-

Friday, October 16, 2015

Empat Peringkat Kualitas Cinta

Manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan, antara lelaki dan perempuan. Manusia dianugerahi perasaan cinta dan kasih sayang. Karena itu, menjadi fitrahnya manusia ingin mencintai dan dicintai satu sama lain. Jika kebutuhan mencintai dan dicintai terpenuhi, hatinya menjadi tenteram, damai, dan bahagia.

Pertanyaannya, "Mengapa Allah menanamkan rasa cinta pada diri manusia? Apakah cinta merupakan sumber kebahagiaan? Ataukah justru penyebab berbagai masalah kemanusiaan? Bagaimana mengaktualisasikan "fitrah cinta" manusia dalam rangka mewujudkan ketaatan dan dedikasi sejati kepada Allah SWT dan dalam menjalani kehidupan rumah tangga?"

Cinta adalah fitrah manusia sekaligus merupakan anugerah Ilahi. Manusia yang tidak memiliki rasa cinta adalah manusia yang tidak normal. Sejak lahir, fitrah cinta itu ada dalam diri manusia. Allah menarasikan fitrah cinta itu, antara lain, dengan istilah hubbub asy-syahawat (mencintai yang menjadi kein ginannya). (QS Ali Imran [3]: 14).

Menurut Imam al-Ghazali, ada empat peringkat kualitas cinta. Pertama, cinta diri sendiri; semua hal yang berhubungan dengan cinta diukur dengan kesenangan diri sendiri. Cinta jenis ini cenderung hedonis dan materialistis.

Kedua, cinta transaksional, yaitu cinta kepada orang lain sepanjang orang yang dicintainya itu membawa keuntungan baginya, seperti cinta pedagang kepada pembeli atau para calon pemimpin dengan rakyat yang akan memilihnya. Bujuk rayu, janji, dan harapan palsu diberikan demi mewujudkan transaksinya.

Ketiga, cinta kepada orang, baik meski tidak memperoleh keuntungan langsung, seperti cinta seseorang kepada kiai, ulama, dan pemimpin. Ia rela berkorban demi orang yang dicintainya. Kebahagiaan hidupnya, antara lain, terletak pada kepuasannya berjuang dan berkorban demi yang dicintainya.

Keempat, cinta pada kebaikan semata, terlepas dari siapa yang memiliki kebaikan, bahkan kebaikan yan g ada pada musuhnya. Jenis cinta yang terakhir inilah yang dapat meng antarkan ke tingkat cinta kepada Tuhan.

Bagi seorang sufi Rabi'ah al-Adawiyyah, cinta sejati adalah cinta Ilahi (al-hubb al-Ilahi). Cintanya kepada Allah tidak memberikan ruang di dalam hatinya untuk membenci, termasuk membenci setan. Cinta Ilahi adalah cinta yang membuatnya selalu rindu untuk bersimpuh di hadapan-Nya, selalu memuja dan memuji-Nya tanpa berharap apa pun selain ridha-Nya.

Aktualisasi cinta sejati dalam keluarga sakinah harus dibarengi dan dilandasi oleh cinta yang tulus kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan senantiasa menaati syariat-Nya. Sebagai anugerah yang indah, cinta dalam rumah tangga harus dirawat dan dikembangkan dengan membiasakan "berjamaah" dalam banyak hal, misalnya dalam shalat, pengambilan keputusan penting, makan, rekreasi, suka dan duka, dan seterusnya.

Indahnya cinta dalam keluarga sakinah seperti itulah yang pernah diteladankan Rasulullah SAW dalam mengarungi mahligai rumah tangganya. Meskipun tidak serbaberkecu kupan secara ekonomi dan materi, Rasulullah sukses mewujudkan "surga dunia" yang penuh kebahagiaan hakiki.

Sesungguhnya di antara manusia yang paling dicintai Allah adalah orang yang sabar, lisannya terus berzikir, dan pandai bersyukur. (HR at-Thabarani).

Jadi, cinta sejati itu anugerah yang kaya energi positif jika dilandasi cinta Ilahi. Cinta Ilahi dengan berhias kesabaran, kebersyukuran, dan lisan yang berzikir akan membuahkan kebahagiaan bila diaktualisasikan dalam rangka meraih ridha-Nya, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Oleh: Muhbib Abdul Wahab

sumber : www.republika.co.id

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment