Selama ini kita kerap melihat kujang sebagai simbol instansi, institusi pendidikan dan banyak lagi. Tidak aneh memang, karena kujang adalah salah satu peninggalan sejarah bangsa Indonesia yang tidak ada duanya.
Namun, pusaka yang berkembang sekitar abad 3 hingga 15 ini kini semakin tersingkirkan. Atas dasar itu, sejumlah pengamat budaya yang menaruh perhatian terhadap kujang menggelar diskusi 'Ngaguar Kujang' Jum'at (20/11/2009) di Common Room Jl. Kyai Gede Utama No.8 Bandung.
"Kujang sebagai simbol sering kita lihat dimana-mana. Tapi apa makna historis dan filosofis dibalik kujang itu sendiri, masih banyak yang belum tahu,"
Dalam acara ini, tak kurang dari dua ratus kujang dipajang diatas meja panjang dan kotak-kotak kaca. Di sekitarnya ditaburi bunga-bunga dan diberi tulisan 'Dilarang Disentuh', 'Dont Touch' dan 'Tong Dicabak'. Sementara itu, disudut kiri ruang diskusi nampak serangkaian sesaji.
"Jenis kujang yang dipamerkan ada 28 macam. Kenapa diberi bunga-bunga yang mengeluarkan wewangian seperti itu, karena kujang-kujang ini adalah pusaka titipan leluhur yang harus dijaga sebaik mungkin. Mengumpulkannya saja cukup sulit dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar," ujar Dadang.
Sebagai pembicara, dihadirkan Budi Dalton selaku budayawan, pengamat dan pemerhati kujang dan juga dosen Universitas Pasundan. Serta Aat Supriatna (Budayawan Jawa Barat) selaku moderator.
Lebih lanjut Dadang menuturkan, setelah digelarnya acara ini diharapkan generasi muda setidaknya bisa terbuka pandangannya mengenai kujang.
"Mungkin diskusi ini terlalu singkat untuk membahas kujang secara keseluruhan dan mendalam. Tapi setidaknya, ada transfer ilmu mengenai kujang yang kerap dipakai sebagai simbol-simbol tadi. Karena dengan memahami bagian budaya bangsa ini, nasionalisme kita bisa dipastikan akan bertambah," tandas Dadang.(dip/avi)
Namun, pusaka yang berkembang sekitar abad 3 hingga 15 ini kini semakin tersingkirkan. Atas dasar itu, sejumlah pengamat budaya yang menaruh perhatian terhadap kujang menggelar diskusi 'Ngaguar Kujang' Jum'at (20/11/2009) di Common Room Jl. Kyai Gede Utama No.8 Bandung.
"Kujang sebagai simbol sering kita lihat dimana-mana. Tapi apa makna historis dan filosofis dibalik kujang itu sendiri, masih banyak yang belum tahu,"
Dalam acara ini, tak kurang dari dua ratus kujang dipajang diatas meja panjang dan kotak-kotak kaca. Di sekitarnya ditaburi bunga-bunga dan diberi tulisan 'Dilarang Disentuh', 'Dont Touch' dan 'Tong Dicabak'. Sementara itu, disudut kiri ruang diskusi nampak serangkaian sesaji.
"Jenis kujang yang dipamerkan ada 28 macam. Kenapa diberi bunga-bunga yang mengeluarkan wewangian seperti itu, karena kujang-kujang ini adalah pusaka titipan leluhur yang harus dijaga sebaik mungkin. Mengumpulkannya saja cukup sulit dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar," ujar Dadang.
Sebagai pembicara, dihadirkan Budi Dalton selaku budayawan, pengamat dan pemerhati kujang dan juga dosen Universitas Pasundan. Serta Aat Supriatna (Budayawan Jawa Barat) selaku moderator.
Lebih lanjut Dadang menuturkan, setelah digelarnya acara ini diharapkan generasi muda setidaknya bisa terbuka pandangannya mengenai kujang.
"Mungkin diskusi ini terlalu singkat untuk membahas kujang secara keseluruhan dan mendalam. Tapi setidaknya, ada transfer ilmu mengenai kujang yang kerap dipakai sebagai simbol-simbol tadi. Karena dengan memahami bagian budaya bangsa ini, nasionalisme kita bisa dipastikan akan bertambah," tandas Dadang.(dip/avi)