-

Saturday, March 28, 2015

Pentingnya Ibadah dan Pendidikan

Setiap manusia menginginkan adanya kesejahteraan, keselamatan, dan dijauhkan dari malapetaka. Namun, dalam perjalanannya terkadang ada cobaan yang merupakan takdir dari Allah SWT.

Untuk menjalani kehidupan, umat Islam mempunyai panduan dalam Alquran. Di kitab suci tersebut terdapat sejumlah tuntunan untuk selalu menjalankan perintah Allah SWT. Selain itu terdapat ancaman bagi manusia yang tidak menjalankan perintah dan menjauhi larangannya.

Intinya, Islam diibaratkan sebagai rumah dan pintunya adalah syaadat. Di dalam rumah tersebut ada tiang yang dilambangkan sebagai shalat lima waktu. Shalat merupakan ibadah pokok yang menjadi media komunikasi antara manusia dengan sang pencipta Allah SWT.

Shalat diawali dengan takbir yang membuka hubungan vertikal dengan Allah SWT. Di akhir shalat dengan membaca salam atau taslim yang membuka hubungan secara horizontal antar sesama manusia.

Selain itu dalam kehidupan ada dua hal pokok yang harus menjadi perhatian yakni ibadah dan pendidikan. Pertama, dalam hal ibadah yang merupakan kewajiban umat Islam untuk menjalankannya.

Pemerintah baik di daerah maupun pusat harus memperhatikan kesempatan warganya untuk beribadah baik waktu maupun sarana yang memadai. Hal ini khususnya ditujukan kepada sejumlah perusahaan di daerah yang belum menyediakan waktu yang cukup kepada para karyawan untuk menjalankan ibadah dan sarana ibadah yang masih kurang mendukung.

Harapannya, ke depan pemerintah tidak memberikan izin operasional kepada perusahaan yang belum menyediakan waktu dan sarana ibadah yang memadai bagi karyawan. Upaya ini ditujukan agar karyawan mempunyai kesempatan beribadah yang lebih baik. Hal ini untuk menghindari azab Allah SWT terhadap umatnya yang lalai dalam menjalankan ibadah.

Dalam lingkungan perusahaan juga harus diberikan waktu untuk melakukan pengajian melalui majelis taklim. Hal ini masuk dalam hal pokok yang kedua yakni pendidikan keagamaan. Di mana, pengajian untuk mencari ilmu dapat dipandang sebagai makanan rohani bagi umat Islam.

Seperti diketahui, manusia terdiri atas aspek jasmani dan rohani. Di mana, kedua aspek tersebut harus dijaga keberlangsungannya. Contohnya jika manusia tidak menjaga kesehatan jasmaninya, maka ia akan mengalami sakit. Sebaliknya, bila manusia kurang asupan rohaninya maka akan terjadi kenakalan dan kejahatan.

Sehingga pendidikan agama menjadi hal yang sangat penting dalam pembinaan umat. Hal ini untuk menjawab tantangan jaman yang cukup memprihatinkan seperti munculnya paham ISIS akhir-akhir ini dan munculnya kasus perkosaan yang menunjukkan permasalahan di bidang akhlak.
Oleh: KH Abdullah Muchtar, Pimpinan Pesantren An Nidzom Sukabumi


sumber : www.republika.co.id

Thursday, March 26, 2015

Lisan Orang Berakal di Belakang Hatinya

Manusia mungkin cenderung lupa dan kerap mengabaikan apa yang sebenarnya penting. Masalah lisan (lidah), misalnya, tidak jarang di antara kaum Muslim yang menganggapnya sebagai perkara biasa sehingga tidak heran jika banyak yang menggunakan lisannya secara tidak hati-hati.
Padahal, lisan ini karunia Allah yang sudah semestinya digunakan dengan sebaik-baiknya. Sebab, lisan juga bisa menjadi indikator sempurna tidaknya keimanan seorang Muslim. Rasulullah bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (HR Bukhari).

Demikian pentingnya lisan ini, sampai urusan super penting pun, yakni urusan masuk surga atau neraka, juga ditentukan oleh bagaimana seorang Muslim menggunakan lisannya. Rasul SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba apabila berbicara dengan satu kalimat yang tidak benar (baik atau buruk), hal itu menggelincirkan dia ke dalam neraka yang lebih jauh antara timur dan barat.” (HR Bukhari-Muslim).

Penjelasan lebih lanjut makna hadis ini, Imam Nawawi menuliskan pendapat Imam Syafi’i dalam kitab Al-Adzkar, “Apabila seseorang ingin berbicara, hendaklah berpikir dulu. Bila jelas maslahatnya, maka berbicaralah, dan jika dia ragu, maka janganlah berbicara.”

Sungguh menarik apa yang disampaikan Abu Hatim mengenai ini, “Lisan orang yang berakal di belakang hatinya. Bila dia ingin berbicara, dia mengembalikan ke hatinya terlebih dulu, jika terdapat (maslahat) baginya, maka dia akan berbicara. Dan bila tidak ada (maslahat), dia tidak (berbicara). Adapun orang yang jahil (bodoh), hatinya berada di ujung lisannya sehingga apa saja yang menyentuh lisannya, dia akan (cepat) berbicara. Seseorang tidak (dianggap) mengetahui agamanya hingga dia mengetahui lisannya.”

Sudah semestinya kita benar-benar waspada terhadap penggunaan lisan kita. Kurangi berbicara yang tidak jelas maslahatnya. Hindari berbicara tentang keburukan orang lain, apalagi mencari-cari kesalahan orang lain. Sebab, itu semua tidak akan mendatangkan kecuali kerugian bagi diri sendiri.

Terkait ini Rasulullah mengingatkan, “Wahai orang yang menyatakan beriman melalui lidahnya, tetapi keimanannya belum masuk ke dalam relung hatinya, janganlah kalian melakukan ghibah (menggunjing) terhadap kaum Muslimin dan jangan kalian mencari-cari kesalahan mereka. Sebab, barang siapa yang mencari-cari kesalahan mereka, maka Allah akan menyingkap keburukannya dan barang siapa yang disingkapkan Allah keburukannya, maka Allah akan mempermalukannya walaupun dia bersembunyi di dalam rumahnya.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

Dengan demikian, mari sayangi diri kita, iman kita, ibadah kita, dan segala kebaikan yang telah kita upayakan sepanjang hidup ini dengan senantiasa waspada dalam berbicara. Sekiranya pun kita mengetahui keburukan orang lain, maka menutupinya jauh menyelamatkan daripada menyebarluaskannya. “Barang siapa menutupi kekurangan seorang Muslim, maka Allah akan menutupi kekurangannya di Hari Kiamat.” (HR Muslim).

Oleh: Imam Nawawi

sumber : www.republika.co.id

Monday, March 23, 2015

Kesabaran Bukan Berarti Berhenti Berbuat

Kata sabar sering kali tidak indah pada era yang serba cepat dan instan. Kata tersebut banyak tak berlaku jika keadaannya menunggu pesawat delay, menunggu antrean yang teramat panjang, atau bahkan jika urusannya berkaitan dengan hukum.
Seseorang yang telah jelas bersalah dalam hukum, tidak jarang bersilat lidah dan mencari kambing hitam demi menemukan kebebasan tanpa syarat sehingga melupakan perilaku sabar dengan membiarkan hukum yang adil mengatur jalannya proses keadilan.

Padahal dalam Islam, kesabaran merupakan kunci sukses, terutama bagi seorang pemimpin. Baik pemimpin keluarga maupun pemimpin suatu negara. Mengenai kesabaran, Allah sampaikan demikian indah dalam Alquran. “Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.”

Orang sabar selalu mampu memberi pengaruh baik bagi diri dan sekitarnya. Karena jaminan Allah bagi orang sabar, yaitu kemampuan memberi petunjuk yang baik dengan menganjurkan dan melaksanakan perintah, serta melarang dan meninggalkan muharramat Allah dan Rasul.

Kesabaran bukan berarti berhenti berbuat, ia merupakan tindakan produktif untuk pengaruh positif terbesar dengan risiko negatif terkecil. Tindakan sehatlah yang menjadi acuan utama dari sikap ini.

Kesabaran tidak tunggal sebab hal ini bisa menjadi suatu kemuliaan, selain juga termasuk suatu kewajiban. Banyak orang menyangka dirinya penyabar yang mulia, tetapi sebenarnya ia sedang melakukan suatu kesabaran yang memang wajib dilakukan. Suatu kesabaran yang mau tidak mau harus dipilih agar tetap menjadi orang sehat.

Kesabaran mulia adalah kesabaran yang dipilih oleh seseorang untuk menentukan seberapa bertakwa dirinya kepada Allah. Seberapa mampu dirinya mendapatkan suatu kehormatan setelah lulus dalam beberapa ujian dan musibah.

Dalam kisah anbiya’ contohnya, setiap mereka yang beriman dan mengikuti dakwah, kemudian Allah uji mereka dengan musibah yang berat, maka ia termasuk penyabar yang mulia.

Karena itu, Allah mencontohkan nama-nama nabi, seperti Ismail, Idris, dan Zulkifli sebagai orang sabar terhadap ujian dan musibah, sedangkan mereka dalam perilaku baik. “Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar.”  (QS al-Anbiya’ [21] : 85).

Sabar anbiya’ inilah yang dimaksud dengan sabar mulia. Sabar yang dilakukan orang mulia dengan dasar akal budi dan moral sehingga pengaruhnya termasuk kemuliaan dan hudan.

Sebaliknya, pembangkang nabi Nuh, nabi Luth, dan nabi-nabi lain yang ditimpakan musibah kepada mereka, mau tidak mau mereka harus bersabar. Kesabaran seperti inilah kesabaran yang merupakan kewajiban. Karena mau tidak mau, kesabaran harus menjadi sikap dan tindakan yang dipilih oleh mereka. Ini disebabkan keburukan muncul karena suatu kesalahan.

Sekarang tinggal memilih, inginkah menjadi penyabar yang bertindak mulia atau menjadi pribadi sehat yang bertindak baik dengan bersabar?

Oleh: Ach. Nurcholis Majid *   
*Pendidik di PP.AL-AMIEN Prenduan

sumber : www.republika.co.id

Saturday, March 21, 2015

Sombong Penyakit Jiwa yang tidak Terasa

Islam mengajarkan pemeluknya memiliki sifat tawadhu (rendah hati), mengakui terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Sifat tawadhu menyadarkan seseorang selalu memohon ampun kepada Allah dengan beristighfar. Rasulullah SAW mencontohkan istighfar paling sedikit sebanyak 100 kali setiap hari.

Merasa diri suci merupakan kesombongan, merasa paling berkuasa termasuk ketakaburan, merasa paling benar ialah kebodohan. Kesombongan cenderung merendahkan, menyalahkan orang lain, dan merasa dirinya yang paling benar.

Sombong dan ria merupakan penyakit jiwa yang tidak terasa. Bahaya laten yang menyelinap di setiap hati manusia. Jika saja tidak diawasi oleh kebeningan hati dan dibimbing oleh iman yang kuat, niscaya akan bersemayam di hati dan menjadi kepribadian yang susah dihilangkan.

Secara teologis sombong merupakan salah satu sifat yang diwariskan setan kepada manusia. Setan dilaknat Tuhan karena menolak perintah untuk bersujud kepada Adam karena merasa lebih mulia kedudukannya. Bila Adam tercipta dari tanah, dirinya berasal dari api. Bagi setan api lebih mulia dari tanah. Padahal di hadapan Allah, semua makhluk sama dan yang membedakannya, yaitu derajat ketakwaan.

Firaun yang mengaku dirinya Tuhan karena merasa paling berkuasa. Qarun sombong karena merasa dirinya paling kaya. Kesombongan menguasai jiwa dan pikiran manusia karena “merasa paling kaya, cantik, tampan, berkuasa, gagah, suci, benar” dan segala pikiran yang merasa “lebih” dibandingkan orang lain.

Padahal, segala simbol kehidupan yang disebutkan tadi semuanya milik Allah semata, hanyalah titipan sementara untuk dipergunakan beribadah kepada-Nya. Namun, semua perhiasan duniawi itu kerap membuat manusia lupa diri.

Dalam Alquran surah al-A’raf ayat 48, Allah SWT mengingatkan bahwa segala hal yang disombongkan itu tidak ada manfaatnya sama sekali. “Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang selalu kamu sombongkan itu, tidaklah memberi manfaat kepadamu.”

Dalam teladan kenabian kita melihat, Nabi Daud yang berkuasa tetap rendah hati, Nabi Sulaiman yang kaya raya tetap tawadhu, Nabi Musa yang pintar tetap merasa kurang, Nabi Muhammad SAW yang paling taat dan suci tetap beristighfar lebih dari 100 kali setiap hari. Itu semua karena mereka menyadari kekurangannya dan menghindari kesombongan dalam jiwa mereka.

Hidup di dunia ini hanya sebentar, seperti orang yang singgah di perjalanan. Umur manusia bagaikan orang yang menyeberang jalan. Keabadian itu ada pada kehidupan yang akan datang. “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa,” (QS al-Qashash [28]: 83).

Mesti disadari bahwa dalam segala aspek kehidupan terdapat kesempatan untuk ria dan sombong, bahkan dalam ibadah sekalipun sombong bisa hadir dalam bentuknya yang lain. Misalnya, ingin dipuji orang, dipandang saleh, alim, dan suci. Semua itu termasuk jebakan yang harus diwaspadai. Ikhlas dalam beribadah merupakan penangkalnya, kontinu terus-menerus ialah obatnya, tak terganggu oleh kemeriahan, harapan mendapat pujian dan penilaian dari orang lain.

Harta hanyalah alat untuk beribadah. Jabatan merupakan amanah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada sesama. Ditakdirkan mempunyai paras cantik atau tampan untuk lebih bersyukur kepada Zat Pencipta, seperti diteladankan oleh Nabi Yusuf AS, bukan untuk dipertontonkan apalagi diperjualbelikan. Semua termasuk ujian agar manusia tetap beriman, beribadah, dan berakhlak mulia dalam hidup keseharian.

Janganlah bersifat tinggi hati karena hal itu hak Allah SWT. Ia murka kepada orang yang menyaingi-Nya dan menyindirnya, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung,” (QS al-Isra [17]: 37). Wallâhu’alam.

Oleh: Prof H Dadang Kahmad

sumber : www.republika.co.id

Friday, March 20, 2015

Agama Itu Nasihat

Aku menyampaikan amanah Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu.” (QS al-A’raf: 68). Demikian pula Nabi SAW bersabda, "Agama itu nasihat. Sahabat bertanya, ‘Bagi siapa?’ Beliau bersabda, ‘Bagi Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, pemimpin-pemimpin, dan umat Islam pada umumnya.’" (HR Muslim).

Kata nasihat berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja nashaha yang berarti khalasha, yaitu murni serta bersih dari segala kotoran dan benar.
Dalam arti lain, nasihat juga bisa berarti khaatha, yaitu menjahit karena perbuatan penasihat yang selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya diibaratkan memperbaiki pakaiannya yang robek.

Menurut istilah, nasihat adalah mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan. Imam al-Shobuni mengartikan nasihat dengan menghendaki kedamaian dan kebaikan. Pengertian secara bahasa dan istilah ini bermakna bahwa, pertama, agama itu nasihat bagi Allah.

Maksudnya, dengan berpegang kepada agama, umat Islam dapat tetap memelihara keyakinan dalam mensucikan Allah dan kemahasempurnaan-Nya.
Mengesakan-Nya dalam hal ibadah dan menjauhi kesyirikan, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, mencintai yang dicintai-Nya, dan membenci yang dibenci-Nya.

Kedua, agama itu nasihat bagi kitab-Nya. Dengan berpegang kepada agama, umat Islam dapat tetap memelihara kesucian Alquran, membacanya, menggali isinya, dan mengamalkan kandungannya.
Mereka juga diharapkan dapat mengajak kepada kebaikan dan kedamaian sesuai nilai yang terkandung dalam kitab suci.

Ketiga, agama itu nasihat bagi Rasulullah SAW. Dalam menjalankan misi kerasulannya, beliau berpegang teguh kepada wahyu Allah. Beliau juga menjaga kesucian dan kemuliaan sebagai teladan umat.
Dalam menyampaikan dakwah Islamiyah kepada umatnya, masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat Islamiyah dalam waktu relatif singkat.

Keempat, agama itu nasihat bagi pemimpin Islam. Dengan berpegang kepada agama, para pemimpin hendaknya menjalankan tugas kepemimpinan sesuai ajaran agama.
Para pemimpin Islam hendaknya membersihkan diri dari hal tak terpuji sehingga menjadi panutan umat. Mereka juga dituntut mengajak umatnya kepada kedamaian dan kebaikan serta menjauhkan dari kemungkaran.

Seorang pemimpin harus ikhlas memberikan pelayanan terbaik dengan menciptakan kepedulian sosial bagi semua lapisan dan menjadikan kekuasaan sebagai amanah.
Hanya dengan ikhlas, seorang pemimpin sukses menghilangkan kecenderungannya mengedepankan kepentingan temporal dibandingkan kemaslahatan umat secara menyeluruh.

Kelima, agama itu nasihat bagi umat Islam. Dengan berpegang kepada agama, umat Islam diharapkan membersihkan diri dari kotoran lahir dan batin.
Mereka diharapkan taat kepada Allah, Rasul, dan para pemimpinnya. Mereka juga dituntut saling mengajak kepada kedamaian dan kebaikan serta menjauhkan dari kemungkaran.

Oleh: Deding Ishak
sumber : www.republika.co.id

Thursday, March 19, 2015

Hakikat Rendah Hati dalam Kehidupan

Subhanallah sahabat shalehku, memang rendah hati hormat kepada guru, orang tua, kakak, dan itu sebuah kewajaran dalam kebaikan akhlak. Tetapi hakikat rendah hati sebenarnya adalah takkala engkau sayang, akrab, duduk, makan bersama dengan orang orang yg papa, pembantu, tukang, supir, dan bersahabat tanpa jarak bersama mereka.

Dan boleh jadi mereka lebih mulia dari kita, boleh jadi yang mencium tangan lebih mulia dari yang dicium. 'kan yang paling tahu siapa kita hanya Allah, begini begitu karena aib kita masih ditutupi Allah kan?! Coba kalau Allah buka, pasti hina semua kita.

Baca Kalam Allah, "Sesungguh yg paling mulia diantara kalian adalah siapa yang paling takwa di sisi Allah" (QS Al Hujarat 13). Rasulullah bersabda, “Siapa yang bersikap rendah hati, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya, dan siapa yang bersikap sombong, maka Allah akan merendahkan derajatnya hingga derajat yg paling hina” (HR Ibnu Majah).

Karena itu jangan sekali kali sombong, “Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dg sombong...” (QS Al Isra 37). "Sungguh hamba Allah yang selalu menghinakan dirinya di penghujung malam dengan banyak dan lama sujud dihadapannya, pasti buahnya sangat rendah hati kepada mahluk Allah.

Allahumma ya Allah hiasilah diri hamba dengan kesenangan ibadah kepada-Mu dan sifat rendah hati pada mahluk-Mu
Oleh: KH. Muhammad Arifin Ilham
Sumber: Akun facebook KH. Muhammad Arifin Ilham


Thursday, March 12, 2015

Nabi yang Mencintai Alquran

Suatu ketika, Atha dan Ubaid bin Umair menemui Aisyah. Ubaid kemudian bertanya perihal Rasulullah, "Wahai Aisyah, ceritakan kepada kami satu peristiwa yang paling menakjubkan yang pernah engkau saksikan pada diri Rasulullah!" Aisyah kemudian bercerita, "Satu malam, beliau bangun serta berkata (kepadaku), ‘Wahai Aisyah, biarkan aku beribadah kepada Rabbku.’ Aisyah menjawab, ‘Demi Allah, aku suka selalu ada di sampingmu, wahai suamiku. Dan, aku menyukai apa yang menyenangkanmu.’” Kemudian, beliau bangun, mengambil air wudhu, dan selanjutnya shalat.

(Dalam shalatnya), beliau menangis sampai (air matanya) membasuhi tanah. Kemudian, Bilal datang mengabari beliau shalat. Tatkala menyaksikan Nabi sedang menangis, Bilal bertanya, "Wahai Rasulullah, (mengapa) engkau menangis, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang sudah berlalu dan yang akan datang?” Nabi menjawab, "Tidakkah boleh aku menjadi hamba yang bersyukur? Malam ini, telah turun kepadaku beberapa ayat. Celaka bagi siapa saja yang tidak memikirkan kandungannya, yaitu firman Allah, ‘Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.’” (QS Ali 'Imran: 190).

Riwayat lain mengisahkan, Hudzaifah Ibnul Yaman menjelaskan pengalamannya dalam bermujahadah bersama Rasulullah. “Pada suatu malam aku shalat bersama Rasulullah mulai dengan membaca surah al-Baqarah. Hatiku berkata, beliau akan rukuk pada ayat ke-100. Namun kemudian, beliau melanjutkannya. Hatiku berkata lagi, barangkali beliau akan menghabiskan satu surah, kemudian rukuk. Ternyata, beliau melanjutkannya dengan menghabiskan surah an-Nisa.”

"Begitulah perasaanku selalu berkata. Ternyata beliau melanjutkannya dengan surah Ali Imran. Tiga surat di atas dibacanya dengan tartil. Jika membaca ayat yang terdapat perintah tasbih, beliau bertasbih. Jika membaca ayat yang memerintahkan untuk berdoa, beliau berdoa. Begitu juga jika ayatnya memerintahkan untuk meminta perlindungan, Rasulullah berdoa meminta perlindungan. Kemudian, beliau rukuk dan ternyata panjang rukuknya hampir sama dengan lama berdirinya. Begitu juga saat iktidal dan sujud." (HR Muslim).

Begitulah seorang Nabi Muhammad ketika merenungi Alquran. Seorang nabi yang notabenenya telah dijamin masuk surga tetap menangis tatkala membaca Alquran. Subhanallah. Beliau juga asyik berlama-lama dalam membaca Alquran meski pada shalat sekalipun. Hati beliau memang telah terpaut erat dengan Alquran.

Ibarat dua sisi mata uang, Nabi SAW dan Alquran sama-sama tak bisa dipisahkan. Keduanya berjalan beriringan. Turunnya wahyu lantaran adanya Nabi Muhammad SAW dan berakhirnya wahyu lantaran Nabi Muhammad telah wafat.
Oleh: M Iqbal Dawami

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, March 11, 2015

10 Sifat Wanita Dambaan Umat

Membahas tentang wanita tidak akan ada habisnya. Meskipun pembahasannya diulang maka tetap akan menemukan hal baru yang seakan belum pernah ada pembahasan sebelumnya. Itulah keunikan dan keistimewaan seorang wanita.

Dalam Alquran surat al-Ahzab [33] ayat 35, Allah SWT menyebutkan sepuluh sifat yang melekat dalam diri seorang wanita yang menjadi dambaan umat. Yang dari rahim wanita seperti itu akan lahir generasi unggul sebagai dambaan umat pula.

Seperti apa sifat wanita yang menjadi dambaan umat itu? Yaitu, pertama, al-muslimat. Wanita yang patuh taat dan tunduk kepada Allah SWT. Dengan karakter seperti itu seorang wanita akan dapat mempertahankan keimanannya meskipun badai menghampirinya.

Kedua, al-mukminat. Yaitu, wanita yang teguh dalam keimanan. Iman menjadi barometer kualitas keislaman seorang wanita. Ia yang menjadi dambaan umat, yang dapat mengaplikasikan nilai-nilai keimanan yang diwujudkan melalui ibadah individual dan sosial dalam kehidupan nyata.

Ketiga, al-qanitat. Yaitu, wanita yang ahli ibadah. Seorang wanita yang istikamah dalam menjalankan ibadah, baik yang wajib maupun sunah, yang dibingkai dengan penuh keikhlasan semata karena-Nya.

Keempat, ash-shadiqat. Yaitu, wanita yang benar (jujur). Seorang wanita yang senantiasi menghiasi diri dengan kejujuran. Jujur dalam hati, lisan, tindakan, dan sikap yang sesuai dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya.

Kelima, ash-shabirat. Yaitu, wanita yang sabar. Seorang wanita yang mampu bersabar dalam berbagai keadaan. Sabar dalam menjalankan perintah-Nya, dalam meninggalkan larangan-Nya, dan dalam menghadapi berbagai bentuk ujian dan cobaan.

Keenam, al-khasyiat. Yaitu, wanita yang khusyuk. Seorang wanita yang dapat menjaga kekhusyuan dalam beribadah kepada-Nya. Sehingga, ia dapat merasakan adanya pengawasan dari-Nya (muraqabatullah).

Ketujuh, al-mutashaddiqat. Yaitu, wanita yang senang bersedekah. Sedekah menjadi salah satu perhiasan diri yang hendaknya dilestarikan oleh setiap wanita. Karena sedekah dapat menarik cinta Allah, para malaikat, dan manusia.

Kedelapan, ash-shaimat. Yaitu, wanita yang rajin berpuasa. Rasul SAW bersabda, “Jika seorang wanita shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, niscaya akan masuk surga dari pintu-pintu yang ia inginkan.” (HR Ibnu HIbban dan Thabrani).

Kesembilan, al-hafidzat. Yaitu, wanita yang menjaga kehormatan. Kemuliaan seorang wanita diukur dari sejauhmana ia dapat menjaga kehormatan dirinya melalui cara berbusana, bertutur kata, berjalan, bergaul, dan yang lainnya.

Kesepuluh, adz-dzakirat. Yaitu, wanita yang banyak berdzikir. Tipe wanita yang selalu istikamah berdzikir dalam berbagai kesempatan, tempat, dan waktu. Sehingga, hatinya senantiasa terpaut dengan Sang Pencipta.

Semoga Allah SWT membimbing kita para wanita untuk istikamah menjaga sepuluh sifat di atas agar dapat melahirkan generasi dambaan umat. Amin. Wallahu a'lam

, Oleh: Hj Siti Mahmudah MPd

sumber : www.republika.co.id

Monday, March 09, 2015

Yuk..Menjadi Keluarga Alquran

“Baca!”. Sendiri, di gua sunyi. Tiba-tiba Muhammad merasakan dirinya seperti didekap sosok tak berupa. Hanya suara yang memaksanya bicara. Dalam kondisi tiba-tiba tanpa tanda-tanda, tentu hanya takut yang ia rasa.
“Aku tak bisa!” Itulah jawaban yang Muhammad bisa. Sedangkan, Jibril, sosok tak berupa itu, semakin erat mendekap, lalu mengulangi perintahnya.
“Baca!”
“Aku tak bisa!”
“Baca!”
“Aku tak bisa membaca!”

Seraya tetap mendekap, Jibril kemudian membacakan firman Tuhan kepada Nabi Muhammad yang ketakutan, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu, Sang Pencipta. Ia menciptakan manusia dari segumpul darah. Bacalah! Tuhanmu Maha Pemurah telah mengajar manusia dengan pena, apa yang tidak mereka tahu (QS al-Alaq [96]: 1-5).

Nabi mengulangi kata-kata yang diucapkan malaikat itu yang kemudian meninggalkannya. Beliau berkata, “Sepertinya kata-kata itu tertanam dalam hatiku.” Itulah wahyu pertama yang Muhammad terima, tepatnya pada Senin, 17 Ramadhan, saat ia berusia 40 tahun, enam bulan, dan delapan hari.

Selanjutnya, Alquran turun berangsur-angsur, ayat demi ayat, dalam kurun waktu sekitar 23 tahun yang terbagi dalam dua periode: periode Makkah (berlangsung sekitar 13 tahun dan ayat-ayat yang turun pada periode ini disebut Makkiyah) dan periode Madinah (berlangsung sekitar 10 tahun dan ayat-ayatnya disebut Madaniyah), sampai kemudian terhimpunlah Alquran utuh yang terdiri atas 114 surat dan terbagi dalam 30 juz. Susunan semacam itu, termasuk nama-nama surah, merupakan penetapan Rasulullah sendiri (tawqifi) dengan bimbingan malaikat Jibril.

Selama proses itu, setiap Ramadhan, Rasulullah SAW selalu membacakan kepada Jibril ayat-ayat yang telah turun sebagai verifikasi.

Allah telah berjanji, Alquran akan selalu terjaga. “Kami yang menurunkan Alquran dan Kami yang menjaganya (QS al-Hijr [15]: 9). Keterjagaan tersebut terbukti dengan adanya para penghafal Alquran dan penulisan (pencetakan) mushaf yang telah dilakukan sejak zaman Rasulullah hingga masa ini.

Menjadi penghafal Alquran, yakni menjadi keluarga Alquran. Tentu yang namanya keluarga, saat kondisi sedih maupun bahagia selalu bersamanya. Mereka akan selalu bersamanya setiap waktu. Singkatnya, mereka hidup bersama Alquran dalam senang maupun susah. Keluarga itu tercermin dari ikatan cinta orang tua terhadap anak atau sebaliknya. Satu sama lain saling menyayangi, baik kala susah maupun senang.

Begitu juga dengan penghafal Alquran. Alquran menjadi bagian dirinya. Ke manapun ia pergi, Alquran tak pernah dilupakan. Keduanya telah melekat, tak bisa dipisahkan. Ketika sedih, ia membaca Alquran agar mendapat penghiburan dan penguatan dari yang dibacanya. Begitu juga saat senang, ia membaca Alquran agar selalu diingatkan untuk tidak berlebihandan mensyukuri atas kesenangan yang didapatnya itu.

Dari sini terungkap perihal salah satu tujuan menghafal Alquran. Ya, tujuan menghafalnya, yakni agar kita selalu berinteraksi setiap hari dengan Alquran. Inilah barangkali tujuan yang tersembunyi dari menghafal Alquran. Dengan menghafalnya setiap hari, secara tidak sadar kita sedang membangun kedekatan dengan Alquran. Aduhai, betapa nikmatnya apabila kita selalu dekat dengannya.

Setelah kita berinteraksi dengannya secara intens, langkah selanjutnya, yaitu mengamalkannya. Pengamalan inilah sesungguhnya tujuan yang paling tinggi dari menghafal Alquran. Jadi, bukan hanya dihafal saja, melainkan juga diamalkan kandungannya. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik orang di antara kalian adalah orang yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya” (HR Bukhari).

Mengajarkan sama saja dengan mengamalkan, kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Mengajarkan tanpa mengamalkannya sama saja membohongi diri sendiri. Hal ini seperti diilustrasikan oleh Rasulullah SAW bahwa seorang mukmin yang tidak mengamalkan ajaran Islam, sama halnya pohon tanpa berbuah.

Semoga kita selalu menjadi ahli Alquran, yakni yang membaca, menghafal, kemudian mengamalkan kandungannya. Aamiin. Wallahu a’'lam. 
Oleh: M. Iqbal Dawami



sumber : www.republika.co.id