-

Sunday, March 31, 2013

Beautiful

Sudah lama saya tidak bertutur tentang sedekah di Republika. Awal-awal dulu perjuangan dakwah, atas izin Allah, saya banyak dibantu Republika.
Memublikasi ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya tentang sedekah. Republika pun tidak sedikit memuat testimoni Keajaiban Sedekah.

Salah satu kisah menarik yang ada di pekan ini, berkaitan dengan kisah seorang ibu yang hamil. Lama sekali beliau nggak hamil-hamil. Hingga kemudian tertarik untuk sedekah. Alhamdulillah, setelah sedekah, suaminya dipecat dari pekerjaannya.

Sampai di sini, nggak ada yang mau sedekah. Masak sedekah terus jadi susah? Sedekah kok kemudian dipecat dari pekerjaan? Nggak lucu dong. Tapi kisah sedekah emang nggak bisa ditebak.

Nggak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang kita bayangkan. Tidak sedikit yang mengalami dulu suka duka, lika liku. Baru kemudian dia sampai kepada apa yang dijanjikan Allah untuk mereka yang bersedekah.

Rupanya, sebab dipecat, karena suaminya ini banyak di rumah. Karena banyak di rumah, 'jadi' itu anak. Istrinya hamil. Setahun kemudian, suami-istri ini sudah menimang bayi. Subhanallah. Bertanyalah kita, lalu bagaimana dengan pekerjaan suaminya? Bagaimana dengan kehidupannya? Tentu akan berat nantinya.

Ini dia. Kita ini suka mendramatisasi keadaan. Suka sekali berpikir buruk, jelek, sempit. Bahkan tidak sedikit buruk sangka sama Allah, juga sama ustaznya.
Tidak sedikit juga yang merasa kapok dengan sedekah. Malas, karena tak kunjung ada hasilnya. Bila tidak berhasil, maka dikatakan, makanya jangan ngarepin balesan.

Masak sama Allah nggak boleh berharap balasan? Sama Allah itu namanya doa. Dan ini adalah tambahan amal saleh yang namanya sedekah. Harusnya dikatakan kepada mereka yang bersedekah, mbok yang sabar.

insya Allah Janji Allah pasti akan datang. Innahuu laa yukhliful mii’aad, Allah nggak bakal ingkar janji. Allah aja sabar nunggu kita bertaubat, beramal. Masak kita nggak sabar menunggu Janji Allah datang?

Ketika Allah Berkehendak sama suami ini, dengan dibuat-Nya berhenti bekerja. Tentu Allah Yang Maha Tahu keadaan hamba-Nya. Suami ini bercerita, relatif nggak masalah dengan berhentinya dia dari pekerjaan.

Dia masih bisa hidup dan menghidupi istrinya, serta orang tua yang ikut dengan mereka. Ini melalui wasilah pesangon dan tabungannya selama ini.

Mereka berbaik sangka bahwa Allah sedang 'merumahkan' dia agar bisa banyak bersama istri, dan memprogram kehamilan. Seraya berdoa bareng, dhuha bareng, tahajud bareng.

Beautiful,” kata mereka. Amazing! Sesuatu yang jarang sekali mereka lakukan ketika suami ini bekerja. Masya Allah. Suami-istri ini bisa sahur bareng dan buka puasa bareng. Subhanallah. Maha Suci Allah Yang Mengatur Segalanya. Dan finally, istrinya ini hamil. Alhamdulillah.

Terus bagaimana pekerjaannya? Sang suami dikembalikan pekerjaannya oleh Allah, di tempat yang berbeda. Dan dia bersama istrinya, menikmati buah dari sedekah dan keyakinannya. Sungguh Allah Maha Benar Perkataan-Nya.
, Oleh Ustaz Yusuf Mansur
 


sumber : www.republika.co.id

Saturday, March 30, 2013

Gubernur yang Miskin

Pada masa khalifah Umar bin Khattab, ada seorang gubernur yang ditugaskan di Syiria. Dia bernama Said bin Amir, ia adalah seorang pemimpin yang baik, jujur dan sangat dicintai rakyatnya.

Tapi dia hidup dalam keprihatinan. Dia bukan orang kaya, rumahnya tidak mewah, tidak memiliki kendaraan dinas dan tidak mau menggunakan fasilitas negara.

Suatu hari, ada serombongan rakyat Syiria yang datang menghadap Khalifah Umar bin Khattab, lalu khalifah berkata kepada mereka: coba kalian tuliskan nama-nama orang miskin yang ada di Syiria, saya akan membagikan bantuan kepada mereka dari baitul mal.

Mereka pun menulis nama-nama penduduk Syiria yang miskin salah satunya adalah Said bin Amir. Membaca daftar nama-nama tersebut, khalifah Umar bin Khattab terkejut sambil berkata, “Siapa Said bin Amir ini ? Mereka menjawab: Dia adalah gubernur kami, wahai khalifah.''

“Gubernur kalian miskin ?“ tanya Khalifah. “Benar, wahai khalifah,“ jawab mereka serempak “Bahkan sudah beberapa hari ini kami lihat istrinya tidak memasak apapun.”

Lalu Khalifah Umar bin Khattab menangis tersedu-sedu sambil memasukkan uang seribu dinar ke dalam kantong, lalu ia berkata : “Bawa ini ke gubernur kamu, dan serahkan ini untuk biaya hidupnya”.

Rombongan itu kembali ke Syiria dan menyerahkan amanat dari khalifah kepada gubernur, saat membuka isi kantong, Said bin Amir berucap dengan kencangnya ; Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, telah datang kepada ku dunia yang akan merusak akhiratku.'' Istrinya lalu berkata : “ Lenyapkan saja dunia itu wahai suamiku.”

Atas persetujuan istrinya, Said bin Amir membagi-bagikan uang seribu dinar tersebut kepada rakatnya.
Pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab datang mengunjungi Syiria untuk melihat situasi umat Islam di sana, lalu menanyakan rakyat Syiria tentang apa yang diperbuat Said bin Amir, sang gubernur.

Karena ini adalah kesempatan yang sangat langka bisa bertemu dengan Khalifah Umar bin Khattab, rakyat pun mengadukan tiga hal tentang gubernur mereka.

Namun khalifah sudah memanggil gubernur tersebut sebelumnya untuk bersama-sama mendengarkan keluhan rakyat Syiria.
Seorang rakyat mengadu, “Gubernur kami selalu datang terlambat dalam bekerja, dia baru datang manakala hari sudah hampir siang.”

Khalifah Umar bin Khattab meminta Said bin Amir menjelaskan hal tersebut. Said bin amir berkata “Demi Allah, sebenarnya saya tidak ingin mengatakan hal ini. Tiap pagi saya bekerja membuat roti untuk keluarga karena saya tidak memiliki pembantu, setelah semuanya siap, barulah saya berwudhu dan keluar untuk bekerja menemui rakyat.''

Lalu khalifah berkata lagi. “Apalagi yang kalian keluhkan dari gubernur kalian?” Seorang rakyat berbicara “Kalau malam tiba gubernur kami tidak mau menerima tamu siapapun.'' Lalu gubernur menjawab, “Aku membagi waktuku, siang aku gunakan untuk bekerja dan mengurusi urusan dunia, malam hari aku gunakan untuk beribadah kepada Allah SWT.''

Khalifah berkata lagi, “Apalagi keluhan kalian?“ Seorang rakyat kembali berkata “Setiap bulan gubernur memiliki satu hari yang tidak mau diganggu oleh siapapun.”

Gubernur menjawab, “Aku tidak memiliki pembantu yang mencucikan pakaian, dan aku juga tidak memiliki pakaian kecuali yang aku pakai ini, pada hari itu, aku mencuci pakaianku dan aku menunggunya sampai kering sehingga aku tidak bisa menemui rakyatku, setelah pakaianku kering pada sore hari barulah aku pakai lagi dan menemui rakyatku.”

Khalifah Umar bin Khattab pun berdecak kagum sambil mengucap subhanallah. Cerita tersebut di atas sangat menginspirasi kita, saat kita sedang ramai memilih calon pemimpin.

Telinga peka mendengar berita-berita yang tidak mengenakkan, seseorang yang berkeinginan menjadi gubernur dia harus menyiapkan uang milyaran rupiah untuk kampanye dan menarik simpati rakyat.

Berbagai macam taktik dan siasat disusun dan direncanakan, tidak dipikir apakah itu halal atau haram? Rakyat juga cenderung memilih calon pemimpin yang memiliki harta berlimpah, bermobil mewah, selalu muncul di televisi, selalu dimuat di surat kabar bila memberikan sumbangan, tidak peduli apakah dia layak menjadi pemimpin atau tidak.

Lihatlah Said bin Amir, seorang pemimpin yang patut dicontoh. Kehidupannya sangat memprihatinkan bahkan dia termasuk ke dalam daftar orang yang miskin, luar biasa. Tapi,dia bisa melaksanakan amanah dengan baik.
n

Semoga kisah ini dapat dibaca dan dijadikan bahan renungan saudara-saudaraku yang berkeinginan menjadi pemimpin.

Ingat itu adalah amanah yang harus dilaksanakan dengan baik bukan kedudukan yang digunakan untuk memperkaya diri

sendiri dan menumpuk harta, wallahu a’lam bish-shawab.
, Oeh : H Ahmad Dzaki, MA


sumber : www.republika.co.id

Friday, March 29, 2013

Sikap Amanah

Amanah adalah bersikap adil, menempatkan sesuatu sesuai dengan kedudukannya dan tidak mengurangi sedikit pun hak-haknya. Amanah merupakan persaksian kepada Allah, nasihat kepada orang-orang Muslim, dan menjelaskan kebenaran.

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS al-Ahzab [33]: 72).

Ibrahim bin Adham pernah menjadi penjaga kebun milik orang kaya. Dia menjaga kebun tersebut sambil terus memperbanyak shalat. Suatu hari, pemilik kebun meminta dipetikkan buah delima. Ibrahim mengambil dan memberinya. Tapi, pemilik kebun malah memarahinya. Ia tersinggung karena diberikan buah delima yang asam rasanya.

“Apa kau tak bisa membedakan buah delima yang manis dan asam?” Ibrahim menjawab bahwa dia belum pernah merasakannya. Pemilik kebun menuduh Ibrahim berdusta.

Ibrahim lantas shalat di kebun itu. Pemilik kebun menuduhnya berbuat riya dengan shalatnya. “Aku belum pernah melihat orang yang lebih riya dibanding engkau.” Ibrahim menjawab, ”Betul tuanku, ini baru dosaku yang terlihat. Yang tidak, jauh lebih banyak lagi.”

Di hari lain, majikannya kembali meminta buah delima. Kali ini Ibrahim memberi yang terbaik menurut pengetahuannya. Tapi lagi-lagi pemilik kebun kecewa karena buah yang dia terima asam rasanya. Dia pun memecatnya.

Ibrahim kemudian pergi. Di perjalanan, ia menjumpai seorang pria yang sekarat karena kelaparan. Ibrahim memberinya buah delima yang tadi ditolak majikannya.

Ibrahim lantas berjumpa lagi dengan pemilik kebun yang berniat membayar upahnya. Ibrahim berkata agar dipotong dengan buah delima yang ia berikan kepada orang sekarat yang ia jumpai.

“Apa engkau tak mencuri selain itu,” tanya pemilik kebun. “Demi Allah, jika orang itu tidak sekarat, aku akan mengembalikan buah delimamu.” Setelah upahnya dibayar Ibrahim pun pergi.

Setahun kemudian, pemilik kebun mendapat tukang kebun yang baru. Dia kembali meminta buah delima. Tukang kebun barunya itu memberinya yang paling harum dan manis.

Pemilik kebun itu bercerita bahwa ia pernah memiliki tukang kebun yang paling dusta. Karena mengaku tak pernah mencicipi buah delima dan memberi buah delima kepada orang yang kelaparan, minta dipotong upahnya untuk buah delima yang ia berikan kepada orang kelaparan itu.

“Dia juga selalu shalat. Betapa dustanya dia,” kata pemilik kebun. Tukang kebun yang baru lantas berujar. ”Demi Allah, wahai majikanku. Akulah orang yang kelaparan itu. Dan tukang kebun yang engkau ceritakan itu dulunya seorang raja yang meninggalkan singgasananya karena zuhud.”

Pemilik kebun lantas mengambil debu dan menaburnya di atas kepalanya sembari menyesali. “Celaka, aku telah menyia-nyiakan kekayaan yang tak pernah aku temui.”

Itulah kisah Ibrahim bin Adham yang terkenal karena amanah dan kezuhudannya, dia telah melaksanakan hak orang lain, memenuhi hajat orang miskin, dan membantu orang yang membutuhkan. Ia juga melaksanakan amanah dengan baik. Semoga kita bisa meneladaninya. Wallahu a'lam.
, Oleh; Kurnia MH

sumber : www.republika.co.id

Thursday, March 28, 2013

Menganggap Diri Suci

Sering kita mendengar orang menceritakan kebaikan dirinya atau bahkan mungkin pelakunya adalah diri kita sendiri. Apakah ini tindakan terpuji atau tercela?

Orang yang menceritakan tentang kebaikan dirinya bisa jadi karena ingin menceritakan nikmat Allah yang ia peroleh dan untuk memotivasi orang lain agar mengikutinya maka ini merupakan tujuan terpuji.
Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan terhadap nikmat Rabbmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)" (Surah Adh Dhuha 11)

Ada juga orang yang menceritakan kebaikan dirinya untuk maslahat agama seperti amar makruf nahi mungkar, memberi nasehat, menghindarkan dari suatu kerugian atau bahaya, untuk meyakinkan bahwa ia mampu menunaikan amanat yang akan ia tunaikan maka hal ini merupakan perbuatan terpuji.

Seperti Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, "Saya yang paling mengenal Allah diantara kalian dan saya orang yang paling bertakwa diantara kalian…"

Jika ia menceritakan kebaikan dan memuji dirinya karena menganggap diri suci dan pamer kepada orang lain untuk kebanggaan maka perbuatan ini berbahaya karena dapat mengakibatkan terhapusnya amal kebaikan tersebut.

Allah berfirman yang artinya, "Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa" (Surah An Najm 32)

Menganggap diri suci dan bersih termasuk penyakit hati yang berbahaya. Ia akan memuji diri dan menganggapnya lebih baik dari orang lain, timbul kesombongan yang mengakibatkan akan menolak kebenaran dan merendahkan manusia.

Jika ada orang memuji orang lain, ia tidak suka dan sempit dadanya, bahkan ia menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang lain. Penyakit ini sering diderita oleh para pejabat, orang-orang kaya, pemuka masyarakat, ilmuwan/kaum intelektual, kaum ningrat/berdarah biru dan lainnya.

Penyakit yang berbahaya ini mungkin pula menjangkiti ulama, ustadz, mubaligh, khatib, atau dai/aktivis dakwah jika mereka tidak menjaga hati. Penyakit ini dimiliki iblis dan Fir'aun.

Allah berfirman menceritakan tentang ucapan Iblis yang artinya, "… (Iblis) menjawab, 'Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia, Engkau ciptakan dari tanah." (Surah Al A'raaf 12) dan ucapan Fir'aun yang artinya, "Bukankah aku lebih baik dari orang (Musa) yang hina ini…" (Surah Azzukhruf 52)

Orang mukmin berakhlak mulia, ia rendah hati, menganggap orang lain lebih baik darinya. Ia sibuk mengingat-ingat dan menghitung-hitung aib serta kekurangan dirinya guna mengevaluasi dan memperbaikinya.

Ia tidak sibuk dengan aib orang lain, jika ia dapatkan aib dari saudaranya maka ia sayang dan cinta kepadanya menginginkan kebaikan saudaranya sehingga ia tidak mendiamkannya tetapi memperbaikinya dan meluruskannya dengan cara yang baik dan bijaksana. Ia selalu mendoakan kebaikan untuk saudaranya.

Jika kita dapatkan sahabat radhiallahu anhum, tabi'in dan orang-orang shalih memuji diri mereka sendiri dengan menyebutkan keutamaan amal mereka, maka kita bersangka baik, mereka sedang menyebutkan nikmat Allah sebagai rasa syukur dan bermaksud memotivasi bukan kesombongan.

Kita harus selalu memperbaiki hati agar selamat dari penyakit sombong, ujub, hasad, riya, bersangka buruk, gila hormat dan penyakit hati lainnya.

Bersihkan hati kita dengan mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, hiasi hati kita dengan rendah hati, cinta kepada Allah, takut adzab-Nya, berharap akan rahmat-Nya dan akhlak mulia lainnya.
Ustaz Fariq Gasim

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, March 27, 2013

Empat Prinsip Etos Kerja Islami

Bekerja merupakan keniscayaan dalam hidup. Dalam suasana zaman yang semakin sulit, kaum beriman dituntut mampu survive dan bangkit membangun peradaban seperti sedia kala. Syarat untuk itu tidak cukup lagi ditempuh dengan kerja keras, tetapi harus kerja cerdas.

Tidak ada lain bagi kaum beriman kecuali harus mengkaji pandangan Islam tentang etos kerja. Meski makhluk hidup di bumi sudah mendapat jaminan rezeki dari Allah, namun kemalasan tidak punya tempat dalam Islam. Fatalisme atau paham nasib tidak dikenal dalam Islam. Firman Allah, "...maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan” (Qs Al-Ankabut: 17).

Menurut ayat itu, rezeki harus diusahakan. Dan seakan mengonfirmasi ayat di atas, firman Allah di ayat lain tegas menyatakan, cara mendapat rezeki adalah dengan bekerja. “Jika shalat telah ditunaikan, maka menyebarlah kalian di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung” (Qs Al-Jumu’ah: 10).

Ayat lain bahkan menyatakan, dijadikannya siang terang agar manusia mencari rezeki dari Allah (Qs Al-Isra: 12), terlihatnya bahtera berlayar di lautan agar manusia mencari karunia Allah (Qs An-Nahl: 14), adanya malam dan siang agar manusia beristirahat pada waktu malam dan bekerja pada waktu siang (Qs Al-Qashash: 73).

Masih banyak ayat serupa. Intinya, rezeki Allah hanya akan diperoleh dengan etos kerja tinggi. Bagaimana teknis pelaksanaan etos kerja sebagaimana perintah Allah di atas?

Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul Iman’ ada empat prinsip etos kerja yang diajarkan Rasulullah. Keempat prinsip itu harus dimiliki kaum beriman jika ingin menghadap Allah dengan wajah berseri bak bulan purnama.
Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal dari segi jenis pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari halal adalah haram, yang dalam terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’.

Analoginya, menjadi anggota DPR adalah halal. Tetapi jika jabatan DPR digunakan mengkorupsi uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram. Jabatan yang semula halal menjadi haram karena ada faktor penyebabnya. Itulah ‘haram lighairihi’. Berbeda dengan preman. Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap haram. Keharamannya bukan karena faktor dari luar, melainkan jenis pekerjaan itu memang ‘haram lidzatihi’.

Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah). Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain. Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam Islam. Lucu jika masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu karena dipandang remeh dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia dan terhormat di mata Allah ketimbang meminta-minta.

Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi). Mencukupi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah yang cukup populer, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).

Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah bertanya soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah memuji tangan Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti inilah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”.

Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi). Penting dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois. Islam menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan telinga dari jerit tangis lingkungan sekitar. “Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikanmu berkuasa atasnya.” (Qs Al-Hadid: 7).

Lebih tegas, Allah bahkan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi mengabaikan nasib kaum miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama (Qs Al-Ma’un: 1-3). Itu karena tidak dikenal istilah kepemilikan harta secara mutlak dalam Islam. Dari setiap harta yang Allah titipkan kepada manusia, selalu menyisakan hak kaum lemah dan papa.

Demikianlah, dan sekali lagi, kemuliaan pekerjaan sungguh tidak bisa dilihat dari jenisnya. Setelah memenuhi empat prinsip di atas, nilai sebuah pekerjaan akan diukur dari kualitas niat (shahihatun fi an-niyat) dan pelaksanaannya (shahihatun fi at-tahshil). Itulah pekerjaan yang bernilai ibadah dan kelak akan mengantarkan pelakunya ke pintu surga.


Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya
Oleh M Husnaini

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, March 26, 2013

Hati yang Lapang

Seorang pemuda yang sedang galau mendatangi seorang ulama yang bijaksana. Pemuda tersebut sudah tidak mampu lagi menjalani kehidupannya yang penuh problematika, sehingga ia pun mengadu kepada ulama tersebut.

“Wahai orang alim, aku sudah bosan hidup dengan permasalahan yang tiada henti mendera kehidupanku. Dapatkah engkau membantuku menyelesaikan segala masalah yang selalu ada dalam hidupku ini?” Tanya pemuda itu.

“Hai pemuda yang gagah, adakah tempat di muka bumi ini yang tidak menimbulkan masalah? Sesungguhnya setiap yang bernyawa di dunia ini tidak akan terlepas dari yang namanya permasalahan. Nah, maukah kamu aku berikan cara agar mudah menghadapi permasalahanmu itu?” Ulama tersebut balik bertanya.

“Apa yang harus aku lakukan?” Pemuda itu kembali bertanya.

Ulama tersebut hanya tersenyum sembari mengambil segenggam garam dan memasukkannya ke dalam gelas yang berisi air. Garam itu diaduknya dalam gelas yang berisi air tersebut hingga larut dan diberikan kepada pemuda itu. Kemudian, pemuda tersebut diminta meminum air garam dalam gelas tadi.

“Bagaimana rasanya?” Tanya ulama tersebut.

“Asin sekali,” jawab pemuda itu.

Selanjutnya sang ulama mengajak pemuda itu ke tepi danau air tawar yang luas. Ia pun memasukkan segenggam garam yang sama ukurannya dengan garam sebelumnya yang dimasukkan ke dalam gelas tadi. Setelah beberapa saat mengaduk-aduk air di tepi danau itu, ia pun menyuruh anak muda tadi mengambil air dari danau itu dan diminta meminumnya.

“Bagaimana rasanya?” Ulama itu kembali bertanya.

“Hambar, tawar dan tidak berasa,” kata pemuda itu.

“Demikianlah permasalahan hidup, jika kita menghadapinya dengan hati sempit seperti gelas tadi, maka sangat terasa berat permasalahan hidup ini. Sebaliknya, jika kita menghadapi berbagai macam masalah dengan hati yang lapang seluas danau itu, maka tidak akan terasa permasalahan di dunia ini. Sesungguhnya masalah yang paling berat hanya ketika manusia berada di neraka, maka jadikanlah permasalahanmu di dunia ini sebagai lumbung amal sholehmu agar terbebas dari perkara di neraka jahim.” Jelas ulama itu sambil berlalu meninggalkannya.

Hikmah yang dapat diambil dari ulasan kisah tersebut adalah pentingnya melapangkan hati dalam menyikapi problematika hidup ini. Hati yang lapang akan mampu menampung dan menetralisir permasalahan hidup yang silih berganti datangnya.

Luas dan sempitnya hati sangat mempengaruhi mental seseorang dalam menjalani liku-liku kehidupan. Dengan hati yang lapang, seseorang akan lebih bijak memahami permasalahan hidupnya. Karena hati yang lapang merupakan bagian dari kesabaran seseorang, dan kesabaran adalah anugerah terbaik dari Allah SWT. ''...dan tidaklah seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang dari pada kesabaran.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dan telah banyak pembahasan mengenai sabar yang merupakan salah satu sifat sekaligus ciri orang beriman. “Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, karena segala perkaranya adalah baik. Jika ia mendapatkan kenikmatan, maka ia bersyukur. Dan jika ia tertimpa musibah atau kesulitan, ia bersabar karena mengetahui bahwa hal tersebut adalah baik baginya.” (HR Muslim).

, Oleh Zainal Arifin SPd
   

sumber : www.republika.co.id

Monday, March 25, 2013

Utang di Mata Rasulullah SAW

Islam sangat memperhatikan masalah utang-piutang. Bahkan Rasulullah dalam setiap sembahyangnya sering memohon kepada Allah SWT supaya terhindar dari masalah utang, "Allahumma inni a'uudzu bika min al-ma'tsami wa al-maghram, Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari berbuat dosa dan lilitan utang.” 

Karena kebiasaan Nabi SAW berdoa dengan kalimat tersebut, seorang sahabat bertanya kepada Nabi, "Mengapa Engkau banyak meminta perlindungan dari utang, wahai Rasulullah?"

Jawab Nabi tegas, “Sesungguhnya seseorang apabila sedang berutang ketika dia berbicara biasanya berdusta dan bila berjanji sering mengingkarinya," (HR Bukhori).

Siapa saja, di antara kita pasti pernah memiliki utang. Utang bisa membuat orang bersedih dan pikiran tidak tenang. Kepada para sahabatnya, Nabi menegaskan, bahwa utang-piutang adalah perkara yang harus disegerakan. Karena pentingnya melunasi utang, Rasulullah pernah mengajarkan doa kepada sahabatnya.

Abu Umamah, sorang sahabat Nabi SAW pernah merasakan kegelisahan dan kebingungan karena memiliki utang yang tidak bisa dibayar. Suatu ketika ia sedang termenung di Masjid memikirkan utang-utangnya. Melihat sahabatnya gelisah, Rasulullah SAW langsung bersabda dan memberikan doa kepada Abu Umamah untuk diamalkan setiap pagi dan sore.

Doanya, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegundahan dan kesedihan dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat penakut dan bakhil dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan pemaksaan dari orang lain.” (HR Abu Dawud).

Islam mengajarkan untuk tidak menganggap sepele masalah utang. Jika ada keluarga yang meninggal dunia, para ahli waris berkewajiban membereskan terlebih dahulu masalah utang-piutang, sebelum dikebumikan. Karena sensitifnya masalah utang, sampai Nabi sendiri tidak segera mensholatkan mayit sebelum utang-puitangnya dilunasi.

Suatu ketika satu jenazah dihadirkan kepada Nabi SAW untuk dishalatkan. Nabi bertanya dulu kepada sahabatnya, apakah mayit tersebut punya utang atau tidak. Setelah ada kepastian, bahwa mayit tersebut tidak memiliki utang, Rasulullah SAW langsung menshalatkannya.

Kemudian didatangkan lagi jenazah lain kepada Beliau, maka Beliau bertanya kembali, "Apakah orang ini punya utang?" Para sahabat menjawab: "Ya". Maka Nabi bersabda: "Shalatilah saudaramu ini". Berkata, sahabat Abu Qatadah: "Biar nanti aku yang menanggung utangnya". Maka Beliau SAW mensolatkan jenazah itu. (HR Bukhori).

Utang  adalah penghalang untuk mendapatkan ridha Allah dan masuk ke dalam surga-Nya. Utang juga yang akan menggerogoti segala amal kebajikan yang dilakukan di dunia. Pahala jihad di jalan Allah adalah sebaik-sebaik pahala dan bekal di akhirat nanti. Dalam Islam, pahala jihad dapat menghapus segala macam dosa, tapi bisa terhalang jika punya utang. Sabda Nabi dalam riwayat Imam Muslim, "Seorang yang mati syahid akan diampuni segala dosa-dosanya kecuali utang."

Jika utang dapat menjadi beban di sisi Allah, bagaimana dengan koruptor yang merampok uang rakyat miliaran rupiah? Pastinya, bahwa korupsi akan menjadi utang di akhirat kelak, yang membuat pelakunya bangkrut.

Hadis Nabi SAW dalam shahih Muslim, menyebut koruptor sebagai manusia bangkrut.  Kelak pada hari kiamat, semua pahala shalat, puasa dan zakat akan diambil Allah SWT hingga tak tersisa, dan diberikan untuk orang lain. Tidak hanya itu, koruptor juga akan membebani dosa setiap orang, yang hartanya saat di dunia, ia curi. 

(Alumnus Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya)
Oleh E Kusnandar

sumber : www.republika.co.id

Sunday, March 24, 2013

Siap Siaga

Manusia yang beruntung memiliki empat kriteria; sabar, melipatgandakan kesabaran, murabathah (tetap siap siaga), dan bertakwa kepada Allah SWT. (QS Ali Imran [3]: 200). Menurut mufassirin, makna murabathah dalam ayat tersebut adalah menjaga benteng dari serangan musuh untuk melindungi umat.

Ketika umat Islam di suatu negeri tidak menghadapi serangan bersenjata, tetapi serangan pemikiran maka konotasi murabathah adalah menjaga benteng untuk melindungi umat Islam dalam semua aspek kehidupan, seperti akidah, ekonomi, dan politik.

Para dai yang berusaha membentengi akidah umat adalah murabith (penjaga benteng). Demikian juga para guru, pendidik yang membina kader Muslim, politisi, dan ekonom yang membela ekonomi umat, termasuk dalam penjaga benteng.
Kita sekarang sangat membutuhkan penjaga benteng yang melindungi akidah, ekonomi, budaya, dan seluruh bidang kehidupan Muslim.

Rasulullah memberikan berbagai keutamaan murabathah ini. Pertama, siap siaga sehari lebih baik dari dunia dan isinya. (HR Bukhari). Kedua, siap siaga sehari semalam lebih baik dari puasa dan qiyam sebulan penuh pada bulan Ramadhan.

Abu Darda' meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, “Siap siaga satu bulan lebih baik dari puasa satu tahun. Barang siapa meninggal dalam keadaan siaga di jalan Allah, akan aman dari fitnah kiamat dan dia mendapatkan rezekinya dari surga dan terus ditulis amal seorang penjaga benteng sampai dibangkitkan hari kiamat.” (HR Thabrani).

Ketiga, semua amalan seseorang terputus saat mati kecuali murabith. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap mayit dipungkasi amalnya kecuali murabith di jalan Allah. Amalnya ditumbuhkan sampai hari kiamat dan akan aman dari fitnah kubur.” (HR Abu Daud, Turmudzi, dan ar l-Hakim).

Rasulullah SAW bersabda, “Empat kelompok yang amalnya tetap mengalir setelah meninggalnya: penjaga benteng fi sabilillah, perbuatan seseorang yang diamalkan orang lain, seseorang yang sedekahnya masih tetap bermanfaat, dan seorang yang meninggalkan anak saleh yang selalu mendoakannya.” (HR Ahmad dari Abu Umamah).

Keempat, penjaga benteng di jalan Allah bila meninggal akan dibangkitkan dalam keadaan aman dari fitnah hari kiamat.

Menjaga benteng satu hari di jalan Allah lebih baik dari puasa dan qiyam selama Ramadhan, barang siapa yang meninggal saat menjaga benteng maka pahala amalnya terus ditulis (sampai kiamat), dan diberi balasan rezekinya di surga dan aman dari fitnah kubur (pertanyaan Munkar dan Nakir).” (HR Muslim).

Kelima, penjaga benteng bila meninggal akan dibangkitkan pada hari kiamat sebagai syahid. (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah). Keenam, penjaga benteng fi sabilillah akan mendapatkan pahala dari orang-orang yang hidup setelahnya.

Ketujuh, menjaga benteng satu hari di jalan Allah lebih baik dari seribu hari dari derajat amalan lainnya. (HR Turmudzi, Nasai dan Ibnu Abi Syaibah).
, Oleh: KH Ahmad Satori Ismail


sumber : www.republika.co.id

Saturday, March 23, 2013

Pemimpin Berakhlak Mulia

Dalam sebulan terakhir, sejumlah media massa memberitakan seputar krisis kepemimpinan yang jujur ditingkat elit politik. Krisis kepemimpinan yang dilandasi kejujuran semakin menggema ketika tidak sedikit petinggi partai politik yang terjerat dalam kasus hukum.
Tentu sebagai rakyat kita merasa prihatin akan kondisi saat ini.  Kejujuran sepertinya menjadi barang mahal di negeri ini. Rakyat sepertinya merasa kesulitan mencari pemimpin yang benar-benar memegang teguh kejujuran.

Terlebih saat ini hiruk pikuk Pemilu 2014 sudah sangat terasa. Elite politik yang tengah bertarung untuk memenangi Pemilu 2014 terlihat berlomba-lomba melakukan pencitraan menjelang pesta demokrasi prosedural 2014. Yang disayangkan, lagi-lagi pencitraan politik tidak dilandasi dengan kejujuran. Sehingga rakyat sepertinya hanya disuguhi kamuflase (kebohongan) elite politik.

Negeri ini butuh pemimpin yang jujur. Mungkin kita semua sepakat soal itu. Karena kita tidak ingin negeri ini mengalami kehancuran hanya gara-gara dipimpin oleh para pemimpin yang  tidak jujur dalam mengelola pemerintahaan.

Sebagai seorang Muslim, bisa kita patut mencontoh Nabi Muhammad SAW yang dikenal sebagai sosok yang jujur, bahkan sebelum diangkat menjadi nabi. Atas dasar kejujuran yang sudah terbukti itu, Nabi Muhammad SAW mendapatkan dukungan dari masyarakat untuk menjadi pemimpin. Bahkan menjadi pemimpin di 'negeri tetangga', Madinah, bukan di tempat kelahirannya sendiri, Makkah.

Sebagai umat Islam, seharusnya kita mencontoh kepemimpinan Nabi Muhammad. Sebagai pemimpin teladan yang menjadi model ideal pemimpin, Rasulullah dikaruniai empat sifat utama, yaitu: Sidiq, Amanah, Tablig dan Fathonah. Sidiq berarti jujur dalam perkataan dan perbuatan, amanah berarti dapat dipercaya dalam menjaga tanggung jawab, Tablig berarti menyampaikan segala macam kebaikan kepada rakyatnya dan fathonah berarti cerdas dalam mengelola masyarakat.

Pertama, kejujuran adalah lawan dari dusta dan ia memiliki arti kecocokan sesuatusebagaimana dengan fakta. Di antaranya yaitu kata rajulun shaduq (sangat jujur), yang lebih mendalam maknanya daripada shadiq (jujur). Al-mushaddiqyakni orang yang membenarkan setiap ucapanmu, sedang ash-shiddiq ialah orang yang terus menerus membenarkan ucapan orang, dan bisa juga orang yang selalu membuktikan ucapannya dengan perbuatan.

Di dalam Quran disebutkan (tentang ibu Nabi Isa), “Dan ibunya adalah seorang shiddiqah.” (Al-Maidah: 75). Maksudnya ialah orang yang selalu berbuat jujur.

Seorang pemimpin yang sidiq atau bahasa lainnya honest akan mudah diterima di hati masyarakat, sebaliknya pemimpin yang tidak jujur atau khianat akan dibenci oleh rakyatnya. Kejujuran seorang pemimpin dinilai dari perkaataan dan sikapnya. Sikap pemimpin yang jujur adalah manifestasi dari perkaatannya, dan perkatannya merupakan cerminan dari hatinya.

Kedua, terpercaya. Muhammad SAW bahkan sebelum diangkat menjadi rasul telah menunjukkan kualitas pribadinya yang diakui oleh masyarakat Quraish. Beliau dikenal dengan gelar Al-Amien, yang terpercaya. Oleh karena itu ketika terjadi peristiwa sengketa antara para pemuka Quraish mengenai siapa yang akan meletakkan kembali hajar aswad setelah renovasi Ka’bah, meraka dengan senang hati menerima Muhammad sebagai arbitrer, padahal waktu itu Muhammad belum termasuk pembesar.

Ketiga Tablig atau Komunikatif. Kemampuan berkomunikasi merupakan kualitas ketiga yang harus dimiliki oleh pemimpi sejati. Pemimpin bukan berhadapan dengan benda mati yang bisa digerakkan dan dipindah-pindah sesuai dengan kemauannya sendiri, tetapi pemimpin berhadapan dengan rakyat manusia yang memiliki beragam kecenderungan.

Pemimpin dituntut untuk membuka diri kepada rakyatnya, sehingga mendapat simpati dan juga rasa cinta. Keterbukaan pemimpin kepada rakyatnya bukan berarti pemimpin harus sering curhat mengenai segala kendala yang sedang dihadapinya, akan tetapi pemimpin harus mampu membangun kepercayaan rakyatnya untuk melakukan komunikasi dengannya.

Dan keempat Fathonah/cerdas. Seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata masyarakatnya sehinga memiliki kepercayaan diri. Kecerdasan pemimpin akan membantu dia dalam memecahkan segala macam persoalan yang terjadi di masyarakat. Pemimpin yang cerdas tidak mudah frustasi menghadapai problema, karena dengan kecerdasannya dia akan mampu mencari solusi.

Pemimpin yang cerdas tidak akan membiarkan masalah berlangsung lama, karena dia selalu tertantang untuk menyelesaikan masalah tepat waktu. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran. “Allah akan meninggikan orang-orang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (QS.Al Mujadalah:11).
Semoga kedepan, sifat-sifat kepemimpinan Rasulullah tersebut benar-benar membumi di negeri ini.
, Oleh Dr Harry Mulya Zein

sumber : www.republika.co.id

Friday, March 22, 2013

Jalan Lurus

HIKMAH -- Dalam sehari semalam, minimal 17 kali kita memohon kepada Allah. Dalam shalat, kita senantiasa dengan berdoa. "Ihdinash Shiratal Mustaqim" yang artinya, "Ya Allah, Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

Permohonan berupa petunjuk ke jalan yang lurus mencakup tiga permohonan. Pertama, memohon kepada Allah agar mengaruniakan kepada kita ilmu yang bermanfaat. Masih banyak di antara petunjuk Allah yang belum kita ketahui. Kita tidak boleh merasa cukup dengan ilmu yang kita miliki.

Kita sering berdoa kepada Allah, "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyuk, lisan yang selalu basah berzikir, dan amal yang diterima.”

Kita juga meminta perlindungan kepada Allah dengan doa, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah merasa puas, dan dari doa yang tidak dikabul."

Sudahkah kita bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu Islam? Sudahkah kita serius mempelajari dan memahami Alquran dan Hadis Nabi SAW, seperti pemahaman para sahabat Rasulullah?

"Ihdinash Shiratal Mustaqim." Kita ucapkan benar-benar dari hati. Bukan sekadar basa-basi atau main-main. Doa tersebut perlu pembuktian.

Kedua, kita memohon kepada Allah agar dimudahkan dalam mengamalkan ilmu yang telah Allah karuniakan. Di antara doa yang sering kita panjatkan, "Ya Allah, bantulah aku untuk dapat mengingat-Mu, untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu, dan untuk dapat beribadah kepada-Mu dengan baik."

Tidaklah menjadi jaminan seseorang yang telah mengetahui kebenaran itu mengamalkannya. Ada faktor-faktor yang menghalangi seseorang untuk mengikuti kebenaran meskipun ia tahu dan berilmu.

Hasud, sombong, cinta harta, cinta kedudukan, cinta kepada lawan jenis, ambisi kekuasaan, fanatisme kepada suku, kelompok, kampung halaman, nenek moyang dan adat istiadat, itu semua dapat menghalangi seseorang untuk mengikuti kebenaran. Hal itu juga dapat menjerumuskan seseorang pada jalan yang dimurkai Allah (sesat).

Diperlukan kejujuran, kesabaran, dan kebesaran jiwa serta keberanian untuk merenung, mengevaluasi, dan segera memperbaiki diri. Setan akan selalu berusaha untuk menghiasi agar kita memandang indah kebatilan dan untuk mencari-cari dalil sebagai pembenaran.

Akan tetapi, nurani kita tidak bisa dibohongi. Mintalah kepada Allah agar memberi kekuatan kepada kita dalam mengekang hawa nafsu dan melawan godaan setan yang terkutuk.

Ketiga, kita memohon kepada Allah untuk meneguhkan hati agar tetap istiqamah sampai akhir hayat. Hati manusia mudah berbolak-balik. Pagi hari beriman, sore bisa menjadi kafir. Hari ini bersih dan ikhlas, besok bisa ternoda dan berubah niat.

Di antara doa yang kita mintakan kepada Allah, "Ya Rabb, janganlah Engkau palingkan hati kami pada kesesatan setelah Engkau beri hidayah kepada Kami, berilah untuk kami rahmat (kasih sayang) dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Mahapemberi.” (QS Ali Imran [3]: 8).

Rasulullah SAW sering berdoa, "Ya Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku agar selalu (istiqamah) berada di atas rel din (agama) Mu." Ketiga poin ini tercakup dalam Ihdinash Shiratal Mustaqim. Semoga Allah mengabulkan doa kita. Amin.
Oleh Fariq Gasim Anus


sumber : www.republika.co.id

Thursday, March 21, 2013

Akhirat 2 Menit 6 Detik

Peristiwa tsunami kecil di Wasior, Papua yang menelan lebih dari 150 warga, disusul banjir di DKI Jakarta yang mampu menghentikan denyut jantung aktivitas perekonomian ibukota.

Tak mau ketinggalan pula gempa dan tsunami di pantai Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat yang merenggut lebih dari 115 nyawa, dan awan panas Gunung Merapi mencapai suhu 8000C di Yogyakarta pun seakan ikut andil ‘menyapa’ manusia.

Fenomena alam ini tak ubahnya hanya secuil bukti tentang kekuasaan Allah untuk menggambarkan betapa kecilnya kuasa manusia di dunia.

Lebih dari empat miliar tahun planet bumi diciptakan beserta sumberdaya yang terkandung di dalamnya dengan keunikan dan keistimewaan bentuk, motif dan warnanya, tidak lain untuk memfasilitasi keperluan perjalanan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna ini.

Manusia pada hakikatnya sebagai makhluk nomaden yang berangkat dari alam azali, berpindah ke  alam rahim, alam dunia, alam barzah dan  tempat pemberhentian terakhir di alam akhirat.

Time limit khalifah di bumi ini sangat singkat laksana seorang pengembara yang mampir untuk  sekadar minum, begitulah Rasullullah saw, sang manusia agung pilihan menggambarkannya.
   
Setiap bayi yang lahir di alam fana ini tidak punya pilihan untuk hidup melainkan dengan dua buah kitab, yakni kitab catatan perbuatan baik (sijjin) dan perbuatan buruk (illiyin) yang akan menyertainya sampai akhirat nanti.  Ditambah lagi amanah dari Allah yang khusus diberikan kepada manusia, yakni shalat.
Suatu ketika sahabat melihat Ali bin Abi Thalib, ra ketika berwudlu kulitnya berwarna kuning, dan bergemetaran badannya ketika shalat.

Maka sahabat yang melihatnya bertanya kepada menantu Rasullullah itu, “wahai Ali mengapa engkau kelihatan seperti tidak sehat ketika berwudlu dan shalat?”.

Ali bin Abi Thalib pun menjawab “Bagaimana aku tidak gemetar jika gunung, pohon dan makhluk lain ciptaan-Nya saja tidak sanggup memegang amanah ini dari Allah”
   
Hidup di dunia sangatlah singkat, tak sebanding dengan kehidupan di akhirat. Sebagaimana firman Allah Surat Al Ma’arij Ayat 4 “Para malaikat dan jibril naik menghadap kepada Allah, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun”.

Berarti, sehari di akhirat sama dengan 50.000 tahun di dunia. Bila dikoversikan umur manusia berdasar tolok ukur usia Rasullullah SAW 63 tahun maka kehidupan manusia setara dengan dua menit enam detik di akhirat.
Belum lagi ibadah yang dilakukan seorang hamba belum tentu diterima oleh Allah SWT. Oleh karena itu, berhitunglah!
Oleh: Prof Dr Rokhmin Dahuri MS.
   
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, March 20, 2013

Birrul Walidain

Perintah berbuat baik kepada orang tua (birrul walidain) ditempatkan setelah larangan mempersekutukan Allah SWT (QS al-An'am [6]: 151). Hal ini menunjukkan pentingnya peran orang tua terhadap masa depan anak (di dunia dan akhirat).

Yang pasti, setiap perintah dan larangan Allah SWT membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Setiap pelanggaran terhadap perintah-Nya atau melawan larangan-Nya, akan berdampak buruk bagi pelakunya.

Salah satu perintah Allah SWT itu adalah berbuat baik kepada orang tua. Dengan itu, kita menjadi ada (terlahir). Kita menjadi sukses seperti sekarang, salah satunya karena peran keduanya.

Bahkan, ridha dan murka Allah pun terletak pada keridhaan dan kemurkaan keduanya. Karena itu, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS Luqman [31]: 14).

Maka, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan, rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (QS al-Isra' [17]: 23-24).

Kebalikan dari birrul walidain adalah uququl walidain (durhaka kepada orang tua). Setiap kedurhakaan kepada orang tua pasti mendatangkan keburukan bagi pelakunya di dunia dan di akhirat kelak.

Di antara bentuk keburukan dari uququl walidain itu adalah, pertama, hidup menjadi terhina. Rasulullah SAW bersabda, “(Sungguh hina) seorang yang mendapati kedua orang tuanya yang masih hidup atau salah satu dari keduanya ketika mereka telah tua, tetapi justru ia tidak masuk surga.” (HR Muslim).

Kedua, mendapat murka Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Ridha Allah ada di dalam ridha kedua orang tua dan murka Allah ada di dalam murka kedua orang tua.” (HR Tirmidzi).

Ketiga, ditolak amal kebaikannya. Rasulullah SAW bersabda, “Tiga macam dosa yang akan menyia-nyiakan segala amal lainnya, yaitu mempersekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, dan lari dari medan jihad.” (HR Thabrani).

Keempat, disegerakan balasannya di dunia. Rasulullah SAW bersabda, “Semua dosa akan Allah tunda hukumannya menurut kehendak-Nya sampai hari kiamat nanti, kecuali hukuman terhadap perbuatan zina dan durhaka kepada kedua orang tua atau memutus silaturrahim. Sesungguhnya Allah akan memperlihatkan kepada pelakunya di dunia sebelum datang kematian.” (HR Bukhari).

Kelima, terhalang masuk surga. Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga macam dosa yang diharamkan Allah bagi yang melakukannya untuk masuk surga, yaitu yang selalu minum-minuman khamr, mendurhakai kedua orang tua, dan orang yang membiarkan istrinya melacur atau orang yang sengaja menjadi pelacur.” (HR Ahmad, Nasa'i, dan Hakim). Wallahu a'lam.
Oleh: Imam Nur Suharno

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, March 19, 2013

Umur Kualitatif

Hidup kita di dunia ini tidak lama (al-hayat al-dunya = kehidupan yang sangat dekat dan rendah). Setiap saat, umur kita berkurang, dan terus berkurang.

Kita semua sedang menempuh perjalanan menuju sebuah kepastian, yakni kematian. Umur yang kita jalani merupakan kontrak Ilahi sekaligus amanah yang akan dimintai pertanggungan jawab oleh Allah SWT di akhirat.

Sekadar tafakur, marilah kita mencoba mengalkulasi umur kuantitatif kita secara sederhana. Rata-rata kita menghabiskan waktu delapan jam/hari untuk tidur. Delapan jam adalah sepertiga dari 24 jam/hari.

Jika misalnya kita dikaruniai usia hingga 60 tahun, berarti kita tidur selama 20 tahun. Jika usia kita mencapai 75 tahun, berarti kita tidur selama 25 tahun.  

Pertanyaannya kemudian dua pertiga usia bangun kita (16 jam) itu dimanfaatkan untuk apa? Berapa lama kita membaca, belajar, bekerja, berkarya, berdedikasi, bermasyarakat, dan beribadah kepada Allah?

Dalam hal ini, Umar bin al-Khattab ra. pernah memberi nasehat: “Hitunglah (amalan) dirimu, sebelum engkau dihitung (oleh Allah) dan timbanglah kinerjamu sebalum ditimbang di akhirat kelak.”

Padahal Nabi Saw juga pernah menyitir bahwa rata-rata umur umatnya berkisar  60 sampai 70 tahun, dan sangat sedikit orang dapat melampaui 70 tahun (HR. at-Turmudzi, Ibn Majah, dan Abu Ya’la).

Agar umur kita bernilai atau berkualitas prima, kita perlu terus-menerus melakukan muhasabah (introspeksi diri, audit dan evaluasi diri), sehingga kita semakin menyadari pentingnya nilai dan manajemen waktu.

Allah SWT berfirman: “Demi masa, sungguh manusia itu pasti dalam kerugian; kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling mewasiatkan kebenaran, dan mewasiatkan kesabaran.” (Qs. Al-Ashr: 1-3)

Perjalanan waktu (umur) itu ibarat awan, tidak pernah kembali/mundur, terus maju dan berlalu. Karena itu, menghargai waktu berarti memaknai hidup dan kehidupan. Waktu selalu disiplin, tetapi tidak semua manusia bisa disiplin waktu.
Tidak sedikit, manusia yang lengah dan tidak dapat menghargai waktu, terutama saat sehat dan senggang atau tidak ada agenda yang jelas. Nabi Saw pernah mengingatkan: “Sehat dan waktu luang merupakan dua nikmat yang banyak manusia dibuat terpedaya olehnya.” (HR. al-Bukhari).

Karena itu, mensyukuri nikmat waktu sebagai umur kualitatif merupakan kunci utama manajemen waktu itu sendiri. Dan kunci manajemen waktu adalah manajemen diri sendiri.

Artinya: “Jagalah (waktu antara) yang lima sebelum datang yang lima: waktu mudamu sebelum pikunmu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. al-Hakim)

Dalam bermuhasabah, umur kualitatif kita harus senantiasa dimaknai dengan selalu bertaqwa dan tidak melupakan Allah (lupa menyebut nama Allah, lupa melaksanakan perintah-Nya, lupa menjauhi larangan-Nya, melupakan nikmat-Nya, dan sebagainya) dalam segala hal. 

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qs. Al-Hasyr/28: 19).

Kita berharap umur kualitatif kita menjadi umur dambaan seperti pesan Nabi Saw berikut: “Ada empat perkara, siapa yang diberikan semuanya, berarti dia telah diberikan kebaikan dunia dan akhirat, yaitu: hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, sabar menerima cobaan, dan istri yang rela dinikahi bukan karena mau menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan dan menginginkan hartanya (istri shalehah).” (HR. at-Thabarani). Mudah-mudahan umur kualitatif kita senantiasa lebih baik dan dapat melampaui  umur kuantitatif kita.
Oleh: Muhbib Abdul Wahab
      
sumber : www.republika.co.id

Monday, March 18, 2013

Bahaya Sekulerisasi Ilmu

“Besok besar saya ingin menjadi ahli ilmu agama”. Itulah jawaban seorang murid ketika ditanya tentang cita-citanya kelak. Jawaban demikian boleh jadi lumrah belaka. Tetapi jika dicermati, segera terasa pandangan terhadap ilmu yang perlu dikaji kembali.

Munculnya istilah ilmu agama menandaskan seolah ada ilmu non-agama. Anggapan selanjutnya biasanya bahwa belajar ilmu agama itu berpahala, sementara belajar ilmu non-agama tidak akan berpahala. Ada cara pandang dikotomik antara ilmu agama dan ilmu umum.

Semestinya tidak ada istilah ilmu agama. Agama bukan ilmu, melainkan ilmu adalah bagian dari agama. Agama yang melahirkan ilmu. Dan setiap ilmu harus ditegakkan di atas pondasi agama. Surah Al-Mujadilah ayat 11 tegas menyatakan bahwa ilmu harus diawali dengan iman. “…Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu beberapa derajat.”

Tetapi sebagian orang menganggap bahwa ilmu agama sebatas pelajaran fiqih, tauhid, akidah, tasawuf, tarikh, akhlak, bahasa Arab, dan lainnya. Ilmu geografi, ekonomi, psikologi, sosiologi, filsafat, sastra, seni, biologi, fisika, matematika, kimia, dan serupanya dipandang sebagai bukan ilmu agama, atau bahkan tidak ada kaitannya dengan agama.

Itulah awal dari sekulerisasi ilmu. Islam memandang ilmu secara utuh dan menyatu. Umat Islam dianjurkan untuk menuntut ilmu. Dan Allah akan mengangkat derajat orang-orang berilmu tanpa dibedakan jenis ilmunya. Yang penting ilmu tersebut harus tegak di atas keimanan.

Cermati konsep manusia ideal (ulul albab) menurut Alquran. Manusia ideal adalah orang-orang yang selalu berzikir kepada Allah, memikirkan penciptaan langit dan bumi. “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring. Mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata, Ya Tuhan kami, tidak Engkau ciptakan ini semua dengan sia-sia. Maha Suci Engkau. Maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imron: 191).

Jadi, di antara ciri manusia ideal adalah selalu berzikir, memikirkan penciptaan langit dan bumi. Tetapi mungkinkah manusia akan mampu memikirkan penciptaan langit dan bumi tanpa berbekal perangkat keilmuan seperti biologi, fisika, matematika, kimia, dan lainnya? Menafsirkan ayat-ayat kauniyah pun meniscayakan mufasir untuk menguasai ilmu-ilmu tersebut.

Itulah kenapa wahyu yang pertama kali turun adalah perintah membaca (Al-Alaq: 1-5). Membaca tentu meliputi apa saja, termasuk geografi, ekonomi, psikologi, sosiologi, filsafat, sastra, seni, biologi, fisika, matematika, kimia, dan seterusnya.

Sekulerisasi ilmu melahirkan anggapan bahwa yang disebut ulama hanya terbatas mereka yang menguasai ilmu syariah (fiqih). Sementara profesor geografi, ekonomi, psikologi, sosiologi, filsafat, sastra, seni, biologi, fisika, matematika, kimia, cukup disebut sebagai ilmuwan, bukan ulama. Padahal Al-Quran tidak pernah membatasi siapa penyandang gelar ulama. “Sungguh yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanya ulama. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (Fathir: 28).

Ulama dalam ayat ini adalah mereka yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah. Dengan kata lain, pakar di bidang apa saja, sepanjang kepakaran itu membuatnya semakin takut kepada Allah, merekalah ulama. Ulama bukan hanya para pakar fiqih, tauhid, akidah, tasawuf, tarikh, akhlak, bahasa Arab, melainkan siapa saja yang mendayagunakan pikiran dan nuraninya untuk menguak kebesaran Allah dengan landasan keimanan dan ketakwaan.

Sekulerisasi ilmu juga melahirkan kesalahan yang sangat fatal. Misalnya, yang dituntut mampu membaca dan memahami Alquran hanya mereka yang belajar di pesantren atau kampus Islam. Mereka yang belajar di luar kedua lembaga pendidikan itu, tidak ada urusan dengan bisa atau tidak membaca dan memahami Alquran. Bahkan sama sekali awam soal agama dan ibadah juga tidak menjadi soal. Karena agama dan ibadah itu bukan bidang kajian mereka.

Jelaslah, ilmu hendak dilepaskan sama sekali dari agama. Mempelajari ilmu hanya untuk ilmu itu sendiri. Padahal tidak ada satu urusan di dunia ini yang boleh dilepaskan dari agama. Jika agama tidak menjadi pondasi tegaknya segala sendi kehidupan, akibatnya ketinggian ilmu seolah terus berpacu dengan maraknya berbagai kasus seperti kita lihat di negeri ini: KKN, tawuran, narkoba, kekerasan, perselingkuhan, plagiarisme, dan kebejatan moral lain.

Sekulerisasi ilmu jelas merupakan muasal kosongnya ilmu dari muatan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Akan berbeda jika pemegang ilmu selalu tegak di atas pondasi agama. Mustahil ia akan menyalahgunakan ilmunya. Karena senantiasa merasa diawasi Allah, sehingga akan berhati-hati dalam setiap ucapan dan tindakan. I
tulah esensi ihsan. Yaitu “engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa sungguh Dia melihatmu” (Bukhari dan Muslim).

Bahaya lain dari sekulerisasi ilmu adalah munculnya para pakar ilmu yang justru memperdahsyat kerusakan di bumi. Mereka paham agama tetapi tidak mengamalkannya. Mereka inilah yang oleh Allah digambarkan seperti keledai membawa kitab.
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian tidak mengamalkan isinya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal. Amat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim” (Al-Jumuah: 5).
Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya, Oleh M Husnaini
sumber : www.republika.co.id

Sunday, March 17, 2013

Waspadai Romansa Dunia!

Judul tulisan di atas merupakan kesimpulan dari penegasan Alquran dalam berbagai ayatnya, bahwa romansa dunia kerap menipu dan mempedaya manusia.

Maka tidak ada kata lain bagi kaum beriman, kecuali harus senantiasa waspada dan tidak terlena oleh megah dunia. Kaum beriman harus senantiasa sigap dengan segala pernik dunia yang kerap menjerumuskan dan menghancurkan.

Ingatlah firman Allah, “Dihiaskan pada manusia kecintaan yang diinginkan berupa wanita-wanita, anak-anak, harta melimpah dari jeis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah tempat kembali yang baik” (Ali Imron: 14).

Tidak kurang 117 kali Alquran menyebut kata ad-dunya. Semuanya mengacu pada peringatan keras bagi para pembaca Alquran agar memahami rupa dan pernik dunia, kedudukannya bagi hidup dan mati manusia, seberapa kebaikan, kelezatan, dan kemudaratannya, serta bagaimana cara kita mendapatkan dan menghindari dunia agar selamat.

Betapa gamblang penjelasan Alquran untuk keselamatan manusia itu. Jika mengacu pada surah Ali Imran di atas, maka ada berbagai rupa kenikmatan atau kesenangan dunia.
Pertama, berupa wanita. Persis sabda Rasulullah, “Dunia adalah kesenangan sementara, sedangkan sebaik-baik kesenangan sementara adalah wanita yang shalihah”.

Kedua, berupa anak-anak. Jelas anak-anak merupakan kebahagiaan, pewaris, pendoa, dan pembantu utama jika orangtua lanjut usia.

Ketiga, berupa harta yang banyak, seperti uang, emas, perak, dan harga tidak bergerak maupun bergerak.

Keempat, berupa kuda-kuda pilihan, dalam bahasa sekarang kendaraan, seperti mobil atau motor.

Kelima, binatang-binatang ternak, semacam kerbau, kambing, sapi, dan lainnya. Keenam, sawah atau ladang, termasuk perkebunan dan perhutanan.

Seluruhnya, itu adalah mata’ al-ghurur (kesenangan yang menipu). Dan ternyata tidak sedikit manusia yang tertipu olehnya. Mereka mengira dunia itu menyenangkan.

Jungkir balik mereka meraihnya, ternyata dunia malah menyusahkan dan membuat hidup mereka berantakan. Lihatlah para pelaku koruptor dan penyeleweng jabatan serupa yang wajahnya kerap menghiasi layar media negeri kita tercinta. Kesuksesan mereka atas gemerlap dunia justru menghasilkan petaka.

Itu karena mereka lupa bahwa kesenangan dunia amat sedikit (mata’ al-qalil). Terlebih jika dibanding kesenangan akhirat. Perbandingan itu sudah disebutkan dalam hadis, bahwa kesenangan dunia hanya setetes dari kesenangan akhirat. Atau seperti pisang, dimana kesenangan dunia hanya kulitnya sementara kesenangan akhirat adalah isi pisangnya itu sendiri.

Memang sebutan lain bagi dunia adalah sebagai zinah atau perhiasan (Al-Kahfi: 28 dan 46, Al-Qashas: 60). Tetapi, bukankah perhiasan hanya ornamen dan bukan esensi? Seperti hiasan ornamen pada rumah, esensinya adalah tempat tinggal agar kita tidak kehujanan dan aman dari penjahat. Yang lebih kita butuhkan tentu rumahnya, bukan ornamennya. Dunia hanya kembang atau gemerlap yang bukan pokok (Thaha: 131). Bahkan hanya permainan (Al-Ankabut: 64, Muhammad: 36, Al-Hadid: 20).

Akhirat, itulah kehidupan yang hakiki dan abadi. “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta benda dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya menguning kemudian menjadi hancur, dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta ridla-Nya, dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menimpa” (Al-Hadid 20).

Teringatlah saya sabda Rasulullah, “Sesungguhnya dunia itu manis dan menghijau, dan sesungguhnya Allah memberikan kuasa padamu dalam dunia itu, maka Allah akan melihat bagaimana kamu sekalian berbuat. Sesungguhnya Bani Israil saat dunia dilimpahkan kepada mereka, mereka pun berbangga-bangga dengan perhiasan, wanita-wanita, wangi-wangian, dan pakaian” (Muttafaq Alaih).

Sudahkah kita mewaspadai romansa dunia, sehingga modal hidup yang singkat ini bisa menjadi tiket menuju surge kelak di alam baka?
Oleh KH Muhammad Dawam Saleh
sumber : www.republika.co.id

Saturday, March 16, 2013

Perhatian Seorang Penguasa

Al-Iman al-ihtimam, iman itu perhatian. Demikian disebut dalam sebuah hadis. Perhatian kepada siapa? Perhatian kepada Allah, dengan semua syariat dan ajaran-Nya, perhatian terhadap semua sunah Nabi-Nya, juga sangat perhatian dengan umat Nabi Muhammad SAW.

Jadi, dianggap kurang sempurna iman jika kita tidak memiliki perhatian. Karenanya, perhatian dan kepedulian adalah di antara syariat Allah yang tak terpisahkan dari syariat Allah lainnya, seperti shalat, puasa, atau juga haji. Bahkan, shalat, puasa, dan haji kita dianggap dusta oleh Allah jika kita tidak memiliki empati dan kepeduliaan yang nyata kepada orang-orang yang hidup di sekitar kita. (baca QS al-Ma’uun).

Karena itu, perhatian dan kepedulian adalah amaliah nyata yang harus dibangun oleh siapa pun, kapan pun, dan di manapun. Lebih-lebih jika kita adalah para pemangku amanah.

Hampir selalu berbuah indah bahkan akan mencatatkannya dengan tinta emas pada lembar sejarah kehidupan manusia, jika para penguasa mampu dengan baik memberikan perhatian dan kepeduliannya kepada rakyat yang di pimpinnya. Seperti cerita agung sosok Umar bin Khatab berikut ini.

Suatu hari, demikian tertulis dalam Mausu’ah Qishashis Salaf, Umar bin Khatab RA pergi dari rumah untuk mengetahui secara langsung keadaan rakyatnya. Dia bertemu dengan seorang laki-laki yang duduk dengan sedih dan gelisah di pintu masjid.

Umar bertanya, “Ada apa dengan mu?” Laki-laki itu menjawab, “Istriku ham pir melahirkan, tetapi kami tidak memiliki apa pun dan tidak seorang pun bersamanya.”

Umar menanyakan rumahnya. Lalu, dia menunjuk sebuah tenda di pinggiran Kota Madinah. Setelah menemui istrinya, Umar pun mengajaknya langsung, “Maukah kamu memperoleh kebaikan yang Allah antarkan kepadamu?” Istrinya bertanya, “Apa itu ya Amirul Mukminin?”

Umar menjelaskan, “Seorang wanita hampir melahirkan dan tidak ada yang menemaninya.” Istrinya pun menyetujuinya.

Umar lalu mengambil tepung, mentega, dan susu kering. Ketika sampai di tenda, Umar berteriak, “Wahai penghuni tenda.” Laki-laki itu keluar. Umar menyuruh istrinya masuk kepada wanita itu, sedangkan ia menyiapkan bejana dengan tepung, mentega, dan susu kering. Umar meletakkannya ditungku. Dia meniup apinya dan mengaduk isinya.

Apa yang ada di bejana belum juga masak, tetapi telah terdengar tangisan bayi dari dalam tenda. “Ya Amirul Mukminin, sampaikan berita gembira kepada temanmu, anaknya laki-laki,” seru istri Umar.

Laki-laki itu terkejut bahagia. Dia berkata, “Kami telah merepotkan dan melelahkan Amirul Mukminin.” Umar berkata, “Tidak apa-apa. Besok pagi datanglah kepada kami. Kami akan memberimu apa yang kamu perlukan untuk keluargamu.”

Keesokan harinya laki-laki itu datang. Umar memberinya unta betina dan makanan yang memenuhi punggung nya. Allahu Akbar. Begitulah orang besar mencetak sebuah keteladanan.

Bagaimana dengan para penguasa di negeri ini? Semoga segera terlahir penguasa yang amanah dan mau berkhidmat langsung kepada rakyat yang dipimpinnya.
Oleh M Arifin Ilham

sumber : www.republika.co.id

Friday, March 15, 2013

Hidangan Ilahi

"Seandainya Kami turunkan Alquran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah karena takut kepada Allah. Berbagai perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir." (QS. al-Hasyr [59]: 21).

Alkisah, sebelum masuk Islam, Umar bin al-Khattab terkenal sebagai pemberani sekaligus keras kepala, dan sangat anti-Islam. Hidayah Allah itu datang menghampiri hatinya melalui sebuah prosesi spiritual yang mengharukan.

Ketika Umar bin al Khattab bertekad membunuh Nabi saw di tengah perjalanan dia transit di rumah adiknya, Fatimah binti al-Khattab. Saat berada di depan pintu rumah adiknya, dia mendengar lantunan ayat-ayat suci Alquran yang sangat puitis.

Setelah mendengar lantunan ayat: “Thaha. Kami tidak menurunkan Alquran ini kepadamu agar kamu menjadi susah (sengsara dan menderita), tetapi sebagai peringatan bagi orang-orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi (QS. Thaha/20: 1-4).

Hati ‘Umar bin Al-Khattâb yang keras bagai batu gunung pun luluh, lalu menemui Nabi saw bukan untuk membunuhnya, melainkan masuk Islam.

Alquran merupakan 'hidangan spesial' Allah SWT (ma’dubatullah) bagi hamba-Nya. Hidangan kemuliaan ini tentu harus dinikmati dan dimaknai. Memaknai Alquran identik dengan membaca, memahami, menghayati, mengapresiasi, menerjemahkan, dan mengamalkan pesan-pesan moral dan spiritualnya dalam kehidupan.

Dengan begitu, Alquran sebagai petunjuk (huda) kehidupan manusia dapat berfungsi. Hanya saja, menikmati dan memaknai 'hidangan Ilahi' memerlukan kerendahan hati dan keterbukaan diri agar dapat memancarkan cahaya (nur), menjadi obat, (syifa’), dan rahmat bagi semua.

Imam al-Ghazali memberikan sepuluh amalan spiritual untuk menikmati hidangan Ilahi tersebut. Pertama, memahami keagungan firman Allah dan diyakini sebagai bacaan paling mulia yang menunjukkan keagungan dan ketinggian-Nya.

Kedua, mengagungkan Dzat yang berfirman, Allah. Ini dilakukan dengan selalu membaca ta’awwudz dan basmalah serta menghadirkan keagungannya itu dalam hatinya sebelum membacanya.

Ketiga, kehadiran hati (khusyû’) dan menjauhkan diri dari bisikan jiwa yang dapat merusak konsentrasi saat menikmati jamuan itu. Keempat, merenungi (tadabbur) kedalaman, keindahan, dan kesesuaian pesannya bagi kehidupan.

Kelima, berusaha memahami (tafahhum) jamuan ayat-ayat-Nya, sehingga merasa terkesan dan penasaran untuk selalu membaca dan membacanya.

Keenam, menghindari hambatan-hambatan pemahaman selama menikmati jamuan, karena ketika hati lengah, godaan setan pasti datang untuk mengalihkan perhatian. Ketujuh, menyadari sasaran pesan moral jamuan (takhshîsh). Sang penikmat jamuan itulah yang dituju oleh pesan moralnya.

Kedelapan, berusaha menghayati dan menerima pesan (ta’atssur) dari jamuan itu, agar sang penikmat berusaha mengamalkan pesannya.
Kesembilan, meningkatkan penghayatan (taraqqî) terhadap makna jamuan, agar hati menjadi khusyu’, ucapan terjaga, sikap bijaksana, pikiran positif, dan amalan selalu istiqâmah.

Kesepuluh, melepaskan diri dari segala daya dan kekuatan (tabarrî) selain Allah dengan penuh keridhaan hati dan dengan selalu menyucikan diri dari dosa dan maksiat kepada Allah.

Alangkah nikmat hidangan Ilahi itu, jika kita semua selalu mengamalkan sabda Nabi saw: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mau mempelajari Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Rumah yang selalu menikmati hidangan Ilahi adalah rumah yang penghuninya selalu shalat berjamaah dan membaca Alquran.
Gerakan 'Maghrib mengaji' (maksudnya selepas shalat Maghrib membaca Alquran) perlu diapresiasi dan didukung. Sebab, godaan tontonan melalui TV dan lainnya di waktu Maghrib hingga Isya’ seringkali meninabobokan anak-anak kita.

Marilah kita semua membudayakan hidup sehat dan “nikmat spiritual” dengan menikmati hidangan Allah yang superlezat itu. Wallahu a’lam.
Oleh: Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id

Thursday, March 14, 2013

Penyakit Lahir dan Penyakit Batin

Penyakit, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah sesuatu yang menyebabkan terjadinya gangguan pada makhluk hidup.
Pada manusia, penyakit muncul disebabkan adanya bakteri, virus, atau kelainan pada sistem jaringan tubuh. Meski tidak ada orang yang menyukai penyakit, tetapi penyakit kerap datang tanpa diundang sehingga mengganggu kenyamanan aktivitas kita.

Dan manusia adalah makluk dua dimensi, lahir sekaligus batin. Karena itu, dua macam penyakit yang biasa hadir pada diri manusia adalah penyakit lahir dan penyakit batin. Jika ada bakteri lahir, virus batin pun ada. Penyakit lahir seperti demam, darah tinggi, asam urat, ambeien, diabetes, stroke, dan seterusnya. Penyakit batin meliputi sombong, kikir, egois, perusak, korup, culas, dan lainnya. Tingkat bahayanya tergantung jenis dan tensi penyakitnya.

Sering kita sibuk dengan sejuta cara agar kesehatan terjaga. Sayangnya, makna sehat baru kita definisikan sebatas sehat secara lahir. Asupan gizi nurani yang dapat menyehatkan batin justru sering kita abaikan. Jadilah kita makhluk yang menomorsatukan lahir, sementara kesehatan batin justru kita nomorsekiankan. Secara lahir kita bugar, namun secara batin merana. Padahal, penyakit batin tidak kurang mengerikan dibanding penyakit lahir.

Ada beberapa perbedaan antara penyakit lahir dan penyakit batin. Pertama, penyakit lahir segera terasa, sedang penyakit batin tidak terasa. Penderita demam lebih merasakan sakitnya ketimbang orang lain. Berbeda dengan penyakit batin, seperti culas dan sombong.

Tentu orang lain yang lebih bisa merasakannya. Penderitanya justru tenang-tenang saja. “Dan bila dikatakan kepada mereka, ‘Jangan kamu membuat kerusakan di muka bumi’ mereka menjawab, ‘Sungguh kami orang-orang yang mengadakan perbaikan’. Ingatlah, sungguh mereka itulah para pembuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar (Al-Baqarah: 11-12).

Kedua, penyakit lahir berdampak kecil, sedang penyakit batin dampaknya luas. Perhatikan orang yang sudah bertahun-tahun menderita stroke. Paling banter meninggal. Setelah meninggal, urusannya selesai, dan penderita tidak lagi merasakan stroke-nya. Tetapi jika batin yang sakit, gelaplah mata dan jiwa.

Akibat ulah para perusak tatanan lingkungan dan pemerintahan, bahayanya tidak terbatas bagi dirinya, tetapi menimpa masyarakat dan alam sekitar. “Telah nampak kerusakan di darat dan laut akibat ulah tangan manusia. Allah mengganjar mereka dengan sebagian dari perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar” (Ar-Rum: 41).

Ketiga, penyakit lahir berisiko ringan, sedang penyakit batin risikonya berat. Betapa parah penyakit lahir, pasti hanya berlangsung di dunia. Durasinya amat singkat, karena start dan finish-nya berlangsung di dunia. Ketika dijalani dengan sabar dan ikhlas, setiap penyakit lahir malah menghapus dosa.

Bagaimana jika penyakit batin? Allah menegaskan, “Bagi mereka azab dalam kehidupan dunia dan sungguh azab akhirat lebih keras dan tidak ada bagi mereka seorang pelindung pun dari (azab) Allah” (Ar-Ra’du: 34).

Keempat, penyakit lahir obatnya banyak, sedang penyakit batin obatnya cuma satu. Adalah salah ketika terserang darah tinggi tetapi kita minum obat diabetes. Dokter pun ada spesialisasinya. Spesialis THT menangani seputar hidung dan tenggorokan, bidang garap bidan adalah soal kandungan dan kelahiran. Tetapi penyakit batin, obatnya hanya Alquran.

Membaca dan mentadaburi ayat Alquran bisa menyembuhkan luka hati dan jiwa. “Dan Kami turunkan dari Alquran itu obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Quran itu tidak menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (Al-Isra: 82).

Kelima, penyembuhan penyakit lahir berbiaya mahal, sedang penyakit batin bebas biaya. Untuk sembuh dari diabetes, orang harus rela merogok kocek berjumlah puluhan, bahkan ratusan ribu rupiah. Terlebih jika sampai ‘istirahat’ beberapa hari di rumah sakit. Semakin gawat penyakitnya, semakin mahal pula ongkosnya. Tidak demikian dengan penyakit batin.

Modalnya hanya tekad dan kesanggupan untuk menjadi lebih baik. Itulah taubah nasuhah, yang akan menghapus kesalahan dan dosa. Bukankah taubat tidak butuh biaya? “Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang murni. Mudah-mudahan Tuhanmu menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai” (At-Tahrim: 8). 

Tidak ada lagi yang kita lakukan, kecuali harus terus menjaga stamina lahir maupun batin, agar hidup di dunia yang singkat ini kita terbebas dari penyakit lahir, terlebih lagi penyakit batin. Amin!

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah SurabayaOleh M Husnaini

sumber : www.republika.co.id

Saturday, March 09, 2013

Makna Syahadat Allah

Membaca dua kalimat syahadat merupakan rukun Islam yang pertama. Kalimat tersebut bukan hanya pembuka bagi pelaksanaan rukun Islam yang lima, melainkan sekaligus pernyataan ketundukan seseorang terhadap semua aturan ketuhanan.

Jika seseorang telah membaca Syahadat Allah (kesaksian akan adanya Allah SWT), maka secara langsung pada dirinya sedang terjadi tiga perubahan:

Pertama, penegasian semua bentuk kepercayaan dan keyakinan yang dipercayai sebelumnya. Atas dasar pandangan inilah kaum kafir Quraish memusuhi Rasulullah SAW, karena mereka sadar betul bahwa ketika ketauhidan menancap di dalam hati sanubari seseorang, maka tuhan-tuhan nenek moyang mereka berupa Latta, Uzza, Manat, Qattan, dan semacamnya bakal luluh lantak oleh pandangan ketauhidan.

Sehingga pertentangan kaum kafir Quraish terhadap Rasulullah SAW beserta pengikutnya pada hakekatnya bukanlah pertentangan pribadi, melainkan pertentangan keimanan, sehingga ke mana pun kaum muslimin berhijrah (Habasyah, Taif dan Madinah) intimidasi, gangguan dan peperangan tetap mereka kobarkan.

Kedua, penetapan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam, sehingga konsekwensi dari penetapan tersebut berupa ketundukan pada semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Oleh karenanya seseorang yang bersyahadat Allah bukan hanya akan meninggalkan kemusyrikan, melainkan juga memberangus "anak, cucu dan cicit"nya (kemusyrikan) yang berupa, kezaliman, korupsi, riba, berzina, berkata bohong, perampokan dan semua perbuatan buruk lainnya.

Singkat kata seseorang yang tauhidnya benar dan kuat, tidak akan terjerumus ke dalam dosa, kezaliman dan kemungkaran.

Ketiga, pengisian lembaran baru kehidupan dengan segala bentuk kebajikan, sebagaimana kebajikan yang telah direpresentasikan oleh Tuhannya dalam kehidupan dan nama baiknya dalam Al-Asmaul Husna.
Hidup seorang yang beriman pada hakekatnya hanya untuk kebajikan, sebab kebajikan bernilai positif bagi kemanusiaan dan ketuhanan. Dan Demikianlah daur kehidupan orang yang beriman. Allah SWT berfirman: "Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (QS. Az-Zalzalah: 7).

Jika ketiga perubahan tersebut mewarnai diri seorang muslim dalam kehidupan keseharian, maka syahadatnya kepada Allah telah mencapai syahadat Haqqul Yakin (yang ditandai dengan pewarnaan hidayah keimanan dalam setiap langkah kehidupan); bukan syahadat keimanan biasa (yang dinyatakan dengan keimanan di lisan dan hati dengan perbuatan yang terkadang kurang konsisten); maupun syahadat Ahlul 'Ilmi (yang percaya kepada Allah melalui penelitian ilmiahnya).

Sedemikian dalam makna syahadat Allah dan besar pengaruhnya pada diri pribadi seseorang, yang dalam konteks tertentu dapat memicu langkah revolusioner maupun evolusiner, sampai-sampai Allah SWT bersaksi atas diri-Nya sendiri untuk menegaskan keberadaannya sebagai Tuhan yang satu.

Allah SWT berfirman: "Allah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang-orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana (QS. Ali 'Imran: 18).

Namun demikian Allah SWT masih memberi ruang bagi penelitian, pemikiran dan kontemplasi manusia agar akal budinya dapat menemukan hakekat ketuhanan dan pengakuan Allah sebagai Tuhan seluruh alam dengan memikirkan tanda-tanda kebesaran-Nya.

Allah SWT berfirman: "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?" (QS. Fussilat: 53).

Maka, jika dalam memperkenalkan eksistensinya sebagai Tuhan yang satu, Allah SWT masih menggunakan dua cara agar akal manusia dengan mudah dapat menemukan-Nya, seharusnya seorang muslim tidak kehabisan cara dalam memperdalam keimanannya, sehingga semakin banyak kebajikan yang dapat disemai di bumi sebagai buah dari kesaksian akan ketuhanan Yang Maha Esa.

Wallahu A'lam.
, Oleh: Dr Muhammad Hariyadi MA



sumber : www.republika.co.id

Friday, March 08, 2013

Keajaiban

Sewaktu Tabaarok bisa menghafal Alquran pada usia 3,5 tahun dan dinobatkan sebagai penghafal Alquran terkecil (termuda) sedunia pada usia empat tahun, itu dianggap sebuah keajaiban. Sebagian muslim di Arab Saudi dan Mesir menganggap ini adalah keberkahan dan //fadhilah// (keutamaan) yang diberikan Allah SWT.

Tapi kemudian, menyusul Yaziid, sang adik. Dengan prestasi yang bahkan lebih mencengangkan. Setelah Yaziid yang usianya beda dua tahun dengan Tabarook, (sekarang Tabaarok usianya sembilan tahun, Yaziid tujuh tahun). Dan hebatnya lagi, adiknya Yaziid, yakni Zainah yang sekarang berusia lima tahun, juga sudah mampu menghafal Alquran sejak usia 3,5 tahun. Subhanallah.

Dunia pun kemudian menjadi paham. Ini bukan hanya keajaiban yang kebetulan atau keajaiban khusus yang dimiliki keluarga ini. Sebab, kemudian muncul //Tabarak Project.// Dengan salah satu visi misinya, mencetak anak penghafal Alquran sebelum usia tujuh tahun.

Di Indonesia, saya memimpikan; "Sebelum masuk SD, sudah hafal Alquran 30 juz." Alhamdulillah, atas izin Allah SWT, sekitar dua tahun lalu, saya berkesempatan mengunjungi markas //Tabarak Project// di Jeddah. Subhanallah, puluhan anak seusia Tabaarok, telah mengikuti jejaknya.

Maka, ketika suatu saat saya bertemu dengan Dr Kamil, ayah dari Tabaarok, Yaziid, dan Zainah, disampaikan semua yang ada di //Tabarak Project// itu sudah mampu menghafal Alquran 30 juz. "Inilah Keajaiban Alquran. Bukan keajaiban keluarga saya, tapi Allah yang memudahkan Alquran buat kita semua," kata Dr Kamil.

Dan saya pun melihat potensi itu. Namun Allah "baru menyempurnakannya" setelah melihat Tabaarok, Yaziid dan Zainah, dari dekat. Haafidz, putra saya, sejak usianya 2,5 tahun, sudah mulai menghafal surah Yaasiin.
Metode //talaqqi//, yakni dengan dibacakan. Namun, saat itu banyak kekurangannya dan cenderung terhenti. Padahal Haafidz sempat menghafal empat surah ditambah dengan Al-Kahfi dan Maryam.

Alquran memang penuh keajaiban, dan keajaiban itu buat semua yang percaya. Beberapa waktu lalu, saat meresmikan sebuah rumah makan (Waroeng Ayam Bandung), sang pemiliknya menyampaikan sebuah kejutan.

Seorang ibu berusia 77 tahun, namanya Hajjah Yanah. Baru dua bulan menghafal, sekarang sudah dapat 60 ayat. "Kalau mau, pasti bisa. Dan umur bukan halangan,” kata Ibu Hj Yanah.

Beliau yakin bisa menuntaskan hafalan Alquran 30 juz sebelum tutup usia. Lihatlah, penegasannya, ‘Usia bukan halangan.’ Saya pun optimistis, insya Allah, melalui program //Tabarak Project Indonesia,// anak-anak sudah hafal Alquran sebelum masuk SD.

Insya Allah dalam waktu dekat, program ini akan segera diluncurkan. Semoga, melalui program ini, harapan memiliki generasi masa depan yang menjadi penghafal Alquran bukan lagi sebuah mimpi, tapi kenyataan. Amien.

Tabaarok, Yaziid, dan Zainah, bukan hanya hafal, tapi mereka mengerti tafsirnya dan paham kisah-kisah yang ada di dalamnya. Insya Allah, di Indonesia pun akan sama.
Anak-anak Indonesia, sebelum masuk SD, sudah hafal Alquran 30 juz. Sehingga nantinya, mau jadi apapun anak-anak kita, mereka sudah punya Alquran dalam dadanya.
Oleh:  Ustaz Yusuf Mansur
sumber : www.republika.co.id

Thursday, March 07, 2013

Makna Ukhuwwah

Pemilihan kepala daerah yang marak saat ini di Indonesia, menorehkan luka yang sangat dalam. Lihatlah berapa banyak persaudaraan yang retak dan pecah akibat memilih calon kepala daerah yang berbeda.

Saudara memusuhi saudaranya, kakak tidak bertegur sapa dengan adiknya. Bahkan sampai terjadi tawuran antarmasing-masing pendukung calon. Peristiwa ini sangat menyakitkan dan melukai nilai persaudaraan diantara kita.

Kita tidak lagi melihat nilai ukhuwwah diantara sesama, padahal ukhuwwah merupakan variabel penting dalam bangunan Islam yang kokoh. Ukhuwwah juga modal kekuatan ummat.

Apapun arti sebuah kekuatan tak akan mempunyai arti, tanpa adanya persatuan. Persatuan merupakan wujud dari sikap kebersamaan. Kebersamaan muncul dari sikap persaudaraan yang tinggi antarsesama dan persaudaraan lahir dari iman yang kuat terhadap Allah SWT.

Firman Allah SWT dalam Alquran surat Al-Hujurat: 10 yang artinya, ''Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu, dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.''

Islam adalah agama sempurna yang berisi petunjuk yang lengkap untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, salah satu petunjuknya adalah hubungan antarmanusia khususnya sesama muslim, yaitu hubungan yang terikat oleh ukhuwwah islamiyyah.

Ukhuwwah bukan dalam arti sempit, hanya terikat hubungan darah dan kekerabatan, tapi ukhuwwah yang terikat satu aqidah. Dengan dasar aqidah inilah yang mampu menyatukan cita-cita, mampu menyatukan sikap dan tujuan, mampu menciptakan persatuan dan kebersamaan yang lebih luas.

Dengan demikian akan melahirkan sikap takaful (saling membantu), sikap ta’awun (saling menolong) dan sikap tasamuh (saling menghargai dan bertoleransi).
Bukankah seorang muslim saudara bagi muslim lainnya? Tidak menganiaya saudaranya, tidak menghina serta membiarkannya terjerumus kepada kehinaan. ''Barang siapa mencukupi kebutuhan saudaranya, dan membantu menghilangkan kesusahan saudaranya, Allah akan memberikan kelapangan kepadanya pada hari kiamat.''
Begitu Rasulullah saw bersabda.
''Barang siapa yang menutupi aib saudaranya, Allah SWT akan menutupi aibnya di hari kiamat dan barang siapa yang berusaha menghilangkan kesulitan hidup saudaranya, Allah SWT akan menghilangkan dari dirinya segala kesulitan pada hari kiamat.'' Sabda Rasulullah saw lainnya.

Pesta demokrasi yang kita lakukan adalah kegiatan rutin dalam negara kita. Kita memilih calon pemimpin yang menurut kita layak, tapi itu tidak boleh menghancurkan ukhuwwah.

Tak pantas rasanya, kita saling mencemooh, mengejek, dan menghina, hanya gara-gara memilih seorang pemimpin. Kita tak bertegur sapa hanya untuk sebuah kepentingan duniawi apalagi dengan mengorbankan begitu besar nilai ukhuwwah.

Kitalah ummat terbaik yang dilahirkan Allah SWT. Karena itu jangan mudah diombang-ambing segelintir manusia jahat. Jangan kita menjadi umat seperti yang digambarkan Rasulullah saw laksana buih di lautan, banyak tapi tidak bermanfaat, dihantam ombak ikut ombak, ombak surut buih pun ikut surut.

Saat kita berpesta pora dan bangga dengan perbedaan, Allah akan sangat mudah menghancurkan kehidupan kita. Ketika kita bangga dengan perpecahan, semua lupa seruan Allah SWT dalam surat Ali Imron: 103 yang artinya, ''Dan berpegang teguhlah kamu dengan tali agama Allah dan janganlah kamu bercerai berai.''

, Oleh: Ustaz Ahmad Dzaki Salim MAg
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, March 05, 2013

Pendidikan Cinta

Kamu sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu membelanjakan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran [3]: 92).

Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Seseorang tidak disebut mukmin selama belum mencintai sesamanya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” (HR al-Bukhari, Muslim, At-Turmudzi, an-Nasa’i, dan Ibn Majah).

Ayat dan hadis tersebut menunjukkan urgensi cinta sebagai spirit kebajikan dan keluhuran  akhlak. Energi cinta dalam diri manusia perlu dididik dan diaktualisasikan dalam bentuk kedermawanan sosial. Etos filantropi dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bersama memang harus dilandasi rasa cinta.

Kedermawanan berbasis cinta (filantropi) merupakan akhlak mulia, karena etos derma dalam Islam intinya adalah memberi dan memberi (give more and more) dengan semangat menyayangi dan memberdayakan.

Ingatlah bahwa “Tangan di atas (pemberi) itu lebih baik daripada tangan di bawah (peminta).” (HR Muslim). Jadi, esensi cinta sejati –dalam segala hal, mulai dari cinta anak dan istri hingga cinta Ilahi— adalah memberi dan mendedikasikan diri.

Pendidikan cinta berbagi telah dipelopori dan diteladankan Nabi SAW dan istri beliau tercinta, Khadijah. Sedemikian cintanya kepada Islam, Khadijah mendermakan hampir seluruh hartanya untuk kepentingan dakwah dan kejayaan Islam.

Para sahabat juga selalu dididik oleh Nabi SAW untuk gemar berderma dengan menyisihkan sebagian rezki sebagai bukti cinta terhadap Islam, sekaligus sebagai sikap peduli terhadap sesama. Sejarah membuktikan, tradisi tersebut menjadi solusi jitu dalam mengatasi masalah umat, terutama kemiskinan dan kebodohan.

Pendidikan cinta berbagi termasuk ajaran Islam yang paling dini diperkenalkan Nabi setelah pendidikan iman. Pendidikan ini ditanamkan dengan menjauhkan diri dari sikap pamrih, sebab pamrih itu hanya akan menghilangkan nilai derma sekaligus menyuburkan penyakit riya’.

Oleh karena itu, pada masa awal kerasulannya,  Allah SWT dengan tegas menyatakan: “dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS Almudatstsir [74]: 6).

Larangan ini juga sekaligus mendidik Nabi SAW dan para sahabatnya untuk mandiri dalam membangun sistem ekonomi umat yang solid, kuat, dan menyejahterakan semua, sehingga tidak tergantung pada sistem ekonomi kapitalistik dan individualistik ala kafir Quraisy Makkah.

Keberhasilan pendidikan cinta berbagi yang ditanamkan Nabi SAW berdampak sangat positif bagi kemandirian ekonomi dan kewirausahaan umat, sehingga selama sepuluh tahun berada di Madinah tidak pernah ada krisis moneter, krisis pangan, kelaparan, gizi buruk, dan sebagainya.

Zakat, infaq, sedekah, wakaf, dan hibah diatur dan diberdayagunakan sedemikian rupa, sehingga take and give, kebersamaan, kemitraan, dan keadilan sosial itu dapat terwujud dengan sangat indah.

Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu; dengarlah dan taatilah; dan dermakanlah derma yang baik untuk dirimu. Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Attaghabun [64]: 16).Dengan demikian, pendidikan cinta berbagi merupakan solusi jitu untuk mengatasi kemiskinan dan kebodohan.

Gagasan pendirian Baitul Mal oleh Umar bin al-Khaththab merupakan upaya institusionalisasi filantropi dengan menghimpun, mengelola, dan mendistribusikan kekayaan dari, oleh, dan untuk kemaslahatan umat.

Baitul Hikmah dan Universitas al-Azhar di Mesir, misalnya, didirikan, dikembangkan, dan dibesarkan oleh donasi filantropi sebagai manifestasi pendidikan cinta berbagi.

Umat Islam sesungguhnya tidak pernah miskin jika aset kedermawanan sosial umat  dapat didata, dikelola,  dikembangkan, dan dimanfaatkan dengan penuh amanah dan manajemen modern. Karena itu, yang sangat diperlukan saat ini adalah sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai pendidikan cinta berbagi pada diri umat Islam.

Pendidikan cinta berbagi idealnya juga dapat mengikis budaya korupsi, karena sikap dan perilaku korup merupakan cerminan hati yang terlalu cinta harta dan cinta duniawi. Dengan pendidikan cinta berbagi, setiap orang selalu belajar untuk memberi, bukan mencuri dan korupsi!
, Oleh: Muhbib Abdul Wahab



sumber : www.republika.co.id

Monday, March 04, 2013

Hikmah di Balik Rambut Beruban

Sudahkah kepala Anda beruban? Banyak orang merasa risih alias tidak nyaman dengan adanya uban di kepala. Munculnya uban dianggap mengganggu penampilan sehingga harus dicari jalan untuk mengeliminasinya.

Ada yang dengan menyemir rambut pakai warna hitam, mencabutnya, atau bahkan menggundul rambutnya sama sekali. Itu semua tidak lain agar uban tidak lagi nongol di kepala.

Penampilan fisik bagi sebagian orang memang segalanya. Chasing begitu dipuja. Maka tidak usah heran jika aneka salon perawatan tubuh begitu berkecambah, mulai dari kota besar hingga pelosok desa. Penggunanya pun tidak terbatas kalangan atas semacam artis atau pejabat. Tidak sedikit pula rakyat biasa atau pegawai rendahan yang menggemari jasa perawatan tubuh itu.

Merawat tubuh agar tampil indah nan menawan tentu tidak salah. Allah sendiri menyukai keindahan. Dalam sebuah hadis shahih, Rasulullah bersabda, “Sungguh Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia” (Muslim). Tetapi, merawat tubuh bagi kaum beriman jangan sampai keluar dari rambu agama.

Menurut hadis, manusia yang pertama kali melihat uban di kepala adalah Nabi Ibrahim. Ketika itu, Nabi Ibrahim lantas bertanya kepada Allah, “Ya Rabbi, apakah ini?” Allah menjawab, “Ini adalah kemuliaan dan kelembutan wahai Ibrahim”. Jelaslah, uban bukan aib atau keburukan.

Rasulullah sendiri beruban. Diriwayatkan, Abu Bakar bertanya kenapa rambut beliau begitu lekas beruban. Rasulullah menjawab, “Surat Hud, Al-Waqiah, Al-Mursalat, An-Naba, dan At-Takwir, itulah yang menyebabkan rambutku lekas putih”.

Rasulullah ngeri dengan surat-surat itu karena banyak bercerita tentang kedahsyatan kiamat dan balasan atas keingkaran umat-umat terdahulu. Rasulullah amat takut sekiranya yang menerima ayat-ayat azab itu adalah umat beliau sendiri, yaitu kita.

Maka soal uban, Rasulullah menegaskan, “Uban adalah cahaya bagi seorang mukmin. Tidaklah seseorang beruban, walau hanya sehelai, kecuali setiap ubannya akan dihitung sebagai kebaikan yang akan meninggikan derajatnya”. (Shahihul Jami’).

Dan meski umumnya uban tumbuh pada umur 40 tahun, faktanya tidak sedikit orang sekarang sudah beruban meski umurnya baru 25-an tahun. Bagi kaum beriman, tentu uban harus dimaknai sebagai peringatan bahwa hidup di dunia tidak pernah lama. “Uban merupakan tanda perpisahan dengan masa kanak-kanak,” demikian dijelaskan Imam Al-Qurthubi.

Dengan kata lain, ketika kepala kita sudah ditumbuhi uban, berarti kita telah dewasa dan bertanggung jawab penuh atas setiap ucapan dan tindakan kita di dunia. Semua ada harganya di mata Allah. “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan apakah tidak datang kepadamu peringatan?” (Fathir: 37). Menurut sebagian mufasir, makna peringatan dalam ayat ini adalah uban.

Demikian juga ketika Allah telah memberi umur kepada manusia hingga 60 tahun, berarti Allah tidak akan menerima alasannya tidak taat kepada Allah. Tidak ada bonus umur ketika ajal menjemput. Padahal, Allah telah menakdirkan umur umat zaman ini tidak sepanjang umat terdahulu. Rasulullah bersabda, “Umur umatku antara 60 hingga 70 tahun. Sedikit dari mereka yang melebihi itu.” (At-Tirmidzi, dihasankan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 11/240). Bahkan ajal kerap menjemput kita dalam umur yang lebih muda dari  itu.

Tentu ini mengandung hikmah sendiri. Yaitu agar kita tidak terlibat dengan urusan dunia kecuali sebentar. Umat-umat terdahulu yang diberi umur panjang, badan kuat, dan rezeki banyak terbukti malah sombong dan berpaling dari Allah. Kita diberi jatah umur pendek, badan lemah, dan sedikit rezeki, hikmahnya adalah agar kita lebih bersyukur dan mengabdi kepada Allah (Faidhul Qadir Syarh Al-Jami As-Shaghir).

Kinilah saatnya kaum beriman bijak dalam berhitung. Bertambahnya umur sesungguhnya adalah berkurangnya jatah hidup di dunia. Adalah fakta bahwa meski sudah paham hidup ini fana, banyak dari kita yang terlena. Gemerlap dunia begitu memukau mata hati kita. Maka harus ada tanda fisik yang menjadi pengingat. Dalam kaitan inilah uban menjadi penting maknanya.

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya
, Oleh M Husnaini




sumber : www.republika.co.id

Sunday, March 03, 2013

Wara'

Suatu hari, Abdullah bin Umar membeli seekor unta kurus, lalu dibawa ke sebuah lembah yang banyak rerumputannya dan dibiarkan hidup tanpa digembala. Tak lama kemudian, unta itu menjadi gemuk dan dibawa ke pasar untuk dijual.

Pada saat itu, Amirul Mukminin, Umar bin Khattab, melakukan sidak ke pasar hewan. 'Milik siapa unta yang gemuk ini?' tanya Umar kepada para pedagang. 'Unta itu milik Abdullah bin Umar,' jawab mereka.

Beliau lalu mencari anaknya, dan berkata, 'Hai Abdulllah, celakalah... celakalah anak Amirul Mukminin. Apakah ini unta kurus yang tempo hari engkau biarkan hidup di lembah itu?' Abdullah menjawab, “Ya, wahai ayahanda.

”Di hadapan pedagang, Umar menasihati anaknya. 'Gembalakanlah unta ini dengan baik, beri dia makan dan minum. Jangan engkau biarkan begitu saja, wahai anak Amirul Mukminin. Sekarang juallah unta gemuk ini, lalu ambillah modal awalnya saja, kemudian berikan keuntungannya kepada baitul mal.'

Kisah tersebut memberikan teladan moral kepada kita bagaimana seorang pemimpin umat sangat peduli terhadap 'sepak terjang anaknya'. Ia menunjukkan sifat wara' (sikap kehati-hatian). Umar tidak ingin anaknya memakan sesuatu yang berbau syubhat (tidak jelas), apalagi hasil korupsi.

Beliau tidak ingin anaknya memanfaatkan kekuasaan ayahnya untuk memperoleh keuntungan 'tidak jelas' dari penjualan unta yang menjadi gemuk karena dibiarkan hidup di lembah.

Wara' merupakan sikap dan pola hidup yang sangat penting untuk mengerem laju syahwat duniawi dengan menjaga diri agar tidak berbuat dosa. Dengan belajar wara', setiap Muslim melatih dirinya untuk meningkatkan 'sensitivitas spiritualnya' dalam menjauhi larangan Allah.

Wara' merupakan benteng iman dan hati yang ampuh untuk pertahanan diri (self defence) dari perbuatan dosa. 'Tinggalkanlah yang meragukan menuju yang tidak meragukan.' (HR Turmudzi).

Dalam Risalah al-Qusyairiyyah disebutkan, suatu hari Hasan al-Basri bertemu salah seorang putra Ali bin Abi Thalib sedang bersandar pada dinding Ka'bah sambil memberi nasihat kepada jamaah.

Hasan Basri bertanya kepadanya, 'Apa yang dapat menjaga agama itu?' "Wara',” jawabnya singkat. Ia bertanya lagi, "Apa yang menjadi penyakit agama?" “Tamak,” jawabnya.

Ia menambahkan, 'Wara' seberat atom itu lebih baik daripada shalat dan puasa seribu kali.'Nabi SAW pernah berpesan kepada Abu Hurairah, "Jadilah engkau orang yang wara', niscaya engkau menjadi orang yang paling beribadah.' (HR Ibnu Majah)."

Ada tiga hal yang jika dipenuhi oleh Muslim, niscaya ia pasti mendapat pahala dan imannya sempurna: akhlak mulia yang dimiliki oleh masyarakat, wara' yang dapat memelihara dirinya dari larangan Allah, dan kesantunan dalam menghadapi orang-orang bodoh.' (HR al-Bazzar).

Sudah sepatutnya kita belajar menjadi wara' agar tidak mudah tergoda oleh hawa nafsu, bujuk rayu setan, syahwat politik, syahwat korupsi, dan kenikmatan duniawi lainnya yang menipu.

Al-Kirmani mengatakan, 'Tanda orang bertakwa itu wara'; tanda wara' itu berhenti dari hal-hal yang syubhat; tanda takut (kepada Allah) adalah bersedih; dan tanda raja' (penuh harap, optimis) adalah semakin taat kepada-Nya.'
Oleh Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Saturday, March 02, 2013

Etika kepada Allah

Sulit membayangkan anak-anak didik kita saat ini untuk dapat beretika dengan Allah SWT, jika dalam keseharian mereka meninggalkan etika kepada sesama dan kedua orang tuanya.

Anak-anak kita dewasa ini memandang orang tua sebagai kawan, partner dan sahabat. Bersamaan dengan itu pula, dalam diri mereka tidak tumbuh pemahaman bagaimana seharusnya mereka beretika terhadap kedua orang tuanya dan sesama manusia.

Sekilas kita memperoleh kemajuan dalam mendidik anak dengan cara modern ini, karena mereka dapat bersikap egaliter, setaraf dengan orang tua, kritis dan meniadakan  sikap ewuh pakewuh. Namun jika kita tidak mengajarkan kepada mereka, bagaimana seharusnya mereka beretika dengan sesama dan orang tua, maka tidak mustahil mereka  akan tumbuh sebagai pribadi-pribadi yang arogan, materialistis, dan tidak berbudi luhur.

Jika mereka tidak tahu bagaimana seyogyanya diri mereka beretika terhadap orang tuanya, maka mereka juga tidak akan tahu mengenai apa yang harus dilakukannya pada saat orang tua mereka meninggal dunia. Mereka bahkan tidak akan mengerti bagaimana beretika dengan Tuhan mereka.

Beradab dan beretika baik terhadap Allah SWT adalah perilaku para Nabi, Rasul dan orang-orang saleh. Mereka memiliki pandangan bahwa Allah SWT adalah eksistensi dasar dan utama dalam kehidupan di dunia ini, sebab segala wujud di dunia ini berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya (QS. Al-Baqarah: 156).
Ia adalah eksistensi yang sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher setiap manusia (QS. Qaaf: 16), hanya saja ia ghaib yang eksistensinya terepresentasi dalam diri dan lingkungan sekitar kita. Maka ia ada dan niscaya keberadaan-Nya.

Perhatikanlah etika dialog Isa AS pada saat Allah menegaskannya bahwa Tuhan hanya satu:

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, "Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?" (Isa) menjawab: "Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentulan Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku (Isa) tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib." (QS. Al-Ma'idah: 116).

Perhatikan pula etika Ibrahim AS dalam menyatakan pengakuan kekuasaan Allah SWT atas dirinya:

(yaitu) Yang telah menciptakan aku, maka Dia yang member petunjuk kepadaku, dan Yang member makan dan minum kepadaku; dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku." (QS. Asy-Syu'ara': 78-80).

Dua kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Allah berada di sekitar kehidupan keseharian manusia. Ia tidak jauh, eksis, dan memengaruhi kehidupan manusia. Perhatikan juga etika Rasulullah SAW kepada-Nya pada saat Aisyah menanyakan mengapa beliau masih beribadah dengan sekuat tenaga, padahal dosanya telah dijamin akan diampuni Allah SWT:

Dari Aisyah RA berkata: Adalah Rasul SAW, apabila beliau mendirikan salat, maka beliau melakukannya hingga kedua kakinya bengkak. Aisyah berkata: “Wahai Rasul, kenapa engkau lakukan yang demikian ini, padahal Tuhanmu telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lampau dan yang akan datang?" Rasulullah SAW menjawab: "Wahai Aisyah, apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang (pandai) bersyukur?” (HR. Bukhari).

Beretika kepada Allah SWT dengan demikian merupakan keniscayaan dan representasi kedalaman iman seseorang, bahkan Allah lebih berhak menjadi representasi etika manusia. Maka jika dalam shalat, orang tua saleh mengarahkan kepada anaknya untuk memakai pakaian terbaiknya, arahan tersebut sesungguhnya merupakan etika kepada Allah, sekaligus pengejawantahan perintah Allah (QS. Al-A'raf: 31) agar kita menggunakan pakaian bagus kita pada waktu menghadap-Nya, sebab Dia lebih berhak daripada manusia. Wallahu A'lam.
Oleh Dr Muhammad Hariyadi MA

sumber : www.republika.co.id