, suatu saat nanti memang pasti akan kembali pada pemiliknya, kapan pun pemiliknya menghendaki apa yang dititipkan kembali atau mau mengambilnya dari kita, maka kita harus dengan rela memberikannya.

Inilah makna dari hidup ikhlas. Ikhlas dalam menjalani kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kekayaan. Ikhlas pula tatkala kita tengah mendapatkan ujian hidup sengsara dan miskin harta. Jalanilah kesusahan sebagai pengalaman pertama. Jalani kegagalan sebagaimana itu sebagai pengalaman pertama hidup kita. Ketahuilah dan yakinlah, bahwa sesungguhnya dalam setiap cobaan berat yang Allah SWT berikan untuk kita, maka ada hikmah dan pahala yang besar yang menyertainya.

Seperti Sabda  Rasulullah SAW, “Sesungguhnya pahala yang besar itu, bersama dengan cobaan yang besar pula. Dan apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan menimpakan musibah kepada mereka. Barangsiapa yang ridha maka Allah akan ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang murka, maka murka pula yang akan didapatkannya.” (HR. Tirmidzi, dihasankan al-Albani dalam as-Shahihah).

Rasulullah SAW  bersabda,  “Tiada henti-hentinya cobaan akan menimpa orang muslim, baik mengenai dirinya, anaknya, atau hartanya sehingga ia kelak menghadap Allah SWT dalam keadan telah bersih dari dosa (HR. Tirmidzi).

Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seseorang mendapatkan pemberian yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kita harus rela menerima segala  ketentuan  Allah  dan menyadari bahwa apapun yang terjadi, sudah ditetapkan Allah SWT dalam Lauhul Mahfuzh. Kita wajib menerima segala ketentuan Allah dengan penuh keikhlasan.

Allah SWT berfirman,  “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS al-Hadid [57] : 22).

sumber : www.republika.co.id

Saturday, November 23, 2013

Ikhlas dan Sabar

Di sebuah sudut jalan ada seorang pengemis buta yang setiap harinya selalu mengumpat Rasulullah SAW. Ia berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad. Dia itu orang gila, pembohong, tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya!”

Tiada hal lain yang dilakukan si buta setiap hari, kecuali menengadahkan tangan dan mengumpat meneriakkan kata-kata itu berulang kali.

Namun demikian, setiap hari di waktu pagi selalu ada seorang pria yang mendatangi pengemis itu dengan membawakannya makanan.
Dan, tanpa berucap sepatah kata pun, pria itu selalu menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis buta itu.

Suatu ketika, pria yang biasanya datang memberinya makan tidak lagi datang kepadanya. Pengemis buta itu semakin hari semakin lapar dan bertanya-tanya dalam dirinya apa yang terjadi terhadap pria itu. Sampai suatu pagi ada seorang pria yang mendatanginya dan memberinya makan.

Namun, ketika pria itu mulai menyuapinya, si pengemis buta itu marah sambil menghardik, “Siapakah kamu? Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku!” “Aku adalah orang yang biasa,” ujar pria itu. “Tidak mungkin. Engkau bohong!” kata si pengemis buta itu.

Sebab, apabila dia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah,” jawab pengemis buta itu lagi.

Mendengar jawaban si pengemis buta itu, pria tadi tidak dapat menahan air matanya. Dia menangis sambil berkata kepada pengemis itu.

Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Namaku Abu Bakar. Orang mulia yang biasa memberimu makan itu telah meninggal dunia. Dia adalah Muhammad SAW.”

Pengemis buta itu terkejut. Tubuhnya bergetar. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hanya air mata yang mengalir di pipinya. Deras, seolah tak terbendung, mengenang Manusia Mulia yang selalu dimakinya setiap hari. Subhanallah, sungguh keikhlasan dan kesabaran Rasulullah SAW tiada tara.

Pada umumnya semua orang bisa sabar dan ikhlas saat diuji Allah dengan hal yang menyenangkan, tapi saat diuji dengan berbagai macam kesulitan, seperti kehilangan sesuatu atau musibah, maka kebanyakan merasa begitu sulit.

Kisah Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ajaran Allah SWT bukanlah sebuah perjuangan yang mudah.
Sebaliknya, itu merupakan perjuangan berat yang kemungkinan besar tidak akan mampu ditempuh oleh orang-orang atau bahkan nabi-nabi selain Muhammad.

Beliau harus berhadapan dengan orang-orang yang luar biasa liciknya, kejam, dan penguasa yang zalim. Diterpa berbagai hinaan, cacian, makian, fitnah, sumpah serapah, dan ejekan pun harus diterimanya.

Luar biasanya, semua itu Rasul lalui dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Seolah dia tidak merasakan beban dan perjuangan yang sangat berat itu.

Ikhlas dan sabar merupakan dua kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dijalankan. Maka, apabila keduanya dijalankan bersamaan, Allah pasti akan menggantinya dengan kebaikan yang jauh lebih baik dari apa yang kita inginkan.

Ikhlas menerima semua pemberian dari Allah dan bersabar bila semua pemberian dari-Nya diambil kembali. Karena, sesungguhnya semua pemberian dari-Nya tidaklah kekal.

Marilah kita ikhlas dan sabar dalam segala keadaan, yakinlah bahwa janji Allah pasti benar. Percayalah, ikhlas dan sabar akan membuahkan kebahagian hidup. Wallahu a’lam.
, Oleh: Oktavia
sumber : www.republika.co.id

Thursday, November 21, 2013

Kenapa Gampang Marah?

Anda pernah marah? Semua manusia normal pasti pernah merasakan marah dan gembira, menangis dan tertawa, sedih dan senang, murung dan ceria. Kemarahan lumrah dialami siapa saja. Rasulullah sendiri pernah marah, sebagaimana sabda beliau, “Aku ini manusia biasa, aku bisa senang sebagaimana manusia senang dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah.” [HR Muslim].

Kemarahan muncul dari dorongan nafsu, yang merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, sepanjang masih bernama manusia, kemarahan pasti ada. Kemarahan orang itu beragam. Menurut Imam Al-Ghazali, ada orang yang begitu lekas marah, lekas reda. Yang lain, lambat marah, lambat pula redanya. Yang terbaik tentu yang lambat marah, tetapi lekas redanya.

Orang beriman harus pandai mengendalikan kemarahan agar tidak meluap, sehingga menyebabkan gelap mata, tuli telinga, mati hati, tumpul akal, hilang pertimbangan. Bijak bestari mengatakan, kapal di laut yang dipermainkan gelombang dan kehilangan kompas masih lebih baik ketimbang kondisi orang yang dilanda kemarahan. Karena, ketika kapal itu rusak, orang yang melihat masih merasa iba. Tetapi orang yang marah, semakin ditolong semakin karam, semakin dibangunkan semakin jatuh, sehingga orang jemu melihatnya.

Kendati demikian, mengendalikan kemarahan sungguh tidak mudah. Terlalu banyak persoalan yang mudah menyulut kemarahan. Tidak heran, Rasulullah menyebut orang yang berhasil mengendalikan kemarahan sebagai orang perkasa. Bukhari dan Muslim mengutip hadis sahih yang berbunyi, “Orang perkasa itu bukanlah orang yang mampu membanting lawannya. Tetapi, siapa yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah, itulah orang perkasa.” 

Bahkan, ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah dan meminta nasihat, beliau hanya berpesan, “Jangan marah!” Menurut Abu Hurairah, Rasulullah mengulang pesan singkat itu sampai beberapa kali. Itu berarti, mengendalikan kemarahan memang sangat diperintahkan. Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa kemampuan mengendalikan kemarahan adalah salah satu ciri orang bertakwa.

“(Orang-orang bertakwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan (harta), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan marah dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [QS Ali Imran/3: 134].

Memaafkan kesalahan orang pasti sukar dilakukan jika hati diselimuti kemarahan. Jangankan memaafkan, yang muncul justru dendam. Kemarahan yang diposisikan pada waktu dan tempat yang pas, itulah marah profesional. Prof Hamka pernah membagi tiga tipologi kemarahan.

Pertama, marah terpuji. Dijelaskan Buya Hamka, marah tipologi ini termasuk ghirah li al-sharaf (marah demi menjaga kehormatan). Ketika Islam dilecehkan, orang beriman wajib marah. Juga ketika istri atau suami kita diselingkuhi orang. Orang yang tidak marah melihat kondisi demikian dikatakan sebagai dayus alias hina budinya. Sebab kehadiran Islam sendiri sejatinya melindungi lima hal prinsip: agama, jiwa, akal, kehormatan, harta. Aisyah berkisah,“Rasulullah tidak pernah marah karena urusan diri pribadi, kecuali jika batasan syariat Allah dilanggar, maka beliau akan marah dengan pelanggaran tersebut karena Allah.”  [HR Bukhari dan Muslim].

Kedua, marah tercela. Inilah kemarahan yang semata termotivasi dorongan nafsu. Kendati tidak dilarang, kemarahan tipologi ini harus dihindari. Islam mengajarkan sikap sabar. Tetapi sabar adalah ketika sesuatu yang menjengkelkan itu terjadi. Kalau kita marah-marah ketika kehilangan barang, kemudian besoknya setelah kemarahan itu hilang, tiba-tiba kita mengaku bersabar, itu namanya bukan sabar. Rasulullah bersabda, “Kesabaran itu pada goncangan pertama.” [HR Bukhari dan Muslim].

Ketiga, marah terlarang. Kemarahan ini umumnya timbul dari sikap pongah, congkak, dan merasa paling hebat dari yang lain. Tidak ada yang dapat dipetik dari kemarahan tipologi ini kecuali penyesalan. Pelakunya biasa disebut sebagai pemarah. Pemarah tidak pernah dapat mengatasi masalah. Yang terjadi justru berkurangnya kawan, merosotnya martabat, puasnya pendengki, dan bergembiranya musuh. Kata Buya Hamka, ujung dari kemarahan ini adalah penyakit tahawur (berani babi) dan jubun (pengecut).

Kemarahan yang dikelola secara profesional akan menimbulkan sikap syaja’ah. Itulah keberanian yang berlandaskan kebenaran. Ali bin Abu Thalib adalah seorang pendekar jihad. Dalam sebuah pertempuran, Ali berhasil membekuk seorang lawan. Tinggal satu langkah lagi Ali akan mengakhiri riwayat musuh itu. Tiba-tiba, musuh yang tidak berdaya itu meludahi Ali tepat di mukanya. Spontan, Ali melepaskannya. Ada apa gerangan? Ternyata Ali tidak mau membunuh musuh hanya karena marah akibat diludahi, bukan tulus karena membela agama Allah. Sungguh sebuah contoh sikap pemberani yang mampu mengatasi kemarahan.

Pemuda berjuluk Kota Ilmu itu begitu meneladani junjungannya, Rasulullah. Setiap cercaan dan siksaan selalu disikapi Rasulullah dengan kelembutan dan kesabaran. Setiap berangkat dan pulang ibadah di masjid diludahi orang, beliau tidak marah. Salat di Kakbah selalu dilempari kotoran, beliau tetap tenang. Berdarah-darah karena diserbu penduduk Thaif dengan batu, beliau malah balas mendoakan. Bahkan, ketika Aisyah, istri tercinta, digosipkan berselingkuh dengan Shafwan bin Muathal sepulang dari pertempuran melawan Bani Musthaliq, beliau juga tidak membalas fitnah keji yang disebarkan gembong munafik Abdullah bin Ubai itu. Keluhuran akhlak Rasulullah benar-benar diakui kawan sekaligus lawan. Mungkinkah kita sanggup meneladani sosok Matahari Dunia itu?

Kehidupan keseharian kita kerap diwarnai kemarahan. Mendengar pribadi kita diserang, seketika kita naik pitam. Melihat partai atau aliran kita dipojokkan, berjuta cara kita lakukan untuk balas memojokkan. Lucunya, saat kepemimpinan kita dikritisi, segera kita gelar jumpa pers untuk mengemukakan seribu dalih untuk membela diri. Kita rajin mencari pendapat yang menguatkan alibi diri. Kita juga cenderung menggilai sanjungan sembari mengumpat kritik. Kemarahan kita sungguh jauh dari sikap profesional.

Api kemarahan juga sering meletup dalam kehidupan kolektif kita. Sangat mudah kita temukan penyelesaian persoalan dengan jalan kekerasan. Pelakunya bisa berupa lembaga atau organisasi, termasuk yang berbaju agama. Setiap kelompok akan mudah menempuh jalan ngawur apabila tidak mampu mengendalikan kemarahan. Padahal kemampuan mengendalikan kemarahan akan mendatangkan keuntungan besar di masa mendatang. Rasulullah bersabda, “Barang siapa menahan kemarahannya padahal dia mampu untuk melampiaskannya, niscaya Allah akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya.” [HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad].
     
Menurut At-Thibi, mengendalikan kemarahan yang dipuji dalam hadis itu adalah ketika seseorang sedang marah dan mampu untuk melampiaskan. Sementara ketika dia tidak mampu melampiaskan, misalnya karena takut kepada orang yang membuatnya marah atau karena kelemahannya, maka menahan kemarahan dalam keadaan demikian tidak termasuk yang dipuji.

Simak kisah menarik yang ditulis Ibnu Rajab dalam kitab ‘Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam’ berikut. Khalifah Umar bin Abdul Aziz marah. Putranya yang bernama Abdul Malik lalu berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, dengan karunia dan keutamaan yang Allah berikan kepadamu, engkau marah seperti ini?” Umar bin Abdul Aziz berkata, “Apakah kamu tidak pernah marah, Wahai Abdul Malik?” Lalu Abdul Malik menjawab, “Tidak ada gunanya bagiku lapangnya dadaku kalau tidak aku gunakan untuk menahan kemarahanku di dalamnya supaya tidak tampak, sehingga tidak mengakibatkan keburukan.”
, Oleh M Husnaini
(Penulis Buku “Menemukan Bahagia”)
Alamat Email: hus_surya06@yahoo.co.id

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, November 20, 2013

Kenapa Bermental Pengemis?

“Kakek 74 Tahun Tewas dalam Pembagian Daging Kurban”, “Berbagi Sedekah Renggut 3 Nyawa”, “Zakat Belum Tuntas Dibagikan, 5 Nyawa Melayang”, “Pembagian Sembako Ricuh, Seorang Wanita Hamil Pingsan”.
Begitulah judul-judul berita di media massa yang kerap mengusik batin kita. Di negeri super kaya ini, ternyata masih ada kasus rebutan ‘makan’ yang menelan korban. Bagi-bagi berkah malah berujung malapetaka.

Banyak pihak menagih tanggung jawab panitia penyelenggara. Panitia dianggap lalai, karena terjadi kericuhan dan menyebabkan kematian. Muncullah larangan pembagian ‘sesuatu’ secara massal. Di Sumatera Barat, misalnya, MUI melarang pembagian zakat atau sedekah massal.
Alasannya, mengumpulkan calon penerima dalam jumlah banyak dalam satu tempat itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Menurut MUI, itu sama dengan melecehkan dan menyusahkan masyarakat. Terlebih kalau zakat atau sedekah yang diterimakan hanya Rp 20 ribu. Jelas tidak sebanding dengan risiko yang ditanggung penerima.

Kita sepakat dengan larangan itu. Acara berbagi rezeki massal itu memang mudaratnya lebih besar tinimbang manfaatnya. Terlebih jika pelaksanaannya tidak profesional. Banyak cara dapat ditempuh untuk menerimakan zakat atau sedekah kepada yang berhak. Tidak harus mengumpulkan khalayak, apalagi mengeksposnya besar-besaran di media massa, sebagaimana biasa kita saksikan.
Risikonya tidak hanya menimpa penerima. Pemberi juga rentan terancam virus senang menampilkan kebaikan (riya’) atau memperdengarkan kebaikan (sum’ah). Islam tidak melarang sedekah terang-terangan. Tetapi menyembunyikan sedekah itulah yang lebih utama.

“Jika kamu menampakkan sedekah, maka itu baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan darimu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS Al-Baqarah: 271].

Indah nian ajaran Islam tentang cara bersedekah. Ayat itu kian jelas ketika dikaitkan dengan hadis Rasulullah tentang tujuh golongan manusia yang kelak mendapatkan payung dari Allah pada hari mahsyar. Mereka itu, di antaranya, adalah “...seseorang yang bersedekah kemudian menyembunyikannya, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan tangan kanannya.” [HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi].

Kendati demikian, bukan Islam jika tidak mengajarkan keseimbangan. Orang kaya diperintahkan untuk gemar bersedekah. Di sisi lain, kaum jelata dilarang meminta-minta. Agama dan budaya mana pun pasti sepakat bahwa mental pengemis itu bukan sebuah kemuliaan. Di mana-mana pengemis akan dipandang rendah dan hina. Sementara Allah menginginkan umat Islam tampil sebagai pribadi mulia. Mulia sebagai orang kaya yang gemar bersedekah. Mulia sebagai orang miskin yang pantang meminta-minta.

Indonesia sendiri belum keluar dari jeratan kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) perbulan Maret 2013, warga miskin di Indonesia mencapai 28,07 juta jiwa atau 11,37%. Angka kemiskinan itu melebihi target Pemerintah dan DPR dalam APBN-P 2013 bahwa angka kemiskinan ditetapkan 10,5%. Demikian pula, data BPS perbulan Februari 2013 menunjukkan, pengangguran di Indonesia mencapai 7,17 juta jiwa atau 5,92%. Padahal target Pemerintah dan DPR sebesar 5,5-5,8% di akhir 2013. Angka-angka itu menunjukkan bahwa 1 di antara 9 orang Indonesia adalah miskin dan 1 di antara 17 orang Indonesia adalah pengangguran.

Namun demikian, kita tidak yakin bahwa setiap pengemis di Indonesia ini pasti orang miskin. Belum tentu pula mereka yang berebut zakat atau sedekah sampai tidak peduli keselamatan diri itu adalah orang jelata. Sudah banyak buktinya. Ketika ada program bantuan uang atau beras dari pemerintah, tidak sedikit orang berebut meminta jatah.
Kendati tergolong mampu secara ekonomi, demi mendapatkan jatah bantuan, banyak orang minta dicatat sebagai warga miskin. Itulah yang juga terjadi pada pembagian zakat, sedekah, daging kurban, dan serupanya. Orang sangat nekat untuk mendapatkan rezeki cuma-cuma itu. Tidak mau antri. Ketika sudah mendapatkan jatah pun terus ingin tambah lagi dan lagi.

Demikianlah mental pengemis, yang sering memicu masalah. Berarti, gemar meminta-minta itu jelas faktor mental, bukan faktor miskin atau kaya. Bukti lain, banyak orang yang hidupnya sederhana ogah meminta-minta. Sebaliknya, banyak orang berharta sangat melimpah malah terlampau gemar meminta-minta, bahkan menghalalkan segala cara. Tengok saja para pejabat yang mengemis suara rakyat, menjual diri demi jabatan, menempuh jalan pintas untuk mendongkrak nama, melakukan gratifikasi dan korupsi agar lekas kaya. Adakah mereka itu bukan orang kaya?

Padahal Rasulullah berpesan, “Barang siapa meminta-minta kepada orang dengan maksud supaya apa yang dimilikinya menjadi banyak, maka sebenarnya orang itu meminta bara api.” [HR Muslim]. Ketika menafsirkan hadis ini, Al-Qadhi lyadh berkata, orang yang sebenarnya sudah cukup tetapi masih meminta-minta lebih dari kebutuhan akan disiksa di neraka. Kalimat “meminta bara api” dapat pula diartikan secara lahiriah, yaitu api akan dimasukkan ke dalam setrika dan disetrikakan pada punggung dan lambungnya, sebagaimana keadaan orang yang sudah berkewajiban zakat, namun enggan mengeluarkan zakat.

Tidak ada orang yang mau hidup susah. Namun, kita jangan lantas menginginkan enak tanpa mau berusaha. Jangan seperti orang yang siang dan malam mengeluh ingin kaya tetapi ogah bekerja. Ada lagi yang terus-menerus memimpikan bahagia, tetapi malas beribadah. Hidup bebas dari agama sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Tidak tahu mana perintah dan mana larangan, mana halal dan mana haram, mana sunah dan mana bid’ah, mana syariat dan mana maksiat, mana dosa dan mana pahala, mana tuntunan Islam dan mana tuntunan setan. Lucunya, meski selalu melanggar agama, dia kerap menagih kemurahan Allah ketika ditimpa musibah.

Sikap demikian bertolak belakang dengan hamba-hamba saleh ketika ditimpa musibah. Kendati hidup susah dan jelata, mereka tidak mengeluh, apalagi meminta-minta. Mereka sangat malu kepada Allah, mengingat karunia yang diterima lebih banyak ketimbang musibah yang sedang diterima. Karena itulah, senjata yang mereka andalkan adalah usaha tanpa kenal lelah disertai doa dan sabar. Lihatlah Nabi Ya’kub (1837-1690 SM), yang hidup miskin dan menderita buta di masa tua. Nabi Ya’kub rajin beribadah dan tidak pernah buruk sangka kepada Allah.

Juga Nabi Ayub (1540-1420 SM) yang hidup miskin dan sakit-sakitan selama tahunan. Akibat penyakitnya, jangankan teman, bahkan anak dan istrinya lari darinya. Tetapi Nabi dan Rasul ke-13 itu pantang bermental cengeng. Dia tidak pernah mengemis, sekali pun sekadar belas kasihan orang lain. Berbagai penderitaan dan kesakitan yang menderanya tidak menghalanginya untuk terus intim dan bersujud kepada Allah. Ajaib. Allah kemudian memberikan kesembuhan total kepadanya.

“Dan ingatlah hamba Kami Ayub ketika dia menyeru Tuhan-nya, ‘Sungguh aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan’. (Allah berfirman), ‘Hantamkanlah kakimu. Inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum’. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” [QS Shad: 41-43].

Banyak lagi kisah-kisah hamba mulia yang patut dijadikan teladan dalam menyikapi romantika dunia. Ketika kaya tidak lupa, ketika miskin pantang meminta-minta. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Adalah Nabi Daud tidak suka memakan sesuatu, kecuali dari hasil usaha tangannya sendiri.” [HR Bukhari]. Dalam hadis lain, Rasulullah juga berkisah, “Nabi Zakaria adalah seorang tukang kayu.” [HR Muslim].

Kesalehan, bahkan kenabian dan kerasulan, tidak lantas menjauhkan manusia dari penderitaan. Sejarah telah membeberkan betapa Nabi dan Rasul hidup berkalang derita. Sejarah hidup Rasulullah sendiri tidak sepi dari berbagai penderitaan. Tetapi, Allah memuji siapa saja yang pantang menadahkan tangan kendati hidup serba kurang.

“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya. Mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak, dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sungguh Allah Maha Mengetahui.” [QS Al-Baqarah: 273].

Jelaslah, kemiskinan bukan aib. Saatnya orang beriman mampu mengikis mental pengemis dari sanubari. Tanamkan kalimat berikut dengan mantap: biar miskin, aku pantang mengemis!

, Oleh M Husnaini
Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia’. Email: hus_surya06@yahoo.co.id


sumber : www.republika.co.id