-

Saturday, August 31, 2013

Galau dan Gelisah, Inilah Obat Mujarabnya

Galau atau gelisah bisa dialami oleh setiap orang. Biasanya kondisi mentalitas ini disebabkan oleh faktor-faktor tertentu, di antaranya adalah ketidakberdayaan menanggung beban hidup, kegagalan, tekanan eksternal dan permasalahan berat lain yang  menerpanya.

Efek dari kondisi ini biasanya ialah timbulnya gangguan mental emosional atau gangguan kesehatan, terutama kesehatan jiwa.
Sebuah kajian tentang kesehatan jiwa pernah menyebutkan, dari populasi orang dewasa di Indonesia yang mencapai 150 juta jiwa, sekitar 11,6 persen atau 17,4 juta jiwa mengalami gangguan kesehatan jiwa berupa gangguan kecemasan dan depresi.

Angka penderita gangguan jiwa tersebut tentu saja mengundang rasa prihatin. Oleh karena itu, saya tertarik untuk mengemukakan kembali tentang kebenaran Alquran yang menyatakan bahwa obat untuk menjadikan hati tenang dan tenteram serta terhindar dari rasa gelisah dan keluh kesah, tidak lain adalah keimanan kepada Allah SWT yang disertai kebiasaan berdzikir (mengingat Allah). (QS. Ar-Ra’du [13]:28)

Secara ilmiah pula, para pakar kedokteran pun telah sampai pada suatu kesimpulan, bahwa obat mujarab untuk mengobati penyakit gelisah ini ialah bermuara kepada keimanan.

William James, seorang profesor ilmu jiwa di Universitas Harvard Amerika, mengatakan bahwa obat yang paling ampuh terhadap penyakit gelisah tidak lain adalah keimanan.

Demikian juga Dr Karl Young, seorang dokter ternama bidang kejiwaan pernah mengatakan, “Sesungguhnya setiap orang sakit yang meminta kepada saya sejak 30 tahun lalu, yang berasal dari seluruh pelosok dunia, rata-rata penyebab sakit mereka adalah karena goyahnya akidah. Mereka tidak akan pernah sembuh, kecuali setelah berusaha mengoptimalkan kembali keimanan mereka yang telah hilang tersebut.”

Demikianlah fakta ilmiah yang berhasil disimpulkan oleh para pakar dan ilmuan yang pada hakikatnya mempamerkan bukti kemukjizatan Alquran yang sudah lebih dulu menyatakan tentang urgensi iman kepada Allah SWT dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk fungsinya sebagai obat  untuk mengatasi gelisah dan ganguan jiwa.
 
Dalam AlQuran pertengahan surah al-Ma’arij ditegaskan, bahwa sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat galau lagi keluh kesah, kecuali sembilan golongan, yaitu orang-orang yang melaksanakan shalat, orang-orang yang terhadap hartanya telah disediakan bagian tertentu (zakat) atau hak yang telah ditetapkan untuk orang-orang miskin, baik yang meminta atau pun yang tidak meminta, orang-orang yang meyakini hari kiamat, orang-orang yang takut terhadap azab Allah, orang-orang yang memelihara kemaluannya dari perbuatan keji, orang-orang yang mampu menjaga dan menunaikan amanat dan janji-janjinya, orang-orang yang memberikan kesaksiaannya dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah golongan penghuni surga lagi di muliakan. (QS. Al-Ma’arij[70]:19-35).

, Oleh: Imron Baehaqi MA

sumber : www.republika.co.id

Empat Macam Hati

Sebuah ayat al-Quran yang mengandung doa menuturkan, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau palingkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah rahmat dari sisiMu kepada kami, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.” (QS. Ali Imran [3]:8).

Konten doa ayat di atas tidaklah diucapkan dan diamalkan kecuali oleh orang-orang yang akal dan hatinya bersih (Ulil Albab). Mereka bermunajat dengan harapan dan tujuan agar hatinya tetap berada dalam proteksi hidayah Allah dan terjaga dari berbagai macam jalan yang menyesatkannya.

Oleh sebab itu, sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menunjukan tentang pentingnya kedudukan hati di antara unsur jasmani dan kebendaan lainnya.

Sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kamu sekalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amalmu yang ikhlas.” (HR. Muslim).

Menurut riwayat dari Abi Sa’id RA, terdapat empat macam hati yang disebutkan oleh baginda Rasulullah SAW. Hadits ini bisa dijumpai juga dalam sebuah buku yang berjudul Kitab al-Kabair, karangan Syeikh Imam Abi al-Hasan Muhammad bin Abdul Wahab.

Pertama, Qalbun Ajrad (hati yang murni), yaitu hati laksana lentera yang memancarkan cahaya. Hati ini membuka pintu-pintunya untuk mendengar dan menerima kebenaran (alhaq).

Itulah hati orang-orang Mukmin yang menjalankan ketaatan kepada Allah dan RasulNya secara konsisten. Jenis hati ini disebut juga sebagai Qalbun Shaleh (hati yang sehat).  

Kedua, Qalbun Aghlaf, hati yang keras dan tertutup untuk menerima kebenaran dan petunjuk dari Allah. Ia disebut juga sebagai Qolbun Mayyit (hati yang mati) karena tidak mengenal dan mengakui Allah sebagai Tuhannya.

Ketika diseru pun ke jalanNya, maka seruan itu tidak berfaedah sama sekali disebabkan hatinya sudah tertutup. (QS. Al-An’am [6]:25). Tidak lain, jenis hati ini adalah hatinya orang-orang kafir.

Ketiga, Qalbun Mankus (hati yang terbalik). Yaitu hati orang-orang munafik. Hati ini sebetulnya mengetahui kebenaran Islam sebagai agama samawi, akan tetapi ia berbuat inkar. Bahkan ia memusuhi dan menghalang-halangi orang lain untuk mengikuti kebenaran tersebut.

Kempat Qalbun Mushaffah. Yaitu, hati yang di dalamnya terdapat dua unsur sekaligus, keimanan dan kemunafikan. Kedua unsur ini saling tarik-menarik sehingga terkadang hati tersebut condong dan dekat kepada keimanan dan terkadang kepada kekufuran, tergantung kepada salah satu yang mendominasinya.

Jenis hati ketiga dan kempat ini disebut Qalbun Maridh (hati yang sakit) karena terdapat penyakit atau  virus yang menyerangnya, yaitu berupa fitnah syahwat (nafsu) dan shubhat (sikap ragu) dengan motivasi syaitan yang terkutuk.

Sebagai bahan muhasabah diri, masing-masing di antara kita dapat mengetahui secara jujur dan objektif, tipe hati manakah yang sebenarnya kita miliki dari keempat macam hati di atas.

Mudah-mudahan kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mempunyai tipe hati yang pertama, yaitu hati yang murni dan sehat. Di antara kuncinya adalah mengamalkan do’a yang diajarkan al-Quran, sebagaimana disebutkan di atas.  Wallahu alMusta’an.
, Oleh Imron Baehaqi MA*

*Pengurus PCIM Malaysia, Bidang Dakwah

sumber : www.republika.co.id

Friday, August 30, 2013

Keutamaan Puasa Syawal

Puasa merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka.

Rasulullah Saw. bersabda: “Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai.”(HR. Tirmidzi).

Seorang hamba Allah yang shaleh akan senantiasa melakukan kebaikan-kebaikan dengan melakukan amalan-amalah sunnah sehingga Allah mencintainya. “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu, untuk mendapatkan kecintaan Allah ta’ala, maka diajurkan puasa sunnah setelah melakukan yang wajib. Di antara puasa sunnah yang Nabi Saw. anjurkan setelah melakukan puasa wajib (puasa Ramadhan) adalah puasa enam hari di bulan Syawal.
Karena dengan berpuasa syawal, maka seorang hamba Allah seakan telah melakukan puasa setahun penuh. “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim).

Secara rasional, hitungan setahun ini berasal dari kebaikan yang dilakukan seorang hamba Allah. Apabila melakukan satu kebaikan maka akan dibalas sepuluh kebaikan yang semisal. “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al An’am: 160).

Puasa Ramadhan selama sebulan berarti akan semisal dengan puasa 10 bulan. Puasa Syawal adalah enam hari berarti semisal dengan 60 hari yang sama dengan 2 bulan. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56 dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465).

Ketika seorang hamba Allah di setiap tahun dari hidupnya selalu diisi dengan puasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan puasa sunnah di bulan Syawal, maka sepanjang tahun seolah telah melakukan amalan-amalan kebaikan dari puasa. Seorang hamba yang yang dicintai Allah Swt. hanyalah orang-orang yang melakukan amalan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Bila hal ini telah dilakukan, maka Allah Swt. akan senantiasa mencintainya.

Allah SWT berfirman dalam Hadis Qudsi, “Tiada yang paling Aku sukai dari hamba-Ku selain mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan apa yang Aku wajibkan padanya.
Apabila hamba-Ku mendekat pada-Ku dengan senantiasa melakukan hal-hal yang sunnah maka Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi matanya yang ia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang ia gunakan untuk mengambil (bertindak) dan Aku menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan, jika ia meminta pada-Ku, pastilah Aku beri, dan jika ia memohon perlindungan, pastilah Aku melindunginya." (HR. Bukhari).

Alangkah berkahnya hidup seorang hamba, bila senantiasa dicintai Penciptanya. Karena hidupnya senantiasa dihiasi dengan pahala dari amalan kebaikan yang diwajibkan dan yang disunahkan oleh Allah Swt.

“Ya Allah, berkahilah kami dalam pendengaran kami, penglihatan kami, hati kami, pasangan hidup kami dan anak keturunan kami, dan terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang".

, Oleh HM Rizal Fadillah

Ketua Umum MUI Kabupaten Bogor
Pengasuh Ponpes Modern Darunna’im YAPIA Parung Bogor



sumber : www.republika.co.id

Thursday, August 29, 2013

Arca Arabica

Jual GreenBeans Kopi Arabica

Kualitas : Grade 1,2,3
Proses   : Semi wet
Asal     : Bandung, west java
Harga    : Rp. 60.000, Rp. 50.000 Rp. 40.000 (nego)

Minat Hub : 089632922175
        BBM : 7B6BD8AE

Kemurahan Allah SWT

Di antara nama dan sifat Allah SWT adalah “Rahman” dan “Rahim” yang menunjukkan pada sifat kemurahan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dia dapat berbuat apa saja, karena Dia Maha Kuasa.

Namun Allah menyatakan dengan tegas bahwa Dia Maha Pemurah dan Pengasih. “Rahmat-Ku mendahului marah-Ku” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Allah SWT berfirman “Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah). Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan” (QS Huud 114-115).

Ayat ini mendorong kita untuk melakukan dua hal yaitu beribadah maghdhoh yakni ibadah yang tatacara dan waktunya ditentukan secara khusus seperti shalat lima waktu dan beribadah ghoiro maghdhah yang tatacara dan waktunya tak tertentu, dalam hal ini melakukan kebaikan-kebaikan sosial.

Perbuatan baik menghapus kesalahan (Innal hasanaati yudzhibnas sayyiaati). Demikian pernyataan Allah SWT yang  menunjukkan penghargaan dan kemurahan-Nya. Dua keuntungan didapat, pertama  menghapus kesalahan dan kedua, perbuatan baik itu mendapatkan pahala dari Allah.

Dalam Hadis Qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman : ”Jika seorang hamba-Ku bertekad akan melakukan kebaikan, namun tidak sempat melaksanakannya, Aku akan mencatat satu kebaikan baginya. Jika dia jadi melaksanakan tekadnya itu, aku catatkan sepuluh kebaikan, bahkan sampai tujuh ratus kali lipat baginya. Dan jika hamba-Ku bertekad akan melaksanakan keburukan namun tidak jadi melaksanakannya, Aku tidak akan mencatatnya sebagai dosa baginya. Lalu, jika ia melakukan keburukan tersebut, Aku hanya mencatat satu keburukan” (Hadis shahih dikeluarkan oleh Thabrani dan Abu Syaikh).  

Betapa banyaknya di hadapan kita lahan kebaikan yang dapat kita kerjakan mulai mendoakan orang, menolong orang susah, memberi nafkah, bersilaturahim, menasihati, mengurus organisasi, menyejahterakan keluarga, menjalankan jabatan dengan amanah, bershadaqoh, hingga senyum dan pergaulan suami istri pun dapat dikualifikasikan amal kebaikan.

Sepanjang diniatkan karena Allah tentunya. Jadi dengan fungsi menghapus dosa dan pahala sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat, maka sesungguhnya peluang seorang muslim yang beramal untuk masuk surga sangatlah terbuka.  Banyak jalan menuju surga.

Dalam kaitan penghapusan dosa, kemurahan Allah luar biasa. Hanya dosa syirk--menyekutukan Allah dengan yang lain-- yang Allah tutup ampunannya. Selain itu, sepanjang hamba-Nya meminta maka Allah akan berikan ampunan-Nya. 

Allah Azza wa Jalla berfirman ”Barangsiapa mengetahui bahwa Aku mempunyai kekuasaan untuk mengampuni berbagai dosa, Aku akan mengampuni dia dan aku tak peduli (akan banyaknya dosa). Hal itu Aku berikan sepanjang dia tidak musyrik kepada-Ku” (HR Al Hakim  dan Ath Thabrani).

Persoalannya adalah bahwa sang musuh abadi Syetan dengan bisikan halusnya akan senantiasa berupaya untuk  menjerumuskan manusia ke lembah kenistaan. Melakukan dosa besar menyekutukan Allah SWT dalam segala bentuknya. Melakukan berbagai dosa yang ia lalai untuk meminta ampun kepada-Nya. Menipu dengan berbagai keindahan dunia agar tak sempat lagi untuk beribadah. Hingga akhirnya ia tidak atau sangat sedikit sekali melakukan amal kebaikan yang diniatkan karena Allah. Setan telah menjadi guide bagi kehidupannya.

Memang sudah sejak dahulu setan bertekad untuk menyesatkan manusia. Berbagai strategi dan taktik digunakan. Namun Allah pun menunjukkan jaminan kemurahannya untuk membuat setan putus asa.

“Sesungguhnya setan berkata ‘Demi keagungan-Mu wahai Tuhanku ! Aku tidak akan berhenti menyesatkan hamba-hamba-Mu selama nyawa mereka masih berada dalam badannya’. Allah SWT berkata ‘ Demi keagungan-Ku, Aku tidak akan berhenti memaafkan mereka, selama mereka meminta ampunan kepada-Ku” (Hadits shahih Riwayat Ahmad dan Hakim).
Demikian pemurahnya Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, begitulah kalimat “Rahmat-Ku telah mendahului marah-Ku”. 
, Oleh HM Rizal Fadillah

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, August 28, 2013

Didikan Ayah

Malam itu, sambil bersilaturahim Lebaran, teman saya dengan bersemangat bercerita tentang masa kecil dan remaja di kampung halamannya. Yang paling dia kenang adalah betapa kerasnya sang ayah mendidiknya membaca Alquran.

Pada mulanya dia belajar membaca Alquran di mushala, tetapi setelah beberapa bulan tidak ada kemajuan yang berarti ayahnya memutuskan untuk mengajarnya sendiri.

"Kelas tiga sekolah dasar saya sudah khatam Alquran tiga kali," kata teman saya mengenang. Terlihat dari wajahnya ada sedikit kebanggaan menyampaikan itu. "Dan setiap kali membaca Alquran selalu menangis," sambungnya.

Masya Allah, gumam saya dalam hati. Saya kagum, kecil-kecil sudah menitikkan air mata tatkala membaca ayat-ayat suci yang memang sangat indah itu.

Kita saja orang dewasa tidak mudah untuk menitikkan air mata ketika membaca firman Allah tersebut. Saya tidak tanya mengapa dia bisa menangis, apakah dia sudah bisa menghayati apa yang dibaca.

Seperti mengerti apa yang saya pikirkan, teman saya melanjutkan, "Setiap membaca Alquran, hampir dipastikan empu jari dan telunjuk ayah pasti mendarat di paha. Salah sedikit saja makhraj, apalagi tajwidnya, empu dan telunjuk jari ayah langsung beraksi. Paha saya dipilin tanpa ampun."

Walaupun sudah berlalu hampir setengah abad yang lalu, sepertinya teman saya itu masih merasakan sakitnya dipilin pahanya oleh sang ayah. Tetapi, dia mengenang rasa sakit itu bukan dengan dendam atau paling kurang sesal, tetapi justru dengan rasa syukur yang tinggi.

Setelah meneguk sedikit air mineral yang disuguhkan, teman saya melanjutkan kenangannya. "Saya sungguh beruntung dididik membaca Alquran dengan keras oleh ayah. Mulai dari mengeja alif- ba- ta sampai seni membaca Alquran."
Setelah berhenti sejenak dia melanjutkan kembali ungkapan syukurnya. "Saya tidak pernah membayangkan, kemampuan membaca Alquran itulah yang menolong saya bertahan hidup di Yogya dan dapat menyelesaikan kuliah dengan biaya sendiri."

Ayahnya hanya seorang petani desa yang harus membanting tulang untuk menghidup istri dan anak-anaknya. Ditinjau dari segi ekonomi, sebenarnya sang ayah tidak sanggup membiayai anaknya kuliah sampai ke Pulau Jawa.

Tetapi, karena anaknya punya tekad yang sangat kuat, akhirnya dia izinkan. Teman saya hanya perlu restu dan ongkos untuk sampai Yogya.

Teman saya bertekad akan mencoba hidup mandiri di kota pelajar itu. Bagaimana caranya? Dia juga tidak tahu. Yang penting bismillah, tawakkal 'alallah.

Belum sampai seminggu di Yogya, dia menghadiri sebuah pengajian. Seperti biasa, sebelum pengajian inti dimulai, dibacakan dulu ayat-ayat suci Alquran.

Sayangnya qari' yang direncanakan belum juga datang.  Seorang bapak memintanya menggantikan membaca Alquran. Dengan segala senang hati dia penuhi permintaan mulia itu.

Setelah selesai pengajian, bapak tadi menghampirinya dan memperkenalkan diri. Ternyata dia seorang kepala sekolah dasar. Di luar dugaan, bapak itu memintanya mengajar membaca Alquran kepada murid-murid kelas lima dan enam.

Dari honor mengajar Alquran itu kemudian dia dapat menghidupi dirinya sehari-hari. Dari mengajar di sekolah itu juga, dia diminta oleh orang tua murid untuk mengajar anaknya privat di rumah.

Melalui wali murid itu, dia diminta lagi mengajar anak yang lain. Dia dapat lagi pendapatan yang lumayan. Begitulah enam bulan setelah berada di Yogya dia mendaftar kuliah dan membiayai kuliahnya dengan honor mengajar Alquran.

Itulah yang sangat dia syukuri. Kemampuan membaca Alquran telah memberikan berkah kepadanya. Dia yakin, waktu itu tentu ayahnya sama sekali tidak mengharapkan anaknya mampu menghidupi diri sendiri dengan membaca  Alquran.
Yang ada dalam pikiran ayahnya cuma satu, sebagai orang tua, dia wajib mendidik anaknya agar bisa membaca kitab suci yang diimani dan dimuliakannya dengan sepenuh hati.
, Oleh: Yunahar Ilyas
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, August 27, 2013

Amalan Sebelum Tidur

Tidur tidak sekadar mengistirahatkan seluruh anggota badan, otot dan pikiran setelah seharian beraktifitas. Tidur adalah ibarat kematian atau kebangkitan. Ini tercermin dari doa yang sering dibaca sebelum tidur, “Bismika Allahumma ahya wa amut, Dengan namamu, ya Allah, aku hidup dan mati. Dan doa bangun tidur, “Alhamdulillahilladzi ahyana ba'da ma amatana wa ilaihin nusyurSegala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami dan kepadaNya kami dibangkitkan.”

Para sholihin selalu memaknai tidur dengan kematian. Bagi mereka, tidur adalah kematian sesaat. Ini terlihat dari cara mereka tidur menghadap kiblat, yakni tidur di atas sisi kanan seperti mayit berbaring di liang lahat dengan bagian depan badan menghadap kiblat. Bahkan Hujjatul Islam, Imam Ghazali dalam kitabnya, Bidayatul Hidayah, menganjurkan seorang mukmin sebelum tidur menuliskan wasiat terlebih dahulu, karena barangkali nyawanya diambil Allah SWT saat tengah tidur.

Banyak sekali amalan sebelum tidur yang telah dipraktekkan Nabi Muhammad SAW dan dianjurkan para ulama, supaya tidur dalam keadaan suci lahir dan batin. Di antara adab tidur yang berhubungan dengan kesucian lahir, yaitu menggosok gigi. Menurut kesehatankuman akan semakin berkembang pada malam hari saat kita sedang tidur, di mana mulut tidak melakukan aktivitas. Sahabat Hudzaifah berkata, “Jika Nabi Muhammad SAW bangun di malam hari, beliau membersihkan mulutnya dengan sikat gigi.” (HR Bukhori)

Kemudian disunnahkan berwudhu. Ini menandakan kesucian lahiriah. Sahabat Bara’ bin ‘Azib berkata, bahwa Rasulullah menasihatinya, “Jika engkau hendak mendatangi peraduanmu, hendaklah engkau berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhu hendak sholat.” (HR Bukhori, Muslim).

Lalu setelah di tempat tidur, jangan lupa berzikir untuk kesucian batinImam Ghazali dalam kitabnya tersebut, juga menganjurkan seorang mukmin sebelum matanya terpejam, mengingatberbagai dosa dan kesalahan yang dilakukan seharian, kemudian bertaubat kepada Allah SWTserta memohon kepadaNya kekuatan untuk tidak mengulanginya lagi.

Allah SWT berfirman dalam Alquran, “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Annisa [4]:110).
Rasulullah SAW sendiri menurut Siti Aisyah terbiasa membaca istigfar. “Rasulullah banyak membaca Subhanallah wa bihamdihi, astagfirullah wa atubu ilaihi, (Maha suci Allah dengan segala pujinya, aku memohon ampun kepada Allah SWTsebelum tidur.” (HR Bukhori, Muslim)

Di antara amalan zikir lainnya adalah membaca surat-surat tertentu. Nabi Muhammad SAWsetiap malam sebelum mendatangi peraduanya, seperti dituturkan siti Aisyah, selalu membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas. “Selanjutnya beliau mengusapkannya ke seluruh tubuh yang biasa beliau jangkau. Di mulai dari kepala, wajah dan bagian depan bagian tubuh beliau. Beliau melakukannya sebanyak tiga kali.” (HR Bukhori, Muslim).

Itulah sebagian adab sebelum tidur. Intinya bahwa kesucian lahir dan batin sebelum tidur harusmenjadi perhatian setiap mukmin. Seyognya kita senantiasa mencontoh sikap dan amalan Rasulullah SAW. Dengan amalan tersebut berarti kita telah siap untuk berjumpa denganNya. Karena setiap orang tidak tahu kapan ia akan dicabut nyawanya. Barangkali Allah SWT mencabut nyawa kita di saat tidur.
,  Oleh E Kusnandar
sumber : www.republika.co.id

Sunday, August 25, 2013

Memerdekakan Hati

Sebuah pepatah Arab menyatakan:  "Tiada yang paling berharga dalam hidup ini selain kemerdekaan," Kemerdekaan memang sangat mahal karena untuk meraihnya dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan, baik harta maupun nyawa.

Musuh abadi kemerdekaan adalah penjajahan, baik itu penjajahan fisik, penjajahan kedaulatan, maupun penjajahan hati.

Penjajahan hati, oleh hawa nafsu atau setan, merupakan penjajahan paling berbahaya, karena dapat menyesatkan manusia dari jalan yang benar.

Namun demikian, kemerdekaan yang paling bermakna bagi hidup manusia adalah kemerdekaan hati. Karena hati  pangkal segala kebaikan dan keburukan.

Sabda Nabi SAW: "Sesungguhnya dalam diri manusia itu terdapat segumpal daging. Jika daging itu baik, maka seluruh perilakunya akan baik. Sebaliknya, jika ia buruk, maka seluruh perilaku menjadi buruk. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati." (HR. Muslim).

Misi profetik para Nabi pada dasarnya adalah memerdekakan hati dari segala bentuk penyakit dan jajahan hati. Di antara manusia ada yang hatinya berpenyakit iri, dengki, dendam, suka mencuri dan korupsi. Sedangkan jajahan hati yang paling berbahaya adalah hati yang bersikap dan berperilaku syirik kepada Allah.

Hati yang diliputi syirik senantiasa menjauhkan manusia dari tauhidullah (mengesakan Allah). Karena itulah Allah mengutus para Nabi-Nya agar memerdekakan hati umat manusia dari segala bentuk kemusyrikan.

Al-Qur'an mengisahkan bagaimana Nabi Ibrahim AS mencari tuhan dan berdialog dengan alam raya, sehingga akhirnya beliau menemukan tauhid sejati.

Mula-mula beliau melihat bintang, lalu bulan, dan menganggap keduanya sebagai tuhan. Namun, karena keduanya sirna dari pandangan mata, beliau tidak lagi mempercayainya sebagai tuhan.

Setelah itu, beliau melihat matahari dan dianggapnya sebagai tuhan karena matahari jauh lebih besar dari bintang dan bulan. Karena semua itu terbit dan terbenam, beliau berkesimpulan semuanya bukan tuhan. Tuhan yang sesungguhnya adalah Sang Pencipta langit dan bumi berikut isinya (QS. Al-An'am [6]:75-78)

Ketika menemukan kebenaran tauhid yang hakiki itu, beliau memproklamirkan diri: "Sungguh aku merdeka (terbebas) dari apa yang mereka sekutukan. [Karena itu] sungguh aku orientasikan hidupku (aku hadapkan wajahku) kepada Sang Pencipta langit dan bumi dengan penuh hanif (kejujuran hati untuk menerima kebenaran) dan aku sekali-kali tidaklah termasuk orang  yang menyekutukan Allah." (QS. Al-An'am [6]: 78-79). Jadi, kemerdekaan yang hakiki adalah kemerdekaan hati dari kemusyrikan.

Memerdekakan hati dari kemusyrikan tidak hanya membuat hidup manusia bermakna dan bertujuan, tetapi juga dapat mengantarkannya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kisah para penentang Rasul, seperti: kaum Luth, kaum Hud, Fir'aun, Qarun, hingga Abu Jahal dan Abu Lahab memberi pelajaran bagi kita bahwa  hati mereka itu telah membatu dan terpenjara oleh kesombongan diri, kekufuran, dan kemusyrikan.

Suatu ketika Abdullah ibn Umar bin al-Khattab pernah memerdekakan anak kecil yang memiliki iman yang luar biasa. Anak kecil penggembala domba di padang pasir ini pernah diuji olehnya.

"Nak, bolehkah aku beli seekor domba darimu? "Tidak tuan, ini bukan dombaku," jawab anak itu. Abdullah terus merayu: "Majikanmu pasti tidak tahu. Kalau pun majikanmu tahu bahwa domba berkurang satu, engkau kan bisa mengatakan kepada sang majikan, bahwa yang satu itu dimakan serigala."

Abdullah tercengang dan tersentak hatinya ketika sang anak itu menyatakan: "Jika sang majikan tidak mengetahuinya, Faaina Allah? (“Kalau begitu, di manakah Allah?”).

Dengan menitikkan air mata  Abdullah menyatakan kepada anak kecil itu: "Jawabanmu  “Faaina Allah”  itu tidak hanya memerdekakanmu dari perbudakan di dunia, tetapi juga memerdekakanmu dari siksa api neraka di akhirat kelak.

Abdullah kemudian memerdekakan anak itu dari status menjadi budak pengembala kambing, dan memberinya kemerdekaan sebagaimana layaknya seorang anak.
    
Jika manusia dapat selalu memerdekakan hati dari penjajahan kemusyrikan,  kedengkian, amarah, keserakahan, sifat korup, dan sebagainya, nicaya hidupnya akan penuh kemuliaan, kedamaian, dan kebahagiaan yang hakiki.

"Yang disebut orang yang kaya bukanlah karena kaya harta, tetapi karena kaya hati. Dan orang yang kuat bukanlah karena kuat tenaga fisiknya, melainkan karena kuat mengendalikan diri (hati)-nya." (HR. At-Thabarani). Mari kita merdekakan hati kita dari segala penyakit hati, sehingga kita dapat mewujudkan hidup bahagia yang sejati.
, Oleh Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Saturday, August 24, 2013

Spiritualitas Iktikaf

Salah satu menu spiritual dari paket rahmat Ramadhan yang relatif kurang banyak mendapat perhatian dan pengamalan dari umat Islam adalah iktikaf.  Padahal ibadah ini sungguh memberi kenikmatan dan kepuasan spiritual tersendiri.
Menurut riwayat Ibn Umar, Anas, dan Aisyah RA bahwa Nabi SAW selalu melakukan iktikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sejak datang di kota Madinah hingga beliau wafat. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Secara bahasa iktikaf berarti: berdiam diri, menetapi dan menekuni sesuatu, yang baik maupun yang buruk. Pemaknaan ini didasarkan pada ayat: “Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya?” (QS. al-Anbiya’/21: 52) “… Dan janganlah kamu campuri mereka (istri) sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid…” (QS. al-Baqarah/2: 187).

Pada ayat pertama (al-Anbiya’: 52), iktikaf berkonotasi tekun menyembah berhala (syirik), sedangkan pada ayat kedua (al-Baqarah: 187) menunjukkan tekun beribadah di masjid (tauhid).

Esensi iktikaf adalah diam diri, menahan diri (dalam beribadah), tekun, penuh konsentrasi dan konsistensi (al-dawam alaih) dalam ketaatan dan kedekatan spiritual dengan Allah melalui tazkiyatun nafs di masjid.

Tujuan utama iktikaf adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menyucikan hati dan pikiran, serta selalu merasa diawasi oleh Allah.

Iktikaf melatih berkonsentrasi, membiasakan tekun beribadah semata-mata karena mengharap ridha-Nya; dan  membelajarkan diri untuk khusyu’, penuh ketaatan, konsentrasi, dan konsistensi dalam beribadah di rumah-Nya, bukan di rumah sendiri.

Iktikaf memberi ruang kesadaran spiritual bagi kita untuk kembali menata dan meluruskan mindset kita bahwa kesibukan duniawi itu tidak pernah ada habisnya dan tidak abadi.

Kesibukan duniawi tidak boleh melengahkan dan melupakan Muslim dari mengingat Allah (dzikrullah) di rumah-Nya yang suci dan di bulan-Nya yang suci.

Yang abadi dan menjadi bekal kehidupan ukhrawi adalah spiritualisasi diri dengan tekun dan khusyu’ beribadah kepada-Nya, di saat kebayakan orang ramai sibuk dalam urusan duniawi.
Iktikaf merupakan cerminan dari hamba Allah yang taat, patuh, tunduk, dan khusyu’ dalam beribadah kepada-Nya.

Iktikaf menyadarkan kita pentingnya menyisakan ruang dan waktu dalam diri kita untuk berada dalam masjid. Sehingga spiritualisasi diri melalui iktikaf ini dapat melejitkan kecerdasan spiritual dan moral yang tangguh.

Buahnya adalah perilaku moral yang luhur, berupa keteladanan terhadap sifat-sifat dan nama-nama terbaik Allah (al-asma’ al-husna).

Ketekunan duniawi tidak ada artinya jika tidak diimbangi dengan ketekunan ukhrawi. Iktikaf adalah sarana pendekatan diri kepada Allah yang paling tulus.

Iktikaf mengharuskan kita melepaskan diri dari keasyikan duniawi, menuju kesucian hati dan kedekatan ruhani kepada sang Maha Pencipta dan Pemilik kehidupan ini melalui transit beberapa saat di rumah-Nya.

Dengan iktikaf, kecerdasan spiritual kita menjadi lebih meningkat dan menguat, sehingga kita tidak mudah tergoda oleh hiruk-pikuk materialism dan hedonism keduniawiaan yang semu dan sesaat.

Sebagai aktualisasi dari sunah Nabi SAW, alangkah meruginya jika momentum Ramadhan ini tidak diisi dengan iktikaf.

Menikmati iktikaf sejatinya harus menjadi komitmen setiap Muslim yang merindukan surga. Sebab, tradisi baik (sunah) Nabi SAW ini diamalkan dengan tekun dan khusyu’, niscaya kebugaran spiritual kita menjadi lebih meningkat.

Sehingga hati dan pikiran kita semakin dapat dengan mudah menangkap sinyal-sinyal Ilahi dalam menjalani kehidupan di masa depan.

Sungguh indah dan nikmat, jika di saat masjid-masjid mulai lengang ditinggalkan sebagian pelanggan jama’ahnya,  kita bisa melakukan transformasi hati dan pikiran duniawi ke dalam kesucian hati dan pikiran di rumah-Nya. 

Yang sangat dibutuhkan untuk beriktikaf adalah komitmen hati dan disiplin beribadah dengan tulus ikhlas di rumah-Nya, bukan di rumah masing-masing.

‘Aisyah RA meriwayatkan bahwa  “Jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka Rasulullah SAW selalu mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malam-malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari-Muslim).
, Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id

Friday, August 23, 2013

Istiqamah Ibadah Pasca-Ramadhan

Suasana hari raya Idul Fitri masih menyelimuti kita. Kebahagiaan dan kegembiraan masih lekat terasa karena setiap muslim merasakan limpahan karunia dan rahmat Allah SWT. Seandainya bukan karena kewajiban untuk masuk kerja, maka suasana tersebut masih berlangsung sebab manusia memiliki kecenderungan untuk memperpanjang masa bahagia.

Namun telah menjadi fenomena umum jika Ramadhan berlalu, maka ketaatan di dalam menjalankan ibadah dan aneka kebajikan menjadi menurun dan melemah. Jumlah jemaah shalat lima waktu dipastikan drastis menurun. Kesemarakan orang-orang dalam berinfak berkurang. Kelembutan hati dan perilaku yang memancar di bulan Ramadhan menjadi sirna.

Padahal kesemua kebiasaan baik tersebut tidak seharusnya hanya terjadi di bulan Ramadhan. Idealnya kebiasaan baik Ramadhan mampu menghiasi 11 bulan lain di luar Ramadhan, karena perintah shalat berjamaah, berinfak dan berbuat kebajikan serta bersikap lemah lembut dengan sesama manusia adalah akhlak Islam sepanjang zaman. Bahkan semua perilaku kebaikan tersebut merupakan pemberian (minhah) dari Allah SWT guna merepresentasikan diri seorang muslim sebagai hamba terpilih dan contoh yang mudah bagi manusia di sekelilingnya.

Jika kita perdetail, paling tidak terdapat empat kebiasaan (habit) kebajikan yang ditinggalkan oleh madrasah ramadhan, yaitu: puasa di siang hari, shalat sunah di malam hari, membaca Al-Qur'an di sela-sela puasa dan shalat malam, serta mensegerakan diri dalam perbuatan kebajikan. Keempat kebiasaan tersebut jika mampu diistiqamahkan di luar Ramadhan, niscaya akan menjadi akhlak kaum muslim sepanjang zaman.

Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang berkata: "Tuhan kami adalah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), "Janganlah kalian merasa takut dan bersedih hati; dan bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu." (QS. Fussilat: 30).

Mengapa istiqamah dalam beribadah pasca-Ramadhan itu penting?

Pertama, karena kelanggengan memerlukan kesungguhan, ketekunan dan kesabaran. Dan ketiga unsur tersebut merupakan profil terpuji seorang muslim. Aisyah RA berkata : "Di dalam melakukan shalat, Nabi SAW menggemari untuk menunaikannya dengan langgeng, sehingga bila kantuk menguasainya atau karena sakit hingga tidak dapat bangun malam, maka beliau melaksanakan shalat di siang hari sebanyak dua belas rakaat." (HR. Muslim).

Kedua, keistiqamahan yang panjang akan memberikan hasil yang besar dan luar biasa, tanpa tersadari secara langsung oleh pelakunya dan keistiqamahan tersebut tetap berpahala pada saat yang bersangkutan udzur sakit atau bepergian.

Rasulullah Saw bersabda: “Jika seseorang sakit atau melakukan perjalanan, maka dia akan dicatat melakukan amalan sebagaimana amalan rutin yang dia lakukan ketika bermuqim (tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat." (HR. Bukhari).

Ketiga, keistiqamahan menunjukkan kuatnya iman seseorang dan menjauhkan diri dari virus jenuh beramal. Rasulullah SAW bersabda: ”Setiap amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat itu pasti ada masa futur (malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam sunnah (petunjuk) Nabi SAW, maka dia berada dalam petunjuk. Namun barangsiapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia telah menyimpang." (HR. Tabrani).

Inilah pentingnya Istiqamah ibadah di luar Ramadhan yang dengannya sesungguhnya setiap pribadi sedang menapaki jalan orang-orang saleh yang akan membimbingnya pada penghapusan dosa dan lebih mendekatkannya kepada Allah SWT.

Wallahu A'lam.
, Oleh Dr Muhammad Hariyadi MA

sumber : www.republika.co.id

Thursday, August 22, 2013

Teologi Doa

Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (berdoa kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” QS. Al-Mu’min/40: 60)

Secara teologis, ayat tersebut menegaskan bahwa orang yang malas dan tidak mau berdoa berarti orang yang sombong, tidak tahu diri, dan cenderung durhaka kepada Allah SWT. 

Karena itu, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak meminta (berdoa) kepada Allah, maka Dia akan marah/murka kepada-Nya.” (HR. Ahmad, Turmudzi, dan Ibn Majah)

Sesungguhnya doa merupakan jalan spiritual menuju pertolongan dan kebahagiaan hidup yang hanya dapat dijalani oleh hamba yang mengenal, mencintai, dan menghambakan diri kepada Allah SWT.

Doa merupakan sumber kekuatan, harapan, dan kenikmatan Mukmin, karena hatinya senantiasa tertambat melalui doa dengan Sang Kekasihnya yang Maha Penyayang.

Oleh sebab itu, Nabi SAW bersabda: “Orang yang paling lemah adalah orang yang tidak bisa berdoa; sedangkan orang yang paling bakhil adalah orang yang pelit memberi salam (kepada sesame).” (HR. Ibn Hibban).

Secara teologis, doa juga merupakan jalan keluar (solusi) bagi orang-orang yang dihadapkan kepada berbagai persoalan dan kebuntuan dalam hidupnya.

Doa menjadi  kunci pembuka sekaligus pintu keluar menuju pencapaian cita-cita dan harapan hidup sang pendoa.
Esensi doa adalah permohonan hamba kepada Allah SWT agar diberikan inayah (perhatian), ma’unah (pertolongan), dan hidayah (bimbingan, petunjuk jalan) menuju solusi persoalan dan pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Berdoa hanya pada waktu susah dan meninggalkannya pada saat bahagia merupakan perilaku orang lupa (lupa diri dan lupa Allah). 

Dan apabila Kami beri kenikmatan kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.” (QS Fushshilat/41: 51).

Dalam konteks ini, Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang ingin agar doanya di waktu kesusahan dikabulkan oleh Allah, maka hendaklah ia memperbanyak doa di waktu lapang dan bahagia.” (HR. Turmudzi dan al-Hakim).

Berdoa membelajarkan diri kita untuk selalu berada dalam oase transendental dengan Sang Maha Pemberi, sehingga dengan begitu Mukmin selalu memiliki optimisme tinggi dalam hidupnya.

Apabila hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka ketahuilah bahwa Aku itu Maha Dekat. Aku akan merespon doa orang yang berdoa kepada-Ku. Karena itu, hendaklah mereka merespon perintah-Ku dan mempercayai-Ku, semoga mereka mendapatkan petunjuk.” (QS. al-Baqarah/2: 186).

Jadi, karena Allah itu Maha Dekat, maka tidak ada alasan bagi hamba untuk tidak berdoa demi peningkatan kualitas hidupnya ke depan.

Momentum Ramadhan untuk mengoptimalkan doa secara teologis mendapat garansi dari Nabi SAW. “Ada tiga manusia yang doa mereka tidak akan ditolak (oleh Allah), yaitu: doa orang yang berpuasa sampai dia berbuka, doa pemimpin yang adil, dan doa orang terzalimi. (HR. At-Turmudzi)

Di bulan Ramadhan ini, mengoptimalkan doa merupakan salah satu bukti penghambaan, pengabdian, dan rasa tawakkal hamba kepada-Nya.

Selain itu, berdoa sesungguhnya tidak sekadar merupakan permohonan, melainkan juga puji-pujian hamba atas segala keagungan, kemuliaan, kebesaran, kemurahan, dan kemahakuasaan-Nya, sehingga pendoa harus tahu diri: mau menyucikan diri, mengakui segala kekurangan dan kefakirannya, menjauhi segala kemaksiatan dan dosa, agar doanya didengar dan direspon oleh-Nya.

Secara teologis,  agar dikabulkan, doa harus dikawal dengan beramal, berusaha dan berbuat sesuai dengan apa yang dimohonkan kepada Allah.

Jika misalnya memohon kekayaan dari Allah, maka hamba harus bekerja keras, halal dan thayyib, untuk meraih yang dimohonkan itu.

Selain itu, hamba juga tidak boleh berputus asa, bahkan harus selalu berbaik sangka dengan Allah bahwa doanya pasti dikabulkan (sesuai dengan kebijaksanaan Allah).
 
Ketahuilah, “Allah itu Maha Baik, dan tidak menyukai kecuali yang baik-baik,” kemudian Nabi SAW menyebutkan mengenai seseorang yang datang dari perjalanan jauh dengan rambut acak-acakan (kusut) dan wajah berdebu, mengangkat tangannya ke langit sambil berdoa: Ya Tuhanku, ya Tuhanku. 

Selanjutnya beliau berkata: “Bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan oleh Allah, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram” (HR. Muslim). Semoga kita termasuk orang yang pandai dan sukses berdoa kepada Allah SWT, terutama di bulan suci ini.
. Oleh Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, August 21, 2013

Awal yang Menentukan Kesuksesan

Syawwal telah terbit, selesai sudah pembinaan Allah  kepada hamba-hamba-Nya. Meskipun tidak dari nol tapi yang terjadi adalah kelahiran kembali “ka yaumin waladathu ummuh” (seperti hari dilahirkan ibunya).

Maksudnya adalah bersih kembali karena ibadah yang  dikerjakan selama shaum Ramadhan telah menjadi sebab yang  berakibat ampunan Allah SWT.

Langkah awal yang mesti dilakukan adalah bersyukur. Mensyukuri berbagai karunia yang telah Allah SWT berikan. Bersyukur dalam makna yang kreatif yakni memfungsikan karunia itu bagi kemanfaatan diri, keluarga, ummat dan Agama. Karena memang Allah SWT telah memberikan kepada kita komponen dari potensi asasi tersebut.

Firman-Nya  “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan,  dan hati, agar kamu bersyukur (QS An Nahl 78).

Ayat ini menunjukkan adanya tiga komponen penting yang harus difungsikan dengan maksimal yaitu pendengaran, penglihatan dan hati. Dengan pendengaran (as sam’a) kita serap informasi pengetahuan yang dapat diformulasi menjadi ilmu. Informasi lisan keseharian maupun insidental diseleksi mana yang sia-sia mana yang berguna, mana yang dibuang dan mana yang pula bisa dikembangkan.

Dengan penglihatan (al abshoro) semua data dibaca dan diolah menjadi tulisan yang bisa dibaca kembali oleh jumlah orang yang semakin banyak. Segala informasi lisan yang didapat dibuktikan sehingga bisa terlihat nyata sebagai ayat-ayat kebenaran.

Demikianlah gandengannya, karena sesungguhnya orang yang cacat berat adalah mereka yang menjalani kehidupan kini dalam keadaan ”tuli” dan “buta”Sementara itu dengan hati (al af-idah) diyakini apa yang didengar dan dilihat untuk dijadikan niat dantekad. Niat dan tekad mana kemudiannya direalisasikan dalam wujud amal. 

Begitulah proses yang terjadi untuk berkreasi. Sebaliknya jika komponen pendengaran, penglihatan, dan hati itu tak berfungsi maka yang terjadi adalah stagnasi. Memang pilihannya adalah berkreasi atau stagnasi, create or stagnate.

Langkah kreatif yang dimaksud insya allah akan sukses jika dibarengi: Pertama memulai sesuatu dengan bismillah yaitu berangkat dari berharap pada ridlo dan pertolongan Allah serta mengukur dengan ukuran Allah. Allah sebagai sentrum.

Kedua, niat dan tekad yang kuat untuk berhasil karena kita tahu amal itu tergantung niat. Niat yang kuat adalah setengah dari keberhasilan, setengahnya lagi dengan kesabaran dan ketekunan. 

Ketiga,  memiliki ilmu yang mumpuni pada bidangnya “wa man aroda huma fa’alaihi bil ‘ilmi” (dan jika ingin sukses keduanya –dunia dan akherat—maka itu dengan ilmu) karena imu adalah causa dari tingginya derajat dalam pergaulan sesama.

Keempat, mampu membangun relasi karena sering datang kesempatan untuk maju itu disebakan karena faktor interaksi sesama. Silaturahmi mendatangkan rezeki.

Dan kelima, kesiapan  untuk mengoreksi diri atau dikoreksi oleh orang lain. Hal ini tentunya berkaitan dengan keharusan kita untuk mengenal diri kita sendiri “know your self” karena dengan mengenal diri akan memudahkan untuk dapat mengenal orang lain dan lingkungannya.

Awal syawwal  siap untuk menyinari perjalanan ke depan yang lebih berkualitas. Dengan landasan program yang lebih jelas dan apik tentunya. Kepentingan pribadi dan keluarga penting untuk mendapat perhatian, namun kita tak boleh berhenti disana. Langkah mulia  adalah khidmah untuk memajukan dan mengembangkan Agama. Melalui jihad dan da’wah.

Shaum telah mengajarkan kita bermental kuat untuk mampu mengendalikan diri serta pandai memilih dan memilah nilai yang benar. Lapar di awal bukan untuk rakus di akhir. Tetapi sederhana (qana’ah) dalam berkarakter. Shaum mengubah karakter buruk menjadi lebih agung. Jangan seperti seekor ular yang puasanya tak mengubah apa apa.

Ular yang menjijikkan, merusak, dan buas setelah memangsa lalu berpuasa. Selesai puasa ia berganti kulit. Karena lapar, “saat berbuka” ia menjadi lebih buas dan sangat merusak. Lagi pula tetap saja menjijikkan meski telah berganti kulit.

Banyak orang yang setelah menyelesaikan puasanya sebulan penuh tetap saja berperilaku hina, merusak, dan rakus.  Yang berubah hanya kulitnya saja. Baju baru. Karakternya tak berubah, bahkan lebih buruk. Maka baginya syawal tidak menjadi awal yang menentukan kesuksesan.
,  Oleh HM Rizal Fadillah
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, August 20, 2013

Budaya Idul Fitri

Idul Fitri di Indonesia sudah menjadi kebudayaan. Tradisi Hari Raya Idul Fitri di Indonesia tidak pernah ditemukan di negara-negara manapun. Salah satu keunikannya adalah mudik ke kampung halaman. Berbagai macam motif para pemudik.

Ada yang menjadikannya sebagai momentum rutinitas untuk menziarahi orang tua atau keluarga, termasuk menziarahi makam keluarga dekat. Ada yang memanfaatkan libur panjang untuk mengurus kepentingan sosial-ekonomi keluarga di kampung.

Dan ada pula yang ikut-ikutan mudik karena pengaruh psikologis media yang mem-blow-up suasana Lebaran Idul Fitri. Apalagi dalam  dekade terakhir ini, pemerintah sudah menggabungkan libur hari raya ini dengan cuti nasional, sehingga waktu libur untuk Idul Fitri semakin panjang.

Berbagai perencanaan sudah dirancang di sekitar hari libur panjang ini. Termasuk di antaranya sejumlah pasangan memanfaatkan untuk melangsungkan perkawinan dan hajatan-hajatan lainnya. Wajar jika kesan konsumerisme masyarakat semakin tinggi di sekitar hari raya ini.

Bank Indonesia sendiri setiap tahun mempersiapkan cadangan uang kas yang cukup tinggi untuk mengantisipasi kebutuhan masyarakat. Volume penjualan kendaraan bermotor, baik mobil maupun sepeda motor, melonjak tinggi menjelang Idul Fitri.

Peran kendaraan bukan hanya sebagai sarana transportasi, tetapi sebagai simbol sosial ekonomi masyarakat. Namun, ada suatu hal perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya yang perlu mudik dalam suasana Lebaran bukan hanya fisik-biologis kita, tetapi juga rohani kita.

Sesuai dengan namanya, Idul Fithrah, yakni kembali ke fitrah, yaitu kembali kepada kesucian diri. Bulan Ramadhan (secara harfiah berarti membakar hangus) telah dilewati. Diharapkan bulan Ramadhan telah membakar hangus seluruh dosa masa lampau kita.

Dengan demikian, memungkinkan kita kembali atau mudik ke jati diri kita seperti semula ketika baru dilahirkan dari kandungan ibu. Mudik ke jati diri kita yang paling luhur sangat dimungkinkan karena insya Allah berbagai amalan, baik wajib maupun sunah, telah dilakukan selama sebulan penuh.

Kita digodok dan ditempa siang dan malam oleh berbagai cobaan dan tantangan. Betul-betul kita berhadapan dengan diri kita sendiri. Bayangkan, semua makanan dan minuman tersedia di dalam kulkas dan sepenuhnya milik kita, namun tidak boleh  dimakan karena kita puasa.

Istri atau suami yang halal bagi kita di dalam rumah sendiri tidak bisa melakukan hubungan suami-istri lantaran kita berpuasa. Diharapkan dengan telah lulusnya kita dari  ujian berat ditambah amaliah yang maksimun selama Ramadhan mempercepat proses mudik ke kampung halaman rohani kita.

Seperti harapan para pemudik untuk lebih lancar pulang ke kampung halamannya masing-masing. 

, Oleh Prof Nasaruddin Umar
sumber : www.republika.co.id

Monday, August 19, 2013

Melestarikan Spirit Ramadhan

Ramadhan baru saja kita lalui. Tentu kita berharap agar di tahun-tahun mendatang kita masih diberikan oleh Allah SWT kesempatan untuk bertemu Ramadhan kembali. Spirit apakah yang seharusnya kita warisi dan lestarikan pascaramadhan?

Sebagai sebuah madrasah, pendidikan Ramadhan idealnya menjadi momentum paling berharga untuk melakukan perubahan mental spiritual dalam rangka meningkatkan kualitas hidup kita ke depan, sekaligus memperkuat hubungan dan kedekatan kita dengan Allah SWT, sehingga kita betul-betul bisa meraih ampunan dan rahmat-Nya sekaligus tergolong orang-orang bejo (al-faizun).

Ramadhan menghadirkan nuansa spiritual yang sangat mendalam, bahwa Allah SWT selalu hadir bersama kita. Kita juga merasakan sekali kedekatan spiritual kita dengan Allah.

Karena itu, spirit Ramadhan yang menghadirkan suasana dan sinyal religiusitas yang kuat ini patut dipertahankan, bahkan ditingkatkan, misalnya dengan melanjutkan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal.

Ramadhan sejatinya merupakan bulan kebahagiaan. Setidaknya kita perlu mewarisi dan melestarikan lima spirit kebahagiaan bersama Ramadhan.

Pertama, kebahagiaan fisikal, berupa kegembiraan dan kenikmataan yang luar biasa saat berbuka, setelah sekian lama menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum.

Orang yang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan, yaitu kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan saat bertemu dengan Tuhannya (kelak di akhirat) (HR Muslim). Merasa gembira dan nikmat saat memakan makanan adalah indikator bahagia secara fisik.

Kedua, kebahagiaan intelektual. Selama Ramadhan kita dilatih untuk banyak tadarus, membaca Alqur’an, belajar Islam, dan sebagainya.

Membaca, belajar, dan berlatih diri berarti memenuhi kebutuhan otak dan akal kita, sehingga kita bisa merasakan kebahagiaan intelektual, sebuah kebahagiaan yang tidak dapat diraih makhluk selain manusia.

Salah satu cirri kebahagiaan Mukmin adalah bersyukur dengan mendayagunakan akalnya untuk memikirkan ayat-ayat Allah, baik Qur’aniyyah maupun Kauniyyah.
Ketiga, kebahagiaan sosial. Spirit kebersamaan dan berjamaah di bulan Ramadhan banyak mewarnai kehidupan spiritual kita. Pada saat yang sama, kita juga dilatih untuk gemar bersedekah, berinfak, berbagi, dan berzakat.
Sedekah, infak, dan zakat merupakan bentuk kepedulian sosial untuk membahagiakan orang lain, terutama para kaum fakir miskin.

Kebahagiaan sosial terletak pada sejauh mana kita bisa diterima oleh saudara-saudara kita sekaligus memberikan manfaat dan nilai tambah bagi sesama. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain.” (HR. at-Thabarani).

Keempat, kebahagiaan emosional. Berlatih menahan rasa lapar, dahaga, dan aneka godaan duniawi lainnya yang dapat dilalui dengan sukses merupakan sebuah kebahagiaan psikis yang luar biasa.

Bersabar saat lapar, bersabar mengendalikan emosi, bersabar dalam memenuhi kebutuhan perut saat berbuka dengan tidak balas dendam atas nama kelaparan merupakan kebahagiaan emosional yang dapat menyadarkan diri akan pentingnya menumbuhkan sikap empati dan solidaritas sosial, terutama kepada fakir miskin.

Puasa itu separoh dari kesabaran”, begitu sabda Nabi SAW. Mukmin yang bisa bersabar adalah Mukmin yang bahagia.

Kelima, kebahagiaan spiritual. Kebahagiaan ini tercermin pada ketaatan dan ketekunan kita dalam beribadah kepada Allah SWT.

Selama Ramadhan kita dilatih untuk selalu proaktif mendekatkan diri dan “menemui” Allah SWT melalui ritualitas shalat, dzikir, i’tikaf, tadarus, dan sebagainya.

Kedekatan dan pertemuan spiritual inilah yang sesungguhnya membahagiakan diri, lebih-lebih jika kita mendapat janji Allah berupa garansi ampunan-Nya.

Mendapat ampunan dan ridha-Nya merupakan puncak kebahagiaan spiritual yang harus terus kita lestarikan dengan tetap selalu bertaubat dan bersitighfar kepada-Nya.

Kelima spirit Ramadhan yang bermuara kepada kebahagiaan itu idealnya menjadi komitmen bersama dalam meningkatkan amal ibadah kita pascaramadhan.

Mari kita tindaklanjuti dan tingkatkan (Syawwal) aneka amaliah Ramadhan yang sudah pernah kita jalani selama bulan Ramadhan itu dalam sebelas bulan berikutnya dengan ber-fastabiqul khairat menuju ridha-Nya. Wallahu a’lam bish shawab!
, Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id

Sunday, August 18, 2013

Hasil Ramadhan

Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang shaum Ramadhan diakhiri dengan kalimat La’allakum tattaquun artinya agar kalian bertaqwa.

Hal ini karena shaum Ramadhan adalah medan edukasi bagi setiap muslim agar selama Ramadhan jiwanya tertempa dan terdidik sehingga ketika Ramadhan usai, mereka semua menjadi orang yang bertaqwa.

1 Syawal 14334 H, adalah medan awal perjuangan hidup setelah satu bulan mengikuti madarasah Ramadhan , bekal yang selama Ramadhan didapat dan diraih adalah modal untuk dapat mengarungi kehidupan selama 11 bulan ke depan.

Sanggupkah kita menghadapi dinamika kehidupan berikutnya? Dapatkah kita berkompetisi dengan orang lain dalam meraih kebaikan? Ataukah kita berkompetisi dalam kejelekan? Semua itu kembali kepada modal awal kita yang didapat dalam bulan suci Ramadhan.

Setiap orang menginginkan menjadi orang yang bertaqwa pascaRamadhan, yang menurut Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 134 dijelaskan orang yang bertaqwa itu memiliki tiga kriteria yaitu: Pertama, menahan amarah (emosi).

Hal ini tentu saja merupakan natijah (result) dari ibadah shaum Ramadhan, orang yang dapat meredam amarahnya (emosinya) adalah orang yang melaksanakan shaumnya dengan baik, karena ia dapat menahan emosinya dengan baik.

Kedua, memaafkan kesalahan orang. Pada hari Raya Idul Fitri semua orang saling memaafkan kesalahan baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja.

Orang tua memaafkan anak, anak meminta maaf kepada kedua orang tuanya, saudara memaafkan saudaranya, tetangga memaafkan tetangganya, dan seterusnya.
Intinya semua umat Islam kembali fitrah (suci), tidak ada satupun noda dosa , semuanya lebur dengan saling memaafkan.

Ketiga, berbuat baik kepada sesama manusia. Orang yang bertaqwa yang dalam dirinya sudah tidak ada noda dan dosa, akan tercermin dalam perbuatannya ataupun dalam tutur katanya.

Yang dilakukan selalu hal yang baik, yang terucap dari mulutnya selalu perkataan yang baik-baik saja, sehingga hal tersebut dapat memberikan teladan bagi orang lain untuk dapat meniru perbuatannya.

Dengan demikian dia dapat memberikan pengaruh positif bagi lingkungannya dan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya.
Hal inilah yang menurut Rasulullah saw : “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”

Ketiga hal tersebut termaktub dalam QS Ali Imran : 134, yg artinya, “dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang , dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Mudah-mudahan dengan berakhirnya Ramadhan, kita termasuk orang-orang yang dapat menahan amarah, dan kita termasuk orang yang dapat memaafkan kesalahan orang lain serta dapat memberikan teladan kepada orang lain dalam berbuat kebaikan. Semoga kita semua menjadi manusia yang bertaqwa, manusia yang lulus dalam madrasah ramadhan, amin.
, Oleh : Ahmad Dzaki MA

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, August 14, 2013

Berjamaah

Islam memerintahkan pemeluknya untuk berjamaah. Tidak hanya dalam shalat. Tapi juga dalam ekonomi dan lain-lain hal, termasuk makan. Innal barakata ma’al jamaa’ah, sesungguhnya keberkahan itu ada di dalam kebersamaan.

Shalat sendiri, beda dengan shalat berjamaah. Jika berjamaah, beda 27 derajat. 27 kali lipat dapatnya. Bahkan istimewanya, siapa yang shalatnya lebih bagus, baik dalam ilmu, rasa, keikhlasan, maka derajat dia yang dipakaikan ke semua yang ada di dalam shalat berjamaah tersebut.

Dapat pula pahala ikutan lain-lainnya sebab shalat berjamaah. 40 orang yang berdoa, maka dikabulkan itu doa. Berapa kalo kita kemudian berjamaah dalam masjid yang jamaahnya mencapai lipatan 40?

Sebab berjamaah, maka dapat pahala melangkah ke masjid, dapat pahala jika datang ke masjid udah dalam keadaan berwudhu, bisa dapat pahala tahiyyatul masjid, qobliyah ba’diyah, zikir, sesuatu yang mungkin tidak dapat kita laksanakan manakala gak berjamaah dan tidak ke masjid.

Bersedekah juga begitu. Begitu berjamaah, maka Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, Rp 100 ribu jadi sesuatu yang besar. Jika sebelumnya 20 ribu, bisa dapat dua bungkus nasi plus lauk sederhana, 50 ribu dapat lima bungkus nasi plus lauk sederhana, 100 ribu bisa dapat 10 nasi bungkus plus lauk sederhana.

Maka bila satu juta orang berkumpul, bersedekah Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, Rp 100 ribu? Dapat berapa? Dapat apa? Dapat ribuan hektar sawah, yang bisa kemudian sedekahnya bisa bergulir dan bergulir.

Bisa punya peternakan sapi yang gak bergantung sama import, bisa membeli perahu dan membangun pasar ikannya sendiri, bisa membuka perkebunan yang tidak dikontrol harganya oleh pasar.

Sayang, ummat kita belom dimaksimalkan potensi berjamaahnya. Potensi ummat, terutama dari sisi berjamaah ini, baru dimanfaatkan oleh segelintir orang.

Misal, kebutuhan orang untuk makan, udah kemudian dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk berjualan. Bukan kemudian pasarnya yang dimiliki oleh masyarakat.

Salah satu atau mungkin banyak properti besar, dikucurkan dana hingga ratusan milyar, dari sebuah bank. Itu juga pemanfaatan yang boleh jadi positif, boleh jadi tetap negatif, untuk ekonomi jangka pendek dan panjang.
Ulasannya bukan di sini tentunya. Seperti satu berita bahwa satu bank memberi Rp 600 milyar untuk satu kelompok properti besar. Apa yang saya baca?

Jutaan ummat berkumpul, menabung. Lalu tabungan mereka digunakan untuk membiayai properti tersebut, yang kelak properti ini justru menggusur masyarakat penabung yang notabene rakyat kecil, yang justru tidak akan mampu membeli properti mereka. Duit mereka membunuh mereka sendiri.

Tapi saya gak mau jadi the loser. Sisi positifnya jelas banyak. Pasti ada keuntungannya. Jangka pendeknya, bisa membuka lapangan pekerjaan lebih banyak.
Kemudian bila pajaknya cakep pengelolaannya, bisa dipakai untuk ummat yang lebih banyak. Tappiii... Entahlah.

Berjamaah, sungguh Allah dan Rasul-Nya menyeru, bukan hanya di urusan shalat. Ayo dong, di semua urusan. Bahkan di dalam urusan politik. Ummat bercerai berai gak keruan.

Visi misi yang udah gak sama lagi, hingga kemudian noda perilaku dan karakter, menyempurnakan ketidaksolidan suara. Akhirnya suara banyak dipegang sama yang tidak lagi membela Allah dan Rasul-Nya, agama-Nya, dan ummat Islam.

Di urusan ekonomi, saya mengingatkan diri saya, dan sebanyak-banyaknya orang, sesungguhnya kita masih teramat kuat.
Sebab kita ini banyak. Sungguh, kita ini banyak. Banyak banget. Bener-bener banyak. Mudah-mudahan kita ini sadar.

Saya mencoba mengumpulkan baru 15 ribu orang saja, dan itupun baru tiga ribu orang kurang lebihnya, tapi sudah bisa mentake-over hotel Siti, yang didedikasikan buat hotel haji dan umrah sebagai pasar utamanya.

Dua tower, masing-masing 12 lantai, 300 kamar. Baru 15 ribu orang, dan sekali lagi, itu pun baru tiga ribu orang. Gimana jutaan ummat? Perusahaan apa yang tidak bisa dibeli ulang?

Bahkan perusahaan asing sekalipun, di negara mereka langsung, bisa dibeli oleh kita. Semoga kita semua diizinkan Allah bersatu, berjamaah. Diberi-Nya ilmu, kesempatan, kekuatan, termasuk juga ridha-Nya. Salam.
, Oleh: Ustaz Yusuf Mansur
sumber : www.republika.co.id

Akhlak dan Kesalehan Sosial

Salah satu tujuan dari penciptaan jin dan manusia adalah hanya untuk menyembah Allah ( “Wama Kholaqtu- lJinna walInsa Illa liya’budun”) dan tujuan diturunkannya Alquran dan Rasulullah adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. (“Innama bu’itstu liutammima makarimal Akhlaq”) Dan tidak lupa bahwa agama Islam sangat menjunjung tinggi urgensi akhlaqul karimah dalam rotasi kehidupan dunia, implikasinya adalah amar ma’ruf dan nahi munkar.

Sesungguhnya akhlak bertalian dengan adab, etika, sopan santun, rasa hormat, ketaatan. Akhlak adalah harta yang sangat berharga dalam pertalian norma - norma kehidupan manusia. Akhlak identik dengan rel–rel panjang yang tidak dapat pisah dengan realita problematika kehidupan, bukanlah sebuah rel panjang yang menjadi benalu dalam hati akan tetapi dengan tanpa adanya akhlak maka dunia secara luas akan menjadi tanpa kata dan nilai.

Agama secara universal menitik beratkan tanggung jawab, pribadi dan sosial. Setiap individu bertanggung jawab akan dirinya dan juga bertanggung jawab akan sekelilingnya (masyarakatnya) karena manusialah yang hidup dalam lingkup komunitas yang beragam. Dengan demikian memberikan kesan bahwa setiap individu mempunyai tanggung jawab untuk membawa akibat adanya tanggung jawab sosial. Pernyataan ini tidak akan lepas dari pernyataan kitab Suci Alquran yang mengatakan bahwa kata iman ( amanu) merupakan komponen pribadi yang selalu ikut dengan kalimat amal sholeh( aamilus-sholihat) mengandung tindakan kemasyarakatan.

Dalam sebuah hadis riwayat Muslim Nabi Muhammad bersabada “ Yang paling sempurna iman orang mukmin adalah yang paling baik akhlaknya.” Jadi iman menjadi pribadi utuh nan sempurna tatkala manusia selalu memperhatikan akhlaknya atau selalu menjaga dan memperbaiki akhlaknya, karena dengan begitu dapat dipertanggungjawabkan di depan masyarakat luas.

Belakangan ini kita menilai bahwa fenomena itulah yang menjawab sendiri perkembangan masyarakat, fenomena yang secara sepihak tidak dimimpikan dan diinginkan akan tetapi telah merajalela dan menjadi adat tradisi dunia, khususnya degradasi akhlak dari pihak pelajar atau pemuda. Kemanakah hilangnya gairah akhlak para pemuda masa kini, apakah implikasi dari ketidak sempurnanya total quality control orang tua ataukah hilangnya komunitas akhlaqi yang sebelumnya digandrungi oleh para Sahabat dan Rasulullah sendiri.

Padahal logikanya telah banyak perkembangan dari sana sini, sehingga nampak cerah dunia melepaskan sayapnya diatas awan bumi Negara ini. Karena itu, barangkali kita perlu merenungkan kembali pembinaan keberagaman kita lebih maksimal dan substansial.

Ironisnya  yang terjadi adalah hilangnya gairah memahami agama yang memberikan gairah positif dalam pembentukan sifat amar ma’ruf nahi mungkar dan akhlaqul karimah. Dan sudah saatnya aura akhlaqul karimah inilah yang membentukan moral manusia mulai dari diri sendiri berimplikasi kepada masyarakat sosial yang berakhlak karimah secara qurani. Amin ya rabbal Alamiin.
, Oleh Ahmad Mahfudzi Mafrudlo

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, August 13, 2013

Empat Kiat Agar Dicintai Allah SWT

Kata ‘cinta’ hampir bisa ditulis dan di ucapkan oleh seluruh manusia, tanpa kecuali. Itulah keajaiban dan kedahsyatan cinta. Namun, yang paling penting adalah bagaimana cinta yang sejati dan sesungguhnya dapat kita miliki?

Tentunya, cinta yang dimaksud adalah kasih sayang Allah ‘azza wajalla yang diraih melalui multikreativitas atau amal nyata hamba- Nya.

Imam Ibn Al-Qoyyim Rahimahullâh, dalam Kitab al-Irsyâd ilâ shahîh al-i’- tiqâd wa al-radd ‘alâ ahl alsyirk wa al-ilhâd: Bimbingan kepada keyakinan yang benar dan menolak pelaku syirik dan pembangkang, halaman 63, mengungkap sejumlah syarat yang sejatinya kita miliki agar Allah mencintai kita.

Pertama, membaca Alquran, mentadabburi dan memahami makna yang terkandung di dalamnya serta maksud dari yang dibaca. Salah satu contohnya, seorang pemimpin pada semua tingkat dan waktu, sejatinya bertanggung jawab atas jabatan yang diamanahkan kepadanya.

Dia juga tidak membebani masyarakat, tidak membiarkan kejahatan terus berkembang, tidak menjualbelikan atau menggadaikan masyarakat dhuafahanya karena untuk mendapatkan subsidi padahal hanya tipu muslihat, dan sejenisnya.

Jangan sampai masyarakat jelata, dibebani utang dan keharusan membayarnya. Padahal, yang menyebabkan negara banyak utang dan kolapnya perekonomian bangsa karena ulah para penguasa yang hakikatnya tidak bertauhid kepada Allah ‘azza wajalla. Dan penjahat yang rakus dan tidak menyadari atas tindakan kejahatannya ser ta para hakim yang sa lah dalam memutus perkara.

Kedua, mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla dengan cara melaksanakan yang nawâfil selain yang mesti dilakukan alias yang fardhu.

Ketiga, meninggalkan semua jenis kesibukan yang dapat memisahkan keterikatan hati dengan Allah ‘azza wajalla. Kesibukan yang dimaksud adalah kemaksiatan lisan, hati, dan tindakan.

Kemaksiatan lisan di antaranya berbohong. Seperti korupsi, tapi mengaku tidak korupsi; melakukan kejahatan birokrasi, mengaku tidak melakukannya dan lainnya.

Kemaksiatan hati di antaranya, “mengucapkan bahwa Allah Maha Besar, padahal hatinya mengakui bahwa berlaku curang yang maha besar”. Kemaksiatan kinerja atau amalnya di antaranya, “seharusnya melindungi, me ngayomi, dan memberdayakan fakir miskin dan masyarakat yang terlantar, kenyataannya menyejahterakan masyarakat kuat”.

Keempat, agar ketiga syarat tersebut dapat terpenuhi, maka kita dituntut selalu mengingat Allah ‘azza wajalla dengan cara mentaati petunjuk-petunjuk Nya dan menebar cinta Allah ‘azza wajalla yang dianugerahkan kepada kita, sehingga dinikmati sesama makhluk lainnya.

Selain itu, mengambil pesan moral dari setiap nama Allah ‘azza wajalla, bercengkeraman dengan Allah ‘azza wajalladi waktu Nuzul-Nya yakni pada sepertiga malam terakhir dengan cara membaca Alquran yang diiringi permohonan ampun dan bertaubat dari segala nista dan nestapa, dan yang terakhir senang bergaul dengan ahli kebaikan dan perdamaian atas dasar cintanya kepada Allah ‘azza wajalla.

Semoga Allah ‘azza wajalla menjadikan kita makhluk yang berpredikat sebagai hamba yang taat kepada-Nya dengan meng ikuti uswah hasanah Rasulullah SAW. Baik kita sebagai petani, jurnalis, karyawan, pengusaha, seniman, budayawan, pendidik, terdidik, masyarakat jelata, maupun sebagai penguasa, âmîn.

Hasbunallôohu Wani’mal Wakîl. Walillâhil Hamd. Sampaikan!


*Penyuluh Agama Islam Kemenag Kantor Kota Bandung
Oleh Badrudin MAg*

sumber : www.republika.co.id

Monday, August 12, 2013

Mulia Dalam Kejujuran

“Aku bukan Malaikat,” kata si Fulan penuh nada yakin. Memang, siapa bilang engkau mahkluk Allah yang sangat patuh dan bersih dari dosa? Kita manusia biasa. Sejauh tak ada percikan niat ingin menjadi pendosa dan bersahabat dengan syaitan, mengapa mesti galau?

Manusia, siapa pun dia bisa salah dan khilaf. Manusia menjadi manusiawi karena dalam dirinya ada ruang untuk keliru.

Adam sang khalifah fil-ardh dan istrinya Hawa mengalami tahbith, dikeluarkan dari surga karena memakan buah khuldi. Keduanya menjalani hidup di dunia sebagai manusia biasa. Adam alaihissalam (AS) kemudian diberi tugas mulia sebagai nabi penyebar risalah pertama di muka bumi.

Masalahnya, tidak sedikit manusia berpakaian angkuh ketika salah. Alih-alih jujur akan kekhilafan, lalu memperbaiki diri ke jalan benar dan berlari kencang menuju ampunan Tuhan malah sibuk mencari kambing hitam. Diri seolah tetap bersih dan tak merasa berada di persimpangan jalan buntu.

Isyarat tubuh pun masih tampak pongah dalam keperkasaan semu. Jauh dari sikap tawadhu' (rendah hati). Ketika salah dan berbelok arah dari idealisme awal, masih pula merasa lurus.

Tak ada rona sesal untuk bermuhasabah diri. Keangkuhan itulah yang menjadikan anak cucu Adam tersandera dalam sangkar besi kesalahan, lalu menjadi cibiran nyinyir khalayak publik.

Menjauhi kicuh
Muslim yang autentik berani jujur meski ketika salah. Ibda bi-nafsika, orang jujur akan selalu berkonsultasi kepada hatinya. Pihak lain akan mudah dikelabui dengan 1.001 cara. Tetapi manakala diri salah maka nurani tak pernah dusta.

Kejujuran itu mahal. Kejujuran merupakan mutiara paling berharga yang membuat siapa pun dihargai dan dipercaya. Tuhan mencintai orang-orang yang berhati jujur, berkata dan berbuat jujur.

Muhammad di usia muda sebelum diangkat menjadi Nabi memperoleh tempat mulia di hati bangsa Arab karena kejujurannya. Dia bahkan digelari al-Amin, sang terpercaya. Bangsa kafir dan jahiliyah sekalipun masih menjujung tinggi nilai kejujuran.

Kejujuran itu universal. Di belahan dunia manapun sejauh hati masih bicara, pasti mencintai kejujuran. Pesepak bola ternama dari negeri Samba, Neymar, juga mencintai kejujuran.

“Saya orang Brasil dan saya mencintai negara saya. Saya ingin Brasil yang lebih aman, lebih sehat, dan lebih jujur,” tulis Neymar di akun Facebook-nya ketika mereaksi maraknya demonstrasi di negerinya beberapa saat sebelum kick off pertandingan Piala Konfederasi 2013 melawan Meksiko.

Bagi orang Islam kejujuran harus menjadi bagian utuh dari kemusliman. Kisah Imam Al-Bukhari tatkala melacak kebenaran sebuah hadis sungguh penting dijadikan mutiara kehidupan.

Suatu kali periwayat hadis ternama itu pergi menelusuri kebenaran sebuah hadis dari seseorang. Ia melihat orang yang dicari itu sedang mengejar kudanya yang terlepas. Untuk menangkap kudanya, orang itu menunjukkan bungkusan seolah di dalamnya ada gandum. Kuda terkecoh dan akhirnya ditangkap kembali.

Al-Bukhari mendekat dan bertanya kepada si pemilik kuda. “Apakah engkau sertakan gandum dalam bungkusan itu?” Orang itu menjawab, “Tidak, aku hanya mengelabui kudaku agar mudah kutangkap.”

Imam Bukhari dengan tegas berkata, “Kalau begitu, aku tidak akan mencari hadis dari orang yang bohong terhadap hewan.” Dusta dan bersiasat kepada hewan saja tercela, apalagi terhadap sesama manusia.

Kisah Al-Bukhari menurut Jabir al-Jazairi merupakan contoh agung tentang hakikat kejujuran atau kebenaran. Kejujuran merupakan nilai, sikap, dan tindakan paling utama, lebih dari segalanya. Hidup jujur itu mulia, sedangkan dusta itu hina.

Lawan jujur ialah kicuh, yakni dusta dan suka mengelabui. Dalam hadis disebut nifaq. Yakni, jika bicara atau memberi pernyataan berbohong, manakala berjanji tidak ditepati, dan bila diberi amanat berhianat.

Barang halal dan baik dicampuradukkan dengan yang haram dan subhat. Lain di kata, lain pula tindakan. Jargon dan tindakan lahir tampak indah demi rakyat, tetapi motif dan tujuan penuh siasat bulus. Kicuh perilaku yang antagonis seperti itulah musuh kejujuran dan kebenaran sekaligus perangai yang paling dibenci Tuhan. (QS ash-Shaff [61]: 4).

Kehormatan diri
Perilaku kicuh sering membuat pelaku bebal diri. Bertipu muslihat dianggap lumrah dan bukan dosa. Boleh jadi perbuatan muslihat bagi sementara orang dipandang sebagai cara hidup demi meraih tujuan.

Dusta menjadi perilaku berjamaah yang didukung para pengikut setia. Ukuran moral dinisbikan demi siasat, yang penting nilai guna dan kemenangan. Hati nan jernih (qalbu salim) akhirnya menjadi mati rasa. Agama pun tak sungkan dijadikan alat mengicuh dalam aroma sakral.

Insan beriman pun bisa roboh ketangguhan akidahnya. Keimanan hanya gemerlap dari luar, tetapi kering di dalam karena tingginya hasrat menguasai dunia melampaui takaran.

Tatkala perjuangan hidup masih merayap senyap, kejujuran dan nilai-nilai luhur masih dapat dirawat dengan baik. Setelah roda kehidupan berputar ke atas, api kejujuran dan sikap hidup utama pun luruh dan terkikis habis karena tertipu dengan pesona dunia. (QS Ali Imran [3]: 14).

Kejujuran digadaikan. Idealisme ditukar murah dengan kursi, materi, dan kesenangan indera yang diraih dengan jalan pintas. Perangai berubah drastis dari sosok-sosok yang tulus hati dan tawadhu' yang menjadi para pencari pamrih dalam pakaian diri serba angkuh, pemarah, ambisius, dan terjangkiti virus apologia.

Begitulah ketika pesona dan kejayaan duniawi mengerangkeng hidup bani Adam. Dalam sangkar besi kehidupan dunia yang sarat gemerlap tidak sedikit manusia beriman akhirnya jatuh dalam kubangan kesalahan diri dan kolektif. Maksud meraih sukses dunia melampaui pihak lain, segala cara syubhat dan haram pun dilakukan.

Nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan kepatutan diterabas tanpa rasa sungkan. Martabat atau kehormatan diri pun dibanting harga hingga ke titik terendah, yang penting menang dalam meraih tujuan.

Kaum beriman pun kehilangan kehormatan diri demi kejayaan hidup berlebih. Mata batinnya lumpuh dan tidak lagi sensitif akan nilai-nilai kebajikan yang utama. Nasihat sekaligus kritik orang tak lagi mempan, bahkan bebal ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu.

Kian larut dalam permainan duniawi, semakin jauh dirinya dari segala sesuatu yang bernilai hakiki, yang ada hasrat dan keasyikan mengejar kedigdayaan. Akhirnya, berlakulah titah Tuhan, tsuma radadnahu asfala safilin, “Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya” (QS at-Tin [95]: 5).

Iman dan ilmu tinggi tidak lagi menjadi energi pencerahan hidup. Keberimanan pun berhenti sekadar menjadi aksesori keagamaan yang kelihatan bening dari luar, tetapi jorok di dalam. “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dia-lah yang paling mengetahui tentang perangai orang bertaqwa.”(QS an-Najm [53]: 32).
Oleh Haedar Nashir

sumber : www.republika.co.id

Sunday, August 11, 2013

Puasa dan Musafir

Dalam sebuah kesempatan, Pak Enang, sopir yang biasa mengantar kami keluar kota bercerita tentang seorang ustaz yang tidak berpuasa Ramadhan dalam perjalanan. Menurut Pak Enang, perjalanan itu cukup ringan, yakni Bandung-Jakarta.

Ia berpendapat, rukhshah (keringanan) berpuasa itu ada dikarenakan pada masa lalu di zaman Rasulullah SAW, safar (perjalanan) itu cenderung berat dan menyulitkan. Karena merasa kuat, Pak Enang tetap berpuasa dan sang ustaz berbuka.

Safar berarti menempuh perjalanan. Secara syariat, safar berarti meninggalkan tempat bermukim dengan niat menempuh perjalanan menuju suatu tempat.  Kata safar diambil dari bahasa Arab yang berarti tampak.

Disebut demikian karena ia menampakkan wajah asli dan akhlak seorang musafir. Seseorang yang bepergian dinamakan musafir. Musafir dikenali dari wajahnya, pakaiannya, dan bekalnya. Dan bepergian juga menyebabkannya dikenal banyak orang.

Ada banyak pendapat ulama dalam menentukan batas-batas safar. Namun, keumuman mengambil batas jarak safar seperti pendapat Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan minimal berjarak empat burud atau 16 farsakh atau setara dengan 89 km atau tepatnya 88,704. (Kitab al-Fiqhul Islami, karya Dr Wahbah al-Zuhaili).

Namun, ada juga yang berpendapat, jaraknya sekitar tiga mil atau perjalanan tiga hari dengan unta. Namun, ketika tidak ada pembatasan jarak safar dalam syariat (nash), maka pembatasan safar kembali kepada 'urf (kebiasaan masyarakat).

Ibnu Qudamah dan yang lain berpendapat, batasan safar kembali pada 'urf. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya al-'Allamah Ibnul Qayyim. (Al-Mughni, 2/542-543, Al-Majmu', 4/150, Majmu' Al-Fatawa, 24/21).

Sedangkan rukhshah bermakna keringanan, kemudahan. Diperbolehkan bagi musafir untuk tidak berpuasa dalam keadaan safar. Sebagian sahabat pada masa Rasulullah SAW berpuasa dan sebagian lagi berbuka dan kedua golongan itu tidak menyimpang dari ajaran Nabi SAW.

Hamzah Aslami bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, aku merasa kuat untuk berpuasa dalam perjalanan. Salahkah aku apabila melakukannya?” Rasulullah SAW bersabda, “Itu adalah keringanan dari Allah Ta'ala. Barang siapa yang menerimanya, itu adalah baik, dan siapa yang masih berpuasa, maka tidak ada salahnya.” (HR Muslim, Fiqh Sunnah, karya Sayyid Sabiq). Lihat juga al-Baqarah [2]: 184.

Jika dalam keadaan safar, mana yang lebih utama, puasa atau berbuka? Para fuqaha berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah, Syafi'i, dan Malik berpendapat puasa lebih utama bagi yang kuat melakukannya. Sedangkan berbuka lebih utama bagi orang yang tidak kuat berpuasa.

Menurut Imam Ahmad, berbuka lebih afdhol. Sedangkan Umar bin Abdul Aziz berkata, “Yang lebih afdhol adalah yang lebih mudah. Maka, orang yang lebih mudah baginya berpuasa ketika itu dan sulit baginya akan meng-qadha kemudian hari, maka lebih utama ia berpuasa.”

Pak Enang bercerita, dalam perjalanan itu sang ustaz kesulitan mencari restoran untuk berbuka. Hal ini dikarenakan tak ada pengelola restoran yang buka selama Ramadhan. Sang ustaz terpaksa turut menahan haus dan lapar.
, Oleh: Ustaz Erick Yusuf

sumber : www.republika.co.id

Saturday, August 10, 2013

Keutamaan Membaca Alquran

Tidak ada bacaan yang lebih hebat di sisi Allah, Malaikat, dan Rasul-Nya selain Alquran. Karena itu, marilah memperbanyak membaca Alquran, meresapi setiap maknanya, kemudian dihafalkan dan selanjutnya diamalkan. Dengan begitu, kita akan menjadi manusia yang paling beruntung.

Rasulullah SAW menganggap Alquran itu sebagai al-Muta'abbadu bi tilawatihi (hal yang dianggap beribadah bila membacanya). Sayang, meski membacanya dianggap sebagai sebuah bentuk ibadah, kita masih sering membaca yang lain ketimbang Alquran.

Bahkan, banyak kaum Muslimin yang bangga telah membaca buku karangan tokoh tertentu. Mereka merasa pandai dan bertambah luas wawasannya setelah menamatkan buku itu. Mereka juga tak merasa berat untuk membeli beragam judul buku atau majalah. Semuanya dibaca tanpa ada yang terlewatkan.

Tapi, jarang sekali mereka mau menyentuh dan membaca Alquran yang jelas mendatang pahala dan rahmat dari Allah. Malah mereka membiarkan Alquran teronggok di lemari atau di rak buku. Lusuh dan berdebu yang menunjukkan bahwa ia jarang dijamah, apalagi dibaca. Andai saja, mereka tahu apa yang dijanjikan Rasulullah SAW tentang pahala membaca Alquran, niscaya mereka tidak akan menyia-nyiakannya.

Dari Abdullah Ibnu Mas'ud RA, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa membaca satu huruf dari kitabullah, maka baginya kebaikan dengan satu huruf itu, dan satu kebaikan akan dilipatgandakan 10 kali lipat. Aku tidak mengatakan bahwa, “Alif, lam, mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR at-Tirmidzi, dia mengatakan, “Hadis hasan shahih.)”

Subhanallah. Satu huruf Alquran akan berbuah 10 pahala. Maka, jika kita membaca alif, lam, mim, maka kita akan mendapatkan 30 pahala di sisi Allah. Lalu, berapa huruf dalam basmalah, surah al-Fatihah, dan seluruh Alquran?

Karena itu, marilah bersama-sama kita memperbanyak membaca Alquran dan mengamalkannya. Mari kita atur jadwal rutin membaca Alquran setiap hari. Upayakan tak ada satu hari pun yang terlewatkan tanpa membaca Alquran.

Jangan khawatir bagi yang belum lancar atau masih terbata-bata dalam membaca Alquran. Sebab, Allah akan menganugerahkan pahala bagi yang mau berusaha membaca Alquran. Jangan takut dibilang terlambat belajar Alquran walau usia sudah mencapai 50 tahun atau lebih. Sebab, Allah tetap akan memberikan kemudahan bagi siapa saja yang mau belajar dan mengambil pelajaran dari Alquran. (Lihat QS al-Qamar [54]: 17, 22, 32, 40).

Berbahagialah, karena masih diberi kesempatan belajar Alquran. Dan itu jauh lebih baik daripada tidak mau mempergunakan usia yang ada untuk belajar Alquran. Rasul SAW bersabda, “Orang yang mahir membaca Alquran, nanti akan berkumpul bersama-sama para malaikat yang mulia lagi taat. Dan orang yang terbata-bata ketika membaca Alquran dan  terasa berat baginya, ia akan mendapatkan dua pahala.” (HR Bukhari dan Muslim).
,Oleh Ustaz Bobby Herwibowo

sumber : www.republika.co.id