-

Monday, October 28, 2013

Haji Sarat Hikmah

Pada tahun ini seperti tahun-tahun sebelumnya, sekitar 200.000 saudara-saudara sebangsa se-Tanah Air meninggalkan Tanah Air untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima, Ibadah Haji.

Ibadah Haji satu-satunya ibadah yang terpaksa harus dibatasi jumlah pesertanya. Pembatasan ini disebabkan ibadah haji tidak hanya ketat waktu tapi juga ketat tempat.

Perluasan tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji dapat melahirkan masalah, karena tempatnya sudah ditetapkan oleh Nabi SAW.

Ibadah haji senantisa memberikan kesan-kesan spiritual yang sering sulit dilupakan. Orang yang pulang ibadah Haji sering menjadi ketagihan ingin kembali ke tanah suci.

Hampir tidak pernah terjadi orang kapok melaksanakan haji. Sesuatu yang menjadi daya tarik dari ibadah haji itu ialah ni’mat ibadah dan do’a ketika haji hampir senantisa dikabulkan.

Tentang ni’mat ibadah hampir setiap orang yang melaksanakan haji mendapatkan kepuasan spiritual ketika thawaf, ketika shalat di Maqam Ibrahim, di Hijir Ismail, di Raudlah dan terutama ketika Wukuf di ‘Arafah.

Apa yang dinyatakan Rasulullah SAW ketika menjelaskan tentang ihsan yaitu ''Sembahlah olehmu Allah seolah-olah kamu melihat Allah'', sangat terasa ketika ibadah Haji.

Ketika berzikir, berdo’a, beristigfar di tempat-tempat tertentu, air mata mengalir, terasa begitu dekat dengan Allah. Selama di Makkah, jamaah menikmati shalat jamaah di Masjdil Haram, mereka menikmati zikir, bertasbih, bertahmid, beristigfar.

Selama beberapa hari di kota Makkah ada yang sempat thawaf lebih dari 50 kali, berangkat ke masjid dua jam sebelum waktu shalat fardlu, selama ibadah haji ada yang mampu menamatkan baca Al Qur’an sebanyak lebih dari lima kali.

Tentang do’a, tidak sedikit jamaah haji yang berhasil mendapatkan apa yang sebelumnya sulit mereka dapatkan. Ada yang sakitnya sembuh, ada yang berhasil mendapatkan jodoh, mendapatkan keturunan, dan lain-lain.

Ibadah Haji sarat dengan latihan dan tantangan yang ujungnya kenikmatan. Proses ibadah Haji sarat dengan latihan kesabaran, keuletan, ketekunan dan kepasrahan juga kebersamaan yang selalu mengesankan.

Dengan pakaian ihram yang putih tak berjahit melambangkan kesederhanaan, kesamaan dan kesucian. Juga menanggalkan identitas-identitas kebangsaan, kebesaran dan identitas-identitas eklusif lainnya.

Ketika berihram, tidak boleh mencabut tumbuh-tumbuhan, tidak boleh membunuh hewan buruan. Mereka yang berihram dilatih untuk mencintai lingkungan, mendidik seorang untuk menjadi rahmat, kasih sayang kepada fauna dan flora sebagai wujud rahmatan lil’alamin.

Kalimat talbiyah yang mesti diulang-ulang memantapkan tekad dan karakter unggul. ''Kami datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, puji hanya milik-Mu, kenimatan sepenuhnya anugrah dari-Mu, kekuasaan juga adalah milik-Mu''.

Kehadiran jamaah Haji sekitar tiga juta manusia yang datang dari berbagai negara, bangsa dan suku dengan ibadah yang sama, pakaian yang sama semacam mu’tamar besar Umat Islam sedunia. Silaturrahim besar berbagai bangsa.

Orang yang beribadah haji disebut Duyufurrahman (tamu-tamu Allah) berkunjung ke rumah Allah; Sebagai tamu Allah maka yang menerimanya adalah Allah, shahibulbaitnya adalah Allah, hidangannnya dari Allah, jamuannya anugerah dari Allah berupa rahmat Allah, barokah Allah dan magfirah dari Allah.

Proses ibadah Haji semacam perjalanan hidup yang dipadatkan. Dalam perjalanan hidup, seseorang akan memperoleh hasil panen tergantung apa yang ia tanam. Kalau ia menanam kebaikan ia ada harapan panen kebaikan.

Sebaliknya seseorang yang banyak menanam kejelekan, ia akan mendapat panen kejahatan. Dalam prosesi ibadah Haji panen kebaikan atau kejelekan itu ukurannya bukan bulan dan bukan tahun tapi jam dan menit.
Tawaf melambangkan perjuangan dengan berbagai cara. Singkat, cepat, penuh tantangan atau lambat, lama, tapi minim tantangan. Semuanya harus terkait dengan tauhid yang dilambangkan dengan Ka'bah.
Sa'i melambangkan perjuangan keras yang harus ditempuh seseorang untuk memperoleh anugerah Allah yang dilambangkan dengan air zamzam.
Melempar jumrah melambangkan usaha yang sungguh-sungguh melemparkan karakter-karakter yang tidak baik yang ada pada tujuh anggota badan.
Dan, puncak ibadah haji, yaitu wukuf di Arafah, semacam drama kolosal. Refleksi peristiwa kemanusiaan, semacam gladi resik Mahsyar. Di dalamnya adalah pengakuan dan pertobatan.
Haji mabrur pahalanya surga.  Ada dosa-dosa yang tidak termaafkan kecuali dengan wukuf di Arafah. Wallahu 'alam.
, Oleh: Prof Dr Miftah Faridl

sumber : www.republika.co.id

Sunday, October 27, 2013

Kearifan Rumah Tangga

Kalimah dalam QS Ar Rum 21 “an kholaqo lakum min anfusikum” menegaskan bahwa meskipun jenis berbeda namun asal semua adalah sama yaitu “dari dirimu sendiri”. Ini artinya bahwa ada titik temu. Memang tak bisa dipungkiri istri maupun suami memiliki latar belakang, pendidikan, watak, ataupun pengalaman yang berbeda satu sama lain.

Bagi mereka yang tidak berangkat dari “ayat” maka perbedaan-perbedaan tersebut menjadi potensi eksplosif yang akan saling mendestruksi. Sebaliknya “ayat” mengingatkan bahwa ditengah perbedaan yang banyak maka persamaan itu tetap ada. Keadaan ini merupakan fondasi utama. Ketika merasa ada yang tak disukai dari pasangan, maka ingatlah apa apa yang disukai dari pasangan kita tersebut.  Sewaktu keputusan diambil untuk siap menikah dengannya, maka saat itu telah ada komitmen berupa kecintaan dan kesukaan.

Terjadinya perceraian sering disebabkan perbesaran sudut deviasi perbedaan, dramatisasi, dan egoisme. Bahasa yang  mengemuka adalah “ketidakcocokkan” padahal sebenarnya bukan faktor perbedaan, melainkan tidak mau dan tak mampunya menemukan persamaan-persamaan yang ada, tidak membangun nostalgia cinta kasih, dan terjebak pada hal hal yang semata pragmatis. Padahal dulu sewaktu menikah, idealisme begitu kuat untuk mengikatkan tali kebersamaan dalam berumahtangga. Bahasanya sehidup semati, katanya. 

Berumah tangga harus pandai-pandai membaca peristiwa. Bila diberi kesenangan berupa rezeki yang banyak maka itu harus direspons sebagai ujian.Begitu juga bila ditimpa mushibah atau keadaan yang sulit, maka disikapi dengan sabar dengan selalu mencari hikmah-hikmah yang dikandungnya. Dengan demikian akan ada “kearifan rumahtangga”.  Hal ini tentu sangat berguna untuk  membangun harmoni dan relaksasi.

Ada tiga hal penting dalam  membangun kearifan rumah tangga, yaitu:
Pertama, menggenggam Alquran.  Alquran merupakan “bacaan harian” yang tetap menjadi pedoman dan panduan. Ayat-ayat-Nya adalah penenang dari hiruk pikuk kebutuhan hidup yang tak pernah habis, penyejuk dari panasnya hawa persaingan ekonomi dan sosial yang dapat mengguncang perkawinan, obat dari penyakit-penyakit hati, serta pendorong untuk meningkatkan kualitas ibadah dan amaliah.

Alquran adalah tempat kembali pasangan suami istri yang renggang silaturahmi, penguat mereka yang frustrasi, serta pengendali dari segala emosi, ambisi, dan watak menuhankan harga diri. Alquran adalah hidayah bagi orang-orang yang bertakwa “hudan lil muttaqien”.

Jauh dari Alquran akan menyebabkan jauh nya dari hidayah Allah. Umat Muhammad yang menjauh dari Quran  sama dengan telah menyakiti Rosul-Nya sebagaimana Firman Allah dalam QS Al Furqan 30 “Dan Rasul (Muhammad) berkata: Ya Rabb-ku sesungguhnya kaumku telah menjadikan Quran ini sesuatu yang disia-siakan” .

Kedua, Ikut rujukan Nabi baik itu perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Sunnah adalah cahaya bagi rumah tangga. Rumah tangga yang terang oleh cahaya akan penuh dengan kejujuran, keterbukaan, dan tenggangrasa,  hangat dan gembira. Wajah yang ada didalamnya bening dan ceria.

Pandangannya jauh ke depan dengan penuh keyakinan dan kepastian. Sebaliknya mereka yang tak mengenal pada sunnahnya, maka rumah tangga itu penuh dengan kepalsuan, prasangka, dingin dan curiga. Rentan dengan konflik dan tak bermasa depan. Tidak merasakan indahnya iman dalam hati serta dekat dengan kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan. 

Ketiga, menjadikan masing masingnya sebagai pakaian. Fungsi pakaian itu sebagai sarana untuk menutup aurat. Suami menjadi penutup aurat istrinya, demikian juga sebaliknya. Segala kelemahan, keburukan, dan cacat-cacat yang ada pada istri haruslah disimpan dan ditutupi. Begitu juga kejelekan yang ada pada suami harus ditutupi pula oleh istrinya.

Janganlah menjadi suami atau istri yang terbiasa kesana kesini menceritrakan atau mengadukan keburukkan pasangannya, apalagi sampai seperti tak ada lagi kebaikan yang ada pada pasangannya tersebut. Oleh karena itu Nabi senantiasa berdo’a “Wahai Allah tutuplah aib kami dengan sutrah (hijab) mu yang sangat indah”.  Seburuk buruk manusia adalah yang pada siang hari menceritrakan apa yang dilakukan pada malam hari dengan suami/istrinya sebagaimana Sabda Nabi “sesungguhnya orang terjelek tempatnya dihari kiamat ialah suami yang membukakan rahasia istrinya kepada orang lain tentang soal perkawinan antara keduanya” (HR Muslim).

Mencari titik temu adalah substansi kearifan rumah tangga. Rumah adalah anak tangga untuk naik menuju surga. Jika itu keyakinannya, maka insya allah elemennya akan sabar menjalani kehidupan yang mewarnainya.
, Oleh HM Rizal Fadillah

sumber : www.republika.co.id

Saturday, October 26, 2013

Doa Empat Sahabat

Ketika tawaf, kita saksikan jamaah berebut mencium Hajar Aswad, bahkan hingga terluka atau tidak sengaja melukai orang lain. Ikhtiar itu tidak keliru. Sebab, Rasulullah juga mencium batu hitam tersebut tatkala mengawali memutari Ka’bah.

Di samping itu juga ada informasi yang sahih bahwa multazam yang berada di antara Ka’bah dan pintu Ka’bah merupakan tempat mustajab untuk berdoa.

Kita jarang mendapati jamaah berebut memegang Rukun Yamani. Padahal, tempat itu juga salah satu tempat mustajab. Informasi ini terdapat dalam kitab Ahbar Makah lil al-Fakihi dan kitab Majabu ad-Dakwah.
Disebutkan bahwa Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Mus’ab bin Zubair, dan Abdul Malik bin Marwan tengah berbincang di seputar Ka’bah.

Seseorang di antara mereka berkata, “Hendaklah kalian berdiri dan memegang Rukun Yamani dan berdoa kepada Allah atas keinginannya.Sebab, Allah akan mengabulkan berkat keluasan-Nya. Berdirilah, wahai Abdullah bin Zubair. Sebab, engkau adalah orang yang pertama dilahirkan setelah hijrah.

Lalu, Abdullah bin Zubair berdiri memegang Rukun Yamani dan berdoa, “Ya Allah, Engkau Mahaagung. Aku mohon dengan kehormatan wajah-Mu dan kehormatan Arsy-Mu serta kehormatan rumah-Mu. Janganlah engkau matikan aku sebelum aku menjadi penguasa negeri Hijaz.” Lalu, ia duduk.

Kemudian, Mus’ab bin Zubair ganti berdiri dan memegang Rukun Yamani lantas berdoa, “Ya Allah, Tuhan segala sesuatu. Kepada-Mulah segala sesuatu berakhir. Aku mohon kepada-Mu dengan kuasa-Mu atas segala sesuatu, janganlah Engkau matikan aku sebelum aku menjadi penguasa Irak dan menikah dengan Sukinah binti Husein.” Lalu, ia duduk.

Kemudian, berdirilah Abdul Malik bin Marwan seraya memegang Rukun Yamani dan berdoa, “ Ya Allah, Tuhan tujuh langit dan Tuhan bumi dengan segala tumbuhan yang ada. Aku mohon dengan hamba-hamba-Mu yang taat dan aku mohon dengan kehormatan wajah-Mu, dan aku mohon dengan segala makhluk-Mu, serta dengan semua orang yang sedang tawaf. Aku mohon kepada-Mu, janganlah engkau matikan aku sehingga Engkau anugerahkan aku kekuasaan bumi timur dan barat, dan tidak ada orang yang mengudetaku sehingga ia aku penggal lehernya.” Lalu, ia duduk.

Setelah itu, berdirilah Abdullah bin Umar seraya memegang Rukun Yamani dan berdoa, “Ya Allah, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, aku mohon kepadamu dengan rahmat-Mu yang mendahului murkamu dan aku mohon kepadamu dengan takdir-Mu atas semua makhluk-Mu… janganlah engkau matikan aku sehingga Engkau menunjukkan aku sebagai ahli surga.

Berkata as-Sya’bi, yang melihat peristiwa itu, “Selama hidup aku menyaksikan keempat orang tersebut mendapatkan apa yang mereka minta. Dan, Abdullah bin Umar diberi kabar gembira sebagai ahli surga.”

Para sahabat adalah generasi Muslim terbaik sebab mereka mendapat pengajaran Islam langsung dari Rasulullah. Mereka berdoa dengan permintaan yang sangat tinggi dan Allah telah mengabulkannya.

Untuk itu, rasanya para jamaah haji perlu meniru “kesuksesan” mereka dalam berdoa dengan memegangi Rukun Yamani. Langkah ini selain untuk memecah konsentrasi jamaah di Hajar Aswad, juga untuk membuktikan bahwa Rukun Yamani ternyata juga merupakan tempat mustajab. Wallahu’alam.
, Oleh; Muh Nursalim
sumber : www.republika.co.id

Thursday, October 24, 2013

Indahnya Qanaah

Entah apa yang ada di hati dan benak para pelaku korupsi, kolusi, nepotisme, eksploitasi, rasywah, money laudering, gratifikasi, dan berbagai kebejatan serupanya. Demi dunia, mereka rela menggadaikan harga diri dan agama.
Anehnya, pelaku kejahatan itu umumnya orang-orang besar, berpendidikan tinggi, mengerti agama, dan memiliki aset harta yang sukar dihitung jumlahnya. Begitulah profil manusia kalau sudah kehilangan sikap qanaah.

Kondisi mereka digambarkan Allah, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapa yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” [QS Al-Jatsiyah: 23].

Hidup minus qanaah menjadikan orang gelap mata. Katanya pintar, tetapi sesungguhnya bodoh. Katanya kaya, tetapi sesungguhnya miskin. Katanya mulia, tetapi sesungguhnya hina. Katanya terhormat, tetapi sesungguhnya terlaknat. Katanya pejabat, tetapi sesungguhnya penjilat. Katanya hebat, tetapi sesungguhnya melarat. Katanya pejuang, tetapi sesungguhnya pecundang. Katanya sukses, tetapi sesungguhnya gagal. Katanya bahagia, tetapi sesungguhnya merana. Mereka lupa bahwa hidup ini tidak lebih sekadar permainan.

“Ketahuilah, bahwa sungguh kehidupan dunia ini hanya permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah di antara kamu, serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanya kesenangan yang menipu.” [QS Al-Hadid: 20].

Islam mengajarkan sikap hidup qanaah. Yaitu merasa cukup, rida atas segala karunia dan rezeki dari Allah. Menurut Buya Hamka, qanaah mengandung lima perkara. Pertama, menerima dengan rela segala rezeki yang ada. Kedua, berusaha dan memohon tambahan yang pantas kepada Allah. Ketiga, menerima dengan sabar semua ketentuan Allah. Keempat, bertawakal kepada Allah. Kelima, tidak tertarik oleh tipu daya dunia.

Qanaah melahirkan ketenangan dan kedamaian, karena merupakan harta yang tidak akan hilang dan pura yang tiada pernah musnah. Pelaku qanaah tidak mungkin berpacu dengan keinginan. Ketidakmampuan mengendalikan keinginan jelas menjadi muasal dari segala kebuasan manusia. Benarlah ketika Rasulullah bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala lapar yang dikirimkan ke tempat kambing lebih berbahaya daripada kelobaan manusia pada harta dan kemegahan dalam membahayakan agamanya.” [HR Tirmidzi].

Analoginya sederhana. Serigala yang lapar akan berhenti makan ketika perutnya terasa kenyang. Tetapi, manusia tidak akan pernah merasa kenyang oleh dunia. Dunia diandaikan Rasulullah sebagai sesuatu yang manis dan hijau. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan, manis merupakan sesuatu yang terasa nikmat di lidah, sementara hijau merupakan sesuatu yang tampak indah di mata. Hanya qanaah yang menolong kita dari tipuan lidah dan mata. Pesan Rasulullah, “Jadilah kamu seorang wara, niscaya kamu akan menjadi sebaik-baik hamba Allah. Jadilah kamu seorang qanaah, niscaya kamu akan menjadi orang yang paling bersyukur kepada Allah.” [HR Baihaqi].

Kendati demikian, tidaklah benar memaknai qanaah sebagai sikap anti-harta. Qanaah juga bukan kemalasan dalam bekerja. Ditegaskan Buya Hamka, qanaah yang benar itu qanaah hati, bukan qanaah ikhtiar. Dengan demikian, orang yang bersikap qanaah tidak dilarang memiliki profesi mapan, rumah megah, kendaraan banyak, barang mewah, tabungan jutaan atau miliaran di bank. Semua itu absah sebagai modal hidup di dunia.

Sahabat Rasulullah memiliki sikap hidup qanaah. Faktanya, tidak sedikit dari mereka yang hidup berlimpah harta. Amr bin Ash, Zubair bin Awwam, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, dan Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abu Waqqas, Walid bin Mughirah, Abu Al-Ash, Abu Sufyan, Hakam bin Abu Al-Ash, Ash bin Wail adalah entrepreneur-entrepreneur sukses.

Demikian pula sejarah kehidupan ulama ternama. Abu Hanifah adalah saudagar sutera. Malik bin Dinar adalah penjual kertas. Muhallab bin Abu Shufrah adalah ahli membuat kebun. Qutaibah bin Muslim adalah saudagar unta. Uyainah dan Dhahak bin Muzahim adalah pengajar. Jelaslah, Islam tidak pernah melarang kita menjadi profesional dan terpandang. Yang dilarang adalah tamak pada kemewahan dunia sampai melupakan Allah.

Harta harus dimaknai sebagai sarana untuk menggairahkan ibadah dan kebaikan. Jika tidak, kita akan mendapati kenyataan sebagaimana dituturkan Rasulullah. “Saya berdiri di pintu surga, maka sebagian besar yang memasukinya adalah orang-orang miskin, sedangkan orang-orang kaya ditahan dulu, hanya saja para ahli neraka telah diperintahkan untuk dimasukkan ke dalam neraka seluruhnya.” [HR Bukhari dan Muslim].

Ada dua tipologi orang kaya di dunia ini. Pertama, orang-orang kaya yang memang menjadikan harta sebagai visi dan misi hidup mereka. Model orang-orang kaya demikian tidak kenal haram dan halal. Jiwa mereka lapar. Menu makanan mereka segala yang ada di depan mata. Yang lain dipaksa minggir. Jika tidak mau minggir, maka akan dimangsa juga. Itulah orang-orang semacam Namrud bin Kan’an, Qarun bin Yashar, Firaun Minephtah, Haman, Jalut, Abrahah Al-Asyram, Abu Jahal, Abu Lahab, dan semisalnya.

Model kedua adalah orang-orang kaya karena akibat dari kesungguhan, perjuangan, pengabdian, dan kesyukuran mereka kepada Tuhan. Mereka itulah tipologi orang-orang kaya tanpa disengaja. Mereka tegas memilah antara halal, haram, dan syubhat. Akal mereka cerdas, hati mereka suci, dan jiwa mereka mulia selama mengikuti irama dunia. Kita mendapati orang-orang semacam Ibrahim bin Azar, Yusuf bin Ya’kub, Daud bin Yisya, Sulaiman bin Daud, dan manusia-manusia mulia selevelnya.

Pilihan di tangan kita, ingin masuk rombongan pertama atau kedua. Satu yang pasti, siapa saja yang ingin meraih harta tanpa hidup ngoyo dan selalu dikejar keinginan, qanaah adalah jalannya.


Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia’. Email: hus_surya06@yahoo.co.id
, Oleh M Husnaini

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, October 23, 2013

Berbagi Kebaikan

Imam Dzahabi dalam kitab Siyar A'lam an-Nubala (8/114) menyebutkan, al-Hafidz Ibnu Abdil Barr berkata dalam buku At-Tamhid, “Aku tuliskan ini dari hafalanku, karena buku aslinya tidak ada padaku.”

Abdullah al-Umari al-Abid menulis surat kepada Imam Malik menasihati beliau untuk banyak menyendiri dengan  berzikir dan beribadah sunah.

Imam Malik menulis jawaban kepadanya, “Sesungguhnya Allah membagi amalan sebagaimana membagi rezeki. Boleh jadi Allah mudahkan dan memberikan taufik-Nya kepada seseorang untuk banyak melakukan shalat sunah, tapi tidak dalam puasa sunah.

Orang lain lagi, Allah memudahkan kepadanya untuk banyak bersedekah, ada lagi yang Allah mudahkan dan beri kelebihan kepada seseorang dalam berjihad. Menyebarluaskan ilmu juga merupakan amal kebaikan yang sangat utama. Saya ridha dengan taufik-Nya yang telah memudahkan untukku dalam menyebarkan ilmu syar'i. Saya kira amalan yang kulakukan ini tidak lebih rendah dari amalanmu. Saya berharap kita semuanya dalam kebaikan.”

Ada beberapa pelajaran dan hikmah dari kisah di atas. Pertama, kehati-hatian ulama dalam menukil atau menceritakan ucapan seseorang.

Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan, redaksi cerita ini dari hafalannya, bukan redaksi Imam Malik. Hendaknya kita berupaya membawakan hadis Nabi SAW yang sahih agar tidak terjerumus berdusta atas nama beliau.

Pesan kepada para wartawan dan jurnalis, baik di media cetak maupun elektronik, hendaknya lebih berhati-hati dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Jangan sampai berbohong kepada publik.

Hendaknya kita lebih selektif dalam memilih, memuat, dan menyebarkan berita. Agar informasi yang disampaikan berupa informasi yang membangun, menyejukkan, memperbaiki, dan menyatukan.

Kedua, pentingnya saling menasihati sesama Muslim. Jika kita mengetahui kekurangan dan aib pada saudara kita, janganlah kita menyebarkan aibnya. Ingatkanlah dia.

Jika sulit untuk berjumpa, kirimlah surat dengan ungkapan yang baik. Agar orang yang dinasihati tidak tersinggung, bahkan malah menyadari dan segera memperbaiki kesalahannya.

Ketiga, bagi yang dinasihati, jika isi nasihat tidak tepat atau bahkan salah alamat, janganlah marah atau tersinggung. Bergembiralah dengan kritikan saudara kita, karena nasihat merupakan bentuk perhatian dan rasa sayang kepada sesama saudara.

Keempat, jawablah nasihat yang kurang tepat dengan jawaban yang sopan. Berilah permisalan dan bantahlah dengan tegas tapi tetap menjaga keadilan dan penuh rasa kasih sayang.

Kelima, Allah memberikan potensi dan kelebihan yang beragam kepada hamba-hamba-Nya. Janganlah saling merendahkan, janganlah saling menyombongkan diri.
Hendaklah umat Islam saling bersinergi, bekerja sama dalam kebaikan dan takwa, serta saling menguatkan satu sama lain.

Allah berfirman, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berselisih, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan kekuatan kalian hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS al-Anfal: 46).

Rasululullah SAW bersabda, “Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah, dan pada keduanya terdapat kebaikan.” (HR Muslim). “Seorang mukmin bagi mukmin lainnya bagai sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lainnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
, Oleh; Fariq Gasim Anuz
sumber : www.republika.co.id

Friday, October 11, 2013

Adab Mendidik Anak Dalam Islam

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana memberlakukan jam malam bagi anak-anak. Hal itu menyusul adanya kecelakaan lalulintas yang melibatkan anak artis ternama Ahmad Dhani di jalan tol Jagorawi, beberapa waktu lalu. AQJ yang masih berumur 13 tahun mengendarai mobil pada pukul 24.00 WIB mengalami kecelakaan.

Cukup dipertanyakan memang, mengapa anak-anak yang masih berumur 13 tahun bisa keluar rumah pada tengah malam dan mengendarai mobil yang notabene belum cukup umur.   

Patut kita akui, sebagian besar di antara kita sudah lupa cara mendidik anak dalam bingkai Islam. Modernisasi gaya hidup yang berbungkus materialisme membuat sebagian besar umat Islam lupa akan nilai-nilai akhlak dalam mendidik anak.

Hal itu ditambah pengaruh dari tayangan media yang buruk, dan lingkungan yang sudah tergores oleh gaya hidup kebarat-baratan. Hal ini sehingga membutuhkannya peran penting orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Anak adalah titipan Allah SWT, perhiasan hidup dan penerus harapan dan cita-cita orang tuanya.

Anak ibarat kertas putih, yang bisa ditulis dengan tulisan apa saja. Peran orangtua sangatlah vital. Karena melalui orang tualah, anak akan menjadi manusia yang baik atau tidak. Rasulullah SAW, sebagai teladan paripurna, telah memberikan tuntunan bagaimana mendidik dan mempersiapkan anak.

Dan hal yang paling penting adalah keteladanan dalam melakukan hal-hal yang utama. Inilah yang harus dilakukan orangtua. Bukan hanya memerintah dan menyalahkan, tapi yang lebih penting adalah memberikan contoh kongkret. Secara simultan hal itu juga harus ditopang oleh lingkungan, pergaulan, dan masyarakat.

Ditambah kebiasaan buruk orang tua yang tidak begitu memperhatikan pendidikan agama anak-anaknya, sehingga anak mereka hidup tanpa tuntunan. Biasanya orangtua kerap mengiming-iming materi, dan sering memberikan ketidakadilan pada anak-anak mereka serta memanjakan anak secara berlebihan. Hal inilah yang menjadi permasalahan anak seringkali menjadi nakal, psikologi mental anak menjadi rendah serta membuat anak kehilangan percaya pada dirinya.

Cara ini harus segera kita ubah. Imam Ghazali menegaskan bahwa sesungguhnya anak adalah amanah yang harus dijaga dan dibekali ilmu agama untuk terwujudnya anak-anak yang shalih dan shalihah.

Bagaimana caranya? Setidaknya terdapat empat point yang bisa dilakukan. Pertama, memberikan pendidikan anak dalam bahasan pendidikan agama, terutama ‘aqidah yang akan menjadi pondasi ke-Islamannya.

Perhatikan bagaimana perkataan Luqman kepada anaknya, yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ‘Hai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan itu merupakan kezhaliman yang besar.” (Qs. Luqman: 13)

Kedua, membiasakan agar mendidik anak-anak untuk berakhlak baik dan menasihatinya ketika melakukan kesalahan. Karena akhlak mulia menjadi pemberat timbagan pada hari Kiamat nanti, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi, artinya: “Tidak ada sesuatupun yang paling berat dalam timbangan seorang Mukmin pada hari Kiamat nanti daripada akhlak mulia.”(Hadis diriwayatkan At-Tirmidzi.

Ketiga, hendaknya mengajarkan adab dan etika kepada anak. Orang-orang shalih terdahulu telah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap adab Islami. Simak saja perkataan seorang Salaf kepada anaknya ini. “Wahai anakku, engkau mempelajari satu bab tentang adab lebih aku sukai daripada engkau mempelajari tujuh puluh bab dari ilmu.”

Keempat, hendaknya orangtua menyertakan anak-anak dalam beribadah seperti shalat, bukan hanya sekedar memerintahkannya saja. Karena pendidikan anak akan lebih berhasil manakala setiap inderanya diberdayakan.

Jadi, orang tua tidak hanya memberdayakan indera pendengaran anak saja untuk memerintahnya melakukan ini dan itu, tapi orang tua juga perlu memberdayakan indera penglihatannya untuk mencontoh sikap dan perilaku baik dari orang tua.
, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein

sumber : www.republika.co.id

Thursday, October 10, 2013

Keajaiban Doa

Namanya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi Al-Bukhari (196 H/810 M-256 H/870 M). Siapa saja yang belajar hadis pasti mengenal ulama bernama populer Imam Bukhari ini.
Lahir di Bukhara, Uzbekistan, dia adalah ahli hadis termasyhur sepanjang masa. Tetapi, tahukah Anda bahwa ulama yang hafal puluhan ribu hadis beserta detail sanadnya ini pernah mengalami kebutaan sewaktu kecil?

Adalah sang ibunda yang begitu sedih melihat kondisi Bukhari kecil. Ibnu Hajar dalam ‘Hadyu As-Sari’ meriwayatkan bahwa ibunda Imam Bukhari tiada henti berdoa untuk memohon kesembuhan putranya. Allah akhirnya mengabulkan doanya.
Pada suatu malam, ibunda Imam Bukhari bermimpi melihat Nabi Ibrahim yang berkata, “Hai Fulanah, sungguh Allah telah mengembalikan penglihatan putramu karena seringnya engkau berdoa.” Pagi harinya, ibunda Imam Bukhari menyaksikan bahwa penglihatan putranya telah kembali normal.

Subhanallah. Itulah keajaiban sebuah doa. Simak pula kisah yang dialami Nabi Zakaria (91 SM-1 M) sebagaimana dituturkan Al-Qur’an. Dalam usia senja, Nabi Zakaria gelisah karena belum juga dikaruniai keturunan. Kendati demikian, pantang bagi Nabi dan Rasul Allah ke-22 ini patah arang. Siang dan malam dia terus melabuhkan doa kepada Allah supaya memberinya seorang putra sebagai pewaris obor perjuangan.

“Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan telah menyala uban di kepalaku, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku. Dan sungguh aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahkanlah aku seorang putra dari sisi Engkau, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub. Dan jadikan dia, Ya Tuhanku, seorang yang diridai.” (QS Maryam: 4-6).

Ajaib. Allah menjawab doanya. Padahal, usia Nabi Zakaria saat itu sudah mencapai sembilan puluh tahun dengan kondisi istri, Hannah, yang mandul. Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Setiap doa yang keluar dari ketulusan nurani dan kebersihan jiwa akan mengubah segala yang tampaknya tidak mungkin menjadi mungkin. Inilah kabar bahagia bagi kaum beriman. Apalagi Allah sendiri telah menegaskan akan mengabulkan setiap doa hamba sepanjang dia mau taat kepada-Nya.

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, jawablah bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al-Baqarah: 186).

Memahami ayat di atas, tentu tidak alasan bagi kaum beriman untuk enggan berdoa. Jangan sampai ada anggapan bahwa peran doa sangat sedikit dalam pencapaian sebuah keberhasilan. Itulah pola pikir orang yang sombong dan tidak tahu diri. Merasa diri hebat sehingga perlu mengesampingkan campur tangan Allah dalam setiap tarikan gerak dan langkah. Termasuk pola pikir picik juga ketika orang mau berdoa tetapi minus kemantapan bahwa doanya itu akan didengar Sang Maha Penentu Keputusan.

Allah pasti mendengar setiap keluh kesah, sekalipun yang tidak pernah terucap. Tidak ada relung jiwa manusia yang tidak mampu ditembus Allah. Jarak antara Allah dan kita sangat dekat, melebihi urat leher. “Sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui segala yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS Qaf: 16).

Itulah kenapa Islam adalah agama yang sangat kaya doa. Tiada laku kehidupan Muslim yang tidak dimulai dan dipungkasi dengan doa. Menurut Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ada dua macam doa: doa ibadah (penghambaan) dan doa masalah (permintaan). Seluruh ibadah dalam rukun Islam hakikatnya adalah doa. Karena, rangkaian gerakan dan ucapan di dalamnya berintikan permohonan rida Allah. Paketnya langsung dari nas. Kita tinggal pakai, tanpa boleh berkreasi. Lain lagi dengan doa masalah, seperti permintaan pengampunan, kebahagiaan, belas kasih, penghidupan, kesuksesan, dan semacamnya. Meskipun bacaan dari Al-Qur’an dan hadis diutamakan, tetapi kita masih boleh berkreasi dengan bahasa sendiri. Terkabulnya doa jenis ini sangat bergantung kualitas doa ibadah kita.

Masih banyak kisah keajaiban doa yang tidak mungkin dikutip semua di sini. Atau boleh jadi malah sudah Anda alami sendiri. Pastinya, tidak ada makhluk di kolong jagat ini yang bisa mengerahkan secuil daya dan upaya sekalipun, tanpa belas kasih dan uluran pertolongan Allah. Tantangan Allah sebagaimana disampaikan kepada kaum kafir Makkah sudah jelas, “Katakanlah, ‘Panggillah mereka yang kalian anggap tuhan selain Allah, niscaya mereka tidak akan memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari kalian dan tidak pula memindahkannya’.” (QS Al-Isra’: 56).

Alangkah lebih mulia sekiranya kita sanggup merenungkan dan mengamalkan firman Allah berikut. “Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kalian membuat kerusakan di bumi, sesudah Allah memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap. Sungguh rahmat Allah itu amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-A’raf: 55-56).

, Oleh M Husnaini*
*Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia’. Email: hus_surya06@yahoo.co.id

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, October 09, 2013

Syukurnya Anggota Badan

Suatu hari, seseorang bertanya kepada Abu Hazim, “Bagaimana bentuk syukurnya kedua mata, wahai Abu Hazim?”
Abu Hazim menjawab, “Jika engkau melihat kebaikan, engkau mengumumkannya (memberitahukan kepada yang lainnya). Dan, sebaliknya jika engkau melihat kejelekan, engkau menyembunyikannya.”

Laki-laki tadi bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya kedua telinga?” “Jika engkau mendengar kebaikan maka engkau menjaganya. Dan, jika engkau mendengar kejelekan, engkau menolaknya.”

“Bagaimana syukurnya kedua tangan?” “Janganlah engkau mengambil apa-apa yang bukan milik keduanya. Dan, janganlah engkau tahan hak untuk Allah apa yang ada pada keduanya.”

Lelaki itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya perut?” Abu Hazim menjawab, “Jadikanlah makanan di bawahnya dan ilmu di atasnya.” Dia bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya kemaluan?”

Ia menjawab dengan membacakan ayat, “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS al-Mukminun: 5-7).

Lelaki itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya kedua kaki?” Abu Hazim pun menjawab, “Jika engkau mengetahui suatu mayat yang engkau iri kepadanya (karena ketika hidupnya melakukan ketaatan kepada Allah) maka pergunakan keduanya sebagaimana dia amalkan.”

“Jika engkau tidak bersyukur dengan seluruh anggota badanmu maka perumpamaannya adalah seperti seseorang yang mempunyai pakaian, lalu dia mengambil ujungnya dan tidak memakainya. Maka pakaian itu tidak memberikan manfaat sedikit pun kepadanya untuk menghindari panas, dingin, salju, dan hujan.”

Sebagian ulama telah menulis surat kepada salah seorang saudaranya, “Sungguh kami telah berada di pagi hari dengan nikmat-nikmat dari Allah yang tidak dapat dihitung bersamaan dengan banyaknya maksiat yang telah kami lakukan. Maka, kami tidak tahu mana di antara keduanya yang kami bisa syukuri. Apakah keindahan (yaitu kebaikan-kebaikan) yang telah dimudahkan bagi kita ataukah kejelekan-kejekan yang telah ditutupi?”

Subhanallah, seorang Muslim tidak boleh sekejap pun untuk melupakan syukur kepada Allah. Mengapa? Tidakkah kita sadari betapa banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita meski kita sering berbuat maksiat.

Bahkan, Allah senantiasa menutup aib-aib kita walau kita sering memaksiati-Nya. Untuk itu, bersegeralah kembali dan tobat kepada-Nya. Mintalah pada-Nya agar kita dijadikan sebagai orang-orang yang pandai bersyukur.
, Oleh: Bahron Ansorisumber : www.republika.co.id

Tuesday, October 08, 2013

Semangat Berkurban Untuk Membangun Bangsa

Sepekan lagi kita umat Islam akan merayakan hari Raya kurban. Kurban  berasal dari kata Arab yakni Qurbah, yang bermakna mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam ritual Kurban, umat Islam juga melakukan udlhiyah atau juga berarti penyembelihan hewan kurban. Seluruh umat Islam di muka bumi melaksanakan penyembelihan hewan kurban seperti domba, sapi atau unta, sebagai tanda memenuhi panggilan Allah SWT.
Hari Raya Kurban juga merupakan refleksi atas catatan sejarah perjalanan kebaikan umat manusia pada masa lalu. Dalam konteks sejarah, Hari Raya Kurban berarti refleksi atas ketulusan dan loyalitas Nabi Ibrahim terhadap perintah-perintah Allah SWT.
Dalam konteks ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus perjuangan maha berat seorang Nabi Ibrahim yang diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk mengurbankan anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim pada titah sang pencipta.
Hampir seluruh ulama sepakat bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap Ismail adalah bukti penyerahan diri sepenuhnya terhadap perintah Tuhan. Oleh karenanya ajaran Nabi Ibrahim disebut sebagai ajaran Islâm atau (penyerahan diri). Seorang mufassir modern, Muhamad Ali (1874-1951) memaknai kurban sebagai tindakan kerendahan hati dan kesabaran dalam penderitaan dan ketakjuban kepada Ilahi. Dalam hal penyembelihan hewan sebagai simbol kurban.
Sementara intelektual Muslim asal Iran, Ali Syariati, dalam bukunya ‘Hajj’, ibadah ritual Kurban bukan sekadar memiliki makna bagaimana manusia (baca: umat Islam) mendekatkan diri kepada Allah SWT, tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama manusia, terutama mereka yang tergolong sebagai kaum dhuafa dan marginal.
Ali Syariati memaknainya sebagai sebuah perumpamaan atas kemusnahan dan kematian ego. Berkurban berarti menahan diri dari, dan berjuang melawan, godaan ego. Kurban atau penyembelihan hewan sebenarnya adalah lambang dari penyembelihan hewan (nafsu hewani) dalam diri manusia.
Ibadah Kurban juga memiliki pesan bahwa umat Islam diharuskan lebih mendekatkan diri dengan kaum dhuafa (kaum miskin) dan lebih mengutamakan nilai-nilai persaudaraan dan kesetiakawanan sosial.
Ibadah Kurban juga mengajarkan bahwa umat Islam tidak mengambil harta kekayaan orang lain. seruan “Korbanlah Ismalilmu” yang bernada perintah tidak hanya saran tetapi juga merupakan sebuah keharusan.
Dengan begitu, melalui berqurban, kita dapat mendekatkan diri kepada kaum dhuafa. Bila kita diberikan kenikmatan dari Allah, maka kita diwajibkan untuk berbagi kenikmatan dengan orang lain. Ibadah kurban mengajak mereka yang termasuk dalam golongan dhuafa untuk merasakan kenyang.
Atas dasar spirit itu, peringatan Idul Adha dan ritus kurban memiliki tiga makna penting sekaligus. Pertama, makna ketakwaan manusia atas perintah sang Khalik. Kurban adalah simbol penyerahan diri manusia secara utuh kepada sang pencipta, sekalipun dalam bentuk pengurbanan seorang anak yang sangat kita kasihi.
Dalam tataran sosial, spirit ibadah berqurban sebaiknya kita jadikan sebagai prinsip hidup dalam berbagai sesama umat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Spirit berqurban janganlah sekadar kita implementasikan hanya membeli hewan ternak lalu disembelih dan dagingnya dibagikan kepada kaum dhuafa. Sebaiknya lebih dari itu. Spirit berkurban harus kita jadikan spirit hidup sepanjang masa.
Bagi seorang aparatur pemerintah, spirit berqurban bisa dijadikan sebagai prinsip hidup dalam memberikan pelayanan publik terbaik dan menuju yang paling terbaik untuk masyarakat. Memberikan pelayanan publik kepada masyarakat tidak pandang bulu, suku, ras, agama, latarbelakang ekonomi serta tidak bermotifkan keuntungan.
Bagi seorang akademisi, pelajar dan mahasiswa, sebaiknya spirit berkurban bisa menjadi landasan dalam belajar, mengajar dan melakukan penelitian yang menghasilkan ilmu bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Spirit berqurban bisa menjadi prinsip hidup sipapun dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Mulailah dari sekarang. 
Oleh Dr HM Harry Mulya Zein
 
sumber : www.republika.co.id

Monday, October 07, 2013

Energi Cinta Ilahi

Diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal, Nabi SAW bersabda, Allah SWT pernah hadir dengan wajah terindah-Nya dalam mimpi. Lalu Allah menyampaikan  sabda-Nya. Pada akhir sabda itu, Allah berkata: Bermohonlah kepada-Ku!

Beliau pun berdoa: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk selalu berbuat baik, meninggalkan kemungkaran, mencintai orang-orang miskin. Aku juga memohon ampunan dan rahmat dari-Mu. Jika Engkau menghendaki suatu kaum itu mendapat fitnah, wafatkanlah aku tanpa ada fitnah. Aku memohon kepada-Mu agar selalu mencintai-Mu, mencintai orang-orang yang Kau cintai, dan mencintai amalan yang dapat mendekatkan diriku untuk selalu mencintai-Mu. Rasulullah kemudian berkata, mimpiku itu sungguh benar. Karena itu, pelajari dan ajarkanlah kepada orang lain.” (HR At-Turmudzi dan Ahmad)  

Jika Nabi SAW saja memohon kepada Allah untuk dapat mencintai-Nya, maka sebagai umatnya kita tentu harus berupaya lebih serius dan optimal dalam meraih cinta-Nya karena cinta Ilahi merupakan sumber energi dan inspirasi untuk meraih kemuliaan dan kedekatan diri dengan-Nya. Cinta sejati adalah cinta yang tulus kepada Dzat yang maha dicintai, cinta Ilahi.

Cinta dalam bahasa Arab, antara lain, disebut  hubb atau mahabbah. Kedua kata ini mengandung arti cinta sepenuh hati, tulus, penuh komitmen dan ketaatan. Orang yang mencintai Allah berarti selalu menghadirkan Allah dalam hati, pikiran, dan amal perbuatannya.

Energi cinta Ilahi melahirkan rasa ikhlas dan tidak berat hati dalam beribadah, komitmen kuat untuk berbuat yang terbaik semata-mata mengharapkan ridha-Nya. Mahabbah yang sejati hanya menomorsatukan cintanya kepada Allah, tidak kepada diri sendiri, orang tua, atau orang lain.

Di hadapan Nabi SAW, Umar bin al-Khattab pernah berkata: Ya Rasulullah, demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri.

Rasul lalu meluruskan perkataan Umar: “Tidak, wahai Umar, engkau harus mencintai diriku melebihi cintamu kepada dirimu sendiri.” Umar berkata lagi: “Demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”  Nabi SAW menjawab: “Benar, Umar. Tambatkan cintamu kepadaku itu dari sekarang!” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Cinta kepada Allah dan Rasul merupakan wujud dari manisnya iman. Dari Anas RA, Nabi SAW bersabda: “ Ada tiga hal yang membuat seseorang mendapat manisnya iman, yaitu: Allah dan Rasul lebih dicintai daripada selain keduanya; seseorang mencintai orang lain hanya karena Allah, dan membenci untuk kembali kepada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah seperti halnya membenci untuk dicampakkan ke dalam neraka.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Agar energi positif dari cinta Ilahi itu teraktualisasi dalam kemuliaan akhlak, Imam al-Ghazali memberikan sejumlah amalan penting berikut. Pertama, biasakan diri membaca al-Qur’an disertai tadabbur (pemahaman, penghayatan dan perenungan, sehingga meresap dalam hati).

Kedua, perbanyak amalan sunah di samping menjalankan amalan wajib. Ketiga, selalu berzikir kepada Allah dalam kondisi apapun dengan bertasbih, bertahmid, dan bertahlil.

Keempat, jauhi cinta karena hawa nafsu karena itu dapat menggelapkan mati hati dan pikiran, dan pada gilirannya dapat menyesatkan, seperti cinta kuasa dan harta yang berlebihan. Akibatnya, cinta nafsu ini dapat menghalalkan segala cara.

Kelima, banyak bergaul dengan orang-orang salih dan jujur. Keenam,  selalu bermunajat dan memohon seperti doa Rasul tersebut. Ketujuh, syukuri dan maknai semua nikmat-Nya dengan menaati-Nya. Kedelapan, jauhi penyakit hati (takabur, riya’, iri, nifaq, dan sebagainya) agar mendapat pencerahan nurani.

Cinta Ilahi seperti itulah yang pada gilirannya dapat mengantarkan hamba selalu mendekatkan diri kepada-Nya, sehingga ia selalu berusaha memperoleh cinta dan ampunan dari-Nya.

Katakanlah (Muhammad), jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya engkau akan dicintai Allah dan diampuni dosa-dosa kalian…” (QS Ali Imran [3]: 31).

Mahabbah kepada Allah dan Rasul adalah cinta yang tidak membutakan hati dan pikiran, sehingga hamba tidak tersesat dalam menapaki jalan kehidupan menuju kebenaran, kemuliaan, kebahagiaan, dan ampunan. Wallahu A’lam bish-shawab!
, Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id

Sunday, October 06, 2013

Bekal Haji

Dalam kitab itqan fi ‘ulumil Quran dikisahkan atas suruhan Umar bin Khattab, seorang sahabat bertanya kepada Abdullah bin Mas’ud yang sedang berada di sebuah rombongan yang akan melaksanakan ibadah haji saat itu.

Abdullah bin Mas’ud ditanya atas lima ayat-ayat Al-Quran yang terbaik, yakni ayat manakah yang ‘azham (paling mulia), ‘adal wa ‘ahkam (paling tinggi hukum dan keadilan), ajma (paling lengkap, menyimpulkan), sedikit namun berisi), ahzan (paling menyedihkan) dan ayat yang anja (paling memberi pengharapan).
   
Abdullah bin Mas’ud yang merupakan sahabat Rasulullah SAW yang didoakan menjadi orang yang paham Al-Quran menjawab, pertama, ayat yang ‘azham (paling mulia) adalah Surah al-Baqarah ayat 155, yang biasa kita sebut dengan ayat kursi.

Pada ayat tersebut berisikan fondasi tauhid yang kokoh. Seseorang yang mengaku dirinya beriman dan berjuang di jalan Allah wajib meyakini akan Allah tiada tuhan selain Dia, memahami sifat Allah yang hidup (hayy), yang berdiri (qayyum), Allah tidak perlu istirahat dan tidur untuk mengurus segala sesuatu di seluruh alam jagad raya dari singgasanaNya.

Keyakinan akan sifat Allah akan membuat seseorang kuat menghadapi segala rintangan dan hambatan dalam menjalankan ibadah haji yang merupakan miniatur kehidupan manusia. 

Kedua, adapun ayat yang paling  ‘adal wa ‘ahkam (paling tingggi hukum dan keadilan) adalah surah an-Nahl ayat: 90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

Keadilan adalah keseimbangan dalam hidup. Tidak hanya memerintahkan kita untuk seimbang dalam segala aspek kehidupan, Allah juga menyuruh berbuat yang terbaik kepada setiap makluk dan pada satu tarikan nafas membenci dan memusuhi setiap perbuatn keji, mungkar dan permusuhan.

Jika setiap orang melakukan ayat hukum dan keadilan di atas, maka dapat dipastikan kehidupan dunia dalam rule of law, aman, tentram dan teratur.

Ketiga, ayat yang paling ‘ajma' (paling lengkap, menyimpulkan) adalah surah al-Zalzalah ayat 7-8). “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”.

Perjalanan kehidupan hanya berada pada dua sisi yakni kebaikan dan keburukan. Keduanya akan berbalas sesuai dengan perbuatan yang kita lakukan.

Keyakinan akan balasan baik dan buruk walau sekecil apapun membuat orang akan selalu pada posisi yang benar yakni seseorang akan mengerjakan perbuatan baik dan sebaik-baiknya sebab akan berbalas, dan pada saat yang sama akan menjauhi perbuatan buruk sejauh-jauhnya sebab akan juga akan berbalas.

Keempat, ayat yang paling menyedihkan ahzan (paling menyedihkan) adalah surah an-Nisa’ ayat 123. “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.

Perbuatan buruk akan berbalas dengan setimpal. Dan yang akan menjadikan kita sangat bersedih adalah di saat perbuatan buruk akan dibalas dengan keburukan tersebut tidak akan mendapatkan dispensasi dan pertolongan Allah.

Penyesalan saat kita telah berada di negeri lain (akhirat) tidak akan berarti dan tidak seorangpun yang mampu menolong, dan bahkan Allah juga tidak mau memberikan pertolongan.

Saat itulah penyesalan, kesedihan dan keputusasaan yang tiada taranya dihadapi oleh seseorang yang mengerjakan perbuatan buruk.

Kelima, ayat yang paling memberi pengharapan (anja’) adalah surah az-Zumar ayat; 53. “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
   
Sebanyak apapun atau sebejat apapun perbuatan yang pernah kita lakukan kecuali dosa syirik masih dimungkinkan diberikan pengampunan oleh Allah, dengan catatan orang tersebut bertaubat, mengakui dosa yang dikerjakan serta memohon kepada Allah untuk diampuni.

Rahmat Allah sangat terbuka lebar untuk memberikan ampunan sekaligus memberikan kasih sayangnya kepada orang yang mau bertaubat secara sungguh-sungguh (nashuha).
   
Lima ayat di atas menjadi bekal Abdullah bin Mas’ud beserta rombongan yang akan menunaikan ibadah haji saat itu.

Bekal itu jualah yang patut dibawa dan dipegang setiap orang yang akan dan sedang menunaikan ibadah haji. Bahkan, pada hakikatnya bekal itulah yang harus dipegang dalam menjalani kehidupan ini. Wallahu’alam.  
, Oleh: Mustafa Kamal Rokan

sumber : www.republika.co.id

Saturday, October 05, 2013

Kakek Penanda Waktu

Walaupun umurnya sudah mendekati tujuh puluh tahun, tetapi badannya masih tegap.  Kalau berjalan masih cepat seperti kebiasaannya sejak muda.

Setiap pagi setelah shalat Subuh sang kakek rutin jalan pagi menempuh jarak 6-8 km pulang pergi. Menurut pengakuannya, waktu muda sang kakek suka main sepak bola. Bergabung dengan klub sepak bola di kampungnya.
   
Setelah menamatkan pendidikan setingkat sekolah lanjutan pertama, dia mulai  berdagang, walaupun bapaknya sebenarnya menginginkan dia meneruskan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi, minimal setingkat sekolah lanjutan atas.

Sebagai seorang pedagang yang sukses, bapaknya sanggup membiayai pendidikannnya sampai ke perguruan tinggi. Tetapi rupanya darah dagang bapaknya lebih menonjol mempengaruhi dirinya.

Mula-mula dia berdagang di kota tempat kelahirannya, lalu kemudian merantau. Berpindah dari satu kota ke kota lainnya di pulau Sumatera, kemudian ke Singapura dan Malaysia. Pada akhir masa-masanya berdagang,  sempat juga dia merasakan bagaimana kerasnya kehidupan di kota Jakarta.

Sudah lebih sepuluh tahun sang kakek pensiun dari berdagang dan menetap di kampung halamannya. Hari-hari tuanya benar-benar dia nikmati untuk beribadah.

Hidupnya hanya bergerak dari rumah ke masjid. Setelah selesai shalat malam, dia bersiap pergi ke masjid untuk shalat Subuh. Selesai shalat Subuh, kalau tidak ada pengajian, dia bergegas pulang berganti pakaian olah raga, terus jalan pagi.

Sebelum waktu Zhuhur dia sudah berjalan menuju masjid. Begitu juga sebelum Ashar dan Maghrib. Setelah Maghrib dia tidak pulang, membaca Al-Qur'an dan berzikir di masjid menunggu Isya'.

Kadang-kala antara Maghrib dan 'Isya ada pengajian, maka sang kakek akan mengikutinya dengan tekun. Para muballigh yang rutin mengisi pengajian di masjid itu sudah hafal dengan wajah sang kakek.

Kalau shalat dia selalu di shaf pertama, mengambil posisi tidak tepat di belakang imam, tetapi agak kekiri sedikit. Jamaah lain pun sudah hafal posisi sang kakek, sehingga tidak ada yang mengambil posisi itu.

Kalau pun ada yang akan mengambil posisi itu, biasanya kalah cepat dari sang kakek, karena dia sudah berada di sana sebelum waktu shalat masuk.

Seisi rumah, apalagi cucu-cucunya sudah hafal. Jika sang kakek sudah sibuk ke kamar mandi pertanda tidak lama lagi waktu shalat akan masuk.

Sebelum meninggalkan rumah, tidak lupa sang kakek mengingatkan seisi rumah untuk segera bersiap-siap melaksanakan shalat.

Terutama sebelum Ashar dan Maghrib, tatkala cucu-cucunya masih asyik menonton televisi, akan terdengar suara kakek: "Ayoo semua, shalat…shalat…matikan tivi…"

Tidak jarang cucunya menjawab: "belum azan kakek…waktunya masih lama..." Jika cucu-cucunya masih membandel, tidak  jarang kakek bertindak mematikan televisi. Baginya shalat di awal waktu lebih penting dari semua acara televisi itu.

Jarak dari rumah sang kakek ke masjid sekitar setengah kilometer. Melewati jalan yang kiri kanannya penuh warung dan toko. Penjaga warung dan toko sudah sangat hafal, jika sang kakek lewat di depan warung dan toko mereka menuju arah masjid, berarti waktu shalat sudah hampir masuk.

Sang kakek dijadikan sebagai penanda waktu-waktu shalat akan masuk. Setelah sang kakek meninggal dunia, tidak ada lagi orang lewat di depan warung dan toko yang bisa dijadikan penanda waktu.
, Oleh Prof Yunahar Ilyas
sumber : www.republika.co.id

Friday, October 04, 2013

Berkah Berbagi

Pada suatu hari, Ibnu Mubarak pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sesampainya di Makkah, ia pun langsung menuju Ka’bah untuk bertawaf. Kemudian, ia istirahat di Hijir Ismail untuk sekadar melepaskan lelahnya sehingga tertidur di tempat itu.

Dalam tidurnya, Ibnu Mubarak bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Beliau berkata kepadanya, “Jika engkau telah kembali ke Baghdad, carilah Bahram dan sampaikan salamku kepadanya. Dan katakan bahwa Allah SWT telah rela kepadanya.”

Ibnu Mubarak pun terbangun kaget dan mengucapkan, “Laa haulaa wa laa quwwata illaa billaah.” Dalam hatinya, ia berkata, “Ini mimpi dari setan.”

Kemudian, ia mengambil air wudhu dan kembali bertawaf keliling Ka’bah sampai berulang kali. Karena kelelahan, Ibnu Mubarak kembali tertidur dan kembali bermimpi dengan mimpi yang serupa sampai tiga kali.

Dalam hatinya ia berontak, “Tidak mungkin sosok pendeta seperti Bahram mendapat salam dari Rasulullah SAW serta ridha dari Allah SWT.” Tapi, mimpi itu dirasa sangat nyata oleh Ibnu Mubarak. Karena setan tidak mungkin dapat menjelma menjadi Rasulullah SAW.

Setelah syarat dan rukun haji sudah selesai dan sempurna, Ibnu Mubarak pun buru-buru pulang ke Baghdad dan ingin secepatnya mendatangi daerah yang diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dalam mimpinya.

Sampai pada tempat yang dituju, Ibnu Mubarak berjumpa dengan orang yang sudah lanjut usia, dan bertanya, “Apakah Anda yang bernama pendeta Bahram beragama Majusi?” “Oh ya, saya sendiri,” sahut Bahram.

Kemudian, Ibnu Mubarak langsung bertanya “Bahram, apakah Anda punya amalan yang dianggap baik di sisi Allah?”
Lalu, ia menjawab, “Punya. Aku mempunyai empat anak perempuan dan empat anak laki-laki. Aku kawinkan anak perempuanku dengan anak laki-lakiku.

Ini haram hukumnya,” timpal Ibnu Mubarak. “Selain itu, ada tidak?” “Ada, aku membuat pesta pernikahan besar-besaran dalam pernikahan anak-anakku itu,” jawab Bahram “Ini juga haram dan dilarang oleh agama Islam. Selain itu, ada tidak?” tanya Ibnu Mubarak penasaran.

Oh ada. Aku punya anak perempuan yang sangat cantik. Kucarikan pasangan yang sekufu (setara) dengannya. Ternyata, aku tidak mendapatkan. Akhirnya aku kawini saja anakku itu. Dan, aku membuat resepsi yang lebih besar, ribuan orang datang dalam pestaku itu,” kata Bahram. “Ini juga haram,” ujar Ibnu Mubarak tegas. “Ada tidak selain itu?

Ada. Pada malam pengantin itu, ketika aku hendak berhubungan dengan istriku yang merupakan anakku. Tiba-tiba datanglah seorang perempuan Muslim ke rumahku, ia menyalakan obor dari pelitaku yang ada di depan rumah. Setelah obornya nyala, ia pergi dan aku pun keluar dan memadamkan obor tersebut. Kemudian, ia kembali untuk menyalakan lagi sampai tiga kali. Dan hatiku berbicara, jangan-jangan perempuan itu mata-mata pencuri. Akhirnya, aku keluar membuntutinya dari belakang.

Ketika si perempuan itu masuk ke rumahnya disambut oleh suara anak-anaknya. ‘Ibu bawa apa? Perut kami sudah perih dan keroncongan.” Perempuan itu menangis sambil berkata, ‘Aku malu kepada Allah SWT kalau aku meminta kepada selain-Nya. Apalagi kepada orang Majusi yang nyata-nyata tidak seagama,” cerita Bahram.

Setelah aku mendengar perkataannya, aku langsung pulang dan mengambil satu nampan yang berisi aneka makanan. Lalu, aku pergi menuju rumah perempuan Muslim itu,” kata Bahram.

Ibnu Mubarak berkata, “Ternyata, inilah kebaikan kamu.” Kemudian, ia menyampaikan pesan dan salam Rasullah SAW kepadanya dan menceritakan perihal mimpinya ketika berada di Hijir Ismail.

Setelah mendengar cerita Ibnu Mubarak, Bahram langsung mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian syok, dan mengembuskan napas terakhir. Ibnu Mubarak pun turut serta dalam upacara kematian sampai Bahram dimakamkan.
, Oleh: Ahmad Rosyidi

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, October 02, 2013

Doa Lelaki Buta

Namanya Abdullah, putra Qais ibn Zaid, paman Khadijah, istri Nabi SAW. Ibunya bernama Atiqah binti Abdullah. Karena Abdullah, putra yang buta sejak lahir, ibunya dijuluki Ummu Maktum. Abdullah lebih dikenal dengan nasab ibunya dibanding bapaknya. Jadi, namanya Abdullah ibn Ummi Maktum.

Siapa pun yang membaca asababun nuzul surah Abasa pasti kenal dengan Abdullah ibn Ummi Maktum. Empat belas ayat diturunkan kepada Rasulullah SAW dan dibaca terus sampai hari Kiamat datang.

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling.  Karena, telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali dia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya…

Nabi ditegur langsung oleh Allah SWT karena mengabaikan Abdullah ibn Ummi Maktum yang datang memotong pembicaraan Rasulullah SAW dengan Utbah ibn Rabiah, Syaibah ibn Rabiah, Amr ibn Hisyam, Umayyah ibn Khalaf, dan Walid ibn Mughirah.

Nabi sangat berharap para pemuka Quraisy itu masuk Islam. Tetapi, pembicaraannya terpotong oleh kedatangan Ibn Ummi Maktum, yang karena tidak dapat melihat tidak mengetahui situasi Nabi.

Setelah peristiwa itu, Nabi sangat menghormati Ibn Ummi Maktum. Tatkala sudah di Madinah, Nabi menunjuk Ibn Ummi Maktum menjadi muazin berdua dengan Bilal ibn Rabbah.

Pada Ramadhan, Bilal mengumandangkan azan pertama membangunkan kaum Muslimin untuk makan sahur dan Ibn Ummi Maktum pada azan kedua memberitahukan bahwa fajar sudah menyingsing, tanda puasa hari itu sudah dimulai.

Abdullah ibn Ummi Maktum sangat gembira dan bahagia menjalankan tugas sebagai muazin. Namun, yang membuat dia sedih adalah setelah datang seruan untuk jihad fisabilillah, dia tidak dapat berangkat karena buta. Apalagi setelah Perang Badar, turun ayat yang memuji orang-orang yang pergi berperang.

Suatu hari dia berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, seandainya saya tidak buta tentu saya pergi berperang.” Sejak itu, dia selalu memohon kepada Allah agar menurunkan ayat mengenai orang-orang yang uzur seperti dirinya.

Allah mengabulkan doanya dengan menurunkan surah an-Nisa ayat 95, “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.

Walaupun permohonannya sudah dikabulkan Allah dengan mengecualikan orang-orang yang uzur seperti dirinya, Abdullah ibn Ummi Maktum tetap tidak puas.

Dia tetap ingin pergi berperang. Keinginannya baru terkabul pada zaman Khalifah Umar ibn Khattab. Di bawah panglima Saad ibn Abi Waqqash, dia ikut dalam Perang Qadisiyah menaklukkan Persia.
Tugasnya hanya memegang bendera Islam dan berdiri di tengah-tengah pasukan. Dia pun gugur dalam perang tersebut. Itulah Abdullah ibn Ummi Maktum. Sekalipun buta tetapi mempunyai kemauan yang sangat keras.
, Oleh: Prof Yunahar Ilyas
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, October 01, 2013

Keajaiban Doa

Namanya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi Al-Bukhari (196 H/810 M-256 H/870 M). Siapa saja yang belajar hadis pasti mengenal ulama bernama populer Imam Bukhari ini.

Lahir di Bukhara, Uzbekistan, dia adalah ahli hadis termasyhur sepanjang masa. Tetapi, tahukah Anda bahwa ulama yang hafal puluhan ribu hadis beserta detail sanadnya ini pernah mengalami kebutaan sewaktu kecil?

Adalah sang ibunda yang begitu sedih melihat kondisi Bukhari kecil. Ibnu Hajar dalam ‘Hadyu As-Sari’ meriwayatkan bahwa ibunda Imam Bukhari tiada henti berdoa untuk memohon kesembuhan putranya. Allah akhirnya mengabulkan doanya.
Pada suatu malam, ibunda Imam Bukhari bermimpi melihat Nabi Ibrahim yang berkata, “Hai Fulanah, sungguh Allah telah mengembalikan penglihatan putramu karena seringnya engkau berdoa.” Pagi harinya, ibunda Imam Bukhari menyaksikan bahwa penglihatan putranya telah kembali normal.

Subhanallah. Itulah keajaiban sebuah doa. Simak pula kisah yang dialami Nabi Zakaria (91 SM-1 M) sebagaimana dituturkan Al-Qur’an. Dalam usia senja, Nabi Zakaria gelisah karena belum juga dikaruniai keturunan. Kendati demikian, pantang bagi Nabi dan Rasul Allah ke-22 ini patah arang. Siang dan malam dia terus melabuhkan doa kepada Allah supaya memberinya seorang putra sebagai pewaris obor perjuangan.

“Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan telah menyala uban di kepalaku, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku. Dan sungguh aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahkanlah aku seorang putra dari sisi Engkau, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub. Dan jadikan dia, Ya Tuhanku, seorang yang diridai.” (QS Maryam: 4-6).

Ajaib. Allah menjawab doanya. Padahal, usia Nabi Zakaria saat itu sudah mencapai sembilan puluh tahun dengan kondisi istri, Hannah, yang mandul. Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Setiap doa yang keluar dari ketulusan nurani dan kebersihan jiwa akan mengubah segala yang tampaknya tidak mungkin menjadi mungkin. Inilah kabar bahagia bagi kaum beriman. Apalagi Allah sendiri telah menegaskan akan mengabulkan setiap doa hamba sepanjang dia mau taat kepada-Nya.

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, jawablah bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al-Baqarah: 186).

Memahami ayat di atas, tentu tidak alasan bagi kaum beriman untuk enggan berdoa. Jangan sampai ada anggapan bahwa peran doa sangat sedikit dalam pencapaian sebuah keberhasilan. Itulah pola pikir orang yang sombong dan tidak tahu diri.
Merasa diri hebat sehingga perlu mengesampingkan campur tangan Allah dalam setiap tarikan gerak dan langkah. Termasuk pola pikir picik juga ketika orang mau berdoa tetapi minus kemantapan bahwa doanya itu akan didengar Sang Maha Penentu Keputusan.

Allah pasti mendengar setiap keluh kesah, sekalipun yang tidak pernah terucap. Tidak ada relung jiwa manusia yang tidak mampu ditembus Allah. Jarak antara Allah dan kita sangat dekat, melebihi urat leher. “Sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui segala yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS Qaf: 16).

Itulah kenapa Islam adalah agama yang sangat kaya doa. Tiada laku kehidupan Muslim yang tidak dimulai dan dipungkasi dengan doa. Menurut Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ada dua macam doa: doa ibadah (penghambaan) dan doa masalah (permintaan). Seluruh ibadah dalam rukun Islam hakikatnya adalah doa.
Karena, rangkaian gerakan dan ucapan di dalamnya berintikan permohonan rida Allah. Paketnya langsung dari nas. Kita tinggal pakai, tanpa boleh berkreasi. Lain lagi dengan doa masalah, seperti permintaan pengampunan, kebahagiaan, belas kasih, penghidupan, kesuksesan, dan semacamnya. Meskipun bacaan dari Al-Qur’an dan hadis diutamakan, tetapi kita masih boleh berkreasi dengan bahasa sendiri. Terkabulnya doa jenis ini sangat bergantung kualitas doa ibadah kita.

Masih banyak kisah keajaiban doa yang tidak mungkin dikutip semua di sini. Atau boleh jadi malah sudah Anda alami sendiri. Pastinya, tidak ada makhluk di kolong jagat ini yang bisa mengerahkan secuil daya dan upaya sekalipun, tanpa belas kasih dan uluran pertolongan Allah. Tantangan Allah sebagaimana disampaikan kepada kaum kafir Makkah sudah jelas, “Katakanlah, ‘Panggillah mereka yang kalian anggap tuhan selain Allah, niscaya mereka tidak akan memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari kalian dan tidak pula memindahkannya’.” (QS Al-Isra’: 56).

Alangkah lebih mulia sekiranya kita sanggup merenungkan dan mengamalkan firman Allah berikut. “Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kalian membuat kerusakan di bumi, sesudah Allah memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap. Sungguh rahmat Allah itu amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-A’raf: 55-56).


Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia’. Alamat Email: hus_surya06@yahoo.co.id
, Oleh M Husnaini

sumber : www.republika.co.id

Keutamaan dan pahala Haji dan Umrah

Musim haji dan umrah sudah tiba masanya. Umat Islam dari penjuru dunia yang berkesempatan untuk pergi ibadah haji atau umrah pada tahun ini sudah mulai berdatangan di kota suci Makkah dan Madinah Munawarah.

Rasa gembira dan haru sudah pasti mereka rasakan. Bagaimana tidak, mereka memperoleh peluang yang sangat besar untuk memenuhi panggilan Allah, yaitu melaksanakan rangkaian manasik haji yang merupakan syari’at dan rukun Islam yang kelima.

Kegembiraan dan keterharuan itu wajar dan lumrah. Karena kesempatan berangkat haji tersebut diperoleh setelah melalui proses panjang yang sarat dengan perjuangan, pengorbanan dan kesabaran. Jerih payah luar biasa, mulai dari usaha mengumpulkan biaya, mengurus administrasi sampai melakukan safar (perjalanan) yang jauh dan memberatkan.

Tetapi yang paling penting sesampainya di tanah suci, para jemaah harus memaksimalkan lagi persiapannya. Terutama fikiran, mental , pengetahuan, kekhusuan dan kesabaran sehingga rangkaian rukun dan wajib haji dapat dikerjakan secara baik dan sempurna.

Di samping merupakan kewajiban bagi yang mampu, Ibadah haji dan umrah memiliki keutamaan dan pahala yang sangat besar. Sehingga tidak heran, dari tahun ke tahun angka jemaah yang mendaftar haji atau umrah senantiasa meningkat dan bertambah. Padahal ongkos biayanya semakin tinggi.

Sementara jatah quota haji yang diberikan kerajaan Arab Saudi tidak mencukupi sehingga jemaah yang mendaftar harus menunggu dua atau tiga tahun. Bahkan di beberapa negara seperti di Malaysia harus menunggu belasan dan puluhan tahun, baru bisa berangkat haji.

Sebuah riwayat shahih dari Ibn Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda, “Tunaikanlah haji dan umrah, karena keduanya dapat menghilangkan kemiskinan dan dosa sebagaimana api menghilangkan kotoran besi, emas dan perak. Dan tidak ada balasan bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (HR. Tirmidzi).

Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah RA, bahwa haji mabrur merupakan bentuk jihad yang paling mulia. Sabda Rasulullah SAW, “Kalian mempunyai jihad yang paling mulia, yaitu haji mabrur.”

Begitu besar keutamaan dan pahala haji mabrur, yaitu ibadah haji yang dapat dilaksanakan secara sempurna yang tidak ternodai dengan perbuatan dosa dan maksiat sehingga ibadah hajinya betul-betul diterima oleh Allah SWT.

Namun bagi jamaah umat Islam yang belum diberikan kesempatan dan peluang berangkat haji tidak perlu putus asa dan kecil hati, karena Allah SWT menyediakan sejumlah amal shalih dengan ongkos murah, tetapi keutamaan dan pahalanya sebanding dengan ibadah haji dan umrah. Bahkan lebih besar.

Seperti sabda Nabi SAW , “Barang siapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan suci demi untuk menunaikan shalat fardu, maka pahalanya adalah seperti pahala orang yang menunaikan ibadah haji dan ihram. Dan barang siapa yang keluar dengan bersusah payah hanya untuk melakukan shalat dhuha, maka pahalanya adalah seperti pahala orang yang melakukan ibadah umrah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Wallahu Al-Musta’an.
, Oleh Imron Baehaqi 
sumber : www.republika.co.id