-

Wednesday, August 20, 2014

Jasad dan Ruh Alquran

Alquran itu terdiri dari jasad dan ruh. Hal ini dijelaskan Rasulullah SAW dalam hadisnya, “Lahu dzahrun wabathnun” (baginya (Alquran) mempunyai jasmani (zahir) dan ruhani (batin).” (Syarhussunnah)

Dalam kitab Fadhailul Amal, disebutkan sebagian ulama berpendapat yang dimaksud dengan jasad Alquran adalah merujuk pada kalimat-kalimat dalam Alquran yang dapat dibaca dengan baik oleh setiap orang.

Sedangkan, batin (ruh) Alquran merujuk pada maksud-maksudnya, baik yang tersurat maupun tersirat, yang pemahamannya berbeda sesuai dengan kemampuan pembacanya.

Di antara hikmah adanya jasad dan ruh Alquran ini untuk menunjukkan kepada kita bahwa Alquran bukan sekadar kitab bacaan semata, melainkan merupakan kitab pedoman hidup yang harus dijadikan rujukan dalam bersikap dan beramal yang bisa diawali dengan membaca dan memahaminya.

Oleh karena itu, Allah SWT menjadikan Alquran dengan menggunakan bahasa Arab, bukan hanya karena Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai orang Arab. Lebih daripada itu, bahasa Arab adalah bahasa yang mudah dipelajari dan dipahami setiap orang dari berbagai suku dan bangsa.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alquran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS Yusuf [12]: 2).

Selain itu, Allah SWT menjadikan Alquran sebagai sesuatu yang mudah dibaca, mudah untuk dipahami, dan mudah untuk dipelajari sehingga dapat memberikan kemudahan kepada kita untuk mengamalkannya.

Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS al-Qomar (54): 17)

Ketika kita mampu menyatukan jasad dan ruh Alquran, akan menjadikan kita mendapatkan ilmu yang luas dan mendalam.
Ibnu Masud berkata, “Jika kamu ingin memperoleh ilmu, hendaklah kamu memikirkan dan merenungkan makna-makna Alquran karena di dalamnya mengandung ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang yang sesudahnya.''
Ketika kita mampu menyatukan jasad dan ruh Alquran, kitab suci itu akan hidup dalam diri kita yang tergambar dari akhlak-akhlak keseharian kita. Inilah yang dibuktikan Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW digambarkan sebagai sosok Alquran yang berjalan.

Hal ini ini dinyatakan oleh Aisyah RA ketika ia ditanya mengenai akhlak Rasulullah SAW. Beliau menjawab, “Budi pekerti Nabi SAW adalah Alquran.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad).

Sebagai seorang Muslim sudah selayaknya kita berupaya menghidupkan jasad dan ruh dari Alquran agar tidak hanya sebagai bacaan semata, lebih daripada itu dapat menjadi petunjuk bagi kita dalam mengarungi kehidupan dunia ini.

Kini, kita berada pada bulan Ramadhan. Pada bulan ini Rasulullah SAW selalu menghidupkannya dengan menyatukan jasad dan ruh Alquran.

Dalam hadis riwayat Bukhari dinyatakan Rasulullah SAW memperbanyak membaca Alquran al-Karim pada Ramadhan dan Malaikat Jibril datang kepada beliau untuk membacakan Alquran.

Untuk itu, mari kita upayakan untuk selalu membaca Alquran dengan sebaik-baiknya dan kita pahami maksudnya.
Lalu, berupaya untuk mengamalkannya sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah SAW sehingga jasad dan ruh Alquran dapat kita amalkan dalam keseharian. Wallaahualam.
, Oleh: H Moch Hisyam
sumber : www.republika.co.id

Sunday, August 17, 2014

Menaklukkan Waktu

Waktu merupakan salah satu nikmat Allah yang paling berharga yang dianugerahkan kepada para hamba-Nya.

Dalam Alquran disebutkan bahwa manusia itu akan mengalami kehancuran jika tidak memanfaatkan waktunya untuk kebaikan, sebagaimana firman Allah, “Dan demi masa. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.” (QS al-'Ashr [103]: 1-3).

Imam Fakhrurrazi dalam tafsirnya tentang surah al-'Ashr tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-'Ashr itu adalah waktu atau masa. Masa adalah sesuatu yang sifatnya sangat unik dan mengagumkan. Beragam kisah anak manusia terjadi silih berganti pada lintas generasi.

Kualitas kehidupan seorang anak manusia sangat tergantung dari caranya memanfaatkan waktu. Hidupnya akan berarti dan bernilai jika ia dapat memaksimalkan peran waktu di kehidupannya. Sebaliknya, kerugian dan kegagalanlah yang akan diperoleh saat dia menyia-nyiakan waktu yang dilaluinya.

Rasulullah SAW dalam hadisnya menjelaskan tentang urgensi waktu sebagai berikut,  “Ada dua jenis nikmat yang sering kali dilalaikan kebanyakan orang, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” Kedua nikmat ini merupakan anugerah tak terhingga dari Allah SWT  yang harus dimanfaatkan secara maksimal.

Terkait interpretasi dari hadis ini, Ibnul Jauzi menjelaskan, terkadang seseorang berada dalam kondisi sehat tapi tidak mempunyai waktu luang akibat tersita oleh pekerjaan dan urusan duniawi lainnya.

Sebaliknya saat seseorang mempunyai waktu luang namun tetap tidak bisa memanfaatkannya karena kondisi kesehatannya yang buruk sehingga waktu luang pun akan berlalu dengan sia-sia.

Dengan demikian, usia pada dasarnya tidaklah bernilai apa-apa dalam kehidupan ini, karena sebenarnya yang berharga itu adalah value dari pemanfaatan waktu. Value inilah yang akan membuat usia seseorang memiliki makna dan kualitas.

Seorang yang menyia-nyiakan puluhan tahun dari usianya, namun di saat-saat terakhirnya ia bertobat dan berbuat kebaikan maka kualitas usianya itu hanya di penghujung usianya saja. Ini menguatkan pernyataan dari ayat yang disebutkan sebelumnya.

Menarik sekali pernyataan dari Imam Syafi'i yang mengatakan bahwa selama dia bergaul dengan para ahli sufi, hanya dua pernyataan yang selalu dia dengar dari mereka, yaitu “Waktu itu ibarat pedang, jika kau tidak membunuhnya (waktu) maka dialah yang akan membunuhmu.”

Pernyataan lainnya, “Dan waktumu... jika tidak kau pergunakan untuk kebaikan maka dia akan menyibukkanmu dengan kejahatan.” Wallahu a'lam bish shawwab.
Oleh: Rafiqah Ahmad Lc MA

sumber : www.republika.co.id

Friday, August 15, 2014

Pertemanan Abadi

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak pernah lepas dari teman atau pertemanan, baik teman pada masa kecil dulu, teman pada waktu sekolah, ataupun teman dalam bisnis dan dalam perjuangan di jalan Allah SWT. Pertemanan adalah kecenderungan dasar manusia. Maka, sejatinya tak ada hidup tanpa pertemanan.

Dampak baik dan buruk pertemanan tak diragukan lagi, baik dilihat dari perspektif agama maupun dari ilmu pengetahuan. Dalam adagium Arab malah  ada ungkapan “Al-Nas ala dini ash-habihim” (manusia mengikuti agama temannya). Jadi, yang penting bukan soal pertemanannya, tetapi dengan siapa seseorang berteman atau menjalin pertemanan.

Seperti dimaklumi, teman itu ada dua macam, yaitu teman baik dan teman buruk. Rasulullah SAW mengumpamakan teman baik seperti penjual minyak wangi. Ia suka mengoleskan minyak wangi ke baju kita atau kita membelinya, atau setidak-tidaknya, kita mengendus aroma wanginya.

Sedangkan, teman yang buruk diumpamakan seperti tukang pandai besi. Kalau dekat-dekat, baju kita bisa terbakar atau paling tidak kita mengendus baunya yang tak enak. (HR Muslim dari Abu Musa).

Tak heran bila orang tua, para guru, dan orang-orang saleh, selalu memberi nasihat agar kita jangan sampai keliru dalam memilih teman atau membangun koalisi pertemanan.  Sebab, akibatnya bisa sangat fatal, yaitu kerugian dan kegagalan, lahir dan batin, dunia dan akhirat.

Penulis kitab Al-Hikam, Ibn Athaillah al-Sakandari, memberi nasihat soal pertemanan ini. Katanya, “Jangan pernah kamu berteman dengan orang yang sikap dan perkataannya tidak membimbingmu lebih dekat kepada Allah SWT.”

Ada dua kriteria yang ditekankan al-Sakandari, yaitu Hal (sikap mental) dan Maqal (kata-kata/perilaku). Term Hal menunjuk pada kondisi jiwa yang berisi keimanan, ibadah, dan kepatuhan kepada Allah SWT.

Dalam bahasa modern, Hal itu dinamai “kekuatan spiritual”. Ia diam, tidak berkata-kata (shamitah), tetapi pengaruhnya sangat dahsyat, menginspirasi, menggugah, dan mendorong orang lain pada kemuliaan dan kemenangan.

Sementara, term Maqal menunjuk pada perilaku dan keluhuran budi pekerti. Maqal adalah kecerdasan moral. Ia mengajak orang lain kepada yang baik (al-amr bi al-ma`ruf) dan mencegahnya dari kejahatan (al-nahyu an al-munkar) dengan cara-cara yang terhormat disertai sikap pantang kompromi dengan kebatilan.

Bagi al-Sakandari, hanya orang dengan dua kriteria di atas, layak dijadikan sebagai teman. Dialah teman abadi. Lain tidak! Lantas, siapa mereka? Mereka tak lain adalah orang-orang yang memperoleh petunjuk dan anugerah dari Allah. Mereka adalah orang-orang terbaik dan teladan dalam kemuliaan.

Seperti nasihat al-Sakandari, kita hanya boleh berteman dan membangun koalisi pertemanan hanya dengan kelompok ini. Pertemanan dengan mereka akan abadi sebagai koalisi permanen yang akan meraih kemuliaan dan kemenangan sampai kelak di surga.

Allah SWT berfirman, “Dan, barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh, dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS al-Nisa' [4]: 69). Wallahu a’lam!
Oleh: A Ilyas Ismail

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, August 13, 2014

Tiga Warisan Ramadhan

Tamu agung itu telah pergi. Kita tidak tahu apakah tahun depan masih dipertemukan kembali atau tidak. Ya, bulan suci Ramadhan telah berlalu. Kini Syawal telah tiba. Harapan apa yang hendak diraih di bulan Syawal hingga bulan-bulan selanjutnya setelah kita digodok sebulan penuh di bulan Ramadhan?

Kita tidak ingin nuansa Ramadhan menjadi pudar. Untuk itu, spirit Ramadhan mesti kita jaga dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai kita terlena kembali oleh hiruk-pikuk dunia sehingga melupakan apa yang sudah kita bangun pada bulan Ramadhan.

Kita masih ingat bagaimana menyambut Ramadhan dengan antusias. Pada siang hari menahan lapar dan haus  serta menjaga dari hal-hal buruk. Selama Ramadhan kita bersemangat ibadah Tarawih dan tadarus Alquran. Kita juga rela bangun pukul tiga dini hari untuk sahur. Apakah antusiasme dan keseriusan itu masih ada di bulan ini?
 
Bulan suci Ramadhan memberikan tiga warisan penting yang perlu kita pegang erat-erat dalam keseharian kita. Pertama, Alquran. Ramadhan adalah bulan diturunkannya Alquran. Rasulullah SAW dan para sahabat memberikan teladannya. Mereka begitu rajin membaca Alquran hingga beberapa kali khatam. Kita juga di bulan Ramadhan melakukan tadarus setiap hari yang lain dari biasanya.

Kebiasaan ini selayaknya dipertahankan di bulan-bulan selanjutnya. Sebagai petunjuk, Alquran tidak hanya dibaca tetap juga diamalkan segala perintah serta larangan yang tertera di dalamnya. Firman Allah: “Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil) ...” (QS al-Baqarah: 185).
 
Kedua, shalat. Pada bulan Ramadhan juga intensitas shalat begitu meningkat. Hal ini disebabkan semua amalan akan dilipatgandakan, sehingga memacu kita untuk melaksanakan shalat-shalat sunah. Paling tidak kita melaksanakan shalat sunah Tarawih sebelas rakaat ataupun 23 rakaat. Selayaknya amalan shalat sunah itu tetap dilakukan di bulan-bulan selanjutnya sebagai tanda keberhasilan kita di bulan Ramadhan.

Ketiga, infak. Pada bulan Ramadhan, kita juga dengan mudah memberi, mulai dari yang sunah seperti berinfak, menyantuni fakir-miskin, memberi iftar, hingga yang wajib, yaitu zakat fitrah dan zakat mal. Kebiasaan memberi ini sepatutnya dipertahankan dan terus dilestarikan di bulan-bulan berikutnya.

Ketiga hal di atas merupakan warisan berharga dari bulan Ramadhan yang mesti kita jaga dan amalkan terus-menerus dari bulan ke bulan hingga Ramadhan datang kembali di tahun berikutnya. Maka, dengan demikian,  kita bisa mencapai predikat manusia fitri, yang berhasil mengimplementasikan spirit Ramadhan di setiap bulannya.

Bukan tidak mungkin apabila implementasi ini muncul dari kesadaran kolektif, kaum Muslim betul-betul mencapai umat terbaik (khairu ummah) dan umat terpilih (ummatan wasathan).
 
Hal ini senada dengan firman Allah SWT, “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi” (QS Fathir: 29).
 
Mudah-mudahan di bulan Syawal ini dan bulan-bulan berikutnya kita terus mengamalkan tiga warisan Ramadhan di atas. Amin.
Oleh: M Iqbal Dawami

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, August 06, 2014

Silaturahim Hati

Bulan rahmah dan maghfirah telah berlalu. Kepergiannya diiringi dengan berbagai sambutan dari para pecintanya; ada yang teramat menyesal dan bersedih karena merasa belum memaksimalkan bulan Ramadhan, ada pula yang bersyukur karena telah mampu menjalani serangkaian target yang telah disusun selama bulan Ramadhan.

Apa pun perasaan yang kita miliki, tetaplah kita harus mensyukuri bahwa Idul Fitri adalah momentum penyucian hati setelah sebulan lamanya kita dilatih untuk menahan dan menyucikan diri dari segala hasrat duniawi; makan, minum, termasuk mengelola emosi.  Idul Fitri menjadi kesempatan terbaik untuk sama-sama membuka hati, memberi dan meminta maaf, serta menebarkan sifat belas kasih.

Meski memaafkan dan meminta maaf tak sebatas hanya pada saat perayaan Idul Fitri, momen perayaan ini kerap dispesialkan untuk berbagi dan memohon maaf. Tak ayal, ucapan yang sering kita dengar atau bahkan sering kita lontarkan ialah, ‘Mohon Maaf Lahir dan Bathin’.

Tak salah memang, memberi maaf terlebih meminta maaf adalah perilaku terpuji. Tak hanya bermaaf-maafan, Idul Fitri menjadi momen berharga untuk kembali merajut silaturahim bersama rekan dan sanak saudara.

Silaturahim (menyambung kasih sayang), atau yang justru sering disebut dengan silaturahmi adalah perbuatan baik yang dianjurkan Rasulullah SAW. Namun, hakikat silaturahim tak cukup dengan lahir (zahir/tampak), berupa berjabat tangan atau bertatap wajah. Hendaknya silaturahim bathin (hati) —yang sadar untuk meminta dan memberi maaf—benar-benar disadari, agar segala noda-noda di hati berupa iri, dengki, hasad, dendam, melebur hancur bersamaan dengan silaturahim tersebut.

Allah Swt berfirman, "Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya lagi Mahapenyantun." (QS al-Baqarah: 263)

Secara tersirat, Allah menyebutkan dua tingkatan kebajikan dalam ayat ini, Pertama, perkataan yang baik. Berkata yang baik adalah salah satu usaha hifdz al-lisan (menjaga lisan) adalah hal yang benar-benar dianjurkan dalam Islam, sehingga Rasulullah SAW pun bersabda, ‘Berkatalah yang baik, atau (jika tidak bisa) lebih baik diam,’.

Dalam hadis ini Rasulullah mengajak umatnya untuk mampu berkata baik dan membuahkan manfaat bagi sesama, bukan perkataan penuh dusta, caci-maki, dendam dan amarah. Kedua, kebajikan dengan memberi maaf dan ampunan kepada orang yang telah berlaku buruk kepada kita, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Nah, yang terakhir inilah yang disadari maupun tidak, sulit dilakukan.

Meminta maaf memang terkadang bukanlah perkara yang mudah, namun, bukan berarti kita tidak mampu melakukannya. Terkadang pula, perasaan tinggi hati kerap merusak niat diri sehingga kita malu mengutarakan ‘maaf’ terlebih dulu, padahal, jika kita cermati bersama, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal seorang Muslim menjauhi kawannya lebih dari tiga hari. Jika telah lewat waktu tiga hari itu, maka berbicaralah dengan dia dan berilah salam, jika dia telah menjawab salam, maka keduanya bersama-sama mendapat pahala, dan jika dia tidak membalasnya, maka sungguh dia kembali dengan membawa dosa, sedang orang yang memberi salam telah keluar dari dosa karena menjauhi itu.” (HR Abu Dawud)

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, “Pintu-pintu surga akan dibuka pada hari Senin dan Kamis, kemudian Allah akan memberi ampunan kepada setiap orang yang tidak menyekutukan Allah sedikit pun; kecuali seorang laki-laki yang ada perpisahan antara dia dengan saudaranya. Maka berkatalah Allah: ‘Tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka berdamai.” (HR Muslim)

Semoga kita tergolong menjadi hamba-Nya yang mampu menyambung tali kasih sayang ikhlas dari hati, sehingga mudah untuk memberi dan meminta maaf dengan tulus. Amin.
Oleh: Ina Salma Febriany


sumber : www.republika.co.id