-

Saturday, December 28, 2013

Belajar Qana’ah

Suatu ketika Nabi Muhammad SAW  bertanya kepada Abu Dzar Al-Ghifari. "Wahai Abu Dzar, apakah menurutmu banyaknya harta itu merupakan kekayaan?” Abu Dzar diam saja, tidak menjawab.

Pertanyaan itu lalu dijawab sendiri oleh Nabi: “Kekayaan hakiki adalah kekayaan hati; dan kemiskinan sejati adalah kemiskinan hati. Siapa yang memiliki kekayaan hati, maka kondisi  duniawi apapun yang dialaminya tidak akan mendatangkan kemudharatan baginya. Sebaliknya, siapa yang miskin hati, maka  apapun yang melebihi isi dunia  tidak akan pernah mencukupinya." (HR Ibnu Hibban)

Nabi SAW lalu melanjutkan pesan moralnya, “Jadilah engkau orang yang wara’, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling ahli ibadah; dan jadilah engkau yang selalu merasa cukup (qana’ah), niscaya engkau menjadi orang yang paling pandai bersyukur.” (HR Al-Baihaqi).

Sebab Allah SWT menegaskan, “Dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS Saba’ [34]: 13). Dengan kata lain, bersikap qana’ah merupakan kunci menjadi orang yang bersyukur.

Qana’ah berarti merasa cukup, puas, dan ridha (menerima) terhadap bagian rezki atau apapun yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada kita.
Orang yang qana’ah, menurut al-Jahizh, selalu merasa berkecukupan, tidak merasa kurang dengan terus mengeluh, dan tidak juga serakah dalam meraih kekayaan, kedudukan, dan jabatan, termasuk jabatan politik.

Karena  setiap manusia pada dasarnya sangat mencintai kekayaan/kedudukan duniawi (QS  Al-Adiyat [100]: 8). Qana’ah itu tak ubahnya seperti rem yang dapat mengendalikan nafsu duniawi dan syahwat politik menuju tawakkal dan bersyukur kepada Allah SWT.

Qana’ah dalam berbagai hal, termasuk jabatan politik, sangat penting menjadi benteng moral, terutama bagi penguasa dan calon penguasa.
Qana’ah merupakan manifestasi kecerdasan moral yang dapat memerdekakan seseorang dari penghambaan diri terhadap urusan duniawi yang menyilaukan dan tidak pernah memuaskan.

Sikap ini  juga menjadi terapi mental penyakit hati seperti: tama', hasad (iri hati), namimah (adu domba, provokasi), dan kebohongan publik.

Qana’ah juga dapat menumbuhkan kelapangan jiwa (legowo), zuhud (asketis), dan rasa percaya diri bahwa rezki dan rahmat Allah SWT itu maha luas, tidak terbatas pada kedudukan dan jabatan yang disandang seseorang.

Karena itu, belajar qana’ah dalam menjalani kehidupan ini merupakan salah satu bentuk pendakian spiritual yang sangat penting dalam rangka pendekatan diri kepada Allah SWT. Tanpa belajar qana’ah, manusia cenderung menjadi serakah, tama’ dan korup.
Lebih-lebih jika ketiadaan qana’ah itu disandingkan dengan kekuasaan politik, maka yang bersangkutan akan semakin tidak bisa mengendalikan dirinya dari korupsi dan memperkaya diri sendiri.

"Jika engkau mempunyai hati yang qana’ah, maka engkau dan pemilik dunia ini sama saja." Perkataan Imam Syafi'i ini senada dengan wasiat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu, "Qana’ah  itu merupakan kekayaan yang tidak pernah sirna."

Jabatan dan kekayaan itu datang silih berganti, dan tidak pernah abadi. “Siapa bersikap dan belajar qanaah, hidupnya selalu bahagia. Sebaliknya siapa berlaku tama’, ia akan menderita sepanjang masa,” demikian kata Imam Ibn al-Jauzi.

Belajar menjadi qana’ah sebenarnya tidak sulit. Menurut Ibrahim bin Muhammad  al-Haqil,  dalam bukunya, al-Qanaah Mafhumuha, Manafi’uha, al-Thariq Ilaiha, ada beberapa kiat menjadi qana’ah.

Pertama, pengakuan secara tulus bahwa Allah itu Mahaadil dalam membagi rezki bagi semua makhluk-Nya, termasuk manusia.
Rezeki yang diberikan oleh Allah kepada manusia tidak diukur menurut tingkat pendidikan, kedudukan, dan jabatan. Rezki tidak selalu berbanding lurus dengan status sosial, jabatan, dan jenjang pendidikan.

Kedua,  melatih diri untuk tidak iri dan dengki terhadap kelebihan dan kekayaan yang diberikan kepada orang lain. Sebab iri dan dengki hanya akan menambah penderitaan jiwa dan pengikisan amal kebajikan si pendengki.

Kekayaan yang diberikan oleh Allah merupakan ujian bagi yang menerimanya: apakah dia bisa memanfaatkan dan mensyukurinya dengan baik atau justeru mengingkarinya?

Ketiga, menyadari sepenuh hati jabatan dan kekayaan itu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.
Karena itu, ambisi berlebihan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, khususnya kekuasaan politik, hanya akan memperturutkan nafsu politik daripada mengedepankan kearifan dan peningkatan kinerja demi kemaslahatan dan kemajuan umat manusia.

Keempat, menyikapi dan meresponi segala anugerah, kecil maupun besar, sedikit maupun banyak, dengan meningkatkan rasa syukur. Yakinilah bahwa yang membuat pemberian Allah itu bermakna dan bernilai tambah adalah syukur.

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat." (QS. Ibrahim [14]: 7).
, Oleh Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment