-

Friday, December 04, 2015

Shalat Sebagai Penolong

Alquran dan hadis Nabi SAW telah menerangkan tentang kedudukan ibadah shalat, termasuk menjelaskan fungsi dan keutamaannya, baik secara eksplisit maupun implisit.

Misalnya, apabila shalat dikerjakan dengan sempurna, hati dan jiwa seseorang menjadi tenang dan tenteram (QS ar-Ra'du [13]: 28). Shalat juga bisa mencegah diri dari sifat keluh-kesah atau galau (QS al-Ma'arij [70]: 19-23).

Shalat pun dapat mencegah perbuatan keji dan munkar (QS al-Ankabut [29]: 45). Dengan shalat pintu keberkahan dari langit dan bumi akan terbuka (QS al-Araf [7]: 96).

Ibadah shalat akan menjadi penolong di saat seorang hamba berada dalam kondisi serbasulit dan susah (QS al-Baqarah [2]: 45-46). Dan sejumlah pesan spiritualitas kehidupan lainnya.

Khusus hubungannya dengan pesan shalat sebagai media yang menolong di saat kompleksnya terpaan kebutuhan mendesak dan kesulitan hidup, terdapat kisah inspiratif dari Rasulull ah SAW yang penting untuk kita teladani.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad disebutkan, “Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW apabila dirundung persoalan hidup, beliau segera mengerjakan shalat.” (HR Ahmad).

Hudzaifah Ibnu al-Yaman RA juga menuturkan, “Pada malam berlangsungnya Perang Ahzab, saya menemui Rasulullah SAW, sementara beliau sedang shalat seraya menutup tubuhnya dengan jubah. Apabila Nabi SAW menghadapi permasalahan, beliau akan mengerjakan shalat.

Ali bin Abi Thalib RA pernah menuturkan keadaan Rasulullah SAW ketika Perang Badar. “Pada malam berlangsungnya Perang Badar, kami semua tertidur kecuali Rasulullah SAW. Beliau shalat dan berdoa sampai pagi.

Fakta di atas menunjukkan betapa penting dan besarnya kedudukan shalat. Ia bukan hanya sebagai ritual ibadah seorang hamba kepada Allah semata, tetapi shalat mampu melahirkan kesan dan pengaruh pos itif terhadap pembentukan karakter dan realitas kehidupan.

Termasuk fungsi dan keutamaannya sebagai penolong di saat kondisi yang serba sulit karena banyaknya permasalahan yang dihadapi, baik secara personal, kolektif, keluarga, kerja tim, maupun dalam konteks kebangsaan dan negara.

Sebagaimana penderitaan nasional yang saat ini masih dirasakan, seperti tingginya angka kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, kebodohan, korupsi yang semakin merajalela, lemahnya ekonomi dan tumpulnya penegakan hukum dan sebagainya.
Demikian juga kasus kabut asap karena pembakaraan hutan belakangan ini, jelas telah mengakibatkan kemudaratan yang sangat besar, seperti kerusakan alam, kerugian material, dan bahkan hilangnya nyawa.

Di saat kondisi sulit seperti ini, sabar dan shalat hendaklah menjadi kekuatan yang menolong bagi setiap individu Muslim. Sebab, shalat merupakan cerminan totalitas ketundukan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Sedangkan, bagi orang-orang yang bertakwa, Allah menjamin untuk memberi pertolongan, jalan keluar, rezeki yang tidak diduga-duga, dan kemudahan dalam setiap urusannya. Belum lagi di akhirat kelak, orang-orang yang bertakwa akan mendapat ampunan dan balasan pahala yang besar. (QS atThalaq [65]: 2-5).

Yakin seyakin-yakinnya, shalat dapat membentuk kepribadian luhur dan terpuji bagi setiap hamba yang mengerjakannya. Bahkan, shalat bisa menjadi kekuatan yang menolong sekaligus menempatkannya pada derajat hidup yang mulia jika dikerjakan dengan baik dan sempurna. Wallahu Al Musta'an.
Oleh: Imron Baehaqi

sumber : www.republika.co.id

Thursday, November 26, 2015

Isi Pesan Shalat

Alquran dan hadis Nabi SAW telah menerangkan tentang kedudukan ibadah shalat, termasuk menjelaskan fungsi dan keutamaannya, baik secara eksplisit maupun implisit.

Misalnya, apabila shalat dikerjakan dengan sempurna, hati dan jiwa seseorang menjadi tenang dan tenteram (QS ar-Ra'du [13]: 28). Shalat juga bisa mencegah diri dari sifat keluh-kesah atau galau (QS al-Ma'arij [70]: 19-23).

Shalat pun dapat mencegah perbuatan keji dan munkar (QS al-Ankabut [29]: 45). Dengan shalat pintu keberkahan dari langit dan bumi akan terbuka (QS al-Araf [7]: 96). Ibadah shalat akan menjadi penolong di saat seorang hamba berada dalam kondisi serbasulit dan susah (QS al-Baqarah [2]: 45-46). Dan sejumlah pesan spiritualitas kehidupan lainnya.

Khusus hubungannya dengan pesan shalat sebagai media yang menolong di saat kompleksnya terpaan kebutuhan mendesak dan kesulitan hidup, terdapat kisah inspiratif dari Rasulullah SA W yang penting untuk kita teladani. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad disebutkan, "Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW apabila dirundung persoalan hidup, beliau segera mengerjakan shalat." (HR Ahmad).

Hudzaifah Ibnu al-Yaman RA juga menuturkan, "Pada malam berlangsungnya Perang Ahzab, saya menemui Rasulullah SAW, sementara beliau sedang shalat seraya menutup tubuhnya dengan jubah. Apabila Nabi SAW menghadapi permasalahan, beliau akan mengerjakan shalat."

Ali bin Abi Thalib RA pernah menuturkan keadaan Rasulullah SAW ketika Perang Badar. "Pada malam berlangsungnya Perang Badar, kami semua tertidur kecuali Rasulullah SAW. Beliau shalat dan berdoa sampai pagi."

Fakta di atas menunjukkan betapa penting dan besarnya kedudukan shalat. Ia bukan hanya sebagai ritual ibadah seorang hamba kepada Allah semata, tetapi shalat mampu melahirkan kesan dan pengaruh positif terhadap pembentukan karakter dan realitas kehidupan. Termasuk fung si dan keutamaannya sebagai penolong di saat kondisi yang serbasulit karena banyaknya permasalahan yang dihadapi, baik secara personal, kolektif, keluarga, kerja tim, maupun dalam konteks kebangsaan dan negara.

Sebagaimana penderitaan nasional yang saat ini masih dirasakan, seperti tingginya angka kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, kebodohan, korupsi yang semakin merajalela, lemahnya ekonomi dan tumpulnya penegakan hukum dan sebagainya. Demikian juga kasus kabut asap karena pembakaraan hutan belakangan ini, jelas telah mengakibatkan kemudaratan yang sangat besar, seperti kerusakan alam, kerugian material, dan bahkan hilangnya nyawa.

Di saat kondisi sulit seperti ini, maka sabar dan shalat hendaklah menjadi kekuatan yang menolong bagi setiap individu Muslim. Sebab, shalat merupakan cerminan totalitas ketundukan dan ketakwaan kepada Allah.

Sedangkan, bagi orang-orang yang bertakwa, Allah menjamin untuk memberi pertolongan, jalan keluar, rezeki yang tidak diduga-duga, dan kemudahan dalam setiap urusan nya. Belum lagi di akhirat kelak, orang-orang yang bertakwa akan mendapat ampunan dan balasan pahala yang besar. (QS atThalaq [65]: 2-5).

Yakin seyakin-yakinnya, shalat dapat membentuk kepribadian luhur dan terpuji bagi setiap hamba yang mengerjakannya. Bahkan, shalat bisa menjadi kekuatan yang menolong sekaligus menempatkannya pada derajat hidup yang mulia jika dikerjakan dengan baik dan sempurna. Wallahu Al Musta'an.

Oleh: Imran Barhaqi

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, November 24, 2015

Berilmu Sepanjang Hayat

Baqi bin Makhlad, seorang murid Imam Ahmad Bin Hanbal, layak menjadi teladan bagi para pencari ilmu. Ketika berusia 20 tahun, ia melakukan perjalanan dari Andalusia menuju Baghdad dengan berjalan kaki demi mencari ilmu.

Ia rela menempuh perjalanan yang begitu panjang, melewati padang pasir, melintasi lautan, dan mendaki pegunungan. Upaya itu dilakukan Baqi bin Makhlad untuk belajar hadis pada ulama terkemuka bernama Imam Ahmad bin Hambal.

Di tengah perjalanan ke Kota Baghdad, ia mendengar kabar bahwa Imam Ahmad bin Hanbal sedang menghadapi ujian.Saat itu, Imam Ahmad bin Hanbal berkukuh pada pendapatnya bahwa Alquran bukanlah makhluk.

Akibatnya, penguasa melarang sang imam untuk mengajar atau membuka majelis ilmu. Ia dipenjara di rumahnya. Mengetahui hal itu, Baqi pun bersedih. Namun, langkahnya untuk berguru pada sang imam tak berhenti.

Ia tetap melanjutkan perjalanan ke B aghdad. Setibanya di ibu kota Dinasti Abbasiyah, Baqi meletakkan perbekalannya dan pergi menuju Masjid Agung. Ia lalu pergi mencari rumah Imam Ahmad bin Hanbal.

Ia kemudian mengetuk pintu dan mengucap salam dan Imam Ahmad pun menjawab salam serta membuka pintu. “Aku adalah orang yang asing di negeri ini dan ingin mencari ilmu, tidaklah aku melakukan perjalanan mencari ilmu ini kecuali kepadamu,” ujar Baqi.

Imam Ahmad lalu bertanya, “Dari manakah asalmu?” “Dari Barat jauh. Aku mangarungi lautan untuk menuju ke sini,” jawab Baqi. Sang imam lalu berkata, “Tempat tinggalmu jauh sekali, dan sebetulnya aku ingin membantumu, tetapi aku sedang dalam tahanan rumah dan tidak boleh mengajarkan sesuatu.”

“Wahai Abu Abdillah (sebutan Imam Ahmad)... aku adalah orang yang asing, tidak ada satupun dari orang Baghdad yang mengenaliku. Jika engkau mau aku akan datang kepadamu setiap hari sebagai seorang pengemis kemudian aku ketuk pintu rumahmu aku meminta sedekah, kemudi an engkau membacakan kepadaku walaupun satu hadis dalam sehari,” ucap Baqi.

“Baiklah...,” ujar Imam Ahmad bin Hanbal. “Engkau boleh seperti itu tetapi dengan syarat tidak menceritakannya kepada para pencari hadis yang lain karena nanti mereka akan iri kepadamu.”

Kisah di atas memberi pesan pada kita, sejauh apa pun jarak akan ditempuh oleh orang-orang yang haus akan ilmu dan kebenaran. Orang terdahulu lebih baik keluar dari tempat tinggal untuk hijrah dari kondisi kebodohan.

Mencari ilmu atau belajar adalah proses yang harus dilakukan terus-menerus meskipun kita tidak lagi berada di lingkungan sekolah atau universitas.

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim).

Ilmu begitu penting dalam kehidupan umat manusia yang hendak mempertebal keimanan. Karena, ilmu dan keimanan laiknya dua sisi mata uang logam yang tidak terpisahkan.

Tanpa ilmu pengetahuan, keimanan kita bakal keropos. Sedangkan, tanpa keimanan, ilmu kita laksana kapal terbang tak berpilot, dapat mencelakakan para penumpang.

Itulah mengapa Allah SWT memerintahkan kita untuk selalu berlapang-lapang dalam majelis keilmuan (QS al-Mujaadilah [58]: 11). Di dalam Islam, belajar harus terus-menerus dilakukan tanpa mengenal usia, waktu, dan kesempatan.

Karena itu, ketika prinsip belajar sepanjang hidup tidak kita tanamkan dalam keyakinan, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menahan ilmu dari manusia dengan cara merenggutnya. Tetapi, dengan mewafatkan para ulama cendekia sehingga tidak lagi tersisa seorang alim.

Dengan demikian, orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang dungu lalu ditanya dan dia memberi fatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan,” (HR Mutafaqalaih). Wallahu alam.

Oleh: Dadang Kahmad

sumber : www.republika.co.id

Friday, October 23, 2015

Sekolah Anak Kita

Pilu rasanya hati melihat kenyataan yang menimpa anak-anak kita belakangan ini. Peristiwa kekerasan dan pelecehan seksual seakan menjadi rangkaian mata rantai yang belum juga bisa diakhiri.

Sebagian anak mengalami nasib malang karena dianiaya oleh orang tuanya sendiri. Begitu pula seorang anak SD menganiaya temannya hingga tewas. Hingga seorang gadis kecil ditemukan tewas di dalam kardus setelah mengalami kekerasan seksual.

Sejatinya, anak-anak adalah perhiasan hidup dunia yang menyenangkan hati orang tua. Mereka dilahirkan bersih, jujur dan tiada nista, fitrah dan selalu condong kepada kebaikan. (HR Bukhari). Anak kecil selalu tampil apa adanya sehingga kehadiran mereka selalu dinanti dan dirindukan dalam keluarga (QS 3: 14, 18: 46).

Anak belajar dari kehidupan sehingga mereka adalah produk masa yang dilaluinya. Karena itu, kita wajib menyediakan tempat-tempat belajar (sekolah) terbaik bagi mereka .

Ada empat sekolah yang membentuk kepribadian mereka. Pertama, keluarga. Sekolah pertama bagi anak adalah keluarga. Dalam sebuah keluarga dibangun tata sosial dan etika seorang anak. Ayah dan ibu menjadi guru utama untuk menanamkan akidah tauhid, syariat, dan akhlak (QS 2: 132-133, 31: 13-19).

Sikap, kata, dan perbuatan orang tua menjadi model dan rujukan utama bagi anak (kurikulum). Dr M Nasih Ulwan dalam buku Pendidikan Anak dalam Islam menyebutkan, keluarga menjadi wadah menanam akidah pohon tauhid dan syariat dengan keteladan, pembiasaan akhlak karimah, serta nasihat yang baik. Lalu, proses itu dikawal dengan pengawasan maksimal agar tumbuh menjadi pohon yang baik (syajaratun thayyibah).

Kedua, lembaga pendidikan (sekolah). Sekolah menjadi rumah kedua bagi anak, di mana tata sosial dibangun lebih terbuka. Sekolah harus menjadi komunitas baru yang aman dan nyaman agar anak bisa tumbuh normal bersama teman sebayanya.

Gur u layaknya orang tua kedua bagi anak. Kurikulum yang baik akan memban tu keluarga dalam pembiasaan sikap, kata, dan perilaku anak. Orang tua wajib memilih sekolah terbaik bukan termahal, yakni sekolah yang mengajarkan akidah lurus, syariat yang benar, dan akhlak yang baik.

Ketiga, lingkungan. Lingkungan sosial paling besar pegaruhnya, yakni kerabat, tetangga, teman sebaya, publik figur, tokoh masyarakat, pejabat negara, dan lainnya. Kejahatan, kekerasan, dan penyimpangan seksual sering kali dilakukan oleh orang dekat dan dikenal.

Orang tua harus memastikan anak pergi dengan siapa, di mana, main apa, dan berapa lama. Anak juga bisa belajar dari lingkungan alam sekitarnya. Jika alam masih terjaga, akan berdampak positif pada diri anak. Sebaliknya, jika alam rusak, hutan ditebang dan dibakar, polusi udara, asap kabut, dan hewan yang mati juga akan buruk bagi anak. Untuk itu, wajib bagi kita menjaga kelestarian alam semesta sebagai sekolah buat anak-anak masa depan.

Keempat, media. Sekolah keempat adalah media massa (cetak, elektronik, dan online), media sosial (Facebook, Twitter, dll), dan media komunikasi (HP, gadget). Dampak buruk siaran TV, internet, game online, gadget begitu nyata. Pornografi dan pornoaksi begitu mudah diakses.

Tayangan TV yang tidak mendidik dan HP yang merenggangkan hubungan keluarga. Warnet menjadi "sekolah" buruk yang bertebaran 24 jam. Anak pun bisa menjadi pribadi yang lemah, malas, dan pesimistis. (QS 4: 9).

Tidak ada kata lain kecuali kita harus hijrah berjamaah dari kemaskisatan, kezaliman, ketidakpedulian, kepura-kepuraan (ad-dzulumat) menuju ketaatan, keadilan, kepedulian, kejujuran (an-nuur). Kembali kepada keluarga dengan kasih sayang.

Oleh: Hasan Basri Tanjung

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, October 20, 2015

Apa yang Kita Tahu Tentang Masa Depan?

Banyak di antara kita yang mencemaskan tentang masa depannya di dunia ini. Hanya sedikit saja yang mengkhawatirkan kehidupan akhiratnya. Bagaimana besok, sukseskah? Lancarkah urusan rezeki atau justru sebaliknya? Tentang karier, pekerjaan, dan hal-hal lain yang menyangkut kehidupan duniawi, semuanya masih berbentuk harapan yang harus diperjuangkan.

Perbuatan syirik dengan meminta tolong paranormal kadang menjadi pilihan sebagian orang untuk mendukung kesuksesan. Bahkan, ada yang ironis, berziarah ke makam hingga berhari-hari waktunya, sementara orang tua yang sudah jompo di rumah ditelantarkan. Sesajen disiapkan sebaik mungkin, sementara orang tua tak dimuliakan.

Sekolah dan universitas terbaik dipilih, walau dengan biaya mahal sekalipun. Semuanya demi masa depan dan "narasi kesuksesan" yang disimbolkan oleh rumah dan mobil mewah, harta melimpah ruah, dan simbol kesuksesan duniawi lainnya. Apakah kita tahu tentang masa depan? Tentu, tak a da seorang pun yang tahu pasti tentang masa depannya.

Peramal terhebat sekalipun hanya bisa menduga-duga dan menyampaikan kebohongan. Untuk itulah Islam menilai syirik bagi mereka yang percaya dengan ramalan. Rasulullah SAW ber sabda, "Barang siapa yang mendatangi tukang ramal, kemudian menanyakan sesuatu dan ia memercayainya, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari." (HR Muslim).

Masa depan merupakan akumulasi hasil dari seluruh tindakan yang terlukis pada deret ukur waktu. Tahapan dari bilangan kehidupan yang telah dicatatkan. Orang saleh akan mencatatkan bilangan kebaikan tiada henti, tiap helaan napasnya. Puncak dari kebaikan adalah harapan sejati, kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Di dunia akan dikenang kebaikannya, di akhirat akan menghuni surga.

Sabda Rasul SAW, "Orang yang cerdik adalah yang selalu menjaga dirinya dan beramal untuk bekal sesudah mati. Sedangkan orang yang kerdil, yaitu orang yang hanya meng ikuti nafsunya, tetapi ia mengharapkan berbagai harapan kepada Allah. " (HR Tirmidzi). Hasil yang didapatkan berbanding lurus dengan usaha yang dilakukan.

Firman-Nya, "Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barang sia pa yang mengerjakan keburukan seberat dzarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya,"(QS al-Zalzalah: 7-8).

Mereka yang malas-malasan, tentu akan mendapatkan buah pahitnya kehidupan. Menangis dan menyesal pun tiada gunanya, jangankan di akhirat, di dunia ini balasan nyata bagi si malas akan terlihat.

Di dunia ini, setiap individu tengah memerankan tugas kehidupan, baik sebagai khalifah maupun hamba Allah SWT. Kepada mereka yang tengah menjalani peran apa pun itu, baik sebagai pejabat, staf, orang kaya, orang miskin, dan yang lainnya, sadari bahwa peran itu adalah kehendak-Nya, begitulah Tuhan meletakkan kuasa-Nya.

Tugas kita adalah bagaimana memerankan peran tersebut sebaik mungkin untuk mendapatkan ridha-Nya semata. Tugas kita adalah berikhtiar semaksimal mungkin agar menjadi yang terbaik dalam setiap peran. Peran dan fungsi yang berbeda tersebut merupakan bentuk kasih sayang Allah agar roda kehidupan terus berjalan.
Maka dari itu, pergunakan peran serta waktu yang dimiliki sebaik mungkin. Di atas semua peran itu, manusia bertakwalah yang paling mulia. Wallahu a'lam.
Oleh: Iu Rusliana

sumber : www.republika.co.id

Friday, October 16, 2015

Empat Peringkat Kualitas Cinta

Manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan, antara lelaki dan perempuan. Manusia dianugerahi perasaan cinta dan kasih sayang. Karena itu, menjadi fitrahnya manusia ingin mencintai dan dicintai satu sama lain. Jika kebutuhan mencintai dan dicintai terpenuhi, hatinya menjadi tenteram, damai, dan bahagia.

Pertanyaannya, "Mengapa Allah menanamkan rasa cinta pada diri manusia? Apakah cinta merupakan sumber kebahagiaan? Ataukah justru penyebab berbagai masalah kemanusiaan? Bagaimana mengaktualisasikan "fitrah cinta" manusia dalam rangka mewujudkan ketaatan dan dedikasi sejati kepada Allah SWT dan dalam menjalani kehidupan rumah tangga?"

Cinta adalah fitrah manusia sekaligus merupakan anugerah Ilahi. Manusia yang tidak memiliki rasa cinta adalah manusia yang tidak normal. Sejak lahir, fitrah cinta itu ada dalam diri manusia. Allah menarasikan fitrah cinta itu, antara lain, dengan istilah hubbub asy-syahawat (mencintai yang menjadi kein ginannya). (QS Ali Imran [3]: 14).

Menurut Imam al-Ghazali, ada empat peringkat kualitas cinta. Pertama, cinta diri sendiri; semua hal yang berhubungan dengan cinta diukur dengan kesenangan diri sendiri. Cinta jenis ini cenderung hedonis dan materialistis.

Kedua, cinta transaksional, yaitu cinta kepada orang lain sepanjang orang yang dicintainya itu membawa keuntungan baginya, seperti cinta pedagang kepada pembeli atau para calon pemimpin dengan rakyat yang akan memilihnya. Bujuk rayu, janji, dan harapan palsu diberikan demi mewujudkan transaksinya.

Ketiga, cinta kepada orang, baik meski tidak memperoleh keuntungan langsung, seperti cinta seseorang kepada kiai, ulama, dan pemimpin. Ia rela berkorban demi orang yang dicintainya. Kebahagiaan hidupnya, antara lain, terletak pada kepuasannya berjuang dan berkorban demi yang dicintainya.

Keempat, cinta pada kebaikan semata, terlepas dari siapa yang memiliki kebaikan, bahkan kebaikan yan g ada pada musuhnya. Jenis cinta yang terakhir inilah yang dapat meng antarkan ke tingkat cinta kepada Tuhan.

Bagi seorang sufi Rabi'ah al-Adawiyyah, cinta sejati adalah cinta Ilahi (al-hubb al-Ilahi). Cintanya kepada Allah tidak memberikan ruang di dalam hatinya untuk membenci, termasuk membenci setan. Cinta Ilahi adalah cinta yang membuatnya selalu rindu untuk bersimpuh di hadapan-Nya, selalu memuja dan memuji-Nya tanpa berharap apa pun selain ridha-Nya.

Aktualisasi cinta sejati dalam keluarga sakinah harus dibarengi dan dilandasi oleh cinta yang tulus kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan senantiasa menaati syariat-Nya. Sebagai anugerah yang indah, cinta dalam rumah tangga harus dirawat dan dikembangkan dengan membiasakan "berjamaah" dalam banyak hal, misalnya dalam shalat, pengambilan keputusan penting, makan, rekreasi, suka dan duka, dan seterusnya.

Indahnya cinta dalam keluarga sakinah seperti itulah yang pernah diteladankan Rasulullah SAW dalam mengarungi mahligai rumah tangganya. Meskipun tidak serbaberkecu kupan secara ekonomi dan materi, Rasulullah sukses mewujudkan "surga dunia" yang penuh kebahagiaan hakiki.

Sesungguhnya di antara manusia yang paling dicintai Allah adalah orang yang sabar, lisannya terus berzikir, dan pandai bersyukur. (HR at-Thabarani).

Jadi, cinta sejati itu anugerah yang kaya energi positif jika dilandasi cinta Ilahi. Cinta Ilahi dengan berhias kesabaran, kebersyukuran, dan lisan yang berzikir akan membuahkan kebahagiaan bila diaktualisasikan dalam rangka meraih ridha-Nya, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Oleh: Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, October 13, 2015

Agar Hidup Dimudahkan

Alkisah, tiga orang pemuda terpaksa harus menginap di dalam sebuah gua ketika sedang menempuh suatu perjalanan. Belum lama mereka beristirahat di dalam gua tersebut, tiba-tiba sebongkah batu besar menutupi rongga gua.

Mereka pun berusaha keluar dari gua, tetapi karena terlalu beratnya, batu besar itu tak bergeser sedikit pun. Mereka pun kelelahan, tetapi tetap berupaya mendorong batu besar itu dengan segala upaya.
Di tengah keputusasaan menghampiri mereka karena segala usaha tidak membuahkan hasil, akhirnya mereka berdoa kepada Allah SWT.

Satu per satu mereka mengutarakan keikhlasan ketika beramal baik sehingga batu besar yang menutupi rongga gua sedikit demi sedikit bergeser. Pemuda pertama berdoa sembari mengutarakan amal baik kepada Allah, yakni ia tidak berani memberikan jatah minum (susu) orang tuanya pada anak-istri.

Suatu ketika, ketika ia mendapati ibunya sedang tertidur, ia tidak membangunkannya untuk memberikan jatah minum susu. Ia dengan sabar menunggu hingga orang tuanya terbangun.

Pemuda kedua berdoa sambil mengingat amal baik yang pernah ia lakukan, yakni ketika berhasil lari dari tipu daya wanita yang dicintai untuk melakukan perbuatan zina, meskipun wanita tersebut sudah berada di hadapannya.

Kemudian pemuda ketiga berdoa sembari mengutarakan amal baiknya, yakni ketika ia lupa memberikan upah pekerjaan kepada seseorang, lalu upahnya itu diinvestasikan sehingga keuntungannya berlipat-lipat.

Tetapi, selang beberapa waktu, orang upahan tersebut datang untuk menagihnya. Dengan penuh keikhlasan, ia pun memberikan seluruh unta, sapi, kambing, dan budak sebagai upah orang tersebut.

Batu besar yang menutupi rongga gua itu pun bergeser dan mereka bertiga dapat keluar dari dalamnya sehingga dengan penuh kegirangan mereka melanjutkan perjalanannya.

Kisah di atas memberikan pemahaman bahwa sebagai manusia, ketika mengarungi hidup di muka bumi ini, kita selalu berharap selalu dimudahkan ketika ditimpa kesulitan.

Betapa banyak doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT saat shalat, zikir, atau yang lainnya, berisi harapan agar terhindar dari kesulitan. Harapan kita untuk terhindar dari kesulitan itu tidak hanya sebatas di dunia, tetapi sampai di akhirat nanti.

Bukankah kita selalu berharap agar Allah memupus dosa-dosa kita? Ini, misalnya, tercerm in dalam doa: "Rabbanaghfirli waliwalidayya walilmu'minîna yauma yakumul hisab." (Ya Tuhanku, maafkanlah dosa dan kesalahan kami, dosa dan kesalahan kedua orang tua kami, juga dosa dan kesalahan orang-orang mukmin pada hari penghisaban).

Orang yang dalam kesehariannya selalu membiasakan diri dengan perilaku-perilaku baik, bergaul dengan orang baik, dan selalu mengejawantahkan nilai-nilai kebaikan akan dengan gampang menemukan kemudahan itu. Karenanya, kalau kita bersungguh-sungguh menjalankan kebaikan, kesulitan akan digantikan dengan kemudahan.

Allah SWT berfirman, “Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.” (QS al-Lail [92]:5-10).

Karenanya, ketika ingin selalu dimudahkan menapaki kehidupan in i, berbuat baiklah. Insya Allah hidup kita akan selalu dimudahkan Allah SWT.

Orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan jalan-jalan yang mudah dari Kami. Sesungguhnya Allah senantiasa berserta dengan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS al-Ankabut [29]: 69). Wallahu 'alam
Oleh: Ahmad Sarbini 

sumber : www.republika.co.id

Monday, October 12, 2015

Belajar Sedekah dari Pohon

Alquran menjelaskan fenomena alam dengan ungkapan yang sangat indah. "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Dan, apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (QS al-Fushilat [41]: 53).

Kebenaran Alquran dapat diketahui melalui apa saja, mulai dari merenungi fenomena alam semesta hingga fenomena kemanusiaan yang terjadi pada diri kita. Namun, yang banyak luput dari aktivitas permenungan kita, yakni bukti kebenaran Alquran terdapat pada fenomena pohon.

Alquran banyak menyebut jenis pohon sebagai sesuatu yang penting dan mesti diperhatikan. Pohon tien dan zaitun, misalnya, dijadikan sarana sumpah Allah atas kesempurnaan ciptaan-Nya, yaitu manusia (QS at-Tien [95]: 1-5). Bahkan, pohon zaitun secara khusus disebut sebagai pohon penuh berkah (syajarah mubaarokah) (QS an-N ur [24]: 35).

Bila dilihat dengan mata telanjang, pohon tidak memperlihatkan gejala menarik apa pun. Ia merupakan makhluk hidup yang statis, diam dan tidak bergerak. Namun, bila dilihat dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan sains, betapa keberadaan pohon sungguh menarik. Ternyata, ia tidak diam; ia terus bekerja tanpa henti memberikan kebaikan kepada penghuni di muka bumi.

Dalam perspektif ilmu biologi, siang dan malam, melalui akarnya, pohon terus menyerap air dan unsur makanan lainnya yang kemudian disalurkan ke batang, dahan, ranting, dan daun. Bahkan, pada siang hari pekerjaannya semakin bertambah.

Di bagian hijau daun (klorofil) dengan dibantu sinar matahari, pohon melakukan kerja fotosintesis, yaitu sebuah proses sintesis antara air yang diserap dari tanah dan karbondioksida yang diserap oleh daun dari udara bebas. Proses fotosintesis ini menghasilkan glukosa dan oksigen.

Glukosa dipakai untuk menumbuhkan dirinya, sed angkan oksigen dibagikan kepada makhluk hidup lainnya, termasuk manus ia. Karena pohon berbagi sebagian hasil kerjanya dalam bentuk oksigen, siapa pun yang mendekatinya akan merasakan suasana nyaman, sejuk, dan damai.

Fenomena pohon di atas setidaknya mengajarkan dua hal kepada kita. Pertama, kita mesti senantiasa menyisihkan sebagian rezeki hasil usaha atau kerja kita untuk dibagikan secara ikhlas kepada orang lain sebagaimana pohon berbagi tanpa pamrih sebagian hasil kerjanya dalam bentuk oksigen kepada makhluk hidup lainnya.

Kedua, kebiasaan berbagi rezeki secara ikhlas kepada orang lain akan mendatangkan suasana damai, sejuk, dan nyaman sebagaima kesejukan yang diberikan oksigen akibat dari sifat berbagi pohon.

Jadi, bila kita, baik secara pribadi maupun komunitas, ingin hidup damai, sejuk, tenteram dan penuh cinta kasih, biasakanlah berbagi kepada sesama. Suasana nyaman, sejuk, dan damai akibat kebiasaan dari berbagi dengan ikhlas sejatinya merupakan prakondisi untuk membuka pintu-pintu rezeki, kemuda han hidup, kemuliaan, dan persaudaraan yang hakiki.

Allah SWT berfirman, "Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah." (QS al-lail [92]: 5-7).

Sebagai seorang hamba Allah, kita harus belajar dari kebaikan tanpa pamrih yang diberikan pohon dengan menebarkan kepedulian sosial, menjaga kebersihan lingkungan, membebaskan fakir miskin dari penderitaan, dan selalu memberi tanpa henti untuk kemaslahatan seluruh penduduk di muka bumi. Wallahu a'lam.
Oleh: Karman
sumber : www.republika.co.id

Friday, October 09, 2015

Empat Doa Nabi Ibrahim

Bulan Dzulhijah tidak bisa dilepaskan dengan kisah kekasih Allah (Khalilullah), Nabi Ibrahim as. Semasa hidupnya, sang nabi mempunyai banyak harapan yang ia tuangkan dalam berbagai lantunan doa.
Pertama, harapan untuk dirinya. Nabi Ibrahim sangat berharap dirinya bebas dari kemusyrikan (menyekutukan Allah). "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah) negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala." (QS Ibrahim [14]: 35).
Sayyid Quthb dalam tafsirnya berujar: "Do'a ini menampakkan adanya kenikmatan lain dari nikmat-nikmat Allah. Yakni nikmat dikeluarkannya hati dari berbagai kegelapan dan kejahiliyahan syirik kepada cahaya beriman, bertauhid kepada Allah SWT." Demikian pentingnya iman dalam diri kita sehingga menjadi suatu prinsip (al-dhowabith) bagi seorang Muslim.
Kedua, harapan untuk keluarga. Mulai dari orang tuanya, "Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, 'Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai Tuhan-Tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.' (QS al-An'am [6]: 74).
Hingga anak keturunannya, "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: 'Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!' Ia menjawab: 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.'" (QS al-Shaffat [37]: 100-102).
Nabi Ibrahim AS sangat berharap keluarganya, terutama ayahnya, meninggalkan perkara menyekutukan Allah SWT. Meskipun pada akhirnya hidayah Allah yang menentukan. Ketiga, harapan untuk masyarakat, baik saat itu maupun hingga nanti. Bahkan, Nabi Ibrahim meminta kepada Allah agar suatu saat nanti, diutus seorang rasul sekalipun ia telah tiada.
"Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (Alquran) dan al-Hikmah serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS al-Baqarah [2]: 129).
Keempat, harapan untuk bangsa dan negara. Kecintaan Nabi Ibrahim kepada umatnya semakin terlihat saat beliau pun berdoa bukan hanya untuk dirinya, keluarganya, maupun masyarakat sekitar, tetapi bangsa dan negaranya beliau doakan. "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.
Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali." (QS al-Baqarah [2]: 126) Demikian harapan sang nabi, semakin ia mendekat dan mencintai Allah, bahkan menjadi kekasih Allah, beliau semakin banyak berdo'a, berharap semuanya semakin membaik. Mulai dari diri sendiri, keluarga terdekat, masyarakat sekitar hingga bangsa dan negara. Wallahualam.
Oleh: Hiznu Sobar

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, October 06, 2015

Kitakah yang Dicintai Allah?

Meskipun manusia sering kali tak bersyukur dan kufur nikmat, tapi rahmat Allah SWT selalu lebih dominan dari murka-Nya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya, Allah SWT jika mencintai seorang hamba maka Dia memanggil malaikat Jibril dan berkata, 'Wahai Jibril, Aku mencintai orang ini, maka cintailah dia!'
Maka, Jibril pun mencintainya, lalu Jibril mengumumkannya kepada seluruh penduduk langit dan berkata, 'Wahai penduduk langit, sesungguhnya Allah mencintai orang ini, maka cintai pulalah dia oleh kalian semua.' Maka seluruh penduduk langit pun mencintainya. Kemudian, orang itu pun dicintai oleh segenap makhluk Allah di muka bumi ini." (HR Bukhari).

MasyaAllah! Lihatlah cinta Allah, bagaiamana Allah mengumumkan cintanya kepada sekalian makhluk-Nya? Dan, mungkinkah itu adalah kita? Kita yang dicintai Allah dan semua makhluk yang di langit juga yang di bumi?

Inilah jenis kita yang ingin dicintai Allah. Pertama, at-tawwabin dan al-mutathahhirin (orang-orang yang bertobat dan menyucikan diri). "Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS al-Baqarah [2]: 222). Kedua, al-muqsithin (orang-orang yang adil). "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil." (QS al-Maidah [5]: 42).

Ketiga, al-muttaqin (orang-orang yang takwa), "Maka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." (QS Ali Imran [3] 76). Keempat, al-muhsinin yang gemar bibadah, dermawan, dan senantiasa berbuat kebaikan. "(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS Ali Imran [3]: 134).

Kelima, al-mutawakilin (orang-orang yang bertawakal kepada Allah, setelah doa, ikhtiar, dan baik sangka). "Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS Ali Imran: 159).

Keenam, as-shobirin, (mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar." (QS Ali Imran [3]: 146). Ketujuh, orang-orang yang mengikuti Rasul. "Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai All ah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. ' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Ali Imran [3]: 31).

Kedelapan, oang-orang yang berperang di jalan Allah. "Sesungguhnya, Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (QS as-Shaf 61: 4).

Kesembilan, orang-orang yang rajin shalat malam. "Sesunguhnya, Tuhanmu mengetahui bahwa engkau berdiri shalat malam kurang dari sepertiga malam." (QS al-Muzammil: 20). Kesepuluh, orang-orang yang banyak mengingat mati. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang banyak mengingat kematian, niscaya Allah mencintainya." Itulah beberapa orang yang paling dicintai Allah, semoga semakin menambah semangat kita dalam beribadah agar senantiasa dicintai Allah SWT.

sumber : www.republika.co.id

Friday, October 02, 2015

Filosofi Melontar Jumrah

Seusai wukuf di Arafah tepatnya setelah terbenam matahari pada 9 Dzulhijah, jamaah haji mulai bergerak menuju Muzdalifah untuk bermalam (mabit). Mabit di Muzdalifah, walaupun hanya sebentar, diharapkan dapat memberi kesempatan kepada jamaah haji untuk memulihkan tenaga.

Selama mabit di Muzdalifah, jamaah haji tidak dituntut melakukan aktivitas tertentu. Tetapi, berdasar riwayat dari Jabir bin Abdullah RA, "Begitu Rasulullah SAW tiba di Muzdalifah beliau langsung shalat Maghrib dan Isya dengan satu azan dan dua iqamah; di antara keduanya tidak ada shalat sunah apa pun. Kemudian, beliau tidur hingga terbit fajar. Beliau shalat Subuh setelah jelas datang waktu subuh dengan satu kali azan dan satu kali iqamah." (HR Muttafaq 'Alaih).

Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa Rasulullah SAW mendirikan shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah dengan cara jamak dan qashar. Selain it u, jamaah haji dibenarkan memungut sedikitnya tujuh butir kerikil untuk melontar jumrah di Mina.

Namun, banyak jamaah haji Indonesia belakangan ini tidak sepenuhnya dapat melaksanakan mabit di Muzdalifah. Mereka karena satu dan lain hal ada yang langsung menuju Mina.

Di sinilah mereka diharapkan dapat beristirahat dengan leluasa. Kondisi fisik yang bugar sangat diperlukan guna melaksanakan aktivitas berikutnya yang lebih berat: melontar jumrah.

Melontar jumrah termasuk wajib haji. Maka, dalam perspektif hukum, melontar jumrah harus dipahami sebagai bentuk ketaatan memenuhi perintah Allah SWT.

Kendati demikian, bagi jamaah haji yang kurang sehat, misalnya, dapat menggantinya dengan cara membayar dam. Atau, menurut sebagian pendapat dapat pula dengan cara mewakilkannya kepada orang lain.

Melontar itu dilakukan di tiga jumrah: Ula, Wustha, dan Aqabah. Hal tersebut berdasar pada apa yang dicontohkan oleh Ibrahim A S, Ismail AS (putranya), dan Hajar (istrinya).

Allah berf irman: "Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia" (QS Al-Mumtahanah [60] : 4). Selain itu juga berdasar pada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Ibrahim AS, Ismail AS, dan Hajar saat akan melaksanakan perintah Allah (menyembelih Ismail AS) digoda sedemikian rupa oleh setan.
Lalu, mereka bertiga sepakat melawan setan dengan cara melemparinya dengan kerikil. Cara yang mereka pilih ternyata efektif. Maka, Ibrahim AS pun sukses menunaikan kewajibannya dengan baik.

Ibrahim AS dan keluarga kecilnya berhasil mengalahkan setan dengan melontarinya menggunakan kerikil. Tetapi, mengapa sebagian jamaah haji yang sejatinya pernah melontar jumrah di Mina dalam kesehariannya belum mampu mengalahkan setan?

Melontar jumrah hanya simbolik. Setan bukan hanya dimusuhi ketika melontar jumrah. Setan adalah musuh abadi. Maka, jadikanlah musuh untuk selama-lamanya. Ya Allah, lindungilah kami dari godaan setan yang terkutuk.

Oleh: Mahmud Yunus
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, September 29, 2015

Teladan Ibrahim untuk Orang Tua

Ibrahim dan Ismail merupakan utusan Allah SWT yang darinya tumbuh generasi-generasi pilihan. Allah SWT melalui Alquran memerintahkan Muhammad SAW agar mengikuti agama Ibrahim yang hanif, seperti difirmankan dalam surah an-Nahl ayat 123, “Kemudian Kami Wahyukan kepadamu (Muhammad), ikutilah agama Ibrahim yang hanif, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik.”

Ajaran Ibrahim AS sampai sekarang masih kekal dan diamalkan umat Islam, salah satunya yaitu melaksanakan ibadah kurban pada 10 Dzulhijah dan pada hari-hari tasyrik. Bentuk pengorbanan berupa ibadah kurban yang dimulai pada zaman Ibrahim dengan mengorbankan putranya, Ismail, bukanlah pengorbanan yang kecil.

Setelah beberapa lama belum dianugerahi putra, akhirnya Allah SWT mengabulkan doa Ibrahim dengan menganugerahinya seorang putra bernama Ismail. Namun, setelah Ismail mencapai usia remaja, Allah SWT memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih p utranya itu.

Ibrahim yang sudah sangat lama mendambakan seorang putra harus dihadapkan pada sebuah kenyataan yang sangat dilematis, yaitu harus menyembelih anaknya. Jika tidak ada keyakinan yang kuat di antara kedua manusia saleh ini, pastilah tidak akan terjadi pengabdian yang total atas perintah Allah SWT.

Ibrahim dan Ismail begitu yakin pada perintah Allah SWT. Ismail pun yakin sang ayah tak akan mencelakainya. Apa yang bisa diambil pelajaran dari perjalanan Ibrahim dan Ismail?

Pertama, kedekatan orang tua dan anak mampu menumbuhkan rasa saling percaya yang kuat dalam ketaatan kepada Allah SWT sehingga menjadikan sebuah pengorbanan besar itu bisa dilaksanakan dengan totalitas tanpa keraguan sedikit pun.

"....Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang Diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Al lah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (Q S al-Shafat: 102). Tidak ada penolakan sama sekali dari Ismail atas perintah penyembelihan itu.

Kedua, keberanian berkorban Ismail pada usia belia karena berada dalam bimbingan Ibrahim sebagai orang tua yang pantas dipercaya. Kepercayaan seseorang bisa menjadi bekal lahirnya pengorbanan.

Bagaimana mau berkorban jika keyakinan dan kepercayaan tidak ada. Mengajarkan dan memberikan contoh berkorban terhadap anak sejak awal merupakan investasi untuk masa depan anak.

Bahkan keluarga, bukan sekadar untuk mendapatkan pahala, melainkan juga untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik karena sebelumnya dibiasakan sikap ikhlas untuk berkorban.

Berkorban waktu untuk beribadah, belajar, membantu orang tua, membantu dan menolong sesama, sehingga nantinya memiliki life skill dan soft skill sebagai bekal bidup.

Ketiga, orang tualah yang mengajak dan memberikan contoh, melatih putra-putrinya untuk berkorban sejak dini agar nanti di kemudian bisa terbiasa.

Semoga kita tidak kesulitan dalam mengajak putra-putri kita dalam melakukan kebaikan karena kita sudah membangun kepercayaan dan keyakinan yang kuat dengan keluarga dan putra-putri kita.

Berguru kepada Ibrahim dan Ismail tentang berkorban adalah belajar bagaimana membangun keyakinan dan kepercayaan serta berkorban dengan ikhlas terhadap Allah SWT serta membangun sikap saling percaya yang dibangun dalam keluarga dengan ikatan tauhid.

Dengan sikap saling percaya itulah sikap berkorban akan mudah ditunaikan minimal di lingkungan keluarga, terlebih di masyarakat. Berani berkorban sejak dini berarti berani untuk mendapatkan kebaikan dan mudah untuk berkorban di saat dewasa nanti. Wallahu'alam.

Oleh: Abdul Hopid
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, September 22, 2015

Amal Terbaik

Suatu hari Abu Dzarr bin Jundah RA bertanya kepada Rasulullah SAW, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan berjuang di jalan-Nya.

Aku bertanya, “Memerdekakan budak yang bagaimana yang paling utama?” Beliau menjawab, “Memerdekakan budak ketika sangat disayangi tuannya dan yang paling mahal harganya.

Aku bertanya, “Seandainya aku tidak mampu berbuat yang sedemikian, lalu bagaimana?” Beliau menjawab, “Kamu membantu orang yang bekerja atau kamu menyibukkan diri agar hidupmu tidak sia-sia.

Aku bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku tidak mampu melakukan sebagian pekerjaan itu? “Beliau menjawab, “Janganlah kamu berbuat kejahatan kepada sesama manusia, karena sesungguhnya yang demikian itu te rmasuk sedekah untuk dirimu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas menunjukkan betapa banyak jalan untuk kebaikan. Iman menjadi amalan yang paling utama, bahkan menduduki peringkat teratas. Tentu saja bukan tanpa sebab, tanpa iman yang kokoh, sikap tauhid, segala amal kebaikan menjadi tak ada nilai spiritualnya.
Iman kepada Allah Yang Maha Kuasa menjadi sarana pembebasan manusia dari penghambaan pada yang lainnya. Tidak ada lagi tuhan-tuhan kecil yang diperhamba, selain Tuhan sejati, Allah SWT.

Rasulullah Saw bersabda, “ Iman itu mempunyai tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang, yang paling utama adalah ucapan Laa Ilaaha Illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Sedangkan malu adalah cabang dari iman.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam praktiknya, ikhlas dalam seluruh kegiatan ibadah merupakan kunci untuk memperoleh amalan terbaik. Firman Allah SWT, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus,” (QS Al-Bayyinah:5).

Niat yang tulus dalam beribadah tentu menjadikan setiap kebaikan memiliki keutamaan yang lebih di hadapan Allah. Rasul bersabda, “Setiap amal disertai dengan niat. Setiap amal seseorang tergantung dengan apa yang diniatkannya. Karena itu, siapa saja yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya diterima dan diridhai Allah dan Rasul-Nya. Tetapi barang siapa yang melakukan hijrah demi kepentingan dunia, atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya akan mendapat apa yang menjadi tujuannya,” (HR Bukhari Muslim).

Hanya saja, berhati-hatilah dengan jebakan setan yang begitu halus dan lembut. Bahkan, jebakannya bisa hadir di tengah-tengah ibadah dan amalan yang dilakukan. Merasa benar, riya dan ingin dipuji orang lain merupakan jebakan syetan yang harus dihindari.

Amalan terbaik juga merupakan amalan yang tidak memberatkan dan yang dilakukan terus menerus. Berlebihan dalam beribadah pun bukanlah merupakan amalan terbaik.

Hal ini pernah dikisahkan ketika Rasul SAW masuk ke ruma h Siti ‘Aisyah, waktu itu ada seorang wanita, dan beliau bertan ya, “Siapakah dia?” ‘Aisyah menjawab: “Ini adalah si Fulanah yang terkenal shalatnya.

Nabi bersabda, “Wahai Fulanah, beramallah sesuai kemampuanmu. Demi Allah, Dia tidak akan bosan untuk menerima amalmu, sehingga kamu sendirilah yang merasa bosan. Sesungguhnya amalan yang paling disukai Allah, yaitu yang dikerjakan secara terus menerus.” (HR Bukhari Muslim).
Oleh: Iu Rusliana

sumber : www.republika.co.id

Friday, September 18, 2015

Teladan Kesabaran

Allah berfirman, "Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan, mereka merasa seolah-olah tinggal (di dunia) hanya sesaat pada siang hari. Tugasmu hanya menyampaikan. Maka, tidak ada yang dibinasakan kecuali kaum yang fasik (tidak taat kepada Allah)." (QS al-Ahqaf [46]: 35).

Semua nabi dan rasul Allah adalah orang-orang yang sabar. Dari sekian banyak nabi dan rasul, ada yang dikenal dengan sebutan rasul Ulul Azmi. Mereka ini adalah para nabi dan rasul yang paling penyabar di antara yang lainnya. Mereka adalah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad. Ulul Azmi berarti pemilik keteguhan hati.

Nabi Nuh disebutkan berdakwah dengan begitu sabar selama 950 tahun, mengajak umatnya untuk beriman kepada Allah, tetapi hanya sedikit yang mengikuti beliau. (QS al-'An kabut [29]: 14).

Nabi Ibrahim disebutkan berdakwah dengan sangat sabar tidak hanya kepada kaumnya, tetapi juga kepada Azar, ayahnya, sang pembuat berhala, dan seorang raja yang kejam bernama Namrud. (QS al-An'am [6]: 74). Ibrahim bahkan harus menjalani siksaan kejam, yakni dibakar hidup-hidup oleh Raja Namrud, tapi Allah menyelamatkannya sehingga tidak mempan dibakar.

Nabi Musa juga sangat sabar menghadapi kaumnya, Bani Israil, yang suka ngeyel dan ingkar janji. Padahal, Allah telah melimpahkan kepada mereka begitu banyak nikmat, misalnya, diselamatkan dari kekejaman Fir'aun serta diberikan makanan berupa manna dan salwa.

Alquran menyebutkan, "Wahai Bani Israil! Sungguh, Kami telah menyelamatkan kamu dari musuhmu dan Kami telah mengadakan perjanjian dengan kamu (untuk bermunajat) di sebelah kanan gunung itu (Gunung Sinai) dan Kami telah menurunkan kepada kamu mann dan salwa. Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu dan janganlah melampaui batas yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpam u. Barang siapa ditimpa kemurkaan-Ku, sungguh, binasalah dia." (QS Thaha [20]: 80-81).

Nabi Isa juga begitu sabar menghadapi kaumnya yang mengingkari Allah dan mendustakan dakwahnya. Tidak hanya itu, sebagian mereka malah ada yang menganggap Isa sebagai Tuhan. Sesuatu yang sangat keras dibantah oleh beliau.

Alquran menyebutkan, "Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, 'Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah?' (Isa) menjawab, 'Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.'" (QS al-Ma'idah [5]: 116).

Nabi Muhammad, rasul terakhir sekaligus penutup para rasul, tidak kurang sabarnya seperti para rasul sebelumnya. Pada ayat di aw al tulisan ini disebutkan, Allah memang telah menyuruh beliau untuk bersabar. Beliau tidak boleh mendoakan hal-hal buruk kepada kaumnya, seperti berdoa agar disegerakan azab atau siksa kepada mereka.

Allah menegaskan, tugas beliau dan para rasul terdahulu hanyalah menyampaikan risalah. Soal hidayah ada di tangan Allah. Selama lebih kurang 23 tahun: 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah, Rasulullah berdakwah dengan sangat sabar dan tekun. Pada akhirnya, hasilnya sungguh mencengangkan. Dalam tempo itu, seluruh jazirah Arab mayoritas telah menjadi Muslim yang kemudian menyebar ke pelbagai belahan dunia.
Oleh: Nur Farida
 sumber : www.republika.co.id

Tuesday, September 15, 2015

Para Penikmat Tahajud

Semoga tidak pernah ada kata bosan untuk selalu saling mengingatkan. Ada kenikmatan yang tak terkatakan dalam setiap Tahajud kita. "Sesungguhnya bangun tengah malam lebih tepat untuk khusyuk dan bacaan kala itu sungguh sangat berkesan mendalam." (QS al-Muzammil: 6).
Dengan tadabur dan dibaca pelan, inilah sungguh keistimewaan shalat Tahajud. Tahajud adalah syariat Allah, sebuah upaya meraih cinta dan rahmat-Nya. Tahajud adalah sunah utama Rasulullah, sebuah ikhtiar untuk meraih syafaat Rasulullah.Penikmat Tahajud akan dicintai, dikagumi, didoakan, dan diaminkan doanya oleh para malaikat.
Allah tuntun mencapai "maqooman mahumuudan", kedudukan mulia di sisi-Nya, juga di hadapan makhluk-Nya.Tahajud adalah shalat yang paling nikmat dan mengesankan. Hidup damai, tenang, dan sangat bahagia. Ada aura "haibah" penuh wibawa dan karismatik. Penikmat Tahajud pada akhirnya dalam skrip tulisan-Nya akan terunduh cinta dan sayang dari hamba-hamba-Nya yang beriman.
Disegani manusia dan ditakuti musuh, manusia, dan jin.Orang yang bersenyap dalam Tahajud akan memiliki "qoulan tsaqiilan", bicaranya didengar dan nasihatnya membangkitkan semangat ibadah dan amal saleh. Doanya sangat mustajab. Kunci sukses ikhtiar, berdagang, dan semua aktivitas.
Allah juga akan memuliakan para penikmat Tahajud dengan "wujuuhun nuuri", wajah yang bercahaya, nyaman, dan menyenangkan jika ditatap. "Thiiban nafsi", nafsunya hanya semangat dalam ketaatan dan berakhlak mulia. Ia juga adalah "manhaatun anil itsmi", Allah cabut keinginannya pada maksiat.Tahajud adalah "daf'ul bala", sebuah upaya untuk menolak bala bencana.
Kalau terjadi, membawa hikmah besar. Sehat, segar, kuat, cerdas, obat jasmani ruhani, dan obat antipikun Kepastian akan didapat bagi mereka yang istiqamah Tahajud. Di antaranya membuka jalan rezeki, kemudahan urusan, dan kebahagiaan rumah tangga. Berbuah belas kasih, dermawan, dan rendah hati. Saat kondisinya sakaratul maut, insya Allah husnul khatimah.
Kuburnya "Rowdoh min riyaadhil jinaani", taman surga. "Miftaahul jannati" meraih kunci surga."Hamba-hamba Allah yang beriman itu sedikit sekali rehatnya di waktu malam. Dan, selalu memohon ampunan Allah pada waktu pagi sebelum fajar." (QS adz-Dzariyat: 17-18). Semoga dengan cara-Nya ternikmati shalat Tahajud kita. Amiin.
OLEH: ustaz Arifin Ilham
sumber : www.republika.co.id

Friday, September 11, 2015

Setiap Kesulitan Terkandung Pahala

Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam pernah bercerita tentang pertemuan seorang laki-laki dengan seekor anjing dalam sebuah tempat tak jauh dari sumur. Kisah perjumpaan itu dimulai ketika tenggorokan lelaki tersebut betul-betul telah kering.

Lelaki ini terus melangkah meski dahaga menyiksanya sepanjang perjalanan, hingga ia menemukan sebuah sumur, lalu terjun dan meminum air di dalamnya. Air yang mengaliri kerongkongnya cukup untuk menyembuhkan rasa haus itu. Lidahnya kembali basah, tenaganya sedikit bertambah.

Saat keluar dari lubang laki-laki ini terperanjat. Di hadapan matanya sedang berdiri seekor anjing dengan muka memelas. Napasnya kempas-kempis. Lidahnya menjulur-julur. “Anjing ini pasti mengalami dahaga sangat seperti yang telah aku derita,” kata si lelaki.

Laki-laki tersebut seperti menyadari bahwa meski haus, anjing sekarat itu tak mugkin turun ke dalam sumur karena tindakan ini bisa mal ah mencelakakanya. Seketika ia terjun kembali ke dalam sumur. Sepatunya ia penuhi dengan air, dan naik lagi dengan beban dan tingkat kesulitan yang bertambah. Si lelaki bahagia bisa berbagi air dengan anjing.

Apa yang selanjutnya terjadi pada lelaki itu?

Rasulullah berkata, “Allah berterima kasih kepadanya, mengampuni dosa-dosanya, lantas memasukkannya ke surga.” Para sahabat bertanya, “Wahai, Rasulullah! Apakah dalam diri binatang-binatang terkandung pahala-pahala kita?”

“Dalam setiap kesulitan mencari air terkandung pahala,” sahut Nabi.

Kisah di atas mengingatkan kita pada keharusan bersifat welas asih kepada sesama makhluk, termasuk binatang. Tapi, bukankah anjing adalah binatang haram? Bukankah keringat dan air liurnya termasuk najis tingkat tinggi dan karenanya harus dijauhi?

Cerita tersebut Rasulullah justru menyadarkan kita bahwa status haram dan najis tak otomatis berbanding lu rus dengan anjuran membenci, melaknat, dan menghinakan. Bukankah Rasu lullah pernah berujar, “Irhamû man fil ardl yarhamkum man fis samâ’ (sayangilah yang di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu.”
Sumber: NU Online

Tuesday, September 08, 2015

Hiasi Diri dengan Sabar

Sifat sabar. Inilah sifat yang harus menjadi perhiasan bagi setiap jamaah haji. Kesabaran tak hanya dituntut pada saat puncak pelaksanaan haji, tetapi dalam seluruh proses haji. Mulai dari pendaftaran, keberangkatan, ketika berada di Tanah suci, hingga kembali ke Tanah Air.

Berdasarkan pengalaman, biasanya ujian kesabaran muncul akibat ketidaksesuaian antara rencana dan realitas, antara harapan dan kenyataan. Hal itu mulai terasa sejak keberangkatan dari daerah asal ke asrama haji lalu ke bandara.

Kesabaran jamaah haji diuji melalui kemacetan lalu lintas menuju asrama, pemeriksaan dokumen yang memakan waktu relatif lama, menunggu pesawat berjam-jam, mencari koper di tengah ratusan koper jemaah lain yang sama bentuk, ukuran, dan warna.

Ujian kesabaran pun kerap muncul di Tanah Suci, baik Makkah maupun Madinah. Kondisi penginapan juga bisa membuat jengkel. Memiliki empat lantai, tapi tak di lengkapi lift, toilet yang mampet, atau tempat tidur yang tak nyaman.

Begitu pula dengan makanan yang terkadang datang terlambat, sudah basi, atau tak sesuai dengan selera. Dan, puncak ujian kesabaran muncul pada puncak pelaksanaan ibadah haji.

Selain meninggalkan segala larangan ketika berihram, para jamaah pun tak diperkenankan rafats dan jidal. Setiap musim haji, jutaan orang dari seluruh dunia berkumpul di tempat yang sama dengan tujuan yang sama pula.

Jalanan macet, kendaraan terjebak berjam-jam sehingga terlambat tiba di tujuan. Di Arafah dan Mina, jamaah harus sabar mengantre makanan dan buang hajat.
Jika tak menghiasi diri dengan kesabaran, semua itu berpotensi membuat jamaah tak henti berkeluh kesah, stres, serta mudah tersinggung dan marah. Celakanya lagi, nilai ibadah bisa rusak. Bahkan, ibadah haji yang telah dilaksanakan bisa tertolak (batal).
Oleh karena itu, di dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk meminta pertolongan kepada-Nya dengan sabar. “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat ....” (QS al-Baqarah [2]: 45).

Kesabaran adalah pokok dari setiap amal. Bila kesabarannya hilang, amal akan rusak. Ali bin Abi Thalib berkata, “Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang, keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Jika kesabaran hilang, seluruh permasalahan akan rusak.''

Agar kita dapat menghiasi diri dengan sabar saat melaksanakan prosesi haji, hal yang harus dilakukan jamaah adalah senantiasa melatih diri dan bermujahadah (usaha maksimal) untuk selalu bersabar. Sabar merupakan akhlak yang bisa diperoleh dengan dua hal itu.
Selanjutnya, jamaah harus senantiasa berzikir. Zikir akan menumbuhkan ketenangan hati sehingga jamaah bisa menyikapi berbagai hal yang dihadapinya dengan kepala dingin. Selain itu, hendaknya jamaah meyakini takdir Allah, baik yang sesuai dengan keinginannya maupun tidak.

Takdir itu akan terus berlangsung dan itulah keputusan yang adil buat jamaah, sabar ataupun tidak. Jika jamaah bersabar, Allah SWT menjanjikan pahala dan kebaikan. Itulah yang akan menumbuhkan kekuatan pada diri jamaah. “Dalam kesabaran terhadap perkara yang tidak disukai itu banyak kebaikannya.” (HR Tirmidzi).

Satu hal yang tak kalah penting, hendaknya jamaah haji mencari informasi tentang berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam pelaksanaan ibadah haji sejak dari berangkatan, ketika berada di Tanah suci, hingga kepulangan ke Tanah Air.
Dengan demikian, jamaah haji tak akan kaget ketika kemungkinan itu menjadi kenyataan dan bisa menyikapinya dengan sabar. Wallahualam.

Oleh: Moch Hisyam

sumber : www.republika.co.id

Friday, September 04, 2015

Menjadi Mabrur

Ibadah haji termasuk salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Kewajiban ini tergolong rukun Islam terakhir yang selalu diiringi dengan kata "bagi yang mampu". Karena, dalam pelaksanaannya membutuhkan biaya besar, tenaga dan energi yang banyak, serta waktu yang lama.

Oleh karena beratnya pelaksanaan ibadah inilah maka kemudian Allah SWT menyiapkan pahala yang sangat besar pula. Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan riwayat dari Abu Hurairah yang menyatakan, "Orang yang melaksanakan haji karena Allah SWT kemudian tidak berkata atau berperilaku jorok dan tidak berbuat fasik (maksiat) maka akan kembali ke kampung halamannya seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya (tak berdosa sama sekali)." (HR Bukhari).

Hadis ini menegaskan bahwa, pertama, orang yang melaksanakan ibadah haji murni karena Allah SWT dan tidak ada niat lain kecuali mengharap ridha Allah, tidak terbersit di hatinya karena ingin dihormati orang lain, in gin dipanggil pak haji atau bu haji, ingin dianggap kaya, dan berbagai keinginan lain yang justru bisa menghilangkan pahala hajinya maka Allah akan menghapus dosa-dosanya.

Kedua, tidak berkata atau berprilaku jorok. Larangan ini bersifat umum, baik untuk pasangan suami istri, lebih-lebih terhadap orang lain yang bukan muhrimnya. Tidak berkata jorok maksudnya adalah tidak mengatakan sesuatu yang bisa membangkitkan nafsu birahi atau tidak berbicara tentang hal-hal yang memiliki keterkaitan dengan masalah hubungan suami istri.

Misalnya, merayu pasangannya ketika sedang ihram atau bersenda gurau dengan temannya sambil membahas tema-tema yang tidak senonoh. Jika jamaah haji tidak melakukan hal ini maka Allah SWT akan menghapus dosa-dosanya.

Ketiga, tidak berbuat fasik atau maksiat. Yang dimaksud dengan melakukan kefasikan atau kemaksiatan di sini adalah melakukan dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar. Baik dosa itu berhubungan dengan Allah langs ung atau sesama manusia atau bahkan terhadap makhluk-makhluk Allah ya ng lain, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan.

Maksiat kepada Allah dilakukan dengan cara tidak mematuhi perintah Allah dan tidak menjauhi larangannya. Sedangkan, maksiat kepada sesama manusia bisa dilakukan dengan cara menyakiti mereka, bertengkar, mencaci maki, menzalimi, dan berbagai perkataan atau perbuatan lainnya yang bisa merugikan orang lain.

Untuk maksiat terhadap sesama manusia ini kemungkinan terjadinya sangat besar dalam pelaksanaan ibadah haji karena setiap jamaah haji mau tidak mau pasti akan bersinggungan dengan jamaah haji yang lain, baik antarsesama jamaah haji dari Indonesia maupun jamaah haji dari negara lain. Terutama, dalam pelaksanaan ibadah yang dilakukan secara bersama-sama, seperti tawaf, wukuf di Arafah, mabit dan melempar jumrah di Mina, juga berbagai kesempatan bersama lainnya.

Sementara, berbuat dosa terhadap binatang adalah dengan cara memburu atau melempar atau perbuatan-perbuatan lainnya yang bisa menyakiti bina tang-binatang tersebut. Dan, untuk tumbuh-tumbuhan bisa dilakukan dengan cara menebang atau memetik tangkainya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.

Jika jamaah haji bisa menahan diri dari semua perkataan atau perbuatan tersebut maka ibadah haji yang ia lakukan termasuk haji mabrur. Yang dalam hadis lain disebutkan, "Tidak ada balasan yang pantas bagi haji mabrur kecuali surga." (HR Bukhari).
Oleh: Abdul Syukkur

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, September 01, 2015

Belajar Ilmu Hikmah

Thalut diragukan kemampuannya ketika melawan Zhalut. Anak muda yang saleh dari bani Israil ini dianggap tak memiliki apa- apa. Umatnya bahkan menelisik dengan nada mengejek, "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan darinya sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?"

Umat bani Israil itu sering aneh dan tak pandai bersyukur. Pascawafatnya Musa AS dan Yusa bin Nun hingga kehadiran pemimpin mereka bernama Shamil, mereka sesungguhnya kehilangan tonggak kepemimpinan yang memberi arah jalan.

Mereka meminta kelahiran sosok pemimpin baru untuk melawan rezim Amaliqah. Lalu, Tuhan mengirim Thalut. Dia hanya penggembala miskin, padahal yang diharapkan ialah pemimpin keturunan Lawi bin Ya'kub atau Yahuza bin Ya'kub.

Namun, Tuhan memberi ilmu dan hikmah kepada Thalut. Akhirnya, dengan izin Allah, Thalut mampu mengalahkan Zhalut sang perkasa dari negeri Amaliqah sebagaimana dikisahkan dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 246-248.

Insan beriman niscaya belajar banyak rahasia hidup dengan radar iman dan ilmu yang melampaui. Belajar ilmu hikmah untuk membaca ayat- ayat kauniyah Tuhan yang sering kali penuh misteri dalam hidup di semesta raya ini.

Alquran mengungkap kisah-kisah sarat hikmah, seperti Ashab al-Kahfi, Lukman al-Hakim, Dzulqarnain, pertemuan Musa dan Khidir, Ibrahim dan Ismail berkurban, dan banyak lainnya sebagai ibrah.

Membacanya tidak memadai hanya dengan nakar verbal dan instrumental. Manusia beriman, siapa pun dia, sikap hidupnya tentu bukan sekadar berwawasan duniawi atau indrawi belaka. Dunia sendiri disebut Tuhan al-mata al-ghurur, penuh senda gurau, dan permainan. Kejayaan duniawai tetap nisbi dan tak pernah absolut.

Kehebatan manusia siapa pun dia memiliki batas lebih dan kurang. Di dalam kelebihannya terdapat kekurangan dan dalam kelemahannya tersimpan kekuatan. Fir'aun yang superperkasa pun memiliki kelemahan, dia sepanjang hayatnya dibayang-bayangi ketakuta n sosok bayi laki-laki yang akan merenggut kedigdayaannya.

Ilmu manusia itu terbatas, betapa pun ia merasa hebat. Apalagi, sekadar ilmu akademik. Allah SWT dalam surah al-Israa'ayat 37 mengingatkan kaum beriman agar tidak arogan. Manusia sombong itu, menurut sabda Nabi, memiliki dua sifat, bathar al-haqq wa ghamthu al-nas, yakni suka menolak kebenaran dari orang lain dan merendahkan sesama. Baru memperoleh ilmu dan merambah dunia sebahu, sudah bertepuk dada seolah setinggi langit. Padahal, di atas langit ada lagi langit.

Belajarlah ilmu hikmah bersama agar semakin tinggi kian merunduk. Hikmah adalah pengetahuan dan kebaikan yang melampaui batas syariat menembus titik hakikat dan makrifat. Hikmah menembus jiwa dan makna ihsan ke jantung terdalam.

Mereka yang diberi ilmu minus hikmah, seperti Musa, kala muda yang merasa serba tahu, tetapi akhirnya terpaksa harus belajar kepada Khidzir yang ilmunya menembus batas cakrawala yang tak terjangkau na lar verbal. Berilmu plus hikmah akan melahirkan kecerdasan yang arif mencerahkan.

Hikmah diraih karena berkah Allah. Difirmankan, yang artinya "Allah memberikan hikmah kepada sesiapa yang dikehendakinya. Dan, barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebaikan yang banyak." (QS al- Baqarah: 269). Lukman al-Hakim juga satu di antara hamba Allah yang diberi hikmah yang dari dirinya lahir banyak kebaik an dan suri teladan bagi kehi - dup an, bak pelita di tengah kegelapan.

Berilmu semestinya naik tangga menuju ilmu berhikmah bukan sekadar ilmu verbal dan instrumental. Banyak orang berilmu, tetapi ilmunya tak mence - rahkan sekitar, bahkan tak mampu menerangi dirinya. Mereka yang berilmu tinggi pun tak jarang tersesat arah jalan sehingga mengalami disorientasi hidup.

Apalagi, baru ilmu sejengkal yang menyentuh kulit luar. Mereka sering merasa benar di jalan sesat. Maka, untuk apa merasa digdaya dengan ilmu dan segala atribut kuasa yang dimiliki manakala tak mampu membuahkan hikmah dalam kehidupan?

Banyak hal dalam hidup ini menj adi berantakan dan salah kaprah karena manusia kehilangan hikmah. Politik dan segala aktivitas perebutan akses kehidupan di manapun menjadi serbagarang karena minus hikmah. Hanya karena satu posisi yang tak seberapa manusia beriman sering saling mengancam dan menerkam sesama.
Merasa hebat, namun kerdil. Merasa menjadi pewaris para Nabi pun sekadar baju luar, minus ilmu hikmah untuk mengajarkan se gala kearifan hidup. Akhirnya, ma nusia bisa saling memangsa da lam hukum homo homini lopus.
Nilai autentik Belajar kepada Lukman al- Hakim, Khidhir, Dzulkarnain, lebih-lebih kepada para Nabi dan Rasul kekasih Allah sungguh tak mudah. Juga kepada para sosok- sosok saleh dan cerdas di manapun tempatnya yang menyiramkan benih-benih kebaikan semesta.
Menyerap serbuk kebajikannya pun boleh jadi merupakan suatu pendakian yang sangat berat. Apalagi, untuk meneladani para Nabi dan Rasul dalam seluruh gerak hidup selaku insan beriman yang sering tersandera oleh banyak topeng dan kepentingan-kepentingan serbainstan yang menyala-nyala.
Maka, menjadi penting mem bangkitkan api iman yang autentik berbingkai hikmah sebagai sikap Muslim yang hanif di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang sering kali membuat diri mengalami disorientasi dan sesat jalan. Setiap hari seorang Muslim berdoa, "Tunjukkan kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat." (QS al-Fatihah: 6-7).
Doa itu selain membuka pintu berkah dan perkenan Tuhan, sesungguhnya menularkan energi positif untuk menjalani hidup dengan nilai- nilai ruhaniah yang berwawasan hikmah. Boleh jadi hidayah iman dan Islam dalam makna verbal selalu melekat dalam diri setiap Muslim.
Namun, tak tertutup kemungkinan jalan hidupnya berbelok arah karena iman dan Islamnya tak menghunjam ke kalbu terdalam dan mem buah - kan ihsan serbakebaikan. Iman dan Islam yang harus menjadi - kan setiap insan Muslim berada di jalan lurus dan berperilaku serbabajik yang menyebarkan kesalehan di manapun berada.
Keberimanan dan keberislaman yang benar-benar menampilkan sikap hidup yang tulus, jujur, amanah, damai, welas asih, rendah hati, toleran, dan memuliakan sesama tanpa diskriminasi. Bukan keimanan dan keislaman dalam pesona lisan, teori, dan retorika yang biasanya jauh lebih indah ketimbang aslinya.
Ketika nilai iman dan Islam yang autentik melebur dalam diri insan Muslim, luruhlah kesombongan, keserakahan, ajimumpung, culas, kekerdilan, dusta, nifaq, dan segala penyakit diri. Bersamaan dengan itu diri menjelma menjadi sosok berperangi ihsan yang menyebarkan segala benih kebaikan dalam bingkai Nur Ilahi yang menyejukkan lingkungan kehidupan di sekitar.
Pada titik inilah setiap Muslim mikraj ruhaniah dari sekadar manusia biasa menjadi insan fiahsani at-taqwim yang berperangai utama. Dalam tarikan napasnya selalu ingin menggapai keutamaan hidup yang hakiki melampaui segala penjara duniawi yang indrawi.

OLEH: HAEDAR NASHIR
 sumber : www.republika.co.id

Wednesday, August 26, 2015

Kesenian Tradisional Surak Ibra Khas Garut

Kesenian tradisional Surak Ibra atau Boboyongan Eson berdisi sejak tahun 1910 di Kampung Sindangsari Desa Cinunuk Kecamatan Wanaraja Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Pencipta seni tradisional ini adalah Raden Papak (Raden Djajadiwangsa). Sumber lain ada yang mengatakan pencipta Surak Ibra adalah Bapak Ibra, seorang tokoh Silat Garut yang kharismatik.
Surak Ibra merupakan seni tradisional asli dari Kecamatan Wanaraja Kabupaten Garut yang dimainkan oleh minimal 40 orang, maksimal bisa mencapai 100 orang pemain bahkan bisa lebih. Kesenian Surak Ibra merupakan sebuah semboyan atau sindiran masyarakat terhadap Kolonial Belanda yang bertindak sewenang-wenang menindas rakyat Indonesia.
Surak Ibra mengandung makna kegotong royongan, Seni tradisional ini memberikan pelajaran tentang pentingnya gotong royong dan kebersamaan dalam mencapai tujuan dan cita-cita bersama antara pemerintah dan masyarakat. Surak Ibra juga mengandung nilai-nilai semangat kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Kesesian tradisional Garut ini mengisyaratkan bahwa masyarakat saat itu menginginkan pemerintahan yang mandiri, berdaulat dan berkeadilan yang lahir dari kebersamaan dan persatuan.
Pemain Surak Ibra
(-) Minimal          = 40 orang pemain
(-) Sedang           = 60 – 80 orang pemain
(-) Maksimal       = 100 orang atau lebih
 Alat-alat seni tradisional Surak Ibra
(-) Obor dari bambu
(-) Gendang pencak
(-) Dogdog
(-) Angklung
(-) Keprak
(-) Kentungan bambu
Para pemain membentuk sebuah lingkaran, di tengah lingkaran seorang pemain dengan kostum yang berbeda menari-nari mengelilingi lingkaran. Sedangkan para penabuh alat musik lalu lalang di luar lingkaran dengan mengenakan baju warna-warni.
Pemain yang berada di tengah lingkaran dengan mengenakan kostum yang berbeda tadi akan dilempar ke atas berulang-ulang. hal ini menujukkan wujud rasa syukur, kegembiraan dan penghormatan.
Pada awal berdirinya kesenian tradisional tersebut merupakan kesenian yang digelar pada acara-acara pesta raja, namun seiring dengan perkembangan zaman, kesenian tradisional Surak Ibra ditampilkan pada acara Peringatan Hari-Hari Besar Nasional (PHBN) seperti perayaan HUT Kemerdekaan.
Kiki Kurnia
Sumber : www.galamedianews.com/budaya

Tuesday, August 25, 2015

Dua Bekal Sebelum Pergi Haji

Haji secara bahasa adalah berkunjung. Adapun secara istilah adalah berkunjung ke rumah Allah (Baitullah) dengan amalan tertentu dan dalam waktu tertentu pula. Inilah yang membedakan kunjungan ke Baitullah dalam rangka haji dan umrah.

Di antara amalan yang membedakan haji dan umrah adalah melaksanakan wukuf di Arafah dan melontar tiga jumrah di Mina. Di antara waktu yang membedakan haji dan umrah adalah bahwa pelaksanaan haji hanya berlangsung pada bulan-bulan tertentu. yaitu Syawal, Dzulqaidah, dan Dzulhijah.

Allah berfirman, "(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan tertentu, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk mengerjakan haji maka tidak boleh rafats (mengeluarkan kata-kata yang mengundang syahwat atau kata-kata yang tidak senonoh atau melakukan hubungan seksual), berbuat fusuk, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.
Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya." (QS al-Baqarah [2]: 197). Dengan kata lain, pergi haji semata-mata hanya untuk mengerjakan kebaikan demi kebaikan di rumah-Nya dan sekitarnya sesuai dengan tuntunan Rasul-Nya.

Maka, kunjungan ke Baitullah dalam rangka haji itu berbeda dengan kunjungan dalam rangka umrah. Apalagi dengan kunjungan ke tempat-tempat lainnya di manapun di muka bumi. Dengan begitu, bekal yang harus dipersiapkan pun tentu berbeda.

Sudah menjadi rahasia umum, kebanyakan KBIH (kelompok bimbingan ibadah haji) di Tanah Air memberikan pembekalan tertentu kepada jamaahnya yang akan pergi haji. Namun, umumnya lebih banyak ditekankan pada pembekalan secara fisik. Misalnya, dianjurkan berolahraga secukupnya, membawa obat-obatan pribadi, dan memperbanyak minum air putih ketika sedang berada di Arab Saudi.

Persiapan fisik itu memang penting. Tetapi, jauh lebih penting persiapan nonfisik. Sebab, akan me nentukan sahnya ibadah. Maka, jamaah yang tidak mengindahkan persiapan nonfisik itu dapat saja menyebabkan hajinya tertolak (mardud). Padahal, orang yang pergi haji semestinya memiliki target hajinya terkabul (makbul) bahkan mabrur/mabrurah.

Inilah target tertinggi. Lantaran Rasulullah SAW menyatakan mereka yang hajinya mabrur/ mabrurah itu dipastikan akan diganjar dengan surga. Sangat luar biasa. Pertanyaannya, apa bekal yang harus dipersiapkan sejak jauh hari sebelum pergi haji?

Pertama, niat pergi haji karena Allah semata. Maka, singkirkan segala macam niat yang justru akan menyebabkan hilangnya pahala ibadah ini. Allah berfirman, "Dan, mengerjakan haji itu (adalah) kewajiban manusia karena Allah. Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah." (QS Ali Imran [3] : 97).

Kedua, bertekad menanggalkan kesyirikan. Maka, tanamkanlah kalimat talbiyah itu dalam dada. Bukan hanya diucapkan dalam kata-kata. Apalagi, bila sama se kali tidak tahu artinya. Ketiga, mempraktikkan ketakwaan/ketaatan kep ada Allah dengan sebaik-baiknya (QS al-Baqarah [2]: 197).

Oleh: Mahmud Yunus
sumber : www.republika.co.id

Friday, August 21, 2015

Berdoalah Selalu Agar Iman Terjaga

Bukan harta, apalagi jabatan yang menjadi bekal terbaik dalam hidup ini. Akidah yang kuat dengan iman yang kokoh menjadi energi terbaik dan membuat seseorang menjadi lebih kuat.

Diriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata, "Pada Perang Uhud ada seorang yang bertanya kepada Nabi SAW, 'Apakah engkau tahu di manakah tempatku seandainya aku terbunuh?' Beliau menjawab, 'Di dalam surga.' Kemudian orang itu melemparkan biji-biji kurma yang ada di tangannya, lalu maju ke medan perang sampai mati terbunuh." (HR Bukhari dan Muslim).

Iman dalam setiap diri kadang naik dan turun. Karena itu, peliharalah dan pertahankan sebaik mungkin. Rasulullah SAW mengibaratkan iman sebagai perhiasan terindah, tergambar dalam doa, "Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan keimanan. Dan, jadikanlah kami sebagai orang yang mendapatkan petunjuk dan memberi petunjuk kepada orang lain."

Hidup manusia selalu berada pada bukit, lembah, bahkan dasar jurang, semuanya serbaberliku dan menantang, butuh proses panjang dalam menjalaninya. Seperti roda yang terus berputar, kadang di bawah, kadang juga di atas. Ketika berada di atas, rasanya nyaman dan penuh rasa syukur menjalaninya.
Namun, saat terpuruk di bawah, penuh kesedihan, penyesalan, dan rasa kehilangan. Tak jarang, sebagian dari kita marah, protes atas takdir-Nya, berputus asa dan lari dari kenyataan dan mengakhiri hidup dengan konyol (bunuh diri).

Harta, takhta, jabatan, atau keluarga sekali pun belumlah cukup menjadikan diri manusia kuat menghadapi segala cobaan. Hanya keimanan yang menjadi obat sekaligus penguat dalam menyikapi segala persoalan kehidupan.

Iman yang kuat membuat manusia bijak dalam bersikap, berbuat, dan bertindak. Iman berfungsi sebagai perisai yang melindungi dari perbuatan jahat dan mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Dengan iman, sekeras apa pun cobaan yang menimpa, tidak akan menjadikan diri kita berburuk sangka kepada Allah SWT. Dengan iman, hidup menjadi lebih optimistis, selalu bersemangat, dan penuh makna.

Berdoalah selalu agar iman kita terjaga. Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, nisca ya diberi petunjuk oleh Tuhan karena keimanannya. (QS Yunus: 9).

Jauhkan diri kita dari kebodohan, kelalaian dalam beribadah, nafsu yang membawa kepada keburukan, dan berbuat maksiat karena akan mengurangi iman. Berlindunglah selalu kepada Allah SWT agar dilindungi dari godaan setan, godaan gemerlap duniawi yang melalaikan, dan teman bergaul yang berakhlak buruk. Kecenderungan manusia untuk menumpuk harta dan lalai kepada peran sejatinya sebagai hamba dan khalifah di muka bumi ini telah digambarkan Allah SWT dalam surah at-Takatsur.

Padahal, harta dan takhta hanyalah amanah dan alat untuk beribadah. Tetaplah pelihara hati agar jangan pernah sedetik pun berpaling dari Allah Yang Maha Rahman dan Rahim. Dengan keimanan, kebahagiaan dunia dan akhirat menjadi niscaya. Dengan keimanan pula, akan digapai ketenangan dan kemantapan jiwa.

Dalam Alquran surah an-Nahl ayat 97, Allah berfirman, "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maup un perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan Kami berika n kepadanya kehidupan yang baik...."

Iman membimbing kepada ketaatan, keihklasan dalam beribadah, sabar menghadapi cobaan, dan tawakal kepada Allah. Hatinya selalu diliputi kepasrahan, ketenangan, penuh harap, dan ridha atas segala keputusan-Nya. Wallahu'alam.
Oleh: Iu Rusliana

,sumber : www.republika.co.id

Tuesday, August 18, 2015

Kasih Sayang Allah

Suatu hari, Rasulullah SAW dan para sahabat berjalan di tengah padang pasir. Saat itu, panas sinar matahari terasa menyengat, seolah membakar tubuh, bahkan menelusup menembus ke lapisan kulit.

Tiba-tiba, seorang ibu tampak sedang menggendong bayinya. Sang ibu dengan penuh perhatian mendekap buah hatinya. Ia berusaha melindungi bayinya agar tak terkena panas matahari.

Melihat pemandangan ini, Rasulullah menghentikan langkah para sahabatnya. Seolah mendapat tamsil kasus yang tepat, beliau bertanya, "Wahai para sahabatku, akankah ibu itu melemparkan bayinya ke dalam api yang membara?" Para sahabat menjawab serentak, "Tidak mungkin, wahai Rasulullah."

Kemudian, Rasulullah bersabda, "Ketahuilah, kasih sayang Allah jauh lebih besar daripada kasih sayang ibu itu terhadap bayinya. Dia-lah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim!" (HR Bukhari-Muslim).

Kisah di atas mengajarkan bahwa sifat Allah yang khusus diberikan kepada orang-orang beriman pada hari akhir adalah ar-Rahman dan ar-Rahim. Kedua asma Allah ini (ar-Rahman dan ar-Rahim) berasal dari kata arrahmah. Menurut Ibnu Faris, seorang ahli bahasa bahwa semua kata yang terdiri dari hurufra, ha, dan mim mengandung makna “lemah lembut, kasih sayang, dan kehalusan.”

Kata ar-Rahman berasal dari kata sifat dalam bahasa Arab yang berakar dari kata kerja ra-ha-ma/, artinya ialah penyayang, pengasih, pencinta, pelindung, pengayom, dan para mufasir memberi penjelasan bahwa ar-Rahman dapat diartikan sebagai sifat kasih Allah pada seluruh makhluk-Nya di dunia, baik manusia beriman atau kafir, binatang, dan tumbuh-tumbuhan serta makhluk lainnya.

Dengan kasih-Nya ini, Sang Khalik mencukupkan semua kebutuhan hidup makhluk di alam semesta. Hanya saja, limpahan kasih ini hanya diberikan Allah pada semua mahluk selama hidup di dunia, di akhirat kelak kasih sayang ini hanya diberikan kepada orang beriman yang menjadi penghuni su rga.

Sementara itu, ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) di dalam Alquran, Allah mengulangi kata ini sebanyak 228 kali, jauh lebih banyak dari asma Allah, ar-Rahman yang hanya disebutkan sebanyak 171 kali. Jika kata ar-Rahman sifatnya berlaku untuk seluruh manusia maka kata yang kedua ar-Rahim, sifat-Nya yang hanya berlaku pada situasi khusus dan untuk kaum tertentu semata.

Rahim juga disebut sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya janin. Di alam rahim inilah bermulanya kehidupan. Di alam rahim kehidupan ideal kita dijaga dan dipelihara. Bahkan, di alam rahim pula, setiap manusia dipersaksikan “apa dan ke mana” tujuan hidupnya.

Maka, tak heran apabila bayi dilahirkan, ia akan menangis, karena meninggalkan rahim yang melimpahkan sayang dan rasa aman. Di dalam sifat rahim Allah, kita akan hidup dengan aman, nyaman, penuh kemuliaan, sentosa, dan penuh keberkahan.

Maka, sebutlah nama-nama Tuhan yang indah, dalam setiap awal doa dan permintaan. Mereka yang selalu membasahi bibirnya dengan kata, ar-Rahman dan ar-Rahim, maka Allah akan melimpahkan  kasih sayang-Nya yang tak terbatas. Siapa saja dikasihi dan disayangi Allah. Maka, tak satu pun makhluk di dunia memiliki alasan untuk membenci kecuali mereka yang telah dikuasai nafsu angkara murka.
Oleh: Dadang Kahmad
sumber : www.republika.co.id

Friday, August 14, 2015

Empat Amaliah Istigfar

Dosa ibarat debu. Jika menempel dan tidak segera dibersihkan, akan berkarat dan kotorannya melekat kuat di hati. Sedangkan, usaha untuk membersihkannya tidak lain adalah dengan bertobat dan membaca istigfar.

Sebagai hamba Allah SWT yang tidak pernah luput dari salah dan dosa, sepantasnya kita memperbanyak istigfar, mohon ampun kepada Allah SWT. "Demi Allah, sesungguhnya aku beristigfar dan bertobat kepada Allah lebih dari 70 kali dalam sehari." (HR Bukhari). Dalam riwayat lain sampai 100 kali dalam sehari (HR Muslim).

Hadis di atas memberikan gambaran tobat dan istighfarnya Nabi Muhammad SAW. Meski telah mendapat jaminan ampunan dan surga dari Allah SWT, tapi beliau tetap bersungguh-sungguh dalam beristigfar dan bertobat kepada-Nya. Sebagai hamba-Nya yang tidak mendapatkan jaminan dari Allah, hendaknya kita mencontoh perilaku Baginda Nabi dan merasa malu kepadanya apabila kita lalai dalam memohon ampunan-Nya.

Paling tidak terdapa t empat keutamaan amaliah istigfar. Pertama, istigfar merupakan cermin akan kesadaran diri orang-orang yang bertakwa. “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?” (QS Ali Imran: 135).

Kedua, istigfar merupakan sumber kekuatan umat. Kaum Nabi Hud yang dikenal dengan kekuatan mereka yang luar biasa, masih diperintahkan oleh nabi mereka agar senantiasa beristigfar untuk menambah kekuatan mereka.
“Dan (dia berkata), 'Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa'." (QS Hud: 52).

Bahkan, Rasulullah dalam salah satu hadisnya menegaskan bahwa eksistensi sebuah umat ditentukan di antaranya dengan kesadaran mereka untuk selalu beristigfar. Karenanya, bukan merupakan aib dan tidak merugi orang-orang yang bersalah lantas ia menyadari kesalahannya dengan beristighfar memohon ampun kepada Allah SWT.

Ketiga, istigfar dapat menolak bencana dan menjadi salah satu sarana turunnya keberkahan dan rahmat Allah SWT. Ketika menafsirkan surah al-Anfal: 33, “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.”

Ibnu Katsir menukil riwayat dari Ima m Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah telah menurunkan kepadaku dua pengaman atau penyelemat bagi umat dari azab dan bencana, yaitu keberadaanku dan istighfar. Maka ketika aku telah tiada, masih tersisa satu pengaman hingga hari kiamat, yaitu istigfar." Bahkan, Ibnu Abbas menuturkan bahwa ungkapan istighfar meskipun keluar dari pelaku maksiat dapat mencegah dari beberapa kejahatan dan bahaya.

Keempat, istigfar akan memudahkan urusan seseorang, memudahkan jalan mencari rezeki, dan memelihara seseorang. Dalam konteks ini, Ibnu Katsir menafsirkan surah Hud: 52 dengan menukil hadis Rasulullah SAW yang bersabda, “Barang siapa yang mampu mulazamah atau kontinu dalam beristighfar, maka Allah akan menganugerahkan kebahagiaan dari setiap duka dan kesedihan yang menimpanya, memberi jalan keluar dari setiap kesempitan, dan memberi rezeki dengan cara yang tidak disangka-sangka." (Ibnu Majah).
Oleh: Ustaz Arifin Ilham

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, July 28, 2015

Maribaya Dibuka dengan Wajah Baru

Sudah hampir dua tahun objek wisata Maribaya mati suri. Sejak 13 September 2013 lalu, wisata yang terkenal dengan air terjunnya (curug) dan mata air panasnya itu ditutup lantaran tengah direnovasi oleh pihak swasta.

Namun, wisata yang sempat jadi ikon Kabupaten Bandung Barat tersebut kembali lahir dengan wajah baru. Meski masih dalam tahap pembangunan, Maribaya sudah kembali dibuka sejak 11 Juli lalu. Namanya pun berubah menjadi Maribaya Natural Hot Spring Resort.

Wisata Maribaya menyimpan legenda yang masih dipercayai warga lokal. Legenda ini sangat unik karena konon, nama Maribaya sendiri merupakan nama seorang putri anak petani miskin. Maribaya diambil dari dua suku kata bahasa sunda yakni, "Mari" artinya sehat dan "Baya" artinya bahagia.

Kisah legenda Maribaya berawal saat Eyang Raksa Dinata yang merupakan seorang petani miskin mempunyai gadis jelita bernama Maribaya. Melihat kecantikan anak gadisnya, sang bapak khawatir jika anaknya jadi rebutan pemuda di daerahnya dan menjadi petaka bagi keluarganya.

"Eyang Raksa pun mendapat ilham dan pamit pergi ke puncak gunung Tangkuban Parahu. Saat sedang bertapa, ia didatangi seorang kakek yang memeberikan dua bokor (gentong) berisi air. Salah satu bokor tersebut harus dibawa ke arah barat dan satu lagi ke arah timur," kata Elcha Nirmala, pramuwisata Maribaya mengisahkan, Selasa (28/7/2015).

Air yang ditumpahkan oleh bapaknya kemudian menyebar dan menjadi danau yang kita kenal dengan nama Situ Lembang. Sementara itu, sang bapak meminta Maribaya untuk menumpahkan air dalam bokor tersebut tak jauh dari rumahnya. Beberapa hari kemudian, kejaiban datang dimana air yang ditumpahkan Maribaya menjadi mata air panas.

Sekitar tahun 1835, Eyang Raksa Dinata menyematkan nama Maribaya di lokasi mata air tersebut. Konon, air tersebut dipercaya berkhasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit. Para pengunjung yang ingin berobat kerap melemparkan uang logam ke dalam kolam sebagai imbalannya.

"Air panas ini mengandung senyawa bikarbonat yang sifatnya basa lemah dengan konsentrasi ion hidrogen sebesar pH 6,6-7,3 dengan suhu air 45,1 derajat celcius. Kandungan beberapa mineral penting di pemdandian ini dikatakan baik untuk radang sendi, otot, kulit, rematik, gangguan saraf, dan penyakit kulit lainnya. Bisa juga melembutkan kulit," lanjut Elcha.

Dulu, wisata Maribaya mempunyai tiga curug, yakni Curug Cigulung dan Curug Cikawari, dan Curug Omas. Namun, Curug Omas yang merupakan curug tertinggi kini dikelola mandiri oleh Provinsi Jawa Barat.

Wisata Maribaya yang terletak di Desa Langensari, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat itu kini dilengkapi sejumlah fasilitas  seperti Food Court,  kolam pemandian ari panas, area barbeque, cafe, amphitheater, kolam tangkap ikan dan Yoga Hill melengkapi dua curug andalan, yakni Curug Cigulung dan Curug Cikawari.
Sumber: www.galamedianews.com/wisata/