-

Friday, October 02, 2015

Filosofi Melontar Jumrah

Seusai wukuf di Arafah tepatnya setelah terbenam matahari pada 9 Dzulhijah, jamaah haji mulai bergerak menuju Muzdalifah untuk bermalam (mabit). Mabit di Muzdalifah, walaupun hanya sebentar, diharapkan dapat memberi kesempatan kepada jamaah haji untuk memulihkan tenaga.

Selama mabit di Muzdalifah, jamaah haji tidak dituntut melakukan aktivitas tertentu. Tetapi, berdasar riwayat dari Jabir bin Abdullah RA, "Begitu Rasulullah SAW tiba di Muzdalifah beliau langsung shalat Maghrib dan Isya dengan satu azan dan dua iqamah; di antara keduanya tidak ada shalat sunah apa pun. Kemudian, beliau tidur hingga terbit fajar. Beliau shalat Subuh setelah jelas datang waktu subuh dengan satu kali azan dan satu kali iqamah." (HR Muttafaq 'Alaih).

Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa Rasulullah SAW mendirikan shalat Maghrib dan Isya di Muzdalifah dengan cara jamak dan qashar. Selain it u, jamaah haji dibenarkan memungut sedikitnya tujuh butir kerikil untuk melontar jumrah di Mina.

Namun, banyak jamaah haji Indonesia belakangan ini tidak sepenuhnya dapat melaksanakan mabit di Muzdalifah. Mereka karena satu dan lain hal ada yang langsung menuju Mina.

Di sinilah mereka diharapkan dapat beristirahat dengan leluasa. Kondisi fisik yang bugar sangat diperlukan guna melaksanakan aktivitas berikutnya yang lebih berat: melontar jumrah.

Melontar jumrah termasuk wajib haji. Maka, dalam perspektif hukum, melontar jumrah harus dipahami sebagai bentuk ketaatan memenuhi perintah Allah SWT.

Kendati demikian, bagi jamaah haji yang kurang sehat, misalnya, dapat menggantinya dengan cara membayar dam. Atau, menurut sebagian pendapat dapat pula dengan cara mewakilkannya kepada orang lain.

Melontar itu dilakukan di tiga jumrah: Ula, Wustha, dan Aqabah. Hal tersebut berdasar pada apa yang dicontohkan oleh Ibrahim A S, Ismail AS (putranya), dan Hajar (istrinya).

Allah berf irman: "Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia" (QS Al-Mumtahanah [60] : 4). Selain itu juga berdasar pada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Ibrahim AS, Ismail AS, dan Hajar saat akan melaksanakan perintah Allah (menyembelih Ismail AS) digoda sedemikian rupa oleh setan.
Lalu, mereka bertiga sepakat melawan setan dengan cara melemparinya dengan kerikil. Cara yang mereka pilih ternyata efektif. Maka, Ibrahim AS pun sukses menunaikan kewajibannya dengan baik.

Ibrahim AS dan keluarga kecilnya berhasil mengalahkan setan dengan melontarinya menggunakan kerikil. Tetapi, mengapa sebagian jamaah haji yang sejatinya pernah melontar jumrah di Mina dalam kesehariannya belum mampu mengalahkan setan?

Melontar jumrah hanya simbolik. Setan bukan hanya dimusuhi ketika melontar jumrah. Setan adalah musuh abadi. Maka, jadikanlah musuh untuk selama-lamanya. Ya Allah, lindungilah kami dari godaan setan yang terkutuk.

Oleh: Mahmud Yunus
sumber : www.republika.co.id

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment