-

Wednesday, August 28, 2013

Didikan Ayah

Malam itu, sambil bersilaturahim Lebaran, teman saya dengan bersemangat bercerita tentang masa kecil dan remaja di kampung halamannya. Yang paling dia kenang adalah betapa kerasnya sang ayah mendidiknya membaca Alquran.

Pada mulanya dia belajar membaca Alquran di mushala, tetapi setelah beberapa bulan tidak ada kemajuan yang berarti ayahnya memutuskan untuk mengajarnya sendiri.

"Kelas tiga sekolah dasar saya sudah khatam Alquran tiga kali," kata teman saya mengenang. Terlihat dari wajahnya ada sedikit kebanggaan menyampaikan itu. "Dan setiap kali membaca Alquran selalu menangis," sambungnya.

Masya Allah, gumam saya dalam hati. Saya kagum, kecil-kecil sudah menitikkan air mata tatkala membaca ayat-ayat suci yang memang sangat indah itu.

Kita saja orang dewasa tidak mudah untuk menitikkan air mata ketika membaca firman Allah tersebut. Saya tidak tanya mengapa dia bisa menangis, apakah dia sudah bisa menghayati apa yang dibaca.

Seperti mengerti apa yang saya pikirkan, teman saya melanjutkan, "Setiap membaca Alquran, hampir dipastikan empu jari dan telunjuk ayah pasti mendarat di paha. Salah sedikit saja makhraj, apalagi tajwidnya, empu dan telunjuk jari ayah langsung beraksi. Paha saya dipilin tanpa ampun."

Walaupun sudah berlalu hampir setengah abad yang lalu, sepertinya teman saya itu masih merasakan sakitnya dipilin pahanya oleh sang ayah. Tetapi, dia mengenang rasa sakit itu bukan dengan dendam atau paling kurang sesal, tetapi justru dengan rasa syukur yang tinggi.

Setelah meneguk sedikit air mineral yang disuguhkan, teman saya melanjutkan kenangannya. "Saya sungguh beruntung dididik membaca Alquran dengan keras oleh ayah. Mulai dari mengeja alif- ba- ta sampai seni membaca Alquran."
Setelah berhenti sejenak dia melanjutkan kembali ungkapan syukurnya. "Saya tidak pernah membayangkan, kemampuan membaca Alquran itulah yang menolong saya bertahan hidup di Yogya dan dapat menyelesaikan kuliah dengan biaya sendiri."

Ayahnya hanya seorang petani desa yang harus membanting tulang untuk menghidup istri dan anak-anaknya. Ditinjau dari segi ekonomi, sebenarnya sang ayah tidak sanggup membiayai anaknya kuliah sampai ke Pulau Jawa.

Tetapi, karena anaknya punya tekad yang sangat kuat, akhirnya dia izinkan. Teman saya hanya perlu restu dan ongkos untuk sampai Yogya.

Teman saya bertekad akan mencoba hidup mandiri di kota pelajar itu. Bagaimana caranya? Dia juga tidak tahu. Yang penting bismillah, tawakkal 'alallah.

Belum sampai seminggu di Yogya, dia menghadiri sebuah pengajian. Seperti biasa, sebelum pengajian inti dimulai, dibacakan dulu ayat-ayat suci Alquran.

Sayangnya qari' yang direncanakan belum juga datang.  Seorang bapak memintanya menggantikan membaca Alquran. Dengan segala senang hati dia penuhi permintaan mulia itu.

Setelah selesai pengajian, bapak tadi menghampirinya dan memperkenalkan diri. Ternyata dia seorang kepala sekolah dasar. Di luar dugaan, bapak itu memintanya mengajar membaca Alquran kepada murid-murid kelas lima dan enam.

Dari honor mengajar Alquran itu kemudian dia dapat menghidupi dirinya sehari-hari. Dari mengajar di sekolah itu juga, dia diminta oleh orang tua murid untuk mengajar anaknya privat di rumah.

Melalui wali murid itu, dia diminta lagi mengajar anak yang lain. Dia dapat lagi pendapatan yang lumayan. Begitulah enam bulan setelah berada di Yogya dia mendaftar kuliah dan membiayai kuliahnya dengan honor mengajar Alquran.

Itulah yang sangat dia syukuri. Kemampuan membaca Alquran telah memberikan berkah kepadanya. Dia yakin, waktu itu tentu ayahnya sama sekali tidak mengharapkan anaknya mampu menghidupi diri sendiri dengan membaca  Alquran.
Yang ada dalam pikiran ayahnya cuma satu, sebagai orang tua, dia wajib mendidik anaknya agar bisa membaca kitab suci yang diimani dan dimuliakannya dengan sepenuh hati.
, Oleh: Yunahar Ilyas
sumber : www.republika.co.id

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment