, Oleh: Moch Arif Budiman
Saat ini secara umum umat Islam sudah sangat jauh meninggalkan Alquran. Jangankan men-tadabburi, membacanya saja terkadang sudah tidak sempat lagi, lantaran 'kesibukan' sehari-hari. Sudah barang tentu kita memiliki kesibukan masing-masing, mulai dari bekerja mencari nafkah, belajar, mengurus rumah tangga dan keluarga, serta aktivitas sosial.
Namun, betulkah di tengah atau di antara sekian banyak kesibukan tersebut kita benar-benar tidak mempunyai lagi waktu untuk (sekadar) membaca Alquran? Jika kita mengatakan ya untuk pertanyaan di atas, mungkin kita perlu berkaca kepada kehidupan Rasulullah dan para salafushshalih. Mereka senantiasa berinteraksi secara intensif dengan Kitab Suci ini di sepanjang kehidupan.
Bagi mereka, Alquran adalah wirid (bacaan) harian, ibarat 'makanan' yang wajib dikonsumsi setiap hari sehingga ada yang mengkhatamkan bacaan Alquran setiap 10 hari, seminggu sekali, atau tiga hari sekali. Imam Syafi'i bahkan menuntaskan 60 kali bacaan Alquran pada setiap bulan Ramadhan. Tingkat minimal bacaan Alquran para sahabat adalah sebanyak tiga juz sehari, yaitu ketika mereka dalam keadaan semangat beramal menurun.
Komitmen mereka terhadap Alquran terbentuk sedemikian rupa karena keyakinan yang mendalam bahwa kunci kesuksesan, rahasia kemenangan, dan kebahagiaan hidup tersimpan di dalam Kitab Suci tersebut. Untuk menyingkap kunci dan rahasia tersebut tentu saja harus diawali dengan banyak membacanya (QS 29:45; 33:34), baik pada waktu malam maupun siang (ana'allail wa athrafannahar).
Intensitas membaca yang tinggi juga akan sangat memudahkan seseorang dalam menghafal Alquran. Langkah berikutnya adalah memahami bacaan tersebut (QS 3:7) dengan membaca terjemah dan tafsirnya. Selanjutnya, mengimplementasikan ajaran Alquran dalam kehidupan nyata (QS 2:121; 3:31) dengan cara berusaha ‘berkonsultasi’ dengan kitab pedoman hidup itu dalam menghadapi dinamika dan problematika kehidupan.
Untuk membangun kedekatan dengan Alquran diperlukan perjuangan, kesabaran tingkat tinggi (tashabbur), dan istiqamah karena penghalang dan godaannya memang tidak sedikit, baik yang berasal dari faktor internal, yaitu jiwa yang lemah dan malas maupun faktor eksternal, yaitu setan yang senantiasa berusaha menjauhkan kita dari Alquran dan lingkungan yang tidak kondusif.
Namun, dengan niat ikhlas karena Allah, usaha terus-menerus, dan banyak berdoa, maka kedekatan itu akan tercipta. Kesungguhan kita mendekatkan diri pada Alquran akan mengundang datangnya ma’unah (pertolongan) dari Allah. Hingga pada satu titik tertentu, semua kesulitan dalam perjuangan membangun kebersamaan dengan Alquran itu akan berubah menjadi kenikmatan.
Bahkan, hal tersebut akan menciptakan efek 'ketagihan' yang positif di mana seorang Muslim akan merasa ada yang kurang atau hilang jika satu hari saja tidak berinteraksi dengan Alquran. Dan, dia pun akan selalu berusaha untuk menambah intensitas interaksinya dari waktu ke waktu.
Tiada hidup yang lebih indah dari senantiasa berinteraksi dengan Alquran, mendapatkan taujih rabbani, dan mereguk hikmah ilahiyah pada setiap hari yang kita lalui. Dan, untuk mencapai kenikmatan ini di tengah tumpukan kesibukan kita maka satu-satunya cara adalah dengan mengalokasikan waktu khusus dari hari kita untuk berinteraksi dengan kalam mulia ini, sebagaimana kita mengalokasikan waktu untuk berbagai kegiatan duniawi yang lain. Wallahul musta’an.
sumber : www.republika.co.id