-

Friday, October 23, 2015

Sekolah Anak Kita

Pilu rasanya hati melihat kenyataan yang menimpa anak-anak kita belakangan ini. Peristiwa kekerasan dan pelecehan seksual seakan menjadi rangkaian mata rantai yang belum juga bisa diakhiri.

Sebagian anak mengalami nasib malang karena dianiaya oleh orang tuanya sendiri. Begitu pula seorang anak SD menganiaya temannya hingga tewas. Hingga seorang gadis kecil ditemukan tewas di dalam kardus setelah mengalami kekerasan seksual.

Sejatinya, anak-anak adalah perhiasan hidup dunia yang menyenangkan hati orang tua. Mereka dilahirkan bersih, jujur dan tiada nista, fitrah dan selalu condong kepada kebaikan. (HR Bukhari). Anak kecil selalu tampil apa adanya sehingga kehadiran mereka selalu dinanti dan dirindukan dalam keluarga (QS 3: 14, 18: 46).

Anak belajar dari kehidupan sehingga mereka adalah produk masa yang dilaluinya. Karena itu, kita wajib menyediakan tempat-tempat belajar (sekolah) terbaik bagi mereka .

Ada empat sekolah yang membentuk kepribadian mereka. Pertama, keluarga. Sekolah pertama bagi anak adalah keluarga. Dalam sebuah keluarga dibangun tata sosial dan etika seorang anak. Ayah dan ibu menjadi guru utama untuk menanamkan akidah tauhid, syariat, dan akhlak (QS 2: 132-133, 31: 13-19).

Sikap, kata, dan perbuatan orang tua menjadi model dan rujukan utama bagi anak (kurikulum). Dr M Nasih Ulwan dalam buku Pendidikan Anak dalam Islam menyebutkan, keluarga menjadi wadah menanam akidah pohon tauhid dan syariat dengan keteladan, pembiasaan akhlak karimah, serta nasihat yang baik. Lalu, proses itu dikawal dengan pengawasan maksimal agar tumbuh menjadi pohon yang baik (syajaratun thayyibah).

Kedua, lembaga pendidikan (sekolah). Sekolah menjadi rumah kedua bagi anak, di mana tata sosial dibangun lebih terbuka. Sekolah harus menjadi komunitas baru yang aman dan nyaman agar anak bisa tumbuh normal bersama teman sebayanya.

Gur u layaknya orang tua kedua bagi anak. Kurikulum yang baik akan memban tu keluarga dalam pembiasaan sikap, kata, dan perilaku anak. Orang tua wajib memilih sekolah terbaik bukan termahal, yakni sekolah yang mengajarkan akidah lurus, syariat yang benar, dan akhlak yang baik.

Ketiga, lingkungan. Lingkungan sosial paling besar pegaruhnya, yakni kerabat, tetangga, teman sebaya, publik figur, tokoh masyarakat, pejabat negara, dan lainnya. Kejahatan, kekerasan, dan penyimpangan seksual sering kali dilakukan oleh orang dekat dan dikenal.

Orang tua harus memastikan anak pergi dengan siapa, di mana, main apa, dan berapa lama. Anak juga bisa belajar dari lingkungan alam sekitarnya. Jika alam masih terjaga, akan berdampak positif pada diri anak. Sebaliknya, jika alam rusak, hutan ditebang dan dibakar, polusi udara, asap kabut, dan hewan yang mati juga akan buruk bagi anak. Untuk itu, wajib bagi kita menjaga kelestarian alam semesta sebagai sekolah buat anak-anak masa depan.

Keempat, media. Sekolah keempat adalah media massa (cetak, elektronik, dan online), media sosial (Facebook, Twitter, dll), dan media komunikasi (HP, gadget). Dampak buruk siaran TV, internet, game online, gadget begitu nyata. Pornografi dan pornoaksi begitu mudah diakses.

Tayangan TV yang tidak mendidik dan HP yang merenggangkan hubungan keluarga. Warnet menjadi "sekolah" buruk yang bertebaran 24 jam. Anak pun bisa menjadi pribadi yang lemah, malas, dan pesimistis. (QS 4: 9).

Tidak ada kata lain kecuali kita harus hijrah berjamaah dari kemaskisatan, kezaliman, ketidakpedulian, kepura-kepuraan (ad-dzulumat) menuju ketaatan, keadilan, kepedulian, kejujuran (an-nuur). Kembali kepada keluarga dengan kasih sayang.

Oleh: Hasan Basri Tanjung

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, October 20, 2015

Apa yang Kita Tahu Tentang Masa Depan?

Banyak di antara kita yang mencemaskan tentang masa depannya di dunia ini. Hanya sedikit saja yang mengkhawatirkan kehidupan akhiratnya. Bagaimana besok, sukseskah? Lancarkah urusan rezeki atau justru sebaliknya? Tentang karier, pekerjaan, dan hal-hal lain yang menyangkut kehidupan duniawi, semuanya masih berbentuk harapan yang harus diperjuangkan.

Perbuatan syirik dengan meminta tolong paranormal kadang menjadi pilihan sebagian orang untuk mendukung kesuksesan. Bahkan, ada yang ironis, berziarah ke makam hingga berhari-hari waktunya, sementara orang tua yang sudah jompo di rumah ditelantarkan. Sesajen disiapkan sebaik mungkin, sementara orang tua tak dimuliakan.

Sekolah dan universitas terbaik dipilih, walau dengan biaya mahal sekalipun. Semuanya demi masa depan dan "narasi kesuksesan" yang disimbolkan oleh rumah dan mobil mewah, harta melimpah ruah, dan simbol kesuksesan duniawi lainnya. Apakah kita tahu tentang masa depan? Tentu, tak a da seorang pun yang tahu pasti tentang masa depannya.

Peramal terhebat sekalipun hanya bisa menduga-duga dan menyampaikan kebohongan. Untuk itulah Islam menilai syirik bagi mereka yang percaya dengan ramalan. Rasulullah SAW ber sabda, "Barang siapa yang mendatangi tukang ramal, kemudian menanyakan sesuatu dan ia memercayainya, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari." (HR Muslim).

Masa depan merupakan akumulasi hasil dari seluruh tindakan yang terlukis pada deret ukur waktu. Tahapan dari bilangan kehidupan yang telah dicatatkan. Orang saleh akan mencatatkan bilangan kebaikan tiada henti, tiap helaan napasnya. Puncak dari kebaikan adalah harapan sejati, kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Di dunia akan dikenang kebaikannya, di akhirat akan menghuni surga.

Sabda Rasul SAW, "Orang yang cerdik adalah yang selalu menjaga dirinya dan beramal untuk bekal sesudah mati. Sedangkan orang yang kerdil, yaitu orang yang hanya meng ikuti nafsunya, tetapi ia mengharapkan berbagai harapan kepada Allah. " (HR Tirmidzi). Hasil yang didapatkan berbanding lurus dengan usaha yang dilakukan.

Firman-Nya, "Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barang sia pa yang mengerjakan keburukan seberat dzarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya,"(QS al-Zalzalah: 7-8).

Mereka yang malas-malasan, tentu akan mendapatkan buah pahitnya kehidupan. Menangis dan menyesal pun tiada gunanya, jangankan di akhirat, di dunia ini balasan nyata bagi si malas akan terlihat.

Di dunia ini, setiap individu tengah memerankan tugas kehidupan, baik sebagai khalifah maupun hamba Allah SWT. Kepada mereka yang tengah menjalani peran apa pun itu, baik sebagai pejabat, staf, orang kaya, orang miskin, dan yang lainnya, sadari bahwa peran itu adalah kehendak-Nya, begitulah Tuhan meletakkan kuasa-Nya.

Tugas kita adalah bagaimana memerankan peran tersebut sebaik mungkin untuk mendapatkan ridha-Nya semata. Tugas kita adalah berikhtiar semaksimal mungkin agar menjadi yang terbaik dalam setiap peran. Peran dan fungsi yang berbeda tersebut merupakan bentuk kasih sayang Allah agar roda kehidupan terus berjalan.
Maka dari itu, pergunakan peran serta waktu yang dimiliki sebaik mungkin. Di atas semua peran itu, manusia bertakwalah yang paling mulia. Wallahu a'lam.
Oleh: Iu Rusliana

sumber : www.republika.co.id

Friday, October 16, 2015

Empat Peringkat Kualitas Cinta

Manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan, antara lelaki dan perempuan. Manusia dianugerahi perasaan cinta dan kasih sayang. Karena itu, menjadi fitrahnya manusia ingin mencintai dan dicintai satu sama lain. Jika kebutuhan mencintai dan dicintai terpenuhi, hatinya menjadi tenteram, damai, dan bahagia.

Pertanyaannya, "Mengapa Allah menanamkan rasa cinta pada diri manusia? Apakah cinta merupakan sumber kebahagiaan? Ataukah justru penyebab berbagai masalah kemanusiaan? Bagaimana mengaktualisasikan "fitrah cinta" manusia dalam rangka mewujudkan ketaatan dan dedikasi sejati kepada Allah SWT dan dalam menjalani kehidupan rumah tangga?"

Cinta adalah fitrah manusia sekaligus merupakan anugerah Ilahi. Manusia yang tidak memiliki rasa cinta adalah manusia yang tidak normal. Sejak lahir, fitrah cinta itu ada dalam diri manusia. Allah menarasikan fitrah cinta itu, antara lain, dengan istilah hubbub asy-syahawat (mencintai yang menjadi kein ginannya). (QS Ali Imran [3]: 14).

Menurut Imam al-Ghazali, ada empat peringkat kualitas cinta. Pertama, cinta diri sendiri; semua hal yang berhubungan dengan cinta diukur dengan kesenangan diri sendiri. Cinta jenis ini cenderung hedonis dan materialistis.

Kedua, cinta transaksional, yaitu cinta kepada orang lain sepanjang orang yang dicintainya itu membawa keuntungan baginya, seperti cinta pedagang kepada pembeli atau para calon pemimpin dengan rakyat yang akan memilihnya. Bujuk rayu, janji, dan harapan palsu diberikan demi mewujudkan transaksinya.

Ketiga, cinta kepada orang, baik meski tidak memperoleh keuntungan langsung, seperti cinta seseorang kepada kiai, ulama, dan pemimpin. Ia rela berkorban demi orang yang dicintainya. Kebahagiaan hidupnya, antara lain, terletak pada kepuasannya berjuang dan berkorban demi yang dicintainya.

Keempat, cinta pada kebaikan semata, terlepas dari siapa yang memiliki kebaikan, bahkan kebaikan yan g ada pada musuhnya. Jenis cinta yang terakhir inilah yang dapat meng antarkan ke tingkat cinta kepada Tuhan.

Bagi seorang sufi Rabi'ah al-Adawiyyah, cinta sejati adalah cinta Ilahi (al-hubb al-Ilahi). Cintanya kepada Allah tidak memberikan ruang di dalam hatinya untuk membenci, termasuk membenci setan. Cinta Ilahi adalah cinta yang membuatnya selalu rindu untuk bersimpuh di hadapan-Nya, selalu memuja dan memuji-Nya tanpa berharap apa pun selain ridha-Nya.

Aktualisasi cinta sejati dalam keluarga sakinah harus dibarengi dan dilandasi oleh cinta yang tulus kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan senantiasa menaati syariat-Nya. Sebagai anugerah yang indah, cinta dalam rumah tangga harus dirawat dan dikembangkan dengan membiasakan "berjamaah" dalam banyak hal, misalnya dalam shalat, pengambilan keputusan penting, makan, rekreasi, suka dan duka, dan seterusnya.

Indahnya cinta dalam keluarga sakinah seperti itulah yang pernah diteladankan Rasulullah SAW dalam mengarungi mahligai rumah tangganya. Meskipun tidak serbaberkecu kupan secara ekonomi dan materi, Rasulullah sukses mewujudkan "surga dunia" yang penuh kebahagiaan hakiki.

Sesungguhnya di antara manusia yang paling dicintai Allah adalah orang yang sabar, lisannya terus berzikir, dan pandai bersyukur. (HR at-Thabarani).

Jadi, cinta sejati itu anugerah yang kaya energi positif jika dilandasi cinta Ilahi. Cinta Ilahi dengan berhias kesabaran, kebersyukuran, dan lisan yang berzikir akan membuahkan kebahagiaan bila diaktualisasikan dalam rangka meraih ridha-Nya, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Oleh: Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, October 13, 2015

Agar Hidup Dimudahkan

Alkisah, tiga orang pemuda terpaksa harus menginap di dalam sebuah gua ketika sedang menempuh suatu perjalanan. Belum lama mereka beristirahat di dalam gua tersebut, tiba-tiba sebongkah batu besar menutupi rongga gua.

Mereka pun berusaha keluar dari gua, tetapi karena terlalu beratnya, batu besar itu tak bergeser sedikit pun. Mereka pun kelelahan, tetapi tetap berupaya mendorong batu besar itu dengan segala upaya.
Di tengah keputusasaan menghampiri mereka karena segala usaha tidak membuahkan hasil, akhirnya mereka berdoa kepada Allah SWT.

Satu per satu mereka mengutarakan keikhlasan ketika beramal baik sehingga batu besar yang menutupi rongga gua sedikit demi sedikit bergeser. Pemuda pertama berdoa sembari mengutarakan amal baik kepada Allah, yakni ia tidak berani memberikan jatah minum (susu) orang tuanya pada anak-istri.

Suatu ketika, ketika ia mendapati ibunya sedang tertidur, ia tidak membangunkannya untuk memberikan jatah minum susu. Ia dengan sabar menunggu hingga orang tuanya terbangun.

Pemuda kedua berdoa sambil mengingat amal baik yang pernah ia lakukan, yakni ketika berhasil lari dari tipu daya wanita yang dicintai untuk melakukan perbuatan zina, meskipun wanita tersebut sudah berada di hadapannya.

Kemudian pemuda ketiga berdoa sembari mengutarakan amal baiknya, yakni ketika ia lupa memberikan upah pekerjaan kepada seseorang, lalu upahnya itu diinvestasikan sehingga keuntungannya berlipat-lipat.

Tetapi, selang beberapa waktu, orang upahan tersebut datang untuk menagihnya. Dengan penuh keikhlasan, ia pun memberikan seluruh unta, sapi, kambing, dan budak sebagai upah orang tersebut.

Batu besar yang menutupi rongga gua itu pun bergeser dan mereka bertiga dapat keluar dari dalamnya sehingga dengan penuh kegirangan mereka melanjutkan perjalanannya.

Kisah di atas memberikan pemahaman bahwa sebagai manusia, ketika mengarungi hidup di muka bumi ini, kita selalu berharap selalu dimudahkan ketika ditimpa kesulitan.

Betapa banyak doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT saat shalat, zikir, atau yang lainnya, berisi harapan agar terhindar dari kesulitan. Harapan kita untuk terhindar dari kesulitan itu tidak hanya sebatas di dunia, tetapi sampai di akhirat nanti.

Bukankah kita selalu berharap agar Allah memupus dosa-dosa kita? Ini, misalnya, tercerm in dalam doa: "Rabbanaghfirli waliwalidayya walilmu'minîna yauma yakumul hisab." (Ya Tuhanku, maafkanlah dosa dan kesalahan kami, dosa dan kesalahan kedua orang tua kami, juga dosa dan kesalahan orang-orang mukmin pada hari penghisaban).

Orang yang dalam kesehariannya selalu membiasakan diri dengan perilaku-perilaku baik, bergaul dengan orang baik, dan selalu mengejawantahkan nilai-nilai kebaikan akan dengan gampang menemukan kemudahan itu. Karenanya, kalau kita bersungguh-sungguh menjalankan kebaikan, kesulitan akan digantikan dengan kemudahan.

Allah SWT berfirman, “Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.” (QS al-Lail [92]:5-10).

Karenanya, ketika ingin selalu dimudahkan menapaki kehidupan in i, berbuat baiklah. Insya Allah hidup kita akan selalu dimudahkan Allah SWT.

Orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan jalan-jalan yang mudah dari Kami. Sesungguhnya Allah senantiasa berserta dengan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS al-Ankabut [29]: 69). Wallahu 'alam
Oleh: Ahmad Sarbini 

sumber : www.republika.co.id

Monday, October 12, 2015

Belajar Sedekah dari Pohon

Alquran menjelaskan fenomena alam dengan ungkapan yang sangat indah. "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Dan, apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (QS al-Fushilat [41]: 53).

Kebenaran Alquran dapat diketahui melalui apa saja, mulai dari merenungi fenomena alam semesta hingga fenomena kemanusiaan yang terjadi pada diri kita. Namun, yang banyak luput dari aktivitas permenungan kita, yakni bukti kebenaran Alquran terdapat pada fenomena pohon.

Alquran banyak menyebut jenis pohon sebagai sesuatu yang penting dan mesti diperhatikan. Pohon tien dan zaitun, misalnya, dijadikan sarana sumpah Allah atas kesempurnaan ciptaan-Nya, yaitu manusia (QS at-Tien [95]: 1-5). Bahkan, pohon zaitun secara khusus disebut sebagai pohon penuh berkah (syajarah mubaarokah) (QS an-N ur [24]: 35).

Bila dilihat dengan mata telanjang, pohon tidak memperlihatkan gejala menarik apa pun. Ia merupakan makhluk hidup yang statis, diam dan tidak bergerak. Namun, bila dilihat dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan sains, betapa keberadaan pohon sungguh menarik. Ternyata, ia tidak diam; ia terus bekerja tanpa henti memberikan kebaikan kepada penghuni di muka bumi.

Dalam perspektif ilmu biologi, siang dan malam, melalui akarnya, pohon terus menyerap air dan unsur makanan lainnya yang kemudian disalurkan ke batang, dahan, ranting, dan daun. Bahkan, pada siang hari pekerjaannya semakin bertambah.

Di bagian hijau daun (klorofil) dengan dibantu sinar matahari, pohon melakukan kerja fotosintesis, yaitu sebuah proses sintesis antara air yang diserap dari tanah dan karbondioksida yang diserap oleh daun dari udara bebas. Proses fotosintesis ini menghasilkan glukosa dan oksigen.

Glukosa dipakai untuk menumbuhkan dirinya, sed angkan oksigen dibagikan kepada makhluk hidup lainnya, termasuk manus ia. Karena pohon berbagi sebagian hasil kerjanya dalam bentuk oksigen, siapa pun yang mendekatinya akan merasakan suasana nyaman, sejuk, dan damai.

Fenomena pohon di atas setidaknya mengajarkan dua hal kepada kita. Pertama, kita mesti senantiasa menyisihkan sebagian rezeki hasil usaha atau kerja kita untuk dibagikan secara ikhlas kepada orang lain sebagaimana pohon berbagi tanpa pamrih sebagian hasil kerjanya dalam bentuk oksigen kepada makhluk hidup lainnya.

Kedua, kebiasaan berbagi rezeki secara ikhlas kepada orang lain akan mendatangkan suasana damai, sejuk, dan nyaman sebagaima kesejukan yang diberikan oksigen akibat dari sifat berbagi pohon.

Jadi, bila kita, baik secara pribadi maupun komunitas, ingin hidup damai, sejuk, tenteram dan penuh cinta kasih, biasakanlah berbagi kepada sesama. Suasana nyaman, sejuk, dan damai akibat kebiasaan dari berbagi dengan ikhlas sejatinya merupakan prakondisi untuk membuka pintu-pintu rezeki, kemuda han hidup, kemuliaan, dan persaudaraan yang hakiki.

Allah SWT berfirman, "Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah." (QS al-lail [92]: 5-7).

Sebagai seorang hamba Allah, kita harus belajar dari kebaikan tanpa pamrih yang diberikan pohon dengan menebarkan kepedulian sosial, menjaga kebersihan lingkungan, membebaskan fakir miskin dari penderitaan, dan selalu memberi tanpa henti untuk kemaslahatan seluruh penduduk di muka bumi. Wallahu a'lam.
Oleh: Karman
sumber : www.republika.co.id

Friday, October 09, 2015

Empat Doa Nabi Ibrahim

Bulan Dzulhijah tidak bisa dilepaskan dengan kisah kekasih Allah (Khalilullah), Nabi Ibrahim as. Semasa hidupnya, sang nabi mempunyai banyak harapan yang ia tuangkan dalam berbagai lantunan doa.
Pertama, harapan untuk dirinya. Nabi Ibrahim sangat berharap dirinya bebas dari kemusyrikan (menyekutukan Allah). "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah) negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala." (QS Ibrahim [14]: 35).
Sayyid Quthb dalam tafsirnya berujar: "Do'a ini menampakkan adanya kenikmatan lain dari nikmat-nikmat Allah. Yakni nikmat dikeluarkannya hati dari berbagai kegelapan dan kejahiliyahan syirik kepada cahaya beriman, bertauhid kepada Allah SWT." Demikian pentingnya iman dalam diri kita sehingga menjadi suatu prinsip (al-dhowabith) bagi seorang Muslim.
Kedua, harapan untuk keluarga. Mulai dari orang tuanya, "Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, 'Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai Tuhan-Tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.' (QS al-An'am [6]: 74).
Hingga anak keturunannya, "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: 'Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!' Ia menjawab: 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.'" (QS al-Shaffat [37]: 100-102).
Nabi Ibrahim AS sangat berharap keluarganya, terutama ayahnya, meninggalkan perkara menyekutukan Allah SWT. Meskipun pada akhirnya hidayah Allah yang menentukan. Ketiga, harapan untuk masyarakat, baik saat itu maupun hingga nanti. Bahkan, Nabi Ibrahim meminta kepada Allah agar suatu saat nanti, diutus seorang rasul sekalipun ia telah tiada.
"Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (Alquran) dan al-Hikmah serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS al-Baqarah [2]: 129).
Keempat, harapan untuk bangsa dan negara. Kecintaan Nabi Ibrahim kepada umatnya semakin terlihat saat beliau pun berdoa bukan hanya untuk dirinya, keluarganya, maupun masyarakat sekitar, tetapi bangsa dan negaranya beliau doakan. "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.
Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali." (QS al-Baqarah [2]: 126) Demikian harapan sang nabi, semakin ia mendekat dan mencintai Allah, bahkan menjadi kekasih Allah, beliau semakin banyak berdo'a, berharap semuanya semakin membaik. Mulai dari diri sendiri, keluarga terdekat, masyarakat sekitar hingga bangsa dan negara. Wallahualam.
Oleh: Hiznu Sobar

sumber : www.republika.co.id

Tuesday, October 06, 2015

Kitakah yang Dicintai Allah?

Meskipun manusia sering kali tak bersyukur dan kufur nikmat, tapi rahmat Allah SWT selalu lebih dominan dari murka-Nya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya, Allah SWT jika mencintai seorang hamba maka Dia memanggil malaikat Jibril dan berkata, 'Wahai Jibril, Aku mencintai orang ini, maka cintailah dia!'
Maka, Jibril pun mencintainya, lalu Jibril mengumumkannya kepada seluruh penduduk langit dan berkata, 'Wahai penduduk langit, sesungguhnya Allah mencintai orang ini, maka cintai pulalah dia oleh kalian semua.' Maka seluruh penduduk langit pun mencintainya. Kemudian, orang itu pun dicintai oleh segenap makhluk Allah di muka bumi ini." (HR Bukhari).

MasyaAllah! Lihatlah cinta Allah, bagaiamana Allah mengumumkan cintanya kepada sekalian makhluk-Nya? Dan, mungkinkah itu adalah kita? Kita yang dicintai Allah dan semua makhluk yang di langit juga yang di bumi?

Inilah jenis kita yang ingin dicintai Allah. Pertama, at-tawwabin dan al-mutathahhirin (orang-orang yang bertobat dan menyucikan diri). "Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS al-Baqarah [2]: 222). Kedua, al-muqsithin (orang-orang yang adil). "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil." (QS al-Maidah [5]: 42).

Ketiga, al-muttaqin (orang-orang yang takwa), "Maka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." (QS Ali Imran [3] 76). Keempat, al-muhsinin yang gemar bibadah, dermawan, dan senantiasa berbuat kebaikan. "(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS Ali Imran [3]: 134).

Kelima, al-mutawakilin (orang-orang yang bertawakal kepada Allah, setelah doa, ikhtiar, dan baik sangka). "Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS Ali Imran: 159).

Keenam, as-shobirin, (mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar." (QS Ali Imran [3]: 146). Ketujuh, orang-orang yang mengikuti Rasul. "Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai All ah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. ' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Ali Imran [3]: 31).

Kedelapan, oang-orang yang berperang di jalan Allah. "Sesungguhnya, Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (QS as-Shaf 61: 4).

Kesembilan, orang-orang yang rajin shalat malam. "Sesunguhnya, Tuhanmu mengetahui bahwa engkau berdiri shalat malam kurang dari sepertiga malam." (QS al-Muzammil: 20). Kesepuluh, orang-orang yang banyak mengingat mati. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang banyak mengingat kematian, niscaya Allah mencintainya." Itulah beberapa orang yang paling dicintai Allah, semoga semakin menambah semangat kita dalam beribadah agar senantiasa dicintai Allah SWT.

sumber : www.republika.co.id

Friday, October 02, 2015

Filosofi Melontar Jumrah

Seusai wukuf di Arafah tepatnya setelah terbenam matahari pada 9 Dzulhijah, jamaah haji mulai bergerak menuju Muzdalifah untuk bermalam (mabit). Mabit di Muzdalifah, walaupun hanya sebentar, diharapkan dapat memberi kesempatan kepada jamaah haji untuk memulihkan tenaga.

Selama mabit di Muzdalifah, jamaah haji tidak dituntut melakukan aktivitas tertentu. Tetapi, berdasar riwayat dari Jabir bin Abdullah RA, "Begitu Rasulullah SAW tiba di Muzdalifah beliau langsung shalat Maghrib dan Isya dengan satu azan dan dua iqamah; di antara keduanya tidak ada shalat sunah apa pun. Kemudian, beliau tidur hingga terbit fajar. Beliau shalat Subuh setelah jelas datang waktu subuh dengan satu kali azan dan satu kali iqamah." (HR Muttafaq 'Alaih).

Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa Rasulullah SAW mendirikan shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah dengan cara jamak dan qashar. Selain it u, jamaah haji dibenarkan memungut sedikitnya tujuh butir kerikil untuk melontar jumrah di Mina.

Namun, banyak jamaah haji Indonesia belakangan ini tidak sepenuhnya dapat melaksanakan mabit di Muzdalifah. Mereka karena satu dan lain hal ada yang langsung menuju Mina.

Di sinilah mereka diharapkan dapat beristirahat dengan leluasa. Kondisi fisik yang bugar sangat diperlukan guna melaksanakan aktivitas berikutnya yang lebih berat: melontar jumrah.

Melontar jumrah termasuk wajib haji. Maka, dalam perspektif hukum, melontar jumrah harus dipahami sebagai bentuk ketaatan memenuhi perintah Allah SWT.

Kendati demikian, bagi jamaah haji yang kurang sehat, misalnya, dapat menggantinya dengan cara membayar dam. Atau, menurut sebagian pendapat dapat pula dengan cara mewakilkannya kepada orang lain.

Melontar itu dilakukan di tiga jumrah: Ula, Wustha, dan Aqabah. Hal tersebut berdasar pada apa yang dicontohkan oleh Ibrahim A S, Ismail AS (putranya), dan Hajar (istrinya).

Allah berf irman: "Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia" (QS Al-Mumtahanah [60] : 4). Selain itu juga berdasar pada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Ibrahim AS, Ismail AS, dan Hajar saat akan melaksanakan perintah Allah (menyembelih Ismail AS) digoda sedemikian rupa oleh setan.
Lalu, mereka bertiga sepakat melawan setan dengan cara melemparinya dengan kerikil. Cara yang mereka pilih ternyata efektif. Maka, Ibrahim AS pun sukses menunaikan kewajibannya dengan baik.

Ibrahim AS dan keluarga kecilnya berhasil mengalahkan setan dengan melontarinya menggunakan kerikil. Tetapi, mengapa sebagian jamaah haji yang sejatinya pernah melontar jumrah di Mina dalam kesehariannya belum mampu mengalahkan setan?

Melontar jumrah hanya simbolik. Setan bukan hanya dimusuhi ketika melontar jumrah. Setan adalah musuh abadi. Maka, jadikanlah musuh untuk selama-lamanya. Ya Allah, lindungilah kami dari godaan setan yang terkutuk.

Oleh: Mahmud Yunus
sumber : www.republika.co.id