-

Tuesday, June 30, 2015

Puasa Ibadah Abadi

Berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain, ibadah puasa diwajibkan oleh Allah SWT tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi umat-umat terdahulu, seperti diterangkan secara eksplisit dalam ayat al-shaum, al-Baqarah ayat 183.
Menurut sejumlah pakar tafsir, terutama yang menyandarkan pendapatnya pada Ibn Abbas, frasa “al-ladzina min qablikum” pada ayat di atas menunjuk pada Ahl al-Kitab, yaitu orang-orang Yahudi, umat Nabi Musa AS dan orang-orang Nasrani, umat Nabi Isa AS.

Seperti diketahui, Nabi Musa berpuasa selama 40 hari. Orang-orang Yahudi berpuasa Asyura, puasa tanggal 10 bulan ketujuh dalam kalender mereka. Di luar itu, ada beberapa hari lain  mereka harus puasa. Orang-orang Nasrani juga puasa.

Puasa mereka tidak berbeda dengan orang-orang Yahudi, di antaranya, puasa besar, satu hari sebelum Hari Raya Paskah. Imam al-Alusi dan juga Fakhruddin al-Razi memahami lebih luas 'umat terdahulu,' tak hanya Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, tetapi semua umat manusia, sejak dari Nabi Adam AS hingga sekarang.

Syekh Muhammad Abduh malah lebih luas lagi, dengan menunjuk puasa yang dilakukan kaum paganis, baik di Mesir kuno, Yunani, Romawi, maupun India. < br />
Bagi Abduh, fakta ini menunjukkan adanya benang merah, kesatuan (sumber) agama (wahdat al-din) ditilik dari prinsip-prinsip agama dan cita-cita atau tujuan mulia yang dibawanya. Umat Islam dapat memetik pelajaran atau hikmah dari kenyataan bahwa puasa merupakan ibadah abadi yang diwajibkan oleh Allah kepada semua umat manusia. Tak ada umat dari seorang nabi, kecuali diwajibkan atas mereka puasa.

Setidaknya, ada tiga pelajaran penting yang dapat dipetik. Pertama, al-ihtimam bi hadzih-I al-`ibadah, kita mesti memberi perhatian khusus pada ibadah ini, memahami berbagai keutaman yang ada di dalamnya, serta memanfaatkan sebaik mungkin untuk mempertinggi ibadah dan amal kebajikan agar kita menjadi orang takwa.

Kedua, an-la yatstatsqilu bi hadzih-I al-ibadah, kita tidak sepatutnya merasa berat dengan ibadah puasa. Kalaulah ada perasaan semacam itu, sadarilah bahwa ibadah ini juga dibebankan kepada umat-umat terdahulu.

Dikatakan, kalau kit a menyadari bahwa rasa berat atau kesulitan itu menimpa semua orang m aka kesulitan itu akan terasa ringan.

Ketiga, itsarat al-qiyam bi hadzih-I al-faridhah, agar kita terdorong dan termotivasi melaksanakan kewajiban (puasa) ini sebaik mungkin, melebihi umat terdahulu. Di sini ada logika keunggulan (al-afdhaliyah wa al-khairiyah) yang mesti dibangun umat Islam, sebagaimana diutarakan Sayyid Thanthawi.

Umat Islam telah dinobatkan oleh Allah SWT sebagai umat terbaik, (khaira ummah) atas umat terdahulu (QS Ali Imran [3]: 110). Kalau puasa diwajibkan kepada umat terdahulu, semua umat, tanpa kecuali, dan mereka mampu melaksanakan maka sesuai dengan logika keunggulan tadi, umat Islam sebagai umat terbaik harus mampu dan sanggup melaksanakan ibadah ini secara lebih baik lagi.

Sebagai ibadah abadi dan universal, puasa bila dilaksanakan dengan benar dan tulus karena Allah (imanan wa ihtisaban) maka ia akan mengantar kita sebagai pribadi maupun bangsa menuju kemuliaan dan keadaban. Wallahu a`lam! 
Oleh: A Ilyas Ismail
sumber : www.republika.co.id

Friday, June 26, 2015

Inilah Kampung Maroko di Tepi Sungai Citarum

Nama Maroko dengan jelas terpampang pada papan penunjuk arah di Jalan Cihampelas menuju Cililin, Kabupaten Bandung Barat. Setidaknya ada tiga papan penunjuk arah yang menunjukkan lokasi daerah di tepian Sungai Citarum itu.
Banyak yang mengira, Kampung Maroko di Desa Mekarjaya, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat itu berkaitan dengan nama negara di wilayah Afrika Utara. Padahal, sama sekali tidak ada hubungannya.
"Memang ada negara Maroko di Afrika, tetapi tidak ada ceritanya yang menghubungkan dengan nama kampung ini," kata Ipin Surjana, Kades Mekarjaya, Selasa (23/6/2015).
Meski merupakan warga asli setempat, Ipin mengaku tak tahu menahu cerita soal penamaan kampung Maroko. Nama itu, menurut dia, sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.
Selain Kampung Maroko, warga sekitar juga mengenal daerah itu dengan nama Pasar Aci. Julukan itu mengacu pada sebuah pasar yang berada di ujung kampung di tepi Sungai Citarum.
Pasar tersebut hingga kini masih menjadi pusat perekonomian warga. Di pasar ini, dijual berbagai kebutuhan rumah tangga mulai dari sembako, sayuran, buah-buahan hingga pakaian.
"Pasar itu hanya beroperasi dua kali dalam seminggu, yaitu Selasa dan Jumat mulai dari Subuh sampai sebelum Zuhur," ujar Ipin.
Di sekitar pasar, banyak keretek atau delman yang menjadi salah satu alat transportasi warga sejak dulu. Namun, saat ini jumlahnya berkurang seiring dengan meningkatnya kepemilikan sepeda motor.
Tepat di belakang pasar, berdiri sebuah dermaga tempat sejumlah perahu kayu berlabuh. Dermaga tersebut baru diresmikan Dinas Perhubungan Pemprov Jabar pada akhir 2014 lalu.
Keberadaan Dermaga Maroko, menurut Ipin, sangat penting untuk akses perekonomian warga di desanya. Dengan keberadaan dermaga, bongkar muat sejumlah perahu yang menghubungkan akses masyarakat di Kecamatan Cihampelas dan Kecamatan Saguling itu menjadi lebih mudah.
"Bahkan, masyarakat di Kecamatan Saguling kerap berbelanja ke Pasar Maroko untuk kebutuhan sehari-hari. Jadi, keberadaan dermaga memang penting untuk perekonomian warga," tutur Ipin.
Meski demikian, pengelolaan Dermaga Maroko dilakukan sepenuhnya oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pemerintah desa setempat sama sekali tidak dilibatkan untuk mengelolanya. Tentu saja, pendapatan asli daerah dari keberadaan dermaga tersebut pun tidak masuk ke kas desa.
Meski menjadi akses vital masyarakat di dua kecamatan, Dermaga Maroko tidak ditunjang dengan infrastruktur jalan yang memadai. Jalan menuju dermaga itu sudah lama rusak dan tak kunjung diperbaiki.
Padahal, pemandangan di sekitar dermaga cukup menjual untuk menarik wisatawan. Selain genangan air Waduk Saguling yang tenang, juga banyak kolam terapung yang menjaring banyak ikan.

Ditemani udara sejuk khas pegunungan, lokasi tersebut juga cocok untuk tempat berkumpul keluarga sambil menikmati ikan bakar di saung. Jika dikembangkan, lokasi dermaga cukup berpotensi menjadi destinasi wisata baru di Kabupaten Bandung Barat.
sumber: pikiran-rakyat.com

Tuesday, June 23, 2015

Delapan Keutamaan Puasa

Diriwayatkan dari Abu Umamah, dia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku suatu amalan yang akan memasukkanku ke dalam surga. Rasulullah SAW menjawab, ‘Kamu harus puasa karena puasa itu tidak ada bandingannya.’’’ (Musnad Ibni Hambal, juz 5, hlm 264, hadis nomor 22.330).

Setelah peristiwa itu, di rumah Abu Umamah tidak terlihat asap mengepul saat siang hari kecuali bila kedatangan tamu. Jika orang-orang melihat asap di rumahnya, mereka langsung paham bahwa Abu Umamah sedang kedatangan tamu. (lihat kitab Attabwib al Maudhui lil ahadits, juz I, hlm 18.316).

Amalan untuk masuk surga cukup banyak seperti dijelaskan berbagai hadis sahih, tetapi mengapa Rasulullah memerintahkan puasa dan menyatakan bahwa puasa tiada bandingannya dengan ibadah lain? Ini menunjukkan, puasa memiliki keutamaan sebagai penyebab orang masuk surga. Bahkan, dalam hadis tersebut Rasulullah menyebutkan alasan keut amaan puasa dibandingkan ibadah lainnya, dengan ungkapan, “Puasa itu tidak ada bandingannya”. Hal ini menunjukkan beberapa keutamaan puasa.

Pertama, puasa tiada bandingannya dalam hal pahala. Rasulullah meriwayatkan hadis qudsi, “Setiap amalan anak cucu Adam adalah miliknya kecuali puasa. Puasa adalah milik-Ku dan Aku yang langsung membalasnya.’’ Di sisi lain, puasa merupakan latihan kesabaran dan orang-orang sabar akan diberi balasan tanpa batas. (QS az-Zumar:10).

Kedua, berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya yang bisa terlihat oleh orang lain, puasa yang tahu hanyalah Allah dan orang yang melakukannya. Allah menegaskan dalam hadis qudsi, “Orang berpuasa itu meninggalkan makanan dan minumannya untuk diri-Ku (Allah). Maka, puasa itu milik-Ku dan Aku (Allah) sendiri yang akan memberikan pahala karenanya.’’ (HR Bukhari ).

Ketiga, puasa memiliki keutamaan karena dinisbatkan kepada Allah. Berdasarkan hadis qudsi di atas yang menyatakan bahwa “puasa adalah milik-K u”, berarti Allah memang selalu puasa tidak pernah makan dan minum.

Keempat, orang puasa dimuliakan Allah sehingga disiapkan pintu khusus di surga. Dari Sahal bin Sa’ad, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya surga itu mempunyai satu pintu yang disebut ar-Rayyan. Pada hari kiamat nanti pintu tersebut akan bertanya, di mana orang-orang yang berpuasa? Apabila yang terakhir dari mereka telah masuk, maka pintu itu akan tertutup.” (Muttafaqun ‘Alaih).

Kelima, puasa adalah perisai dari semua perbuatan buruk dan akhlak tercela. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, ‘’Puasa itu perisai, apabila salah seorang di antara kalian berpuasa, hendaklah ia tidak berkata keji dan membodohi diri. Jika seseorang memerangi atau menghinanya, maka hendaklah ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’’’ (HR Bukhari).

Keenam, puasa tiada tandingannya dalam merealisasika n ketakwaan sehingga Allah langsung menyebutkan sasaran utama puasa, yaitu merealisasikan ketakwaan. (QS al-Baqarah: 183).

Ketujuh, puasa adalah ibadah yang efektif untuk mematahkan nafsu. Karena, berlebihan dalam makan ataupun minum serta menggauli istri, bisa mendorong nafsu untuk berbuat kejahatan, enggan mensyukuri nikmat, serta mengakibatkan kelengahan.

Kedelapan, puasa mempersempit jalan setan masuk kepada anak Adam melalui jalan aliran darah. Dengan berpuasa, dia aman dari gangguan setan, kekuatan nafsu syahwat, dan kemarahan. Karena itu, Nabi menjadikan puasa sebagai benteng untuk menghalangi nafsu syahwat. Walhasil, bila seorang Muslim berpuasa sesuai tuntunan Rasulullah, pasti menjadi orang bertakwa dan ahli surga. Wallahu a’lam.
Oleh: Ahmad Satori Ismail
sumber : www.republika.co.id

Sunday, June 21, 2015

Tiga Keutamaan Bersikap Sabar

Tak terasa, kini kita berada di penghujung Syaban dan tidak lama lagi akan kedatangan Ramadhan 1436 H. Bulan yang dirindu kedatangannya oleh setiap orang beriman. Salah satu upaya yang harus kita lakukan dalam menyosong Ramadhan adalah melatih diri untuk sabar.
Itu karena Ramadhan adalah bulan kesabaran. Rasulullah SAW bersabda, "Inilah (Ramadhan) bulan kesabaran dan ganjaran bagi kesabaran yang sejati adalah surga." (HR Ibnu Khuzaimah). Hal ini kita lakukan agar mampu bersabar saat berada di bulan Ramadhan.
Sabar itu bisa dalam melaksanakan ketaatan, sabar dari kemaksiatan, dan sabar dalam menghadapi musibah. Sebab, tidak jarang saat berada di bulan Ramadhan diri kita tidak dapat bersikap sabar, seperti mudah emosi, malas beribadah, dan mengisi waktu dengan hal tak bermanfaat.
Akibatnya, kita tidak mendapat apa pun dari Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda, "Ketika aku menaiki tangga pertama, Jibril muncul di hadapanku dan berkata, `Celakalah orang yang mendapati bulan Ramadhan yang penuh berkah tetapi tidak memperoleh ampunan.' Maka aku berkata, `Amin."
(HR Hakim).
Sabar adalah menahan kecenderungan jiwa terhadap tuntutan akal dan syarak. Orang yang bersabar adalah orang yang selalu menepati jalan Allah dan konsisten berada di jalan-Nya. Dalam ajaran Islam, sabar memiliki kedudukan yang tinggi lagi mulia.
Sabar merupakan kunci memperoleh akhlak mulia dan penghilang seluruh kegelapan, kesulitan, dan penderitaan, sebab sabar merupakan sinar yang menerangi kehidupan.  Di dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk bersabar, sebagaimana firman-Nya, "Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar." (QS al- Ahqaaf [46]: 35).
Ketika seseorang telah sampai pada tingkat shaabirin(orang-orang yang sabar) maka Allah SWT akan memberikan berbagai kebaikan. Di antaranya, pertama, senantiasa ada dalam pertolongan Allah SWT.
Kedua, balasan yang lebih baik dan pahala tanpa batas.
"Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (an-Nahl [16] :96).
Ketiga, akan mendapatkan kepemimpinan dalam agama. Upaya yang harus dilakukan agar kita memiliki sikap sabar, selain dengan bermujahadah dan membiasakan diri mematuhi ajaran-ajaran Allah SWT, adalah dengan memohon kepada Allah SWT untuk menganugerahkan kesabaran kepada kita.
Menurut Rasulullah, "Barang siapa me minta sabar maka Allah menyabarkannya. Seseorang tidak diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada pemberian berupa sabar.'' (HR Muslim).
"Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir." (QS al- Baqarah [2]: 250) Amin. Wallahu'alam.

Oleh: Moch Hisyam

sumber : www.republika.co.id

Friday, June 19, 2015

Tolong jangan bilang anakku “pintar”…. (Fixed Mindset Vs Growth Mindset)

Emangnya kenapa? Kata pujian “anak pintar” itu bukannya sebuah tanda penghargaan ya buat si anak? Plus dobel fungsi jadi topik obrolan basa-basi di ruang tunggu dokter, bangku di toko mainan, dan sambil mengawasi anak-anak main di taman? Triple plus di acara arisan keluarga, saat semua ponakan/cucu/kakak-adik lagi berkumpul bersama.

Lalu, ada apa dengan label “pintar” itu?

Beberapa bulan yang lalu, saya diberikan kesempatan untuk bantu menterjemahkan artikel pendidikan untuk sebuah program sekolah. Di antara sekian banyak artikel, satu yang benar-benar membuat saya berhenti, membaca berulang-ulang, dan berpikir kembali adalah artikel mengenai fixed vs. growth mindset. Kedua kubu tersebut merupakan bahasan penelitian berjangka yang dilakukan oleh Carol Dweck, yg dipublish dalam bukunya yang berjudul Mindset: The New Psychology of Success (2006).

Dweck meneliti efek jenis pujian yang diberikan ke anak-anak:

satu kelompok dipuji “kepintarannya” (“You must be smart at this.”)

dan kelompok yang lain dipuji atas usaha (effort) mereka (“You must have worked really hard.”) setelah setiap anak menyelesaikan serangkaian puzzle non-verbal secara individual.

Puzzle di ronde pertama memang dibuat sedemikian mudah sehingga setiap anak pasti bisa menyelesaikannya dengan baik. Setelah dipuji, anak-anak tersebut diberikan pilihan jenis puzzle buat ronde kedua: satu puzzle yang lebih sulit daripada puzzle di ronde pertama, namun mereka akan belajar banyak dari mencoba menyelesaikan puzzle tsb; dan pilihan puzzle lainnya adalah puzzle yang mudah, serupa dengan yang di ronde pertama.

Dari kelompok anak-anak yang dipuji atas usaha mereka, 90% anak-anak memilih rangkaian puzzle yang lebih sulit. Mereka yang dipuji atas kepintarannya sebagian besar memilih rangkaian puzzle yang mudah.

Lho, kenapa anak-anak yang dipuji “pintar” malah memilih puzzle yang mudah??

Menurut Dweck, sewaktu kita memuji anak karena kepintarannya, kita menyiratkan bahwa mereka harus selalu mempertahankan label “anak pintar” tsb, sehingga nggak perlu ambil risiko yang menyebabkan mereka akan berbuat salah alias terlihat “tidak pintar” (“look smart, don’t risk making mistakes.”)

Dalam ronde tes berikutnya, anak-anak itu tidak mempunyai pilihan: mereka semua harus menyelesaikan rangkaian puzzle yang diberikan memang dibuat sulit, 2 tahun di atas usia anak-anak itu. Seperti yang sudah diperkirakan, semua anak gagal menyelesaikannya. Namun, kelompok anak-anak yang dari awal dipuji atas usaha mereka menganggap mereka kurang fokus dan kurang keras upayanya untuk menyelesaikannya. Mereka menjadi sangat terlibat dan berusaha mencoba semua solusi yang dapat mereka pikirkan. Tak banyak dari mereka yang berkomentar bahwa “tes ini adalah yang paling saya sukai”.. kok gitu? Sedangkan kelompok yang dipuji atas kepintarannya menganggap kegagalan mereka sebagai bukti bahwa mereka sebenarnya memang tidak pintar. Tim peneliti mengamati bahwa anak-anak ini berkeringat dan tampak sangat terbebani selama mengerjakan tes.

Nah, setelah semua mengalami kegagalan, pada ronde tes terakhir, mereka diberikan tes yang dibuat semudah tes pada ronde pertama. Kelompok yang dipuji atas usaha mereka mengalami peningkatan skor hingga 30%. Sedangkan anak-anak yang diberitahu bahwa mereka “anak pintar” malah menurun skornya hingga 20%.

sudah curiga bahwa jenis pujian akan memberikan dampak, namun dia tidak menyangka sejauh ini efeknya. Menurutnya, “penekanan pada usaha memberikan anak-anak variabel yang bisa mereka kendalikan, mereka akan menilai bahwa mereka sendirilah yang pegang kendali atas kesuksesan mereka. Sedangkan penekanan pada kecerdasan alami justru mengambil kendali dari tangan anak dan menyebabkan cara berespons yang jelek terhadap sebuah kegagalan.”

Pada wawancara yang dilakukan setelahnya, Dweck menemukan bahwa mereka yang menganggap bahwa kecerdasan alami adalah kunci dari kesuksesan mulai mengecilkan pentingnya upaya yang diberikan. Penalaran mereka adalah “aku kan anak pintar, aku tidak perlu susah-susah berusaha”. Ketika mereka diminta untuk berusaha lebih keras, mereka malah menganggap hal tersebut sebagai bukti bahwa mereka nggak sepintar anggapan mereka. Efek jenis pujian ini terlihat pada penelitian yang dilakukan pada anak-anak pada kelas sosioekonomi yang berbeda-beda, baik pada laki-laki maupun perempuan, bahkan pada anak prasekolah juga menunjukkan adanya pengaruh.

Okay. Nafas dulu. Setidaknya, saya setelah baca hasil penelitiannya harus ambil nafas dan bercermin. Anak sulungku sudah sering dipuji “pintar”, alhamdulillah. Tapi memang pada beberapa kesempatan, dia enggan mencoba hal-hal baru (yang menurutnya susah) dan sempat mudah menyerah ketika mengalami hambatan, misalnya dalam upayanya membuat kreasi Lego sendiri (tanpa instruksi) atau saat dia latihan lagu piano yang lebih susah buat lomba. Kalau menggambar bebas, masih suka frustrasi saat “salah” dan minta ganti kertas atau malah ganti kegiatan yang lain. Oh my little boy, I’m so sorry. I didn’t know. Apalagi dia termasuk anak yang introvert dan lebih mudah cemas. Nah, jelas kan kenapa penelitian ini sangat menohok buat saya.

Meskipun saya dulu pernah baca artikel yang menyebutkan kenapa lebih baik memuji upaya daripada hasil, namun saya baru kali ini membaca penelitian yang terkait. Dan jadi sadar betul betapa besar efeknya jenis pujian yang kita berikan. Namun demikian, old habits die hard. Especially with the older generation. Gimana caranya saya ngasih tau ke mertua kalau mau muji cucunya tersayang, jangan bilang kalau dia “pinter” melainkan harus memuji upaya kerasnya? Padahal budaya kita sangat sarat dengan “label” pada anak-anak, dengan label “anak pintar” menjadi primadona segala label. Belum lagi kebiasaan membandingkan anak satu dengan anak lainnya, cucu satu dengan cucu lainnya. Oh boy, pe-er nya banyak banget ini.

Okay , balik lagi ke konsep growth vs. fixed mindset , jadi intinya anak-anak yang dipuji atas upaya mereka akan memiliki growth mindset, bahwa otak itu adalah sebuah otot, yang makin “dilatih” maka akan semakin kuat dan terampil. Dilatihnya ya dengan tantangan, masalah, dan kesalahan yang harus diperbaiki dan diambil hikmahnya. Sedangkan anak-anak dengan fixed mindset menanggap pintar/tidak pintar itu sudah dari sananya dan nggak bisa diubah. Jadi mereka cenderung menghindari hal-hal yang membuat mereka tidak terlihat pintar dan tidak menyukai tantangan, mementingkan hasil akhirnya.

Dweck memberikan beberapa perbedaan fixed vs. growth mindset dalam bukunya:

a. Fixed mindset (FM)mengkomunikasikan ke anak-anak kalau sifat dan kepribadian mereka adalah permanen, dan kita sedang menilainya. Growth mindset (GM) mengkomunikasikan ke anak-anak kalau mereka adalah seseorang yang sedang tumbuh dan berkembang, dan kita tertarik untuk melihat perkembangan mereka.

b. Nilai yg bagus akan diatribusikan pada “kamu emang anak yang pintar” pada FM. Sedangkan GM akan mengatakan “Nilai yg bagus! Kamu telah berusaha keras/menerapkan strategi yang tepat/berlatih dan belajar/tidak menyerah.”

c. Nilai yang jelek akan diartikan sebagai “kamu memang lemah pada bidang ini” dengan FM. GM akan mengatakan “saya suka upaya yang telah kamu lakukan, tapi yuk kita kerjasama lebih banyak lagi untuk mencari tahu bagian mana yang kamu belum pahami”. “Kita semua punya kecepatan belajar yang berbeda, mungkin kamu butuh waktu yang lebih lama untuk mengerti ini tapi kalau kamu terus berusaha seperti ini, aku yakin kamu akan bisa mengerti.” “Semua orang belajar dengan cara yang berbeda, ayo kita terus berusaha mencari cara yang lebih cocok untuk kamu.”

d. FM: “wah, kamu cepet banget menyelesaikannya, tanpa salah lagi!” GM: “Ooops, ternyata itu terlalu mudah buat kamu ya. Saya minta maaf sudah membuang waktumu, ayo cari sesuatu yang bisa memberikan pelajaran baru buat kamu.”

e. FM mementingkan kecerdasan atau bakat dari lahir. GM mementingkan proses belajar dan kegigihan berusaha (perseverance).

f. FM percaya kalau tes mengukur kemampuan. GM percaya kalau tes mengukur penguasaan materi dan mengindikasikan area untuk pertumbuhan.

g. Guru dengan FM menjadi defensif mengenai kesalahan yang dia lakukan. Guru dengan GM merenungkan kesalahannya secara terbuka dan mengajak bantuan dari anak-anak lagi supaya bisa menyelesaikan masalahnya.

h. Guru dengan FM memiliki semua jawaban. Guru dengan GM menunjukkan ke anak-anak bagaimana dia mencari jawaban-jawaban tersebut.

i. Guru dengan FM menurunkan standar supaya anak-anak bisa merasa pintar. Guru dengan GM mempertahankan standar yang tinggi dan membantu setiap siswa untuk mencapainya.

Hosh-hosh, mulai kelihatan kan bedanya? Kami sudah mulai berusaha mengubah cara kami memuji anak-anak, tapi menang butuh waktu dan upaya ekstra untuk mengubah kebiasaan yang sudah lama, apalagi dengan lingkungan teman-teman dan saudara dan orang-orang yang tidak dikenal yang SKSD. Plus, kosa kata “you worked hard… ” itu kalau diterjemahakan ke dalam Bahasa Indonesia itu masih terdengar tidak umum plus panjang, “kamu udah bekerja/berupaya keras ya untuk….”--- masih lebih praktis bilang “anak pinter”, hehehe. Yah, namanya juga sudah membudaya. Belum lagi ada ucapan bahwa kata-kata adalah doa. Akupun sepakat dengan itu. Jadi jangan salah sangka, bukannya nggak boleh memuji, tapi pujilah upaya mereka. Dan penelitian ini khusus berkenaan dengan persepsi terhadap kecerdasan ya, bukan label-label lain seperti sholeh/sholehah, rajin, empatik, penyayang, dsb. Jadi pentingnya perubahan mindset dari fixed menjadi growth supaya anak-anak (dan kita sebagai orang tua juga) nggak terpaku hanya pada hasil. Kalau menurut saya, terlalu terpakunya masyarakat kita pada hasil malah melahirkan upaya-upaya negatif untuk mencapai hasil yang “baik” di mata orang, terlepas caranya. Makanya ada bocoran soal UN, contekan ulangan, lalu stress berlebihan atas sebuah kegagalan. Kalau pada anak sulung saya, ya kelihatan pas dia ngambek nggak mau lanjut latihan sebuah lagu di piano karena “susah”, nggak mau nyoba gambar karena takut “jelek”, dan nggak mau nyoba bikin freestyle build dari Lego karena “susah”.


Buat saya, kalau ada yang mengatakan anak-anak “pintar”, maka saya akali dengan langsung menimpali secara halus plus senyum manis dengan komentar atas usahanya anak-anak. Misalnya, tante A, “Wah Little Bug udah pinter main pianonya…”, lalu saya menimpali dengan “Alhamdulillah, Little Bug selama ini rajin latihan dan nggak nyerah kalau belum bisa.” Atau “Little Bug dah pinter ya bacanya” “lalu saya bilang “alhamdulillah, Little Bug tiap hari berusaha baca buku-buku baru dan kalau ada kata-kata yang susah, dia akan berusaha membacanya”. Intinya, nggak pernah lupa untuk memuji usaha/prosesnya. Dan nggak lupa mendoktrin secara berulang tentang otak sebagai otot yang semakin kuat kalau dilatih dengan tantangan. Intinya, menekankan bahwa they are special just the way they are. Bahwa kami bangga karena dia berusaha mencoba meskipun menantang, dan gak menyerah meskipun gagal. Hal-hal seperti itu yang suka tertutup oleh pujian “anak pintar”. Terlebih karena kami homeschool, jadi kelihatan banget gregetnya kalau anak belum bisa maupun kelihatan ketika dia sengaja menghindari sesuatu yang tampak “susah” atau “baru” buat dia, belum lagi kalau ngambek ketika gagal atau hasilnya “nggak perfect”. Jadi ngeh juga, mungkin salah satu alasan kenapa anak-anak Jepang itu begitu rajin adalah karena sejak kecil, pujian setelah melakukan sesuatu umumnya adalah “yoku ganbatta ne” atau “kamu sudah banyak berusaha” dan “otsukaresamadeshita” (terima kasih atas kerja kerasnya), mau apapun hasilnya.

Kita bisa berusaha dan perlahan, insyaaAllah akan lebih positif kepribadian anak-anak kita. Daripada mengeluhkan, mendingan berusaha dan berdoa, semoga Allah bisa membentuk jiwa anak-anak dengan kelembutan-Nya sehingga kelak menjadi anak-anak sholeh/sholehah yang berani menghadapi tantangan demi menghasilkan kebaikan. Semoga artikel ini bisa memberikan sudut pandang yang berbeda buat kita semua.



Referensi:

1. Dweck, Carol. (2006). Mindset: The New Psychology of Success.

2. Bronson, Po. (2007). How Not To Talk to Your Kids: The I nnverse Power of Praise. nymag.com/news/features/27840/#

Atraksi Air Mancur di Taman Air Cikapundung Dinikmati Warga

Atraksi air mancur menari dan berganti warna mengikuti lagu di Taman Air tepian Sungai Cikapundung, Kota Bandung terlihat menarik saat malam, Selasa (12/5/2015).
Warga yang sedang asyik berfoto-foto di sekitar Jln. Cikapundung Timur, dekat Gedung Merdeka, langsung berkumpul ketika lagu "Halo-halo Bandung" berkumandang, dan lampu warna-warni mulai menyoroti air yang terpancar dari lantai.
Sejumlah orang mengambil foto air mancur tersebut, ataupun menjadikannya latar belakang foto. Sebagian lagi memfilmkannya.
Beberapa anak-anak tertawa riang melihat air menyembur dan beruasaha menjamahnya. Ada teriakan-teriakan kecil ketika butiran air mengenai tubuh mereka. 

Sumber: pikiran-rakyat.com

Tuesday, June 16, 2015

Seni tradisi adalah simbol identitas suatu daerah

Seni pertunjukan tradisi meskipun sudah dipertunjukkan secara komersial, tetapi belum optimal dipadukan dengan program paket pariwisata budaya. Padahal, keunikan pertunjukan seni tersebut, merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan.

"Seni pertunjukkan tradisi selain menjadi aset budaya, juga menjadi simbol serta identitas suatu daerah. Sayangnya jenis seni yang potensial ini keberadaannya semakin terjepit oleh kehadiran seni populer, karenanya berangsur-angsur ditinggalkan penggemarnya," ungkap Kepala
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar Drs. Nunung Sobari MM pada penutupan pelatihan Peningkatan Kompetensi Tata Pentas Seni Pertunjukkan di Purwakarta, Jumat (5/6/2015).

Nunung berharap, pengembangan SDM kesenian yang merupakan aset terpenting dari sebuah produk seni, harus mendapat perhatian serius. Karenanya secara terus menerus dilakukan berbagai jenis pelatihan baik untuk pelaku seni terutama pengelola Sanggar Seni.

“Pengembangan kompetensi Tata Pentas Seni Pertunjukan, merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi para pengelola sanggar seni sehingga dapat menampilkan karya seninya sebagai atraksi budaya yang selalu dibanggakan masyarakatnya sekaligus sebagai sentral pewarisan budaya,” ujarnya.

Nunung menambahkan, kegiatan peningkatan kompetensi yang diselenggarakan kali ini dapat membawa manfaat dalam meningkatkan kreativitas dan inovasi seni yang bermutu serta mencerminkan identitas budaya lokal.

”Seni tradisi yang pada hakikatnya merupakan representasi dari kebudayaan luhur, sejak dulu telah menjadi media pendidikan yang ampuh dalam membentuk karakter masyarakatnya. Di Jawa Barat hampir dalam semua seni pertunjukan tradisi, memiliki kontribusi penting dalam mencerahkan karakter masyarakatnya. Seni tradisi menjadi salah satu alternatif sebagai pondasi karakter bangsa serta menjadi filter terhadap dampak negatif dalam menghadapi arus globalisasi saat ini.Mengapa demikian ? karena dalam seni mengandung berbagai makna-makna atau nilai-nilai kehidupan sosio-kultural-religius masyarakat,” ungkapnya.

Tradisi merupakan akar perkembangan kebudayaan yang memberi ciri khas identitas atau kepribadian suatu bangsa, seni tradisi menyediakan bahan baku yang melimpah. Di Jawa Barat pada umumnya para seniman tidak membiarkan kesenian tradisi menjadi beku, dan untuk itu setiap generasi terus berusaha untuk melakukan inovasi terhadap kesenian tradisi yang mereka miliki.
Kiki Kurnia
Sumber : galamedianews.com

Ini cara Lama Membedakan Madu Asli dengan Madu Palsu

Tertangkapnya dua orang pembuat madu palsu di Jakarta, Jumat (12/6/2015) membuat warga resah. Terlebih, praktik pemalsuan madu tersebut sudah berlangsung sejak puluhan tahun, tepatnya sejak tahun 1970.
Selama puluhan tahun itu pula, masyarakat mengonsumi madu palsu yang bermerek Lebah Liar tersebut.
Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan tentang madu asli dan palsu tersebut, berikut cara lama membedakan madu asli dan palsu:

1. Dengan meneteskan madu pada selembar kertas tipis/kertas koran. Madu palsu akan dengan mudah terserap oleh kertas koran karena kandungan airnya tinggi. Sedangkan madu asli tidak akan membuat kertas robek/basah

2. Apabila dikocok, madu asli akan membetuk gas atau uap air.

3. Madu palsu biasanya memiliki pH 2,4-3,3 atas di atas 5. Sedangkan madu asli mempunyai pH 3,4-4,5

4. Apabila dibakar di atas sendok, madu asli maka madu akan mendidih busanya tumpah dari sendok. Sedang yang palsu meskipun mendidih, namun busanya tidak keluar dari sendok.

5. Apabila dimasukan ke dalam segelas air, madu asli akan jatuh langsung ke dasar gelas dan tetap terlihat berkumpul atau tidak bercampur dengan air

6. Dengan menggunakan korek api. Masukkan batang korek ke dalam madu selama beberapa saat, lalu nyalakan. Apabila yang asli korek api akan menyala, namun jika yang palsu korek api tidak akan menyala.
Bagi penderita diabetes, jika madu asli diminum, sesudahnya badan terasa segar. Berbeda dengan madu palsu malah sebaliknya
Sumber: galamedianews.com

Friday, June 12, 2015

Keutamaan dan Hikmah Berdoa

Ud’uni astajib lakum, berdoalah maka niscaya akan Aku kabulkan. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surah al-Mu'min ayat 60 di atas mengisyaratkan kepada manusia untuk selalu menyandarkan sesuatu perkara hanya kepada Allah. Manusia pada hakikatnya adalah satu-satunya makhluk yang Allah berikan akal untuk berpikir dan berusaha. Akan tetapi, di balik kemampuan itu, tentunya ada kekuasaan Allah.

Rasulullah SAW dalam sabdanya menyatakan, tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah kecuali doa. “Laisa syaiun akroma ‘ala Allahi Ta’ala min ad-du’au.” (HR Tarmidzi).

Jika ibadah digambarkan ke dalam struktur tubuh manusia maka doa merupakan bagian otaknya ibadah. Doa berperan merencanakan, memulai, dan mengevaluasi. Saat seseorang hendak melakukan pekerjaan dengan berdoa, berarti dia sedang merencanakan sesuatu.
Hal ini juga serupa jika doa diibaratkan dengan sebuah pekerjaan yang mendapatkan imbalan. Seseorang yang melakukan pekerjaan pada sebuah perusahaan tentunya akan mendapatkan imbalan atas pekerjaannya.
Orang yang berdoa pun akan mendapatkan imbalan, baik imbalan pahala atas apa yang dikerjakan ataupun imbalan berupa terkabulnya doa. Kesimpulannya, doa merupakan bagian dari ibadah. Makin banyak doa dipanjatkan maka makin banyak imbalan atau pahala yang akan didapatkan.

Lebih dahsyatnya, dari keutamaan berdoa bagi kehidupan manusia adalah menolak qadar. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya yang diriwayatkan Ibnu Majah bahwa tidak dapat menolak qadar kecuali dengan doa, “wa la yaruddu al-qadar illa ad-du’a.” (HR Ibnu Majah).

Ada pun hikmah yang dapat diambil dari amalan ibadah dengan berdoa banyak sekali di antara hikmah yang paling utama dari berdoa adalah dekat dengan Allah. Berdoa didefinisikan sebagai satu amalan ibadah dengan tujuan berzikir kepada Allah (mengingat Allah).
Mengingat Allah dengan memperbanyak amalan ibadah melalui doa adalah cara terbaik. “Maka, sesungguhnya Aku adalah dekat.” definisi dekat dikorelasikan dengan bagaimana seorang hamba mau berdoa, meminta, dan mendekatkan diri kepada Sang Maha Pemberi Allah Subhanahu wa Ta’ala karena sesungguhnya Allah itu dekat.

Allah menjelaskan dalam firman-Nya bahwa orang-orang yang taat melakukan ibadah senantiasa mengadakan pendekatan kepada Allah dengan memanjatkan doa yang disertai keikhlasan hati yang mendalam. Tentunya, doa yang terkabul adalah doa yang disertai dengan keikhlasan hati serta bersifat kontinu.
Hal ini banyak ditegaskan dalam ayat Alquran, di antaranya, “Berdoalah kepada Tuhan-mu dengan berendah diri (tadharu’) dan suara yang lembut. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan, janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut akan tidak diterima dan penuh harapan untuk dikabulkan. Sesungguhnya, rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Ar’af : 55-56). Wallahu a'lambishawab.
Oleh: Ahmad Habibi Syahid

JAKARTA
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, June 10, 2015

Tiga Hal yang Disukai

Pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW dan para sahabat yang mulia sedang berada di dalam suatu majelis. Rasulullah SAW kemudian membuka pembicaraan seraya bersabda, “Ada tiga hal yang sangat aku senangi di dunia, yaitu wangi-wangian, istri salehah ,dan ketenangan saat shalat.”

Mendengar sabda Rasulullah SAW itu, Abu bakar berkata, “Benar, wahai Rasulullah, aku pun menyukai terhadap tiga hal, yaitu senang melihat wajah Rasul SAW, menafkahkan hartaku kepada Rasul SAW, dan aku senang putriku ada di bawah naungan Rasulullah.” Lantas, Umar RA menyahut, “Benar, wahai Abu Bakar, aku pun senang terhadap tiga hal: mengajak kepada kebaikan, melarang kemungkaran, dan berpakaian jelek.

Kemudian, Usman RA menimpali, “Benar, wahai Umar dan aku pun menyukai tiga hal, yaitu mengenyangkan orang yang sedang lapar, memberi pakaian kepada orang yang compang-camping, dan membaca Alquran. Tak ketinggalan Ali RA juga b erkata, “Benar Usman, aku pun menyukai tiga hal, yaitu melayani tamu, puasa di musim panas, dan memukul musuh dengan pedang (perang).

Ketika mereka sedang berbincang-bincang, Jibril datang dan berkata, “Allah telah mengutusku, ketika mendengar pembicaraan kalian. Allah memerintahkan kepadamu supaya engkau bertanya kepadaku tentang sesuatu yang aku cintai apabila aku menjadi penghuni dunia.” Lalu Nabi pun berkata, “Apakah yang kau cintai apabila menjadi penghuni dunia?”

Jibril menjawab, “Memberikan petunjuk kepada orang-orang sesat, menemani orang-orang yang taat kepada Allah, dan menolong keluarga yang fakir.” Lalu Jibril berkata, “Allah Tuhan Yang Mahamulia dan Mahaagung mencintai tiga hal pada diri hamba-Nya, yaitu mencurahkan segala kemampuan dalam berbakti kepada Allah, menangisi perbuatan maksiat, dan menahan diri ketika ada kebutuhan.”

Subhanallah, begitulah perbincangan orang-orang yang mulia jika mereka bersua dan berkumpul dalam satu majelis. Perbi ncangan yang penuh dengan penghormatan, kasih sayang, dan kemuliaan yang menggambarkan akan kepribadiannya dan kecintaannya kepada kebaikan dan hal-hal yang utama.

Perbicangan orang-orang mulia di atas yang termaktub di dalam kitab Nashaaihul Ibad karya Ibnu Hajar Asqolani bab Tsulatii Maqalah keempat puluh dua memberikan banyak pelajaran penting kepada kita dalam upaya meningkatkan kualitas kita sebagai hamba Allah SWT dan mengokohkan jalinan persahabatan.

Di antara pelajaran yang dapat kita petik dari kisah di atas adalah hendaklah menjadikan materi yang kita perbincangkan setiap kita berkumpul dengan sahabat-sahabat kita adalah hal-hal yang membangkitkan keimanan dan ketakwaan kita semakin meningkat dan menumbuhkan jalinan kasih sayang yang mendatangkan kecintaan dan keridhaan Allah SWT. Wallahu a’lam.
Oleh: Moch Hisyam

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, June 09, 2015

Di Pintu Hari Perhitungan

Ketika kita melakukan perjalanan dan melewati tempat pemeriksaan, baik domestik maupun mancanegara, lalu tidak diperiksa petugas, bahkan disambut dengan hormat, biasanya hal ini hanya berlaku untuk pejabat penting (VVIP) seperti kepala negara dan pemerintahan atau tamu negara. Mengapa mendapat privilege (keistimewaan) itu? Karena mereka punya kedudukan, prestasi, dan karya yang membanggakan.

Kejadian di atas pun seakan terjadi kelak sebelum memasuki tempat abadi (surga atau neraka). Semua manusia akan melalui pintu pemeriksaan dokumen hidup yang disebut hari perhitungan (yaum al-hisab).

Rasulullah SAW pernah menyebutkan sahabat yang masuk surga tanpa hisab, antara lain  Abu Bakar RA, Umar ibnu Khattab RA, Utsman bin Affan RA, Ali bin Abi Thalib RA, Zubair bin Awwam RA, (HR at-Turmudzi). Nabi SAW juga bersabda, “Tujuh puluh ribu atau 700 ribu dari umatku akan masuk surga tanpa dihisab, mereka masuk berturut-turut, se dang rupa mereka seperti cahaya bulan purnama.” (HR Bukhari).

Orang pertama ditanya, “Mengapa Tuan merasa pantas masuk surga tanpa dihisab?” “Aku seorang pahlawan yang mati syahid di medan perang karena membela agama.” Jibril bertanya lagi, “Dari mana kau tahu itu?” Ia menjawab, “Dari guruku, orang alim.” “Kalau begitu, jagalah adab kepada guru. Mengapa tak kau beri kesempatan orang alim masuk surga dahulu?” kata Jibril. Ia pun menyadari kelancangannya.

Orang kedua ditanya hal serupa dan menjawab, “Aku haji mabrur yang balasannya surga.” “Dari mana kau tahu itu?” “Dari guruku, orang alim,” sahutnya. “Mengapa engkau tidak menjaga adab kepada gurumu?” ujar Jibril. Ia pun sadar atas kekhilafannya.

Orang ketiga pun ditanya dan menjawab, “Aku orang kaya yang dermawan. Kekayaanku halal dan diinfakkan di jalan Allah.” “ Dari mana kau tahu itu dapat ganjaran surga?” tanya Jibril. &ld quo;Dari guruku, orang alim.” “Lalu, mengapa orang alim tidak kau hormati?” Ia pun tertunduk malu.

Setelah orang alim yang saleh itu diberi kehormatan, ia lalu berkata, “Maaf, Tuan-Tuan. Aku tidak akan dapat belajar dan mengajar dengan tenang apabila tidak ada pahlawan yang rela mati syahid. Aku juga tidak dapat pahala terus-menerus jika haji mabrur tidak mengamalkan ilmu yang kuajarkan. Kami pun tidak akan dapat leluasa tanpa kedermawanan orang kaya.  Oleh karena itu, biarlah orang kaya yang masuk surga duluan, disusul pahlawan, haji mabrur dan aku menyusul.”

Dialog sufistik ini memberi banyak pelajaran. Pertama, orang-orang hebat diukur dari ketaatannya kepada Allah SWT (ritual) dan kemanfaatannya bagi orang lain (sosial). Keempat orang itu adalah orang-orang yang berbuat untuk umat, bukan untuk dirinya sendiri.

Kedua, rasa egois (anaiyah) dan angkuh bisa menerpa siapa saja yang memiliki kelebihan. M erasa paling benar, patut dihargai dan dihormati.

Ketiga, alim ulama yang rendah hati adalah pewaris para nabi yang membimbing, menyejukkan, dan menyatukan umat. Ulama yang tawadhu' akan dimuliakan, apalagi ia pandai memuliakan orang lain. Wallahu a'lam bishshawab.
Oleh: Hasan Basri Tanjung

sumber : www.republika.co.id