Politik sering diduga sebagai area penuh intrik, tipu daya. Dalam politik, norma akhlak dan moralitas sering kali diabaikan dan dilanggar demi lestarinya kekuasaan. Segala macam cara ditempuh untuk mengabadikan kekuasaan.
Arus deras politik inilah yang membuat Muhammad Abduh, seorang pemikir besar asal Mesir, berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari politik dan para politikus."
Bagi Abduh, politik mungkin menjadi monster yang menakutkan, terutama saat perilaku kotor yang melanggar norma-norma Islam. Rambu-rambu etika tak lagi mampu mengerem syahwat berkuasa yang bergelora dan bergemuruh di dalam dada mereka. Apakah politik haram?
Politik bukan suatu hal yang haram dan dilarang. Politik bisa menjadi ladang amal saleh yang menggiurkan untuk mendapatkan jaminan keselamatan di akhirat. Politik bisa menjadi kunci untuk menggapai rida Allah.
Bahkan, Rasulullah memberikan jaminan bagi para pemimpin dan pelaku politik yang adil untuk mendapatkan naungan khusus dari Allah pada hari kiamat nanti, di mana saat itu tidak ada naungan kecuali naungan Allah. Naungan itu hanya diberikan kepada tujuh golongan manusia yang memiliki kualitas keimanan terbaik.
Doa para pemimpin yang adil termasuk salah satu doa yang tidak akan pernah tertolak. Itu karena tanggung jawab seorang pemimpin sangatlah berat dan besar, baik di sisi Allah maupun di hadapan publik.
Rasulullah bersabda, “Tiga golongan yang tidak akan tertolak doanya, yakni doa orang yang puasa sampai dia berbuka, doa pemimpin yang adil, dan doa orang yang dizalimi.” (HR Tirmidzi).
Karena itu, bagi kalangan generasi awal Islam, jabatan pemimpin bukanlah sesuatu yang diminati. Bahkan, mereka sering menghindar ketika diminta untuk memangku kekuasaan. Sebab, begitu besar tanggung jawabnya di akhirat. Dalam lingkaran kekuasaan, seorang pemimpin sering tergelincir pada hal-hal buruk dan menyeret mereka pada kehidupan yang sulit dan membahayakan.
Umar bin Abdul Aziz, khalifah kaum Muslim yang tersohor bahkan melakukan "bersih-bersih" harta yang dia miliki untuk diserahkan ke kas negara demi menghindari kerakusan dan kecintaan overdosis pada harta. Kalung dan gelang istrinya, Fatimah, dia masukkan ke kas negara. Dia berusaha menjadikan kekuasaan sebagai jembatan pengabdian kepada Allah Tuhan yang memberikan amanah pada dirinya.
Kesalehan politik di zaman sekarang ini menjadi sangat urgen. “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah dan paling dekat tempat duduknya kepada Allah pada hari kiamat adalah seorang peminpin yang adil. Dan manusia yang paling dibenci dan jauh dari Allah tempat duduknya di hari kiamat adalah seorang peminpin yang kejam.” (HR Tirmidzi).
Kesalehan dan keadilan dalam politik merupakan syarat mutlak bagi pemimpin dan politisi agar dicintai oleh Allah. Dengan begitu, doa-doanya pun akan dikabulkan dan di akhirat mendapat naungan-Nya. Semoga.
Oleh: Samson Rahman
sumber : www.republika.co.id
Arus deras politik inilah yang membuat Muhammad Abduh, seorang pemikir besar asal Mesir, berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari politik dan para politikus."
Bagi Abduh, politik mungkin menjadi monster yang menakutkan, terutama saat perilaku kotor yang melanggar norma-norma Islam. Rambu-rambu etika tak lagi mampu mengerem syahwat berkuasa yang bergelora dan bergemuruh di dalam dada mereka. Apakah politik haram?
Politik bukan suatu hal yang haram dan dilarang. Politik bisa menjadi ladang amal saleh yang menggiurkan untuk mendapatkan jaminan keselamatan di akhirat. Politik bisa menjadi kunci untuk menggapai rida Allah.
Bahkan, Rasulullah memberikan jaminan bagi para pemimpin dan pelaku politik yang adil untuk mendapatkan naungan khusus dari Allah pada hari kiamat nanti, di mana saat itu tidak ada naungan kecuali naungan Allah. Naungan itu hanya diberikan kepada tujuh golongan manusia yang memiliki kualitas keimanan terbaik.
Doa para pemimpin yang adil termasuk salah satu doa yang tidak akan pernah tertolak. Itu karena tanggung jawab seorang pemimpin sangatlah berat dan besar, baik di sisi Allah maupun di hadapan publik.
Rasulullah bersabda, “Tiga golongan yang tidak akan tertolak doanya, yakni doa orang yang puasa sampai dia berbuka, doa pemimpin yang adil, dan doa orang yang dizalimi.” (HR Tirmidzi).
Karena itu, bagi kalangan generasi awal Islam, jabatan pemimpin bukanlah sesuatu yang diminati. Bahkan, mereka sering menghindar ketika diminta untuk memangku kekuasaan. Sebab, begitu besar tanggung jawabnya di akhirat. Dalam lingkaran kekuasaan, seorang pemimpin sering tergelincir pada hal-hal buruk dan menyeret mereka pada kehidupan yang sulit dan membahayakan.
Umar bin Abdul Aziz, khalifah kaum Muslim yang tersohor bahkan melakukan "bersih-bersih" harta yang dia miliki untuk diserahkan ke kas negara demi menghindari kerakusan dan kecintaan overdosis pada harta. Kalung dan gelang istrinya, Fatimah, dia masukkan ke kas negara. Dia berusaha menjadikan kekuasaan sebagai jembatan pengabdian kepada Allah Tuhan yang memberikan amanah pada dirinya.
Kesalehan politik di zaman sekarang ini menjadi sangat urgen. “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah dan paling dekat tempat duduknya kepada Allah pada hari kiamat adalah seorang peminpin yang adil. Dan manusia yang paling dibenci dan jauh dari Allah tempat duduknya di hari kiamat adalah seorang peminpin yang kejam.” (HR Tirmidzi).
Kesalehan dan keadilan dalam politik merupakan syarat mutlak bagi pemimpin dan politisi agar dicintai oleh Allah. Dengan begitu, doa-doanya pun akan dikabulkan dan di akhirat mendapat naungan-Nya. Semoga.
Oleh: Samson Rahman
sumber : www.republika.co.id