-

Sunday, June 30, 2013

Bidadari Surga

Peran wanita dalam kehidupan sering dianggap remeh, bahkan banyak suami yang melakukan tindakan kekerasan kepada istrinya hanya karena hal yang sepele , wanita ditindas, dianiaya bahkan sampai dibunuh, seakan wanita merupakan makhluk yang tidak ada gunanya.

Ingatkah kita akan sejarah umat pada zaman jahiliyah? Ketika wanita tidak mendapatkan tempat yang terhormat, bahkan bila seorang wanita melahirkan bayi perempuan, sang bayi langsung dikubur hidup-hidup, wanita dianggap tak ada harganya, ditindas, dianiaya bahkan dibunuh.

Ada seorang lelaki yang tengah duduk di pojok Masjid Nabawi sendirian, lelaki itu bernama Umar bin Khattab. Ia  merenung, kemudian menangis, tak lama kemudian ia tertawa.

Para sahabat yang menyaksikan menjadi bingung. Mengapa Umar menangis kemudian tertawa? Begitu pertanyaan yang bergejolak di hati mereka. Mereka pun menghampiri Umar dan menanyakan mengapa ia menangis kemudian tertawa?

Umar menjawab, ''Aku menangis karena teringat pada masa jahiliyah. Aku membawa anak perempuanku yang masih kecil ke tengah padang pasir, aku menggali lubang kemudian aku kubur anakku yang masih kecil tersebut hidup-hidup...''

Umar melanjutkan, ''Ia menangis, meminta tolong tapi hatiku tak terketuk sedikitpun, sampai kemudian aku tidak mendengar lagi suaranya, menghilang...''

''Mengingat hal itu aku menangis. Padahal dalam Islam kedudukan wanita begitu dihargai, dihormati dan perannya pun mendapatkan posisi yang sangat tinggi, baik dalam keluarga, masyarakat maupun dalam Negara.''

Sedangkan yang membuat aku tertawa karena teringat pada masa jahiliyah dahulu. Aku melaksanakan perjalanan jauh, segala kebutuhan aku persiapkan dengan baik termasuk membawa patung yang terbuat dari roti.
Dengan harapan, bilamana aku berhenti di tengah jalan untuk beristirahat aku bisa menyembah tuhanku yang aku buat dari roti tersebut, namun kenyataan berkata lain.

Aku kehabisan bekal makanan dalam perjalanan, lalu aku makan sedikit demi sedikit tuhan yang terbuat dari roti tersebut. Mengenang hal itu aku tertawa alangkah kuatnya aku bisa memakan tuhanku sendiri.

Berkaca dari peristiwa yang dialami oleh Umar bin Khattab, pada zaman sekarang ini, tampaknya tidak banyak perubahan dengan zaman jahiliyah dahulu, wanita tidak dihargai, dilecehkan, dianggap remeh, seakan wanita adalah makhluk yang lemah tidak memiliki daya apapun.

Padahal di balik ciptaan Allah SWT tersebut terdapat potensi yang luar biasa. Wanita dapat melahirkan generasi yang qur’ani, wanita dapat mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang berkualitas.

Wanita dapat mengatur rumah tangganya dengan baik, wanita dapat mengatur segala kebutuhan suaminya di rumah, bahkan di balik kesuksesan suami, terdapat peran seorang istri (wanita) yang luar biasa.

Tentu saja ini memberikan ‘ibroh (pelajaran) buat kita, posisi wanita begitu terhormat di mata Islam. Adalah
salah bila kita memperlakukan wanita dengan semena-mena, menganggap kecil peran wanita.

Hal ini sangat dilarang Islam. Bukankah Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits yang artinya: “Ada tujuh kewajiban seorang muslim terhadap muslim yang lainnya, diantaranya adalah memandang seseorang dengan pandangan terhormat.''

Bisakah kita memandang wanita dengan pandangan terhormat? Bisakan kita memperlakukan wanita dengan baik? Mampukan kita menghargai usaha dan jerih payah wanita?

Tentu saja harus bisa, wanita adalah pendamping hidup bagi laki-laki, wanita adalah penyempurna hidup bagi laki-laki, wanita adalah bidadari surga yang Allah turunkan ke muka bumi untuk mendampingi laki-laki. Wallahu’alam bish-shawab.

, Oleh : H. Ahmad Dzaki, MA

sumber : www.republika.co.id

Saturday, June 29, 2013

Lima Tiket Menuju Surga, Anda Berminat?

Segala kenikmatan di surga tentu tidak gratis. Ibarat tempat wisata, untuk masuk ke dalamnya diperlukan tiket. Siapa tidak mengantongi tiket harus rela mundur.

Surga merupakan tempat di akhirat yang dijanjikan Allah bagi orang-orang beriman. Kehidupan surga penuh keselamatan, kebahagiaan, dan kemuliaan. Masyarakat dalam surga mendapatkan kenikmatan yang tidak pernah mereka rasakan di dunia. “Para penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya” (QS Al-Furqan: 24).

Masyarakat surga mengenakan pakaian berwarna hijau, terbuat dari sutra halus dan tebal (QS Al-Kahfi: 31). Perhiasan mereka berupa gelang-gelang emas dan mutiara (QS Al-Haj: 23). Mereka bertelekan pada bantal-bantal hijau dan permadani-permadani yang indah (QS Ar-Rahman: 74-76).

Bahkan, menurut keterangan Rasulullah yang dituturkan Muslim, masyarakat surga tidak buang air kecil maupun air besar. Tidak meludah dan beringus. Keringat mereka berupa minyak kesturi. Mereka selalu muda, bersih, halus, tidak berambut kecuali pada kepala dan bulu mata. Tinggi badan mereka setinggi Nabi Adam, yakni 60 hasta dan seusia Nabi Isa, yakni 33 tahun.

Mereka memperoleh segala yang diinginkan (QS Al-Furqan: 16). Tidak berduka, lelah, apalagi lesu (QS Fathir: 34-35). Setiap hari selalu riang gembira (QS Yasin: 56-57). Karena dikelilingi anak-anak muda yang siap melayani. Wajah mereka bagai mutiara tersimpan (QS At-Thur: 24). Juga disediakan pendamping yang lebih sempurna dari pendamping mereka di dunia. Para pria beristrikan bidadari-bidadari cantik dan bermata indah (QS At-Thur: 20). Rumah tangga mereka selalu rukun dan memuji Allah sepanjang pagi dan petang.

Fasilitas dalam surga juga serba lengkap dan istimewa. Piring-piring terbuat dari emas (QS Az-Zukhruf: 71), bejana dan gelas dari perak (QS Al-Insan: 15-16). Ada pohon bidara tidak berduri dan pohon pisang yang bersusun-susun buahnya (QS Al-Waqiah: 27-34), kebun-kebun dan buah anggur (QS An-Naba’: 31-34).

Semua buah-buahan itu mudah dipetik (QS Al-Insan: 4). Juga ada minuman jahe (QS Al-Insan: 17), aneka daging yang lezat (QS At-Thur: 22), minuman keras yang tidak memabukkan (QS As-Shaffat: 45-47), dan sungai susu, madu, arak, serta bermacam buah-buahan lain (QS Muhammad: 15).

Segala kenikmatan di surga tentu tidak gratis. Ibarat tempat wisata, untuk masuk ke dalamnya diperlukan tiket. Siapa tidak mengantongi tiket harus rela mundur. Berikut lima kebaikan untuk mendapatkan tiket itu. Pertama, mencegah diri dari kemaksiatan.

Sepele, tetapi dalam praktiknya sangat tidak mudah. Sering kita mampu melanggengkan ibadah, tetapi gagal menanggalkan kemaksiatan. Boleh dikata, tidak bermaksiat rasanya lebih berat ketimbang taat. Karena itu, Allah berfirman, “Dan menahan diri dari dorongan nafsu, maka sungguh surga tempat tinggalnya” (QS An-Naziat: 40-41).

Kedua, siap hidup sederhana. Kelemahan utama manusia adalah mudah tergiur oleh kesenangan sesaat dengan mengorbankan kebahagiaan abadi. Melihat kekayaan Qarun, orang-orang yang gila harta berseru, “Amboi, andai kita memiliki seperti apa yang diberikan kepada Qarun. Sungguh ia mempunyai keuntungan yang besar (QS Al-Qashash: 79). Padahal Rasulullah berkisah, “Saya berdiri di pintu surga, sebagian besar yang memasukinya adalah orang-orang miskin. Orang-orang kaya ditahan dulu” (HR Bukhari dan Muslim).

Ketiga, gemar mengerjakan ketaatan kepada Allah. Umat Islam adalah umat yang dididik untuk taat kepada aturan. “Sungguh Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya” (QS Al-Maidah: 1). Islam disebut sebagai ‘din’, yang artinya sistem ketundukan atau kepatuhan. Masyarakatnya disebut ‘madinah’, artinya suatu tempat yang kehidupannya teratur, karena orang-orangnya tunduk dan patuh kepada aturan. Mereka diganjar oleh Allah dengan surga. “Dan itulah surga yang diwariskan kepadamu, karena amal yang dahulu kamu kerjakan” (QS Al-A’raf: 43).

Keempat, mencintai orang-orang saleh. Dunia ini hancur karena adanya orang-orang jahat yang merasa berbuat baik. Hatinya bukan lagi nurani tetapi sudah zulmani. Rugilah bergaul dengan orang-orang demikian. Orang-orang saleh akan memberikan syafaat kepada kita. Tepatlah pesan Rasulullah, “Jangan kamu bersahabat, kecuali dengan orang Mukmin dan jangan pula makan makananmu, kecuali orang yang bertakwa” (HR Tirmidzi). Pentingnya bergaul dengan orang-orang saleh, kata Rasulullah, karena setiap orang akan bersama dengan kekasihnya (HR Bukhari dan Muslim).

Kelima, memperbanyak doa kepada Allah agar dapat menutup hidup dengan khusnul khatimah. Tiada daya tanpa pertolongan Allah. Memperbanyak doa merupakan wujud pengakuan bahwa kita memang hamba yang serba lemah. Sepanjang berkenan melangitkan doa, niscaya Allah akan menjawabnya. “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi segala perintah-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS Al-Baqarah: 186).
, Oleh M Husnaini
(Penulis Buku “Keadilan Tuhan dalam Tulisan”)


sumber : www.republika.co.id

Friday, June 28, 2013

Orang Baik Itu Istimewa

Kenapa sih harus kita yang mengalah? Kenapa sih harus kita yang bersabar? Kenapa sih kok harus kita yang bermanis muka kepada orang lain? Kenapa sih harus kita yang lebih giat bekerja sementara orang lain bermalas-malasan? Kenapa sih kok harus kita yang harus selalu berbuat baik, berbuat baik, dan berbuat baik lagi?

Ya, memang kita yang harus mengalah, bersabar, bermanis muka, giat bekerja dan berbuat aneka kebaikan. Karena kita ingin menjadi orang baik yang sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Karena kita tak ingin hanya baik di angan-angan saja, tapi baik dalam kenyataannya baik dihadapan manusia maupun di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Maka orang yang baik ya harus beramal (berbuat) baik. Kalau beramal buruk berarti jadilah kita orang yang buruk atau jahat. Tentu kita inginnya jadi orang baik dan tak kepingin jadi orang  jahat (Na'udzubillahi min dzalik).

Seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, yang bagaimanakah orang yang baik itu?" Nabi Saw menjawab, "Yang panjang usianya dan baik amal perbuatannya." Dia bertanya lagi, "Dan yang bagaimana orang yang paling buruk (jahat)?" Nabi Saw menjawab, "Adalah orang yang panjang usianya dan jelek amal perbuatannya." (HR. Ath-Thabrani dan Abu Na'im)

Saudaraku, kebaikan memang butuh perjuangan serta sering bertentangan dengan hawa nafsu dan keinginan kita. Berbuat baik memang harus mengalahkan sifat ananiyyah (ego) kita. Karena perbuatan baik itu juga balasannya sangat baik dan besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Meski demikian Allah tidak pernah memaksa kita kok untuk jadi orang baik. Bahkan soal keimanan sekalipun Allah memberi kebebasan buat kita memilih. Yang mau kafir-kafir lah! Yang mau beriman berimanlah dengan sebenar-benarnya. Yang mau jadi penjahat jadilah penjahat dan tunggulah pembalasan (azab) Nya. Dan yang ingin berbuat ikhsan (baik) berbuat ikhsan lah dengan jaminan bahwa perbuatan itu akan membuat kita meraih bahagia yang sejati lagi abadi.

Menjadi orang baik di mata Allah memang tidak mudah, kita harus mulai dengan mengokohkan keimanan, mengendalikan hawa nafsu dan meneguhkan tekad untuk istiqomah di dalamnya.

Meneguhkan keimanan agar kita tak pernah ragu bahwa apa yang kita lakukan akan membawa keuntungan besar yang tidak ada taranya dibanding kesusahan kita dalam melaksanakannya. Maka dengan keimanan inilah kita akan dapat mengendalikan hawa nafsu dan sekaligus bisa kuat untuk istiqomah di atas kebaikan tersebut.

Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman. (HR. Ath-Thabrani)

Janganlah kamu menjadi orang yang "ikut-ikutan" dengan mengatakan "Kalau orang lain berbuat kebaikan, kami pun akan berbuat baik dan kalau mereka berbuat zalim kami pun akan berbuat zalim". Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berprinsip, "Kalau orang lain berbuat kebaikan kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan kami tidak akan melakukannya". (HR. Tirmidzi)

Saudaraku tak akan sama emas dengan tembaga, jelas beda antara padi dengan ilalang. Meskiun kadang di mata manusia yang 'rabun'  terlihat sama, namun sejatinya tetap tak akan luput dari pandangan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Bahkan kala kita merahasiakan kebaikan yang kita lakukan, kita akan mendapat nilai lebih di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak ada yang rugi dari perbuatan baik meski diketahui maupun tidak  oleh manusia lain.

Seorang sahabat berkata kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, seseorang melakukan amal (kebaikan) dengan dirahasiakan dan bila diketahui orang dia juga menyukainya (merasa senang)." Rasulullah Saw berkata, "Baginya dua pahala yaitu pahala dirahasiakannya dan pahala terang-terangan." (HR. Tirmidzi)

Jadi, jangan lelah berbuat baik meski tidak ada orang yang melihat dan memujinya. Jangan lemah semangat meski kebaikan kita tak diakui bahkan mungkin dikhianati oleh manusia. Kita berbuat baik adalah karena kita ingin menjadi manusia istimewa di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Kita berbuat baik bukan untuk dipuji dan disanjung, tapi untuk meraih ridho dan rahmat-Nya.  Agar Dia ridho dengan hidup dan mati kita, sehingga eridhoan itu mendatangkan rahmat yang termat sangat kita butuhkan untuk masuk dalam surga-Nya Allah Ta'ala. Adakah yang lebih penting dari keridho'an-Nya?

Sang teladan agung kita, Muhammad Shalallahu 'alaihi wa salam bersabda: Seorang masuk surga bukan karena amalnya tetapi karena rahmat Allah Ta'ala. Karena itu bertindaklah yang lurus (baik dan benar). (HR. Muslim)

Saudaraku, Orang Baik Itu Istimewa...

Samarinda, 1 Juni 2013
, Oleh Abdillah Syafei



sumber : www.republika.co.id

Thursday, June 27, 2013

Hidup Mandiri

Abdurrahman bin Auf adalah seorang sahabat Nabi SAW yang sangat mahir dalam berdagang. Di Kota Madinah, Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar. Abdurrahman dipersaudarakan dengan Sa’ad ibnu Arrabil Alausari, orang yang kaya raya di daerah tersebut.Suatu hari, Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Hartaku akan kubagi menjadi dua bagian dan separuhnya untukmu. Pilihlah istriku yang kamu sukai nanti aku ceraikan, dan kamu nikahi.” Mendengar tawaran itu, Abdurrahman menjawab, “Semoga Allah memberkahi keluarga dan hartamu. Tunjukkan saja di mana tempat pasar perdagangan di Madinah.” Sa’ad menjawab, “Oh baiklah, ada, yakni Pasar Bani Qainuqa.”

Kemudian, Abdurrahman memulai usahanya dengan berdagang keju dan minyak samin. Namun, tidak lama kemudian dia sudah dapat mengumpulkan sedikit uang dari usaha keuntungan dagangnya. Pada suatu hari, Rasulullah bertanya kepada Abdurrahman, “Apakah kamu sudah menikah?”

Abdurrahman menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Nabi SAW kembali bertanya, “Dengan siapa?” “Dengan wanita Anshar,” jawabnya. Nabi SAW bertanya lagi, “Berapa mahar yang kamu berikan?” Abdurrahman menjawab, “Sebutir emas” (maksudnya emas seberat sebutir kurma).

Kemudian, Rasulullah SAW menyuruhnya untuk mengadakan walimah meskipun dengan seekor kambing. Lalu, Abdurrahman mengundang kaum Muhajirin dan Anshar dalam suatu walimah sebagai pengumuman tentang pernikahannya.

Salah satu pelajaran (ibrah) yang dapat diambil dari kisah di atas adalah sikap untuk tidak menjadi beban hidup orang lain alias harus bisa hidup mandiri dengan memiliki pekerjaan yang halal. Meskipun pekerjaan itu sedikit hasilnya lebih baik daripada mendapatkan hasil (keuntungan) yang banyak tetapi dari usaha yang tidak jelas kehalalannya.

Karena itu, Islam sangat menghargai seorang pekerja keras. Bahkan, makanan yang dihasilkan dari usaha keringat sendiri itu lebih baik daripada dari hasil belas kasihan orang lain. Apalagi, hasil dari cara-cara yang tidak halal ,seperti mencuri, menipu, menguras uang negara, dan sejenisnya. 

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada sesuatu makanan yang baik melebihi apa yang dihasilkan dari usahanya sendiri. Nabi Daud makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR Bukhari). Dalam hadis yang lain Rasulullah menegaskan bahwa mencari rezeki (pekerjaan) yang halal adalah wajib bagi setiap muslim setelah kewajiban-kewajiban yang lainnya (HR Thabrani).

Sehingga, jika seseorang tertidur kelelahan karena mencari rezeki yang halal maka tidurnya itu akan dipenuhi dengan ampunan dari Allah SWT (HR Imam Tabrani). Subhanallah. Wallahu a’lam.
 

, Oleh Imam Nur Suharno
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, June 26, 2013

Jangan Remehkan Kebaikan

Perbuatan yang menurut kita remeh boleh jadi istimewa di mata Allah SWT. Perbuatan yang kita anggap mewah boleh jadi justru tidak berharga menurut Allah SWT

Dalam riwayat yang dituturkan Bukhari dan Muslim dikisahkan, ketika turun ayat sedekah, kaum Mukmin mengangkut barang-barang di atas punggung mereka untuk mendapatkan upah dari jasa mengangkut itu guna disedekahkan. Datanglah seseorang lalu bersedekah dengan sesuatu yang banyak, orang-orang mencela, ‘Ah, ia hanya pamer saja’. Kemudian datang lagi orang lain lalu bersedekah dengan satu sha kurma, orang-orang mencela, ‘Sebenarnya Allah tidak memerlukan makanan satu sha ini’.

Turunlah ayat, “Orang-orang yang mencela kaum Mukmin yang bersedekah dengan suka rela dan mencela mereka yang tidak memiliki sesuatu untuk sedekah kecuali sebatas kemampuan, maka orang-orang itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan untuk mereka azab yang pedih.” (QS At-Taubah: 79).

Melalui ayat itu, Allah SWT hendak membantah anggapan orang-orang munafik bahwa sedekah yang sedikit tidak ada artinya. Bagi Allah, kebaikan itu tidak dinilai dari segi kualitas, tetapi kuantitas. Alqur’an sendiri menegaskan, yang dilihat oleh Allah SWT adalah mutu perbuatan, bukan banyaknya. “(Dia) yang menjadikan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik perbuatannya.” (QS Al-Mulk: 2).

Bukan berarti memperbanyak perbuatan baik tidak perlu. Yang bijak adalah terus berbuat baik sambil berusaha meningkatkan kualitas kebaikan yang kita lakukan. Dimana saja dan kapan saja, hendaknya kita menyempatkan waktu untuk berbuat baik. Jangan pernah meremehkan sekecil apapun kebaikan. Rasulullah SAW mengajarkan, “Takutlah kamu kepada neraka, meski dengan bersedekah sebutir kurma.” (HR Bukhari). Dalam hadis lain, beliau bersabda, “Jangan pernah kamu meremehkan kebaikan, meski dengan menyambut saudaramu dengan wajah berseri.” (HR Muslim).

Kebaikan yang menurut kita remeh belum tentu demikian di mata Allah SWT. Dalam riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, suatu ketika ada seekor anjing berputar-putar di sekitar sebuah sumur. Hampir saja ia mati karena kehausan, sebelum ada seorang pelacur Bani Israil melihatnya. Wanita itu lalu melepaskan sepatunya kemudian mengambilkan air dan meminumkannya untuk anjing tadi, maka dengan perbuatannya itu diampunilah wanita tersebut. 

Betapa berharga nilai kebaikan di sisi Allah SWT. Terlebih jika pelakunya orang Mukmin. Allah SWT memberikan keutamaan bagi orang Mukmin di atas orang kafir. Menurut Ibnu Abbas, jika orang kafir mengerjakan kebaikan sebesar zarah, niscaya Allah SWT akan melihatnya, tetapi Dia tidak memberinya pahala di akhirat. Sebaliknya, jika orang Mukmin yang mengerjakan kebaikan sebesar zarah, maka Allah SWT akan menerima dan melipatgandakan balasan baginya di akhirat.

Selain meruah, jalan menuju kebaikan juga berongkos murah. Melakukan shalat cukup bermodal tekad. Demikian pula puasa. Zakat dan haji malah hanya dikhususkan bagi orang kaya. Mereka yang tidak memiliki modal harta seperti kaum kaya, ikutlah paket ibadah yang bebas biaya tetapi pahalanya tidak kalah dari mereka.

Dalam riwayat Muslim diceritakan, orang-orang fakir dari golongan Muhajirin datang kepada Rasulullah SAW. Mereka mengadu karena merasa kalah pahala dibanding orang-orang kaya yang memiliki kelebihan harta. Rasulullah SAW lantas bersabda, “Bukankah Allah SWT telah menjadikan untukmu sesuatu yang dapat kamu gunakan untuk bersedekah. Sungguh dalam setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir itu sedekah, setiap tahmid itu sedekah, setiap tahlil itu sedekah, memerintahkan kebaikan itu sedekah, mencegah kemungkaran itu sedekah, dan bahkan bersetubuh dengan istri juga sedekah.”

Allah SWT memberikan kesempatan secara adil kepada setiap orang untuk berbuat baik. Yang merasa sudah melakukan perbuatan hebat, belum tentu pahalanya lebih besar dari mereka yang hanya mampu melakukan perbuatan kecil. Rasulullah SAW pernah mengingatkan dalam hadis riwayat Muslim, ada tiga golongan yang menghadap Allah SWT dengan segudang kebaikan, tetapi mereka justru dilemparkan ke neraka. Mereka adalah syuhada yang gugur di medan juang tetapi mengharap status pahlawan, cerdik pandai yang mengajarkan ilmu agar disebut ulama, dan orang berharta yang selalu berderma supaya dianggap dermawan.

Kita tidak pernah tahu mana di antara kebaikan kita yang dipandang berkualitas oleh Allah SWT. Perbuatan yang menurut kita remeh boleh jadi istimewa di mata Allah SWT. Perbuatan yang kita anggap mewah boleh jadi justru tidak berharga menurut Allah SWT. Karena itu, sungguh naif ketika kita hanya mau melakukan kebaikan besar, dan mengabaikan kebaikan kecil.
, Oleh M  Husnaini
(Penulis Buku “Keadilan Tuhan dalam Tulisan”)


sumber : www.republika.co.id

Tuesday, June 25, 2013

Mempersatukan Banyak Orang

Di antara tugas pemimpin adalah mempersatukan mereka yang sedang dipimpinnya. Persatuan itu sedemikian penting, bahkan  menjadi  syarat keberhasilan sebuah organisasi.

Tanpa persatuan tidak akan mungkin tujuan bersama bisa diraih. Persatuan selalu menjadi  kunci dari semua usaha yang dilakukan dengan melibatkan  banyak orang.

Tanpa bersatu maka kekuatan tidak akan terbangun, dan selanjutnya tanpa kekuatan tujuan bersama tidak akan bisa diraih.

Tugas mempersatukan orang tidak mudah. Setiap orang ingin mendapatkan kemenangan, dirinya lebih dihargai, kepentingannya tercapai, beruntung, dan seterusnya.

Sedangkan hal-hal istimewa itu jumlahnya terbatas. Maka terjadilah persaingan, perebutan, dan bahkan saling menyerang di antara satu dengan yang lain untuk mendapatkan keistimewaan  itu.

Seorang pemimpin harus bisa mengelola perbedaan atau persaingan di antara mereka yang dipimpinnya itu.

Adanya perbedaan kepentingan di antara masing-masing hingga menjadikan persaingan, perebutan dan lain-lain itu, ternyata masih ditambah dengan suasana batin orang yang berbeda-beda dan bahkan berubah-ubah, seperti dengki, hasad, iri hati dan sejenisnya. 

Orang yang sedang berada pada posisi kalah, suatu saat, oleh karena sifat-sifatnya itu, akan berusaha untuk berganti mengalahkan.

Itulah kehidupan sosial. Di mana-mana seperti itu. Pemimpin harus tampil, agar mereka yang sedang berebut dan  berkomperisi segera menyatu kembali.

Untuk mempersatukan banyak orang, tidak cukup dilakukan hanya dengan berpidato. Orang-orang yang sedang tidak bersatu bukan berarti mereka tidak tahu tentang betapa pentingnya persatuan.

Mereka sangat mengerti tentang itu semua. Mereka juga bisa mengibaratkan, persatuan sama dengan seikat sapu lidi.
Manakala  banyak lidi diikat kuat, maka bisa digunakan untuk menyapu. Sebaliknya, lidi tidak akan bisa digunakan bila sedang bercerai berai.

Biasanya banyak orang bersatu  manakala ada tujuan atau visi bersama. Tujuan itu harus dirasakan sebagai kebutuhan dan menguntungkan semua orang, dan atau untuk kepentingan institusi yang dikembangkan bersama. 

Oleh karena itu, tugas pemimpin dalam menyatukan orang adalah merumuskan visi ke depan yang jelas. Selain itu, sebagai bagian dari visinya itu, pemimpin harus pandai memproduk isu-isu besar yang berfunsi untuk menggerakkan dan sekaligus memberi arah bagi semua orang yang dipimpinnya.  

Selain itu, untuk mempersatukan sekelompok orang bisa ditempuh dengan cara memperjelas musuh atau setidaknya kompetitor bersama. 

Sekelompok orang biasanya selalu berpecah belah, berkompetisi, konflik, berebut dan seterusnya. Tapi, sekelompok orang itu manakala sedang memiliki kompetitor bersama, tanpa diajak akan bersatu dengan sendirinya. Betapapun setiap orang tidak ingin kelompoknya sendiri akan kalah bersaing dari kelompok lain.

Atas dasar kenyataan itu, setidak-tidaknya, cara untuk menyatukan banyak orang bisa ditempuh melalui kedua pendekatan, yaitu merumuskan visi, misi dan atau cita-cita bersama secara jelas hingga menjadi kekuatan untuk menggerakkan banyak orang agar bersatu.

Selainnya, adalah menunjukkan musuh atau kompetitor bersama. Pada umumnya, orang akan membela kelompoknya sendiri, apalagi kalau yang bersangkutan tidak memiliki kepentingan pribadi atau lainnya.

Mungkin saja selain yang disebutkan itu masih ada cara lain. Sebab memimpin dan mempersatukan banyak orang bukan wilayah matematis yang bisa dihitung dengan mudah dan pasti. 

Pendekatan itu, misalnya melalui doa bersama, agar hati banyak orang yang bercerai berai dipersatukan oleh pemilik-Nya sendiri. Wallahu a’lam.                
, Oleh: Imam Suprayogo

sumber : www.republika.co.id

Monday, June 24, 2013

Dahsyatnya Shalat Subuh

Sahabat yang semoga dirahmati Allah Swt, ada seorang bapak telah mendapat surat peringatan dari kantornya karena selalu telat datang ke kantor. Maka untuk menghindari surat peringatan yang berikutnya, ia selalu berusaha bangun pagi agar tidak telat lagi. Lihatlah betapa bapak ini begitu taat dan takut kalau dia datang kesiangan ke kantor karena aturan manusia.

Sekarang pernakah kita berpikir berapa kali kita sering telat bangun pagi untuk shalat subuh berjamaah? Dan pernahkah kita merasa takut akan surat peringatan dan sanksi dari Allah Swt, sebagaimana bapak yang di atas begitu takut terkena sanksi dari atasannya.

Rasulullah saw pernah bersabda, sesungguhnya Shalat Subuh dan dan Sholat Isya’ secara berjamaah di masjid sangat sulit dikerjakan oleh orang-orang yang munafik. Maukah sanksi dan gelar ini melekat pada diri kita? Tentu tidak. Maka marilah kita bangun pagi untuk melaksanakan perintah Allah. Sebagaimana bapak tersebut tidak mau kesiangan karena perintah atasannya.

Allah Swt akan mengubah apa yang terjadi di muka bumi ini dari kegelapan menjadi keadilan, dari kerusakan menuju kebaikan. Semua itu terjadi pada waktu yang mulia, ialah waktu Subuh.

Berhati-hatilah, jangan sampai tertidur pada saat yang mulia ini. Allah Swt akan memberikan jaminan kepada orang yang menjaga salat Subuhnya, yaitu terbebas dari siksa neraka jahanam.

Diriwayatkan dari Ammarah bin Ruwainah ra, ia berkata: "Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Tidak akan masuk neraka, orang yang salat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam matahari'." (HR Muslim).

Shalat Subuh merupakan hadiah dari Allah Swt. Hadiah ini tidak diberikan, kecuali kepada orang-orang yang taat lagi bertobat. Hati yang diisi dengan cinta kemaksiatan, bagaimana mungkin akan bangun untuk shalat Shubuh

Orang munafik tidak mengetahui kebaikan yang terkandung dalam shalat Subuh berjamaah di masjid. Sekiranya mereka mengetahui kebaikan yang ada di dalamnya, niscaya mereka akan pergi ke masjid, bagaimanapun kondisinya, seperti sabda Rasulullah saw, " Maka mereka akan mendatanginya, sekalipun dengan merangkak."
, Oleh Harinya Aburijal

sumber : www.republika.co.id

Sunday, June 23, 2013

Penyapu Masjid

Perempuan hitam yang biasa menyapu masjid itu meninggal dunia. Nabi saw tidak diberi tahu oleh para sahabat akan kematiannya.

Maka, saat Nabi masuk masjid dan tidak melihatnya, beliau bertanya tentang perempuan itu, “Di mana dia dan apa kabarnya?” Para sahabat baru menyampaikan bahwa ia telah meninggal dunia.

Ada kesan para sahabat menganggap kecil urusan tersebut sehingga merasa tak perlu mengabarkannya kepada Nabi.
Nabi (marah seraya) berkata, “Mengapa kalian tidak memberitahukan hal itu kepadaku? Tunjukkan di mana kuburannnya!” Lalu, Nabi pun mendatangi kuburannya dan shalat (jenazah) di atasnya.

Kisah di atas disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan kitab-kitab hadis lainya. Maka, kisah di atas adalah sahih, tak ada keraguan.

Dalam riwayat Baihaqi, perempuan itu bernama Ummu Mihjan. (Lihat: Subulus Salaam). Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kisah tersebut. Pertama, betapa besar kecintaan dan perhatian Nabi terhadap umatnya.

Nabi sangat mencintai dan memperhatikan umatnya, baik laki-laki maupun perempuan, yang kaya maupun yang miskin, yang putih maupun yang hitam, dan yang tua maupun yang muda. (Baca QS at-Taubah: 128).

Kedua, pemimpin itu tidak hanya memperhatikan umatnya dari sisi urusan dunia, tapi juga yang lebih penting adalah urusan akhiratnya. (Lihat QS at-Tahrim: 6, al-Hajj: 41).

Ketiga, pentingnya shalat jenazah. Karena itu, boleh shalat jenazah di atas kuburan terkhusus bagi yang belum menshalatinya (Lihat: Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi).

Keempat, Islam tidak mengklasifikasikan manusia atas dasar status sosial, ekonomi, warna kulit, dan keturunan. Meski tukang sapu, hitam warna kulitnya, dan miskin, bila ia termasuk orang-orang yang bertakwa maka mulialah ia (Baca: QS al-Hujurat: 13).

Kelima, tidak boleh meremehkan orang lain karena kondisi keduniaannya. Nabi segera meluruskan sikap para sahabat yang ada kesan meremehkan urusan perempuan tukang sapu itu. Meremehkan seseorang bisa mengakibatkan kesombongan.
Keenam, keutamaan tawadhu. Orang yang mulia bukanlah orang tinggi hati dan meremehkan orang lain. Sebaliknya, yaitu orang yang rendah hati dan suka menghormati orang lain.

Cari di dunia ini kalau ada pemimpin yang mau menshalati jenazah seorang perempuan miskin tukang sapu di atas kuburannya selain Nabi Muhammad. Betapa rendah hatinya Nabi Muhammad ini. Semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepadamu ya Rasulallah.

Ketujuh, besarnya keutamaan orang yang memakmurkan masjid, baik laki-laki maupun perempuan. Kalau tukang sapunya saja sedemikian sangat dimuliakan hingga Nabi harus mencari kuburannya dan shalat (jenazah) di atas kuburannya, tentu mulia pula siapa saja yang memiliki peran yang sangat baik terhadap masjid.

Nabi bersabda, “Kalau kamu melihat ada orang yang suka ke masjid-masjid, saksikan bahwa ia benar-benar beriman.” (HR Tirmidzi). Bukan hanya itu, bahkan setiap langkah kaki orang yang menuju masjid semuanya bisa menghapus dosa dan mengangkat derajat.

Isra Mi’raj pun yang kita yakini sebagai mukjizat agung Nabi Muhammad ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan perjalanan dari masjid ke masjid dan kembali lagi ke masjid.

Nabi berangkat dari Masjidil Haram, lalu ke Masjidil Aqsha, dan terus ke langit singgah di Baitul Makmur masjidnya para malaikat, lalu naik dan terus turun kembali ke Masjidil Haram.

Maka, siapa saja yang memakmurkan dan memiliki perhatian yang sangat besar terhadap masjid niscaya dimuliakan oleh Allah SWT. Wallahu waliyuttaufiiq.
, Oleh: Muhammad Syamlan



sumber : www.republika.co.id

Saturday, June 22, 2013

Isra Mi'raj: Spirit Meraih Puluhan Kebaikan

Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (Qs Al-An’aam: 160)   Bagai dua sisi mata uang, kehidupan manusia juga diliputi dua hal. Adakalanya suka, juga duka. Terkadang tertawa, dalam kesempatan lain menangis. Termasuk juga dalam hal perbuatan. Berpusat dari hati dan keimanan, manusia berpotensi untuk berbuat baik dan tidak baik. Manusia dapat konsisten dengan perbuatan baikya, jika kondisi iman sedang bertambah.
Namun dalam kesempatan lain, manusia juga dapat berbuat yang tidak baik dan cenderung menguruti hawa nafsunya. Dua sisi kepribadian manusia inilah yang sejatinya menjadi ‘ibrah dalam momen isra mi’raj disini. Perihal isra mi’raj, Allah Swt telah mengungkapkannya dalam surah Al-Isra.
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs Al-Israa’: 1)
Sesuai dengan nama surah di atas, Al-Israa, yang berasal dari kata ‘saroo’ yakni berjalan, Allah Swt memberikan definisi secara tersurat perihal Israa yang berarti perjalanan Rasulullah Saw dari masjidil haraam ke masjidil aqsha. Sedangkan mi’raj ialah proses naiknya Rasulullah dari langit pertama hingga sidratul muntaha. Perihal mi’raj sendiri, Anas bin Malik. dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim, mengungkapkan secara detail tentang peristiwa isra dan mi’raj.
Dalam hadits tersebut, Anas bin Malik mengungkapkan pertemuan Rasulullah saw dengan beberapa para Nabi dari langit pertama hingga ke tujuh. Dari Nabi Adam, hingga Nabi Ibrahim as. Semua mengucap salam penghormatan kepada Rasulullah Saw. terlebih Nabi Musa as. Pertemuan dengan Nabi Musa ini sempat menghadirkan sebuah dialog yang unik. Proses ‘penerimaan’ perintah shalat (yang awalnya) 50 waktu, disarankan Nabi Musa untuk mengajukan pengurangan. Maka Nabi Muhammad kembali kepada Allah dan shalat berkurang lima waktu. setelahnya, Nabi Musa masih menganggap 45 waktu itu masih terlalu banyak, lantaran beliau pernah menyuruh Bani Israil dan mereka pun lalai menjalankannya.  Rasulullah Saw pun akhirnya memohon keringanan lagi pada Allah. Hingga Rasulullah Saw mengungkap dalam akhir hadits ini ‘Qad roja’tu ilaa Rabby, hatta-s tahyaitu minhu- Sungguh aku telah bolak balik pada Tuhanku, hingga aku malu,”.
Makna ‘malu’ yang Rasulullah maksud ini adalah bahwa—di akhir hadits ini, Allah mengklarifikasi tujuan dari disyariatkannya 50 waktu shalat yang berarti, ‘setiap shalat fardhu diganjarkan dengan sepuluh ganjaran. Oleh karenanya berarti lima waktu shalat fardhu sama dengan 50 pahala. Begitu juga siapa yang berniat baik maka dicatatlah satu kebaikan untuknya. Jika dia melakukannya, maka sepuluh pahala baginya. Dan siapa yang berniat berbuat jahat, tapi tidak melakukannya, niscaya tidak satu kejahatan dicatat baginya. Seandainya dia mengerjakannya, maka dicatat satu kejahatan saja baginya.
Hadits ini diperkuat oleh firman Allah dalam surah Al-An’aam ayat 160 di atas, bahwa betapa baiknya Allah yang selalu menimbang pahala dengan ganjaran yang besar atas setiap niat berbuat baik. Saat manusia baru saja berniat, Allah perintahkan malaikat untuk segera mencatat satu pahala atas niatnya. Tapi tidak dengan perbuatan jahat yang dengan kemurahan-Nya, Allah tunda catatan itu, hingga ia benar-benar melakukannya. Setidaknya, isra mi’raj mengajarkan kita, hamba Allah, umat Rasulullah untuk menanam niat baik dan menunai ganjaran pahala dari-Nya. Wallahu a’lam
, Oleh Ina Salma Febriany 
sumber : www.republika.co.id

Friday, June 21, 2013

Seni Menikmati Air Mata

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (Qs Aali imran: 185)

Pergantian siang dan malam, bahagia dan duka, juga antara hidup dan mati, Allah pergilirkan sesuai dengan apa yang telah Dia gariskan untuk segenap hamba-hambaNya. Bukan tanpa maksud Allah mempergilirkan segala yang terjadi di langit maupun bumi.

Tujuan dari pergiliran itu adalah agar manusia ‘belajar’ dalam hidupnya. Belajar bahwa untuk mendapatkan kesempurnaan pahala, membutuhkan usaha selama di dunia. Usaha itu salah satunya adalah menanam amal baik kepada Allah dan sesama. Dalam ‘usaha’ pendekatan diri pada Allah itulah bahagia dan duka menemani kita.

Air mata sebagai simbol keikhlasan maupun ketidakrelaan atas ketetapan Tuhan Goresan tinta takdirNya seakan sulit diterima makhluk-Nya. Kendati memang, apapun yang digariskan adalah demi kebaikan hamba-hambaNya.

Airmata adalah anugerah yang Allah berikan sebagai bukti bahwa adakalanya manusia ditimpa cobaan hingga mereka tak sanggup lagi memikulnya, maka Tuhan menjadi sandaranNya agar ia menjadi kuat. Pun saat makhluk tak lagi menjadi ‘sahabat’ untuk semua beban hidup kita, ada Sang Maha Segalanya yang mau meringankan beban hidup, tanpa pandang seberapa berat beban itu. Dalam hal ini, Rasulullah Saw menganjurkan untuk memperbanyak bacaan hauqalah (Laa haula walaa quwwata illa billah) sebagai bukti bahwa kita tak memiliki daya apapun atasNya.

Alquran sebagai sebaik-baiknya pedoman hidup juga berbicara perihal airmata (tangisan). Dua di antaranya ialah tangisan Ahli Kitab saat mereka mengetahui kebenaran Nabi Muhammad Saw. salah satu di antara mereka ialah paman Sayyidatina, Siti Khadijah Waraqah bin Naufal.

“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Alquran dan kenabian Muhammad s.a.w.)”. (Qs al-Maaidah: 83)

Airmata jenis ini dirasakan oleh Ahli Kitab yang hatinya tersentuh oleh sebuah hidayah. Mereka merasa mendapatkan kebenaran atas Alquran yang dibawa oleh Rasulullah Saw. inilah jenis airmata simbol keharuan yang meninggalkan ketenangan yang luar biasa dahsyat dari Allah Swt.

Airmata kedua ialah airmata Nabiyallah Ya’kub as sebab menahan kerinduan pada anaknya, Yusuf as.

“Dan Ya'qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).
Mereka berkata: "Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa".
Ya'qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya." (Qs Yusuf: 84-86)
           
Pada tingkat airmata ini, Ya’qub as sudah memiliki kepasrahan total pada Allah sehingga ia sudah bersahabat dengan airmata dan duka. Kehilangan buah hati yang amat dicintanya disusul kehilangan Bunyamin, putra keduanya, membuat Ya’qub bertambah sedih. Namun, ia nikmati semua itu sebagai buah pengabdian dirinya pada Tuhan.

Wallahu a’lam
, Oleh Ina Salma Febriany

sumber : www.republika.co.id

Thursday, June 20, 2013

Oleh-Oleh Isra Mi’raj

Sekembalinya seseorang dari menempuh perjalanan jauh selalu membawa oleh-oleh untuk keluarga, sanak famili, dan tetangganya. Pun dengan perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

Beliau membawa oleh-oleh untuk umatnya. Setiap oleh-oleh yang dibawa Nabi pasti memiliki manfaat bagi manusia. Oleh-oleh yang dimaksud adalah perintah shalat lima waktu.

Sungguh merugi orang yang shalat, namun ia tidak dapat merasakan manfaatnya. “Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS al-Maa’un [107]: 4-5).

Di antara manfaat shalat itu, pertama, sebagai pembuka pintu surga. Nabi bersabda, “Kunci surga adalah shalat dan kunci shalat adalah wudhu.” (HR Tirmidzi).

Kedua, sebagai penerang hati. Shalat mendidik jiwa, menajamkan nurani, dan menerangi hati melalui lentera kebesaran dan keagungan. Nabi bersabda, “Shalat itu adalah cahaya penerang bagi seorang Mukmin.” (HR Ibnu Majah).
Ketiga, meraih ketenangan dan kebahagiaan. Seseorang yang mendirikan shalat berarti sedang menghadap Allah secara langsung tanpa perantara.

Dengan keadaan seperti itu, perasaan dekat kepada-Nya menyelimuti jiwa, kebersamaan dengan-Nya memenuhi dada yang diiringi rasa tenteram, percaya diri, dan penuh keyakinan.

Kondisi itu pula yang mengantarkan seseorang untuk sujud dan rukuk dengan penuh khusyuk, seraya memohon pertolongan-Nya.

Sesungguhnya beruntunglah orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS al-Mukminun [23]: 1-2).

Keempat, menghapus dosa. Setiap manusia tidak luput dari salah dan dosa. Salah satu sarana untuk menghapus dosa adalah dengan menjaga shalat lima waktu. Nabi bersabda, ”Begitulah seperti halnya shalat lima waktu yang menghapuskan dosa-dosa.” (HR Muslim).

Kelima, mencegah perbuatan keji dan mungkar. Dengan kata lain, menjalankan shalat dengan benar dapat mencegah berbagai bentuk kemungkaran.

Hal ini menunjukkan, shalat dapat mempercantik perilaku dan memperindah diri dengan akhlak mulia. “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS al-Ankabut [29]: 45).

Dalam hadis Nabi disebutkan, ”Barang siapa yang mendirikan shalat tetapi dirinya tidak terhindar dari perbuatan keji dan munkar maka hakikatnya dia tidak melaksanakan shalat.” (HR Thabrani).

Keenam, menjadi pembeda antara Mukmin dengan kafir. Nabi bersabda, “Sesungguhnya batas antara seseorang dan kemusyikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Dalam hadis lain, “Kesepakatan yang mengikat kita dengan mereka adalah shalat. Barang siapa yang meninggalkan shalat berarti telah kafir.” (HR Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Karena itu, kewajiban shalat tidak akan pernah lepas dari seorang Muslim. Ia tidak dapat gugur hanya karena sakit atau bepergian. Di mana pun seorang Muslim berada, ia tetap berkewajiban mendirikan shalat. 

Dan, bumi ini dijadikan untukku baik dan suci sebagai tempat bersujud. Jika waktu shalat datang pada setiap umatku, hendaknya ia mendirikannya di manapun ia berada.” (HR Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam.
, Oleh: Imam Nur Suharno

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, June 19, 2013

Ibunda Almasih Wanita yang Dimuliakan Allah SWT

Kaum wanita memiliki sejarah panjang yang cukup kelam. Keberadaan mereka dimarginalkan dan posisi mereka dinomorduakan. Bagi orang-orang Yahudi wanita martabat mereka tidak lebih dari seorang budak.
Seorang ayah berhak menjual anak perempuannya jika ia tidak mempunyai seorang anak. Ketika wanita haid mereka tidak boleh makan bersama, karena mereka adalah najis.

Dalam tradisi bani Israil pengurus baitul makdis selalu diserahkan kepada kaum laki-laki. Kala itu pengurus baitul makdis adalah tugas terhormat dan sangat mulia. Tidak sembarang orang boleh dan bisa melakukannya. Belum ada sejarahanya pengurus baitul makdis itu wanita. Sampai lahir seorang wanita yang Allah lebihkan ia dari wanita seluruh dunia di masanya.

Kisah ini bermula ketika istri Imran tengah mengandung dan ia bermunajat kepada Allah SWT. Istri imran bernadzar jika anak yang di dalam kandungannya kelak lahir. Maka ia akan serahkan untuk menjadi pengurus baitul makdis lillahi ta’ala.

Namun ternyata anak yang dilahirkannya bukanlah seorang anak laki-laki seperti yang diharapkannya. Itu tidak menjadikannya urung niat untuk menjadikan anaknya sebagai pelayan baitul makdis.

Kemudian ia beri nama anak tersebut Maryam. Maryam adalah bahasa Ibrani yang berati seorang ahli ibadah yang taat lillahi ta’ala. Istri Imran pun memohon kepada Allah agar anaknya dimuliakan dan dilindungi dari gangguan setan yang terkutu. Harapan dalam doa istri Imran tersebut dikabulkan oleh Allah swt.

“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya.
Zakaria berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (Q.S Ali Imran [2] : 37)

Allah tinggikan derajat kaum wanita melalui Maryam. Ia adalah wanita pertama dan satu-satunya yang menjadi pelayan baitul makdis. Allah SWT jadikan Maryam wanita terbaik di seluruh dunia pada zamannya. Sebagian ulama tafsir menyebutkan Maryam adalah wanita tercantik di zamannya.

“Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).” (Q.S Ali Imran [2] : 37)

Tidak sampai di situ, Maryam adalah wanita terpilih yang Allah SWT anugerahkan seorang anak langsung dari kalimat-Nya. Tanpa melalui proses biologis yang alami.

“(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah SWT menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).” (Q.S Ali Imran [2] : 45)

Penciptaan Nabi Isa as ini seperti penciptaan Nabi Adam as. Kisah ini ada dalam Alquran kitab yang dibawa oleh Nabi Muhamad shalallahu ‘alaihi wasalam. Wallahu a‘lam bi showab.
, Oleh Agustiar Nur Akbar

Penulis adalah santri di Al-Azhar Syarif Kairo.

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, June 18, 2013

Beginilah Cara Benar Memandang Harta

Harta merupakan salah satu benda dunia yang dihamparkan Allah untuk manusia (QS Ali Imron: 14). Ada tiga golongan manusia dalam memandang harta. Golongan pertama beranggapan bahwa harta adalah tujuan hidup mereka. Mereka mencintai, menggandrungi, mengejar, lalu bergantung pada harta seperti seorang bayi yang bergantung kepada ASI.

Mereka adalah orang-orang materialis yang tidak memiliki suatu idealisme. Islam hal itu sebagai perbuatan sia-sia dan batal. “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan“ (QS Hud: 15-16).

Kaum materialis yang hanya mengejar kepentingan dunia ini disebut sebagai orang-orang kafir yang seperti binatang. “Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahanam adalah tempat tinggal mereka“ (QS Muhammad: 12).

Golongan kedua adalah kebalikan dari golongan pertama, yaitu mereka yang hidup zuhud, mengelak dari kemewahan harta benda dunia. Mereka tidak kawin, tidak berpakaian. Mereka adalah para pendeta Buddha, Hindu, Yahudi, Nasrani dan orang-orang sufi Muslim. Jumlah mereka amat sedikit.

Terhadap golongan kedua ini, Alquran mengatakan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas“ (QS Al-Maidah: 87).

Cara-cara kependetaan tidak dibenarkan dalam Islam. “Dan  mereka mengada-adakan rahbaniyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya“ (QS Al-Hadid: 27).

Golongan ketiga inilah yang dibenarkan Islam. Mereka bekerja mencari rezeki, memakmurkan dunia tetapi mereka tidak tenggelam atau larut dalam gebyar dunia. Mereka berpendapat bahwa harta benda dunia adalah modal ibadah kepada Allah.

Mereka mengikuti perintah Allah, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.“ (QS Al-Qashas: 77).

Alquran pun mengajarkan keseimbangan dunia dan akhirat seperti. “Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". Mereka Itulah orang-orang yang mendapat bagian dari yang mereka usahakan. Dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.“ (QS Al-Baqarah: 202).
, Oleh KH Muhammad Dawam Saleh


Pengasuh PP. Al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan


sumber : www.republika.co.id

Monday, June 17, 2013

Menjaga Kemaluan

Sepekan ini, masyarakat Jabodetabek dihebohkan dengan pemberitaan dipotongnya (maaf) alat kelamin seorang pemuda di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan. Pelakunya merupakan salah seorang santri pondok pesantren di kawasan utara Tangerang.

Hasil penelusuran polisi, penyebab utama lantaran korban memaksa pelaku untuk berbuat intim. Membaca berita itu, saya sedikit terhenyak, mengapa teganya pemuda itu memaksa pelaku untuk berbuat zina yang benar-benar dilarang agama.

Patut kita akui, kasus di atas terjadi lantaran saat ini zina sudah dianggap hal biasa dan lumrah. Banyak di antara umat Islam yang telah melupakan kewajiban untuk menjaga pandangan dan kemaluan mereka. Alhasil mereka terjerumus dalam lembah perbuatan zina.

Padahal, Allah memerintahkan Nabi-Nya dan juga orang-orang yang beriman untuk menjaga pandangan dan kemaluan mereka. Dia uga memberitahukan kepada mereka bahwa Dia senantiasa pengetahui dan memperhatikan segala yang mereka kerjakan.

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Mukmin: 19).

Pada mulanya, perintah tersebut tertuju pada pandangan. Lalu, Allah perintahkan hamba-Nya untuk menjaga pandangan sebelum menjaga kemaluannya karena semua yang terjadi itu bermula dari pandangan mata, laksana api besar bermula dari lilitan kecil. Jadi, pada awalnya dimulai dari pandangan kemudian terlintas dalam pikiran lalu menjadi langkah dan selanjutnya terjadi dosa ataupun kesalahan.

Maka dari itu, dikatakan bahwa barang siapa yang mampu menjaga pandangan, pikiran, ucapan, dan tindakan, berarti ia telah menjaga agamanya. Karena itu, Islam menekankan kepada umatnya untuk selalu menjaga kemaluannya agar terhindar dari perbuatan zina.

“Dan, orang-orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya, mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang sebaliknya, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al-Ma’arij [70] : 29-31)”

Kerusakan akibat zina termasuk dampak paling besar karena dapat merusak kemaslahatan mata rantai keturunan, kehormatan alat vital, serta mendatangkan permusuhan dan kebencian yang lebih besar di kalangan manusia, baik dari pihak istri, sahabat, anak perempuan, maupun ibunya. Besarnya dosa zina berada tepat setelah dosa pembunuhan.
Allah SWT menegaskan haramnya berbuat zina dalam firman-Nya: “Dan, orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (balasan) dosa(nya).

(Yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dan dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh. Kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Al-Furqan [25] : 68 – 70).

Allah SWT menyertakan zina dengan syirik dan pembunuhan. Dia juga menjadikan balasan atasnya adalah hidup kekal di nerat dalam siksa yang berlipat ganda jika pelakunya enggan bertauba beriman, dan beramal shalih.

Allah SWT berfirman: "Dan, janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya, zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.( Al-Israa’ [17] : 32)”
Allah menyatakan kekejian zina merupakan keburukan yang demikian keji sehingga diterima oleh akal semua makhluk.

Ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Ari Amr bin Maimun al-Audy. Dalam riwayat itu ditulis: "Di masa jahiliyyah, aku melihat kera yang berzina dengan kera yang lain. Lalu, berkumpullah para kera dan melempari keduanya dengan batu hingga mati."

Allah SWT. juga menerangkan bahwa ujung dari perbuatan ini adalah berupa jalan yang buruk karena merupakan jalan kerusakan, kebinasaan, kefakiran di dunia, serta siksa, kehinaan, an bencana di akhirat. Melalui tulisan ini, saya mengajak agar selalu menjaga karunia pandangan, menjaga kemaluan sehingga derajat kita selalu diangkat dan tidak direndahkan di mata manusia terlebih Allah SWT.
,  Oleh Dr HM Harry Mulya Zein

sumber : www.republika.co.id

Sunday, June 16, 2013

Belajar Teliti

Peribahasa Teliti sebelum membeli tampaknya  tidak hanya tepat untuk calon konsumen atau pemilih agar tidak membeli kucing dalam karung, tapi juga relevan untuk siapapun, kapan saja, dan di mana saja.

Ketelitian sangat diperlukan dalam segala aspek kehidupan. Karena teliti merupakan sifat terpuji  yang sangat dianjurkan oleh Islam.

Allah memerintahkan bersikap teliti, karena menusia cenderung  bertindak tergesa-gesa, ceroboh, dan tidak
berpikir jangka panjang. "...Dan manusia itu cenderung bersifat tergesa-gesa." (QS. Al-Isra' [17]: 11). Padahal,  tergesa-gesa itu termasuk perilaku setan.

Ketelitian merupakan pangkal keselamatan dan kemaslahatan bersama. Sedangkan kecerobohan menjadi penyebab kegagalan, penyesalan, dan kerugian.
Hal ini sudah terbukti dalam banyak hal. Akibat tidak teliti atau ceroboh, misalnya, seorang pemimpin atau tokoh masyarakat bisa kehilangan muka jika mengeluarkan pernyataan yang keliru atau tidak berdasar.

Bahkan bisa jadi pernyataannya membuatnya diadukan kepada pihak berwajib karena dinilai melakukan fitnah atau tindakan yang tidak menyenangkan.

Kasir yang teliti pasti tidak akan membuat kecerobohan dalam menghitung uang. Istri yang teliti akan memilih cara yang efisien dalam membelanjakan harta suami.

Guru yang teliti akan memberi penilaian yang tepat dan adil kepada para siswanya. Peneliti yang teliti dan tekun pasti akan mengedepankan objektivitas dan netralitas, tidak menjadikan egoisitas dan kepentingan pribadinya untuk mengambil kesimpulan dan temuan-temuannya.

Polisi dan Badan Intelelijen yang  teliti akan sigap dan cermat dalam menyelidiki, memverifikasi, dan memprediksi hal-hal yang dapat mengganggu dan mengancam keamanan negara.

Menteri yang teliti pasti tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Presiden yang teliti juga selalu berusaha arif, tepat, dan cermat dalam mengeluarkan kebijakan.

Teliti tidak identik dengan takut berlebihan dan berlama-lama dalam mengambil sikap dan keputusan. Teliti
mengharuskan kejelian, kecermatan, akurasi, dan konsistensi.

Ketelitian menuntut kesabaran dan kebesaran jiwa untuk mengendalikan egoisitas dan kepentingan pribadi demi tegaknya kebenaran dan keadilan.

Dengan demikian, ketelitian merupakan salah satu aspek kecerdasan emosi yang menjadi pengendali sikap dan tindakan agar sesuai dengan nilai moral dan hukum yang berlaku, tidak menyimpang dari jalan yang benar.

Oleh karena itu, ketika menerima berita yang belum jelas kebenarannya, Nabi saw selalu memerintahkan sahabatnya untuk klarifikasi atau tabâyun (ceck and receck) agar tidak terjadi fitnah atau musibah besar.

"Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan yang menyebabkan kamu menyesal atau perbuatan itu." (QS. Al-Hujurat [49]: 6).

Ketidaktelitian dapat terjadi jika seseorang lebih mengedepankan hawa nafsu, kepentingan pribadi, cara berpikir subjektif yang tidak melihat jauh ke depan, dan  hanya tergiur oleh iming-iming materi yang menggiurkan.


Ketidaktelitian juga dapat diakibatkan oleh sistem (birokrasi) dan lingkungan kerja yang korup, sehingga budaya suap atau sogok-menyogok menjadi hal yang biasa, tanpa ada perasaan salah dan dosa. Na'udzu billahi min dzalik!

Sudah saatnya, kita selalu belajar teliti. Jika sikap teliti menjadi jati diri semua komponen bangsa, niscaya 
kita tidak mudah terkena fitnah sekaligus tidak gampang memfitnah orang lain.

Belajar menjadi orang yang teliti tidaklah sulit selama kita selalu berpikir positif, melihat depan dengan penuh optimistis, mengutamakan kepentingan umat dan bangsa, dan menjauhkan diri dari godaan materi dan hawa nafsu.
Sungguh, kita merindukan masyarakat  yang teliti dan berjiwa peneliti. Dengan ketelitian dan penelitian, masyarakat dan bangsa ini menjadi lebih dewasa dan berwibawa. Bangsa yang teliti adalah bangsa selalu mengedepankan kejujuran dan kebenaran.

Telitilah sebelum diteliti, karena teliti dapat membuat orang tidak menyesali diri di kemudian hari!! Wallahu
a’lam bish-shawab!

, Oleh Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Saturday, June 15, 2013

Syaban dan Kiblat

 "Seandainya Allah SWT tidak merubah kiblat kaum muslimin dari Bait Al-Maqdis ke Ka'bah pada bulan Rajab tahun ke-2 Hijriyah, maka dapat dibayangkan betapa kerasnya konflik keagamaan antara kaum Muslim-Yahudi-Nasrani pada saat ini." Bait Al-Maqdiq adalah simbol kiblat tiga agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam), karena ketiganya memiliki akar sejarah keagamaan dengan tempat mulia tersebut. Namun kesucian tempat tersebut seharusnya diikuti dengan tetap suci dan aslinya tiga ajaran agama samawi, sehingga dua ajaran yang pertama mengukuhkan satu ajaran yang terakhir. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Maka Allah SWT meridhai kecondongan hati Rasulnya yang menginginkan perubahan kiblat dari Bait Al-Maqdis dan telah berjalan sekitar enam belas bulan menuju ke Bait Allah Al-Haram Makkah Al-Mukarramah. Allah SWT berfirman: "Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi." (QS. Al-Baqarah: 144). Kaum muslimin yang menjadi subyek perubahan tersebut menerima perintah perubahan kiblat dengan positif thinking dan ihlas, bukan karena melihat eksistensi perubahannya melainkan siapa yang memerintahkannya. Sebab sudah merupakan sikap kaum muslimin untuk tunduk kepada perintah Allah SWT sebagaimana ketundukan ruh dan jasadnya. Allah SWT mengabadikan sikap tersebut dalam berfirman: "Kami beriman kepadanya, semuanya dari sisi Tuhan kami." (QS. Ali Imran: 7). Sementara orang-orang munafik, menanggapi perubahan kiblat tersebut dengan negative thinking dan itulah reperesentasi sikap hidup mereka secara keseluruhan yang menunjukkan kekacauan kondisi psikologisnya karena posisi mereka "tidak termasuk dalam golongan ini (orang yang beriman) dan golongan itu (orang kafir)" (QS. An-Nisa: 144). Mereka dengan nada aneh antara lain menyatakan: "Muhammad bingun hendak menghadap ke mana? Seandainya yang pertama benar, lalu mengapa ia meninggalkannya? Seandainya yang kedua benar, berarti selama ini ia berada dalam kebatilan." Adapun orang-orang Yahudi yang karekter dan sifat umumnya memang menentang apapun perintah Allah SWT dan Rasul-Nya serta mengingkari semua kenikmatan yang diberikan-Nya, bersikap sinis dan pertentangan nyata atas perubahan kiblat tersebut. Mereka mengatakan: "Muhammad telah mengingkari kiblatnya para nabi terdahulu. Seandainya ia benar-benar seorang nabi, pastilah ia akan menghadap kiblat para nabi terdahulu." Apapun reaksi mereka, sesugguhnya reaksi tersebut tidak memiliki makna yang cukup berarti karena perubahan arah kiblat merupakan kehendak Allah SWT yang mengandung berbagai sebab dan hikmah, diantaranya: Pertama, Penyatuan seluruh syiar keagamaan kaum muslimin di Makkah dan penegasan pada pengembalian Ka'bah sebagai tempat ibadah pertama manusia di bumi. Kedua, penegasan antara Bait Al-Maqdis dan Bait Al-Baram sebagai dua saudara kandung, karenanya Bait Al-Maqdis tetap dimuliakan dalam Islam dan tidak dapat dihilangkan oleh alasan apapun. Ketiga, sebagai ujian keimanan kaum muslimin kala itu hingga saat ini untuk menentukan siapa yang kuat imannya sehingga tunduk pada perintah Allah dan siapa yang lemah imannya, sehingga kembali dalam kekafirannya. Wallahu A'lam. Penulis dosen pasca sarjana PTIQ Jakarta
, Oleh Dr Muhammad Hariyadi MA
sumber : www.republika.co.id

Friday, June 14, 2013

Empat Karakteristik Umat Nabi Muhammad SAW

Alquran surah al-Fath ayat terakhir menyebutkan empat karakteristik yang harus dimiliki oleh umat Nabi Muhammad SAW.

Pertama,  asyidda ‘alal kuffar (bersikap keras terhadap orang-orang kafir). Bersikap keras dalam ayat ini bukanlah berarti umat Islam harus menempuh jalan radikal terhadap kelompok non-Muslim, akan tetapi maknanya adalah umat Islam harus berpegang teguh terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai ajaran Islam serta mengamalkannya secara utuh.
Ungkapan lain, umat Islam tidak mengenal adanya kompromistis terhadap cara hidup orang-orang kafir yang tidak kenal batas halal dan haram.

Ciri kedua,  ruhama bainahum (menebarkan kasih sayang terhadap sesama). Umat Islam dituntut untuk menebarkan kasih sayang terhadap sesama mereka, membela yang lemah, meringankan kesusahan saudaranya, dan memberikan  manfaat kepada orang lain. Tentu semua itu harus dilakukan dengan penuh ketulusan hati, tanpa pamrih dan tanpa embel-embel yang sarat dengan kepentingan sesaat pribadi atau kelompoknya.

Oleh sebab itu, dalam menanamkan nilai-nilai kasih sayang ini, seorang tokoh pahlawan Indonesia, KH Ahmad Dahlan mengajarkan surah al-Ma’un kepada murid-muridnya secara berulang-ulang. Tidak lain, ini bertujuan agar kandungan atau pesan ayat tersebut dipahami dengan baik sehingga nilai kasih sayang tidak sebatas kata-kata, tetapi dibuktikan dengan aksi nyata, seperti gemar membantu orang lain, khususnya membantu dan menyantuni kaum dhu’afa, baik keperluan pendidikannya, pakaiannya, makanannya, maupun keperluan asas lainnya.

Ketiga, dzikrullah (mengingat Allah). Allah dan rasulNya telah memerintahkan umat Islam supaya banyak berzikir kepada Allah SWT. Nash al-Qur’an dan hadis Nabi SAW banyak menjelaskan tentang keutamaan dan pentingnya zikir. Jadi, ciri umat Muhammad selanjutnya adalah senantiasa mengingat Allah SWT, seperti menunaikan shalat, puasa, ibadah haji, membaca dan mendalami pemahaman Alquran, shalat malam, dan bentuk-bentuk zikir lainnya.

Namun, ibadah zikir ini tidak hanya dimaknai dengan zikir syafawi (lisan), tetapi perlu dimaknai dengan zikir yang lebih luas, yaitu dzikir fi’li (perbuatan) yang melahirkan watak dan perilaku yang baik dan terpuji ketika bergaul di tengah lingkungan kehidupan masyarakat yang kompleks dengan tanpa sifat kepura-puran dan kebohongan.

Ada pun ciri yang keempat, Simaahum fi Wujuhihim min Atsaris Sujuud (terdapat tanda bekas sujud pada wajah mereka). Maknanya, bahwa wajah umat Muhammad SAW akan memancarkan cahaya putih disebabkan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Jadi, zikir ritual yang disertai aktivitas sosial kemanusiaan inilah yang menyebabkan wajah pelakunya bercahaya, yaitu pada air mukanya kelihatan kekuatan iman dan kesucian hatinya.

Demikianlah karakteristik mereka yang disebutkan dalam kitab Taurat dan Injil yang asli, perumpamaannya laksana tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas tersebut menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang Mukmin). Dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS Al-Fath [48]:29).

Penulis: Calon Mahasiswa Indonesia di Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya (APIUM) Program Ph.D Bidang Usuluddin
, Oleh Imron Baehaqi, MA



sumber : www.republika.co.id

Thursday, June 13, 2013

Pantang Berputus Asa

Allah SWT berfirman yang artinya: "Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, "Kapankah datang pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (Surah Al Baqarah 214)

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar." (Surah Ali Imran 142)

Hidup adalah perjuangan. Seseorang ingin mencapai kesuksesan dan kebahagiaan haruslah dengan kerja keras dan pengorbanan, dengan kesabaran dan ketabahan, terkadang dengan genangan air mata dan darah.

Musibah adalah kasih sayang Allah, agar manusia tidak terjerumus ke jalan orang-orang sesat atau yang dimurkai-Nya. Musibah merupakan rahmat Allah agar kita ingat kepada-Nya, kembali ke jalan-Nya, agar kita memperoleh kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.

Ammar Bugis (27 tahun) seorang wartawan dan motivator dari Jeddah mengalami kelumpuhan fisik secara total sejak usia dua bulan sampai sekarang. Tiap malam selalu menggunakan alat bantu pernapasan karena sesak saat bernafas.
Ia tidak bisa menggerakkan seluruh anggota tubuhnya kecuali dua bola mata dan lidahnya saja. Beliau sabar, tabah dan ridha atas takdir Allah bahkan bersyukur atas segala nikmat dan karunia-Nya.

Di antara nasehat-nasehat Ammar yang berkesan adalah ketika beliau berpesan agar kita selalu bersangka baik kepada Allah atas setiap musibah yang kita alami. Allah pasti memilih kebaikan untuk kita.

Ketika beliau ditanya apa hikmah yang ia peroleh dari kelumpuhan fisiknya? Beliau menjawab dengan mantap, "Yang jelas hisab saya di akhirat lebih ringan dari Anda yang sehat.''

Ia melanjutkan, ''Ini adalah suatu kebaikan untuk saya. Allah berfirman yang artinya: "Kemudian kalian benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (dunia yang kalian berlomba-lomba dan bermegah-megahan itu) " (Surah At Takatsur 8) Jawaban beliau sangat menggetarkan hati pendengarnya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda yang artinya: "Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu pada keduanya yaitu nikmat sehat dan nikmat waktu luang," (Hadits Riwayat Bukhari)

Ammar Bugis berpesan ketika diwawancara oleh TV Rawwad Makkah, "Orang yang melihat saya berbaring dalam keadaan lumpuh mengira saya tidak mendapatkan nikmat Allah. Sungguh Allah mengaruniakan kepada saya nikmat yang tidak terhitung banyaknya.''

''Allah mengaruniakan nikmat kepada saya nikmat Islam, Iman, akal, mata, telinga, kemauan yang kuat, perasaan, kekuatan hafalan sehingga saya dapat menghafal Al Quran (30 juz) saat saya berusia 13 tahun dan nikmat-nikmat lainnya.''

''Saya berpesan kepada masyarakat agar bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya dan hendaknya mereka menggunakan potensi dan kelebihan yang Allah berikan untuk memperjuangkan dien Islam ini, memberikan kontribusi dan manfaat untuk masyarakat."

Pesan beliau untuk orang-orang berkebutuhan khusus, "Janganlah kalian putus asa, buktikan kepada dunia bahwa anda mampu memberikan manfaat untuk masyarakat.''

''Anda harus percaya diri, bertekad kuat dan bertawakal. Ketika Allah menutup "pintu" bagi seorang hamba dengan hikmah-Nya pasti Allah membukakan kepadanya "pintu-pintu" lain dengan rahmat-Nya."

Beliau juga berpesan, "Perbaikilah hubungan Anda dengan Allah niscaya Allah akan memperbaiki hubungan Anda dengan Manusia".
, Oleh: Fariq Gasim Anuz

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, June 12, 2013

Kebenaran Itu Kuat, Tuan

Kebenaran adalah kekuatan karena di dalamnya mengandung keyakinan dan kepercayaan yang sejalan dengan hati nurani. Kejujuran adalah kekuatan karena di dalamnya mengandung keyakinan dan kepercayaan yang sesuai dengan kata hati.

Sebaliknya kebatilan adalah kelemahan karena bertentangan dengan hati nurani. Kebohongan adalah kelemahan karena tidak sejalan dengan kata hati.

Semakin banyak sifat kebaikan yang terkumpul pada diri seseorang, maka semakin kuatlah posisi dan kedudukannya. Sebaliknya semakin banyak sifat keburukan yang menempel pada diri seseorang, maka semakin banyaklah titik-titik kelemahannya.

Namun kebenaran, kejujuran dan kebaikan walaupun kuat dengan sendirinya masih perlu ditopang dengan kekuatan sistemik karena tidak jarang perseteruan kejahatan pada waktu tertentu dapat mengalahkan kekuatan kebenaran dan kebaikan. Lihatlah perseteruan kaum kafir Quraish yang berhasil mengusir Rasulullah SAW dari kota kelahirannya Makkah.

Pada hakekatnya, saat semua gerak manusia dilandasi oleh kebenaran, kejujuran dan kebaikan, maka kala itu jasad dan ruhnya menikmati ketenangan, kenyamanan, ketentraman dan kedamaian. Hal tersebut karena jasad dan ruhnya berjalan pada rel fitrah kemanusiaan yang telah digariskan oleh Tuhan. Sebaliknya pada saat gerak manusia menyalahi semua prinsip kebaikan, maka pada saat yang sama jasad dan ruhnya berontak karena ia dipaksa menyalahi fitrah penciptaan.

Imam Mutawalli Al Sya'rawi menegaskan bahwa pada hakekatnya jasad dan ruh tunduk serta bertasbih kepada Allah SWT (Al Maddah wal ruh musakharani wa musabbihani bi amrillah fi al hayah al dunya). Setelah keduanya tergabung dan membentuk kehidupan, mulailah syahwat muncul dan mempengaruhi gaya hidup manusia. Saat keduanya terpisah dengan kematian, masing-masing kembali ke alamnya dan tunduk kepada Tuhannya. Keduanya bahkan akan menjadi saksi atas segala yang dilakukan oleh tuannya.

Maka orang-orang yang sabar memegangi kebenaran, kejujuran dan sifat kebaikan adalah orang-orang yang kuat karena jasad dan ruhnya berkesesuaian dengan fitrah kemanusiaan. Sebaliknya orang-orang yang dalam kebatilan, kebohongan, dan kejahatan berposisi lemah dengan sendirinya, kecuali mereka bersekutu dengan orang-orang sehabitatnya.

Selain kuat dengan sendirinya karena fitrah, kebenaran dan sifat kebaikan berasal dari Tuhan, sehingga penguatannya adalah penguatan transendental. Allah SWT berfirman: "Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu." (QS. Al-Baqarah: 147). Tuhan adalah representasi dari semua sifat kebaikan. Bahkan saking baiknya Tuhan, maka rahmat-Nya melampaui semua bentuk siksaan dan ancaman. Oleh karena itu, kendati dalam beberapa ayat Alquran Tuhan terkadang menyampaikan ancaman akan pedihnya siksaan, namun ayat-ayat kasih dan sayang-Nya masih jauh lebih banyak melampaui ayat-ayat ancaman-Nya.

Lebih dari itu, Allah senantiasa berpihak pada kebenaran, kejujuran dan kebajikan karena pemihakan tersebut bukti kekonsistenan-Nya terhadap penciptaan dan bukti dari keadilan Tuhan. Allah SWT berfirman: "Dan katakanlah: "Kebanaran telah datang dan yang batil telah lenyap." Sungguh yang batil itu pasti lenyap." (QS. Al-Isra: 81). 

Allah hanya memberi pertolongan kepada orang-orang yang memegang teguh kebenaran, kejujuran dan sifat-sifat kebaikan, kendati nikmat Allah di dunia tidak hanya terbatas bagi mereka. Maka berbahagialah orang-orang yang menegakkan kebenaran dan kebaikan, jauh dari sandiwara dan tipudaya dunia.
Wallahu A'lam

Penulis dosen pasca sarjana PTIQ Jakarta
, Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA*



sumber : www.republika.co.id

Tuesday, June 11, 2013

Menjadi Kaya

Ibnu Hajar Al-Asyqalani (wafat 852 H), suatu hari melintas dengan kereta mewahnya. Seorang Yahudi penjual minyak tar keliling mencegatnya.

Penampilan keduanya bertolak belakang; sang ulama tampak anggun dan mewah, sementara Yahudi dekil, compang-camping, berbau busuk dan kumal.

"Nabimu berujar bahwa dunia adalah penjara bagi si mukmin dan surga bagi kafir, benarkah demikian?" ujar Yahudi sinis.

Jawab Ibnu Hajar, "Betul, demikian sabda Nabi saw riwayat Imam Muslim." "Kalau begitu, akulah mukmin dan kamulah kafir!" hardik Yahudi.

"Oh gitu," sahut Ibnu Hajar sembari tersenyum lagi, "Mengapa begitu, hai Ahli Kitab yang malang?"  Yahudi menjawab, "Lihat saja keadaanku seperti ini, persis seprti di penjara. Sementara engkau bergelimang kemewahan, seperti di surga...!"

"Dunia, bagi kami yang beriman kepada Allah memang adalah penjara. Dikerangkeng dan dibatasi oleh syariat-Nya. Meski demikian kami sangat menikmatinya, bahkan  di antara kami telah mampu menaklukkannya. Sehingga jadilah dunia surga buat kami. Sementara bagi kalian yang tidak beriman, dunia ini sudah kalian sulap dengan kebebasan dan kemewahan. Dan tidak jarang, kalian terpenjara sendiri karena ulah nafsu liar kalian," jawab Ibnu Hajar bijak.

Tertunduklah Yahudi dan di hatinya kini membersit keimanan. Dan ujung cerita ini, mantan Yahudi ini  pun kemudian menjadi orang yang sangat kaya raya, namun sinar keimanannya menjadikan kekayaannya tidak lupa dan semakin mendekat kepada Zat yang mengkayakannya, Allah al-Mughny.

Saudaraku, petikan kisah ini pada akhirnya berpesan kepada kita, dunia boleh dicari bahkan Islam menganjurkan untuk menaklukannya.

Imam Ali karramallahu wajhah pernah berujar, "Kuasai dunia dan pimpinlah dia. Letakkan dia di tanganmu, tapi jangan sekali-kali menyimpannya di hatimu!"

Di era sekarang, masyarakat Muslim serba terbelakang dan berbenam kepapaan, mutlak bagi setiap individu muslim harus kaya, tapi jangan sampai gila harta, ia hanya washilah untuk meraih surga sebelum surga sebenarnya.
Bukankah kewajiban mengeluarkan zakat dan menunaikan ibadah haji, termaknai bahwa kita sebagai yang beriman kepada-Nya harus memiliki kemapanan financial.

Zakat, terutama zakat maal, diwajibkan hanya kepada mereka yang mampu (istitho’ah). Begitu juga dengan haji dan umrah. Mari saatnya kita rebut kemapaman diri untuk berupaya mengangkat harkat martabat Islam dan kaum muslimin. Wallahu A'lam.
Oleh: Ustaz Muhammad Arifin Ilham

sumber : www.republika.co.id

Monday, June 10, 2013

Penyelenggara Negara Berbasis Kejujuran

Komitmen Membangun Akhlak yang mulya  segenap  para Penyelenggara Negara tidak dapat ditawar-tawar lagi, pertarungan para elite partai politik dalam meraih simpati rakyat pada pemilu 2014 mendatang terus diupayakan.

Tentunya upaya itu akan sia-sia ketika kelak para elit politik sudah menjadi penguasa lupa akan janji-janjinya. Rakyat akan tersakiti dan kecewa pada saat mendapatkan kekuasaan serta menjalankan kekuasaan tersebut tidak jujur dan amanah.
           
Jika semua itu terjadi, masyarakat, para penyelenggara negara,  dan bangsa yang sudah tidak mengutamakan kejujuran dalam melakukan pekerjaannya dapat dipastikan akan mengalami kehancuran.

Karena itu, kejujuran adalah dasar dari kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa. Kejujuran adalah prasyarat utama pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang berlandaskan prinsip saling percaya, kasih sayang, dan tolong menolong. Kejujuran adalah inti dari akhlak yang merupakan salah satu tujuan dari diutusnya Rasulullah oleh Allah SWT.

Hakikat kejujuran ialah mengatakan sesuatu dengan jujur di tempat (situasi) yang tidak ada sesuatu pun yang menjadi penyelamat kecuali kedustaan. Secara psikologis, kejujuran akan mendatangkan ketentraman jiwa. Sebaliknya seseorang yang tidak jujur pasti tega melakukan perbuatan serta menutupi kebenaran.

Kedustaan dan ketidakjujuran akan selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannnya akan mengancam stabilitas sosial. Ketidakjujuran selalu akan melahirkan kepada ketidakadilan, disebabkan karena orang yang tidak jujur akan tega menginjak-injak keadilan demi keuntungan material pribadi atau golongannya saja.

Kejujuran juga akan melahirkan penghargaan terhadap hak hak orang lain. Sebab kejujuran sebagaimana yang telah kita uraikan diatas juga akan menumbuhkembangkan kecintaan terhadap kebenaran, keadilan dan kedisiplinan dalam hidup dan bekerja.

Kejujuran juga merupakan pintu masuk terciptanya pemerintahan bersih. Tanpa adanya prinsip kejujuran dalam bekerja, sangat mustahil clean and good government akan tercipta. Kejujuran pula yang membuat tiga pilar dari clean government seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi mudah terwujud.

Dalam sistem transparansi terdapat terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi terkait-seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah– dengan biaya yang minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan politik yang anda (reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat diakses oleh publik (biasanya melalui filter media massa yang bertanggung jawab).

Akuntabilitas yakni, kapasitas suatu instansi pemerintahan untuk bertanggung gugat atas keberhasilan maupun kegagalannya dalam melaksanakan misinya dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan secara periodik. Artinya, setiap instansi pemerintah mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan sumberdaya yang dipercayakan kepadanya, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai pada pemantauan dan evaluasi.

Sementara partisipasi merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran masyarakat dalam pembangunan. Dengan prinsip kejujuran dalam bekerja, setiap aparatur pemerintah memandang bahwa masyarakat bukan sekadar penerima manfaat yang hanya diberikan informasi secara sepihak, akan tetapi turut disertakan untuk mengawasi. Dalam literatur sejarah Islam, hal ini sudah dilakukan ketika Khalifah Abu Bakar Asshidiq ra dilantik menjadi pemimpin pengganti Nabi Muhammad SAW.

Pada kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, bab Masa Khulafaur Rasyidin, karya Ibnu Katsir, selepas dibaiat, Khalifah Abu Bakar Assidiq mulai berpidato setelah memuji Allah Pemilik segala pujian, ‘Amma ba’du, “Para hadirin sekalian, sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik. Maka jika aku berbuat kebaikan bantulah aku. Dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhianatan."

Pidato Abu Bakar ra membuktikan bahwa seorang pemimpin (juga aparatur negara) harus memberikan kesempatan untuk saling mengingatkan ketika terjadi kesalahan (kurang tepat sasaran) dan saling membantu (partisipasi) dalam menjalankan program yang baik.
, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein
    
sumber : www.republika.co.id

Sunday, June 09, 2013

Perintah Shalat

Dalam perjalanan Isra dan Mi’raj, Nabi saw menerima perintah shalat dari Allah SWT secara langsung tanpa perantara malaikat.

Ibnu Hazm dan Anas bin Malik berkata, Nabi saw bersabda, “Allah SWT mewajibkan shalat atas umatku 50 kali sehari semalam. Maka aku turun membawa perintah itu. Ketika sampai di hadapan Musa, ia bertanya kepadaku, “Apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu untuk dilaksanakan umatmu?

Jawabku, “Allah SWT mewajibkan shalat 50 kali.” Kata Musa, “Kembalilah kepada Tuhanmu, karena umatmu tidak akan sangup melaksanakannya.Maka kembalilah aku kepada Tuhanku, lalu dikuranginya sebagian. Kemudian aku kembali kepada Musa dan berkata, “Allah mengurangi seperdua.

Kata Musa, “Kembalilah kepada Tuhanmu, sesungguhnya umatmu tidak akan sangup melaksanakannya.” Kembalilah aku kepada Tuhanku. Lalu Allah mengurangi pula seperdua. Sesudah itu aku kembali pula mengabarkannya kepada Musa.

Kata Musa, “Kembalilah kepada Tuhanmu, sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup melaksanakannya.” Maka kembali pula aku kepada Tuhanku. Kemudian Allah SWT berfirman, “Walaupun lima, namun lima puluh juga. Putusan-Ku tidak dapat dirubah lagi.”

Maka aku kembali pula mengabarkannya kepada Musa. Kata Musa, “Kembalilah kepada Tuhanmu.” Jawabku, “Malu aku kepada Tuhanku.” (HR Bukhari).

Itulah prosesi penerimaan perintah shalat lima waktu yang diterima oleh Nabi SAW. Meskipun lima kali namun nilainya sama dengan 50 kali. Subhanallah. Hal ini menunjukkan sangat pentingnya ibadah shalat bagi kehidupan kaum Muslimin.

Shalat merupakan bentuk ungkapan penghambaan diri kepada Sang Khalik. Ia sebagai tali penghubung antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dengan demikian, jika Nabi saw melakukan mikraj untuk menerima perintah shalat, kini bagi kaum Muslim shalat sebagai sarana mikraj ke haribaan Allah SWT.

Oleh karena itu, dalam peringatan Isra dan Mi’raj Nabi saw kali ini hendaknya dijadikan sebagai momentum untuk mengevaluasi kualitas pelaksanaan shalat kita. Sehingga, shalat yang kita lakukan dapat mengubah diri menjadi lebih baik.
   
Selain itu, pelaksanaan shalat secara berkualitas dapat mensucikan diri dari sifat-sifat buruk. Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS Al-Ankabut [29]: 45).
   
Rasululllah saw bersabda, ”Barangsiapa yang mendirikan shalat tetapi dirinya tidak terhindar dari perbuatan keji dan munkar, maka hakikatnya dia tidak melaksanakan shalat.” (HR Thabrani).
   
Hal ini terbukti dengan keadaan orang-orang munafik. Meskipun mereka shalat bersama Nabi saw, namun mereka justru menjadi penghuni neraka yang paling bawah.

Karena shalat yang dilakukan bermaksud untuk riya. Seakan-akan mereka mendirikan shalat dengan penuh khusyuk, namun sejatinya mereka tidak shalat. (QS An-Nisa [4]: 142-143).
   
Marilah pada peringatan Isra dan Mi’raj Nabi saw kali ini jangan sebatas rutinitas, tapi jadikan sebagai sarana untuk terus memperbaiki kualitas shalat kita, agar perubahan ke arah yang lebih baik dapat terwujud. Semoga.
. H Imam Nur Suharno MPdI

sumber : www.republika.co.id

Saturday, June 08, 2013

Mencintai Dunia

Cinta dunia sudah menjadi fitrah setiap manusia. Tapi, jika porsinya berlebihan, cinta dunia bisa melemahkan hati dan jiwa. Karena itu, penting untuk selalu hati-hati dalam bergaul dengan dunia.

Menurut Syaikh as-Sadhan, cinta dunia yang terlarang adalah cinta dunia yang menyebabkan seorang lalai dari urusan akhiratnya. Kondisi seperti ini secara otomatis akan melemahkan hati.

Lemahnya hati merupakan kondisi yang sangat dinanti setan. Pada saat kita lemah, setan akan leluasa mempermainkan dan memecundangi kita. Sekitar 14 abad silam, Rasulullah telah mengingatkan tentang hal ini.

Beliau bersabda dalam sebuah hadisnya yang sangat populer, “Hampir saja umat-umat  memperebutkan kalian seperti sekolompok orang yang sedang lapar memperebutkan makanan. Para sahabat bertanya, “Apakah karena kami sedikit waktu itu wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Tidak, bahkan waktu itu kamu sangat banyak tapi kalian tak ubahnya buih dan sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari dada musuh-musuh kalian dan memasukkan kepada  kalian al wahn. Sahabat bertanya, “Apakah al wahn itu?” Rasulullah bersabda, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Ahmad dan Abu Daud).

Hadis di atas mengabarkan kuantitas bukanlah jaminan utama lahirnya sebuah kekuatan. Kekuatan sesungguhnya akan tumbuh ketika kita bisa selamat dari al wahn, penyakit cinta dunia dan benci terhadap kematian. Untuk mengobati penyakit berbahaya ini, Rasulullah telah memberikan resepnya.

Dalam sebuah hadis, beliau bersabda, “Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kenikmatan (mati).” (HR Tirmidzi). Yang dimaksud pemutus kenikmatan adalah mati.

Mengingat mati bisa menjadi penawar atas ambisi dan cinta dunia kita yang berlebihan. Dengan mengingat mati, visi akhirat kita akan senantiasa terasah dan kekuatan jiwa kita akan kembali tumbuh.

Semangat mengejar akhirat kitapun akan menjadi dominan dalam keseharian tanpa mengabaikan urusan dunia. Hal inilah yang diinginkan oleh Allah dalam firman-Nya, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (al-Qashas: 77).

Imam Shan'ani dalam bukunya Subulussalam menyebutkan atsar yang menjelasakan pengaruh mengingat mati dalam menguatkan jiwa.

Ad-Dailami meriwayatkan, “Perbanyaklah kalian mengingat mati karena tidaklah seorang mengingat mati kecuali Allah akan selalu menghidupkan hatinya dan menghilangkan rasa takutnya terhadap kematian.”

Dalam atsar lain disebutkan, “Perbanyaklah mengingat mati sebab ia akan menjadi penghapus dosa dan menyebabkan orang lebih zuhud dalam urusan dunianya.”

Singkatnya, dalam kondisi apa pun mengingat mati akan selalu mendatangkan manfaat dan kebaikan. Semua manfaat yang disebutkan tadi akan bermuara pada lahirnya satu kekuatan jiwa.

Semoga, dengan keuatan ini umat akan lebih siap dalam menghadapi kebengisan dan kekejaman musuh yang kerap datang secara tiba-tiba. Amin.
, Oleh: Ahmad Rifai
sumber : www.republika.co.id

Friday, June 07, 2013

Allah Tak Menyapa

Imam An-Nawawi dalam Riyadhus-Shalihin (hal. 616). menukil sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi saw  berpesan kepada para sahabatnya: “Tsalaatsatun laa yukallimuhumullahu yaumal qiyamah wa laa yuzakkihim wa laa yandzuru ilaihim wa lahum ‘azabun aliim”. (Ada tiga golongan manusia pada Hari Kiamat tidak disapa, tidak disucikan, tidak ditatap dan akan ditimpakan azam pedih). (HR. Muslim).
 
Pertama ; Syaikhun zaanin (orang tua yang berzina). Allah benci kepada siapa pun yang berzina, tapi lebih benci kepada orang tua bangka yang berzina.

Kenapa? Karena seorang yang sudah lanjut usia mestinya menjadi sumber kearifan, melindungi dan panutan masyarakatnya. Menjaga keharmonisan sosial dan keluarga serta semakin taqarrub ilallah.

Sama halnya dengan seorang tua yang menikah (poligami) lebih dari empat wanita atau menikahi dua orang bersaudara dalam waktu bersamaan. Allah melarang mendekati atau memfasilitasi perzinahan apalagi melakukannya, baik tersembunyi maupun terang-terangan. (QS. 17:32, 24:2).

Kedua ; Malikun kadzdzaabun (penguasa yang berdusta). Allah SWT beci kepada siapa pun yang berdusta (baik kata maupun laku), tapi  lebih benci lagi kepada penguasa pendusta. Kenapa? Karena ia akan merugikan orang banyak (rakyat).

Ia mengambil hak mereka (zhalim) dan membuat kebijakan yang merugikan, khianat dalam kepemimpinannya. Ia memperkaya diri dan keluarganya, sementara rakyat mengalami kelaparan dan kebodohan.

Kalau orang biasa yang dusta, dampaknya hanya untuk diri dan keluarganya. Allah tidak suka kepada dusta (kemunafikan). (QS. 39:32,29:3,16:116).

Ketiga ; ‘Aailun mustakbirun (orang miskin yang sombong). Allah benci kepada orang kaya yang sombong, tapi lebih benci lagi kepada orang miskin yang sombong. Kenapa? Karena tidak ada yang patut disombongkan.

Jika orang kaya sombong, masih bisa dimengerti. Meskipun, hakekatnya ia juga miskin, karena yang didapatkan bukan miliknya, tapi milik Allah.

Orang yang miskin harta, ilmu, kontribusi, ibadah dan lain-lain, namun sombong, itu namanya terlalu. Hanya Allah yang patut sombong (al-mutakabbir) dan Ia tidak suka kepada orang sombong lagi bangga diri. (QS. 4:36,31:18, 57:23, 29:39,17:37).

Nabi saw pernah berkisah, kelak di Hari Pembalasan akan datang orang yang mengalami kebangkrutan pahala (muflis),  karena seluruh pahala ritualnya  terkuras untuk membayar dosa sosialnya.

Bahkan, jika pahala  ritualnya habis, sementara dosa sosialnya masih ada, maka dosa-dosa dari orang yang diperlakukannya buruk, akan ditimpakan kepadanya hingga ia masuk ke dalam neraka. (HR. Muslim).

Islam menekankan ibadah dalam dimensi sosial jauh lebih besar daripada dimensi ritual dengan tiga alasan: Pertama, ciri-ciri orang beriman atau bertakwa lebih banyak ibadah sosialnya. (QS. 23:1-11).

Kedua, jika ibadah ritual bersamaan dengan ibadah sosial, maka didorong untuk mendahulukan yang sosial. Misalnya, Nabi saw pernah melarang seorang imam membaca surat panjang dalam shalat berjamaah (HR. an-Nasa’i).

Nabi saw juga pernah memperpanjang sujudnya karena cucunya bermain dipundaknya. (HR. Jamaah). Ketiga, kalau ibadah ritual cacat,  dianjurkan untuk berbuat sesuatu yang bersifat sosial.

Misalnya melanggar larangan puasa harus ditebus dengan memberi makan fakir miskin.  Sebaliknya, jika ibadah sosial yang rusak, tidak bisa diganti dengan ibadah ritual.

Misalnya, durhaka kepada orang tua dan dzalim kepada tetangga tidak bisa diganti dengan puasa, zikir atau membaca al-Qur’an.

Ketiga golongan manusia yang tidak disapa Allah SWT tersebut di atas, adalah orang-orang yang melakukan dosa sosial, bukan dosa individual.

Perbuatan buruk mereka telah merugikan dan menghinakan orang lain, baik secara moril, material maupun masa depan.
Jika dosa individual, ampunannya hanya berkaitan dengan Sang Khalik. Tapi, dosa sosial tidak terampuni jika orang-orang yang telah dianiaya (al-madzlum) belum memaafkan.

Oleh karena itu, patutlah jika Allah tak berkenan menegur sapa, menyucikan, menatap bahkan mengazab di Hari Pembalasan. Naudzubillahi mindzalik.   Allahu a’lam bish-shawab.
Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung MA
sumber : www.republika.co.id

Thursday, June 06, 2013

Keutamaan Menebar Salam

Suatu hari ketika Abdullah bin Umar RA pergi ke pasar dan mengucapkan salam pada setiap orang yang dijumpainya, seseorang bertanya padanya. “Apa yang engkau lakukan di pasar wahai Ibnu Umar? Engkau tidak berniaga, tidak juga membeli sesuatu dan tidak menawarkan dagangan, engkau juga tidak bergabung dalam majelis orang-orang di pasar.”

Ibnu Umar menjawab, ”Sesungguhnya aku pergi ke sana hanya untuk menyebarkan salam pada orang yang aku jumpai.”

Makna yang tersirat dalam kisah tersebut adalah keutamaan menyebarkan salam karena merupakan adab yang istimewa dalam kehidupan masyarakat Muslim.

Salam bukanlah sekadar tradisi pada pembukaan dan penutupan suatu acara semata, ataupun disampaikan pada orang-orang tertentu saja. “Islam yang baik adalah memberi makan, mengucapkan salam kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal.” (HR Bukhari dan Muslim).

Rasulullah SAW memberikan perhatian yang besar terhadap amalan salam, beliau memotivasi umatnya untuk senantiasa menanamkan dan mempraktekkan salam dalam kehidupan sehari-hari. “Apabila Rasulullah mendatangi suatu kaum, maka beliau mengucapkan salam kepada mereka sebanyak tiga kali”(Riwayat Bukhari).

Selain itu, kaidah-kaidah menebar salam telah diatur Rasulullah dalam banyak Haditsnya, Bahkan banyak para ahli Hadits mengkhususkan dan meletakkannya dalam satu bab tersendiri yang biasa disebut “Kitab Salam” ataupun “Bab Salam”.

Allah SWT juga memerintahkan kita untuk saling menebar salam, terutama ketika kita sedang bersilaturahmi ke rumah seseorang. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS an Nur [24]: 27).

Dan sesungguhnya salam yang kita sebarkan adalah doa untuk orang yang mendengarnya dan juga doa untuk diri kita sendiri. “…Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya), yang artinya juga memberi salam kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya bagimu, agar kamu memahaminya. (QS [24]: 61).

Inilah pentingnya kita sebagai umat Muslim untuk saling menebar salam di antara kita, baik itu di pasar, di perjalanan, di masjid dan di manapun ketika kita bertemu dengan siapapun, terlebih-lebih bertemu saudara seiman. Menebar salam dengan ikhlas dapat menjaga keimanan dan menumbuhkan ikatan cinta yang kuat dalam kehidupan umat Muslim.

“Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sesuatu yang jika kalian lakukan, kalian akan saling mencintai? Sebarkan salam di antara  kalian.” (Riwayat Muslim).

Betapa indahnya ukhuwah Islamiyah ketika masing-masing kita saling menebar salam yang baik lagi santun. Dan Allah telah menyiapkan tempat yang mulia bagi siapapun yang selalu menebar salam. “Sesungguhnya orang yang paling utama di sisi Allah adalah mereka yang memulai salam.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Oleh: Zainal Arifin


sumber : www.republika.co.id

Wednesday, June 05, 2013

Pertolongan Alquran di Alam Kubur

Dari Sa’id bin Sulaim ra, Rasulullah SAW bersabda, “Tiada penolong yang lebih utama derajatnya di sisi Allah pada hari Kiamat daripada Al-Qur’an. Bukan nabi, bukan malaikat dan bukan pula yang lainnya.” (Abdul Malik bin Habib-Syarah Ihya).

Bazzar meriwayatkan dalam kitab La’aali Masnunah bahwa jika seseorang meninggal dunia, ketika orang-orang sibuk dengan kain kafan dan persiapan pengebumian di rumahnya, tiba-tiba seseorang yang sangat tampan berdiri di kepala mayat. Ketika kain kafan mulai dipakaikan, dia berada di antara dada dan kain kafan.

Setelah dikuburkan dan orang-orang mulai meninggalkannya, datanglah dua malaikat. Yaitu Malaikat Munkar  dan Nakir yang berusaha memisahkan orang tampan itu dari mayat agar memudahkan tanya jawab.

Tetapi si tampan itu berkata,” Ia adalah sahabat karibku. Dalam keadaan bagaimanapun aku tidak akan meninggalkannya. Jika kalian ditugaskan untuk bertanya kepadanya, lakukanlah pekerjaan kalian. Aku tidak akan berpisah dari orang ini sehingga ia dimasukkan ke dalam syurga.”

Lalu ia berpaling kepada sahabatnya dan berkata,”Aku adalah Alquran yang terkadang kamu baca dengan suara keras dan terkadang dengan suara perlahan. Jangan khawatir setelah menghadapi pertanyaan Munkar dan Nakir ini, engkau tidak akan mengalami kesulitan.”

Setelah para malaikat itu selesai memberi pertanyaan, ia menghamparkan tempat tidur dan permadani sutera yang penuh dengan kasturi dari Mala’il A’la. (Himpunan Fadhilah Amal : 609)

Allahuakbar, selalu saja ada getaran haru selepas membaca hadis ini. Getaran penuh pengharapan sekaligus kekhawatiran. Getaran harap karena tentu saja mengharapkan Alquran yang kita baca dapat menjadi pembela kita di hari yang tidak ada  pembela. Sekaligus getaran takut, kalau-kalau Alquran akan menuntut kita. Allah… terimalah bacaan Alquran kami. Sempurnakanlah kekurangannya.

Banyak riwaya yang menerangkan bahwa Alquran adalah pemberi syafa’at yang pasti dikabulkan Allah SWT. Upaya agar mendapatkan syafaat Alquran tentu saja dengan mendekatkan diri kepada Alquran. Salah satu cara yang sangat baik dalam “memaksa” kita untuk dekat dengan Alquran adalah dengan menghafalkannya.

Dengan berniat menghafal Alquran hati kita seakan-akan terpanggil untuk selalu memegang Alquran. Ada tanggung jawab yang membuat kita merasa “bersalah” jika tidak memegang Al-Qur’an. Walaupun mungkin sekedar membacanya.

Pada akhirnya kita mau tidak mau “dipaksa” untuk mendekat kepada Alquran. Dapat dikatakan dengan menghafalkan Alquran kita telah mengikatkan diri dengan Al-Qur’an. Sesibuk apapun kita, kita dipaksa untuk selalu dekat Alquran. Dan itu sungguh bukan termasuk “pemaksaan” yang aniaya. Melainkan pemaksaan yang penuh kebaikan.

Semoga hadis di atas menjadi cambuk bagi kita ketika rasa malas menerpa kita. Semoga Allah dengan kemuliaanNya menjadikan Alquran sebagai syafa’at bagi kita, bukan sebagai penuntut kita.

Semoga Alquran menjadi “teman” bagi kita ketika tidak ada sesuatupun di dunia ini yang dapat menemani kita. Amin. Mari menghafal Alquran.
Oleh Soraya Khoirunnisa
sumber : www.republika.co.id