-

Sunday, August 11, 2013

Puasa dan Musafir

Dalam sebuah kesempatan, Pak Enang, sopir yang biasa mengantar kami keluar kota bercerita tentang seorang ustaz yang tidak berpuasa Ramadhan dalam perjalanan. Menurut Pak Enang, perjalanan itu cukup ringan, yakni Bandung-Jakarta.

Ia berpendapat, rukhshah (keringanan) berpuasa itu ada dikarenakan pada masa lalu di zaman Rasulullah SAW, safar (perjalanan) itu cenderung berat dan menyulitkan. Karena merasa kuat, Pak Enang tetap berpuasa dan sang ustaz berbuka.

Safar berarti menempuh perjalanan. Secara syariat, safar berarti meninggalkan tempat bermukim dengan niat menempuh perjalanan menuju suatu tempat.  Kata safar diambil dari bahasa Arab yang berarti tampak.

Disebut demikian karena ia menampakkan wajah asli dan akhlak seorang musafir. Seseorang yang bepergian dinamakan musafir. Musafir dikenali dari wajahnya, pakaiannya, dan bekalnya. Dan bepergian juga menyebabkannya dikenal banyak orang.

Ada banyak pendapat ulama dalam menentukan batas-batas safar. Namun, keumuman mengambil batas jarak safar seperti pendapat Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan minimal berjarak empat burud atau 16 farsakh atau setara dengan 89 km atau tepatnya 88,704. (Kitab al-Fiqhul Islami, karya Dr Wahbah al-Zuhaili).

Namun, ada juga yang berpendapat, jaraknya sekitar tiga mil atau perjalanan tiga hari dengan unta. Namun, ketika tidak ada pembatasan jarak safar dalam syariat (nash), maka pembatasan safar kembali kepada 'urf (kebiasaan masyarakat).

Ibnu Qudamah dan yang lain berpendapat, batasan safar kembali pada 'urf. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya al-'Allamah Ibnul Qayyim. (Al-Mughni, 2/542-543, Al-Majmu', 4/150, Majmu' Al-Fatawa, 24/21).

Sedangkan rukhshah bermakna keringanan, kemudahan. Diperbolehkan bagi musafir untuk tidak berpuasa dalam keadaan safar. Sebagian sahabat pada masa Rasulullah SAW berpuasa dan sebagian lagi berbuka dan kedua golongan itu tidak menyimpang dari ajaran Nabi SAW.

Hamzah Aslami bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, aku merasa kuat untuk berpuasa dalam perjalanan. Salahkah aku apabila melakukannya?” Rasulullah SAW bersabda, “Itu adalah keringanan dari Allah Ta'ala. Barang siapa yang menerimanya, itu adalah baik, dan siapa yang masih berpuasa, maka tidak ada salahnya.” (HR Muslim, Fiqh Sunnah, karya Sayyid Sabiq). Lihat juga al-Baqarah [2]: 184.

Jika dalam keadaan safar, mana yang lebih utama, puasa atau berbuka? Para fuqaha berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah, Syafi'i, dan Malik berpendapat puasa lebih utama bagi yang kuat melakukannya. Sedangkan berbuka lebih utama bagi orang yang tidak kuat berpuasa.

Menurut Imam Ahmad, berbuka lebih afdhol. Sedangkan Umar bin Abdul Aziz berkata, “Yang lebih afdhol adalah yang lebih mudah. Maka, orang yang lebih mudah baginya berpuasa ketika itu dan sulit baginya akan meng-qadha kemudian hari, maka lebih utama ia berpuasa.”

Pak Enang bercerita, dalam perjalanan itu sang ustaz kesulitan mencari restoran untuk berbuka. Hal ini dikarenakan tak ada pengelola restoran yang buka selama Ramadhan. Sang ustaz terpaksa turut menahan haus dan lapar.
, Oleh: Ustaz Erick Yusuf

sumber : www.republika.co.id

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment