-

Tuesday, December 04, 2012

Negarawan dan Mohammad Hatta

MENCARI sosok negarawan di tengah karut-marut dunia perpolitikan Indonesia, seperti menantikan satu tetes air ketika kehausan. Kita hidup bagai ditengah gurun padang pasir, berharap sosok negarawan muncul, seperti oase di tengah gurun yang panas. Apalagi melihat kejahatan tindak korupsi dan kebijakan pimpinan yang tidak berpihak pada rakyat, dipenuhi kepentingan untuk diri dan golongan. Pada mulanya adalah kepentingan, lalu merongrong dan menyetir kekuasaan. Kekuasaan layaknya barang komoditi dan logikanya ekonomi-praktis.

Negarawan sejati lumrahnya muncul dalam situasi yang kritis. Menghadapi situasi demikian yang diperlukan sikap tegas tapi dengan arah yang jelas. Yang kita butuhkan sekarang mungkin bukan tokoh yang mengorbankan semangat revolusi berapi-api, melainkan sosok yang dengan tegas dan tandas berani meluruskan tatanan hukum sehingga terhindar dari upaya politisi untuk memanipulasinya.

Sosok negarawan mesti menjelma di muka bumi, mengendalikan kekuasaan demi kemaslahatan semua. Oleh karenanya, saya rasa tidak salah jika kita membaca kembali Mohammad Hatta. Mengupas memoar seorang tokoh negarawan yang tidak lelah bersemangat untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Seorang suri tauladan yang sayang rakyatnya, bahkan dengan janjinya "tidak akan menikah kecuali setelah Indonesia merdeka" Tak pelaknya setelah merdeka barulah dia meminang seorang perempuan. Dan yang paling menawan sebagai kado pernikahannya, Hatta memberikan buku kepada istrinya, Tanah Merah: Alam Pikiran Yunani.

Semangat perjuanganya dapat kita petik dan pelajari. Bagaimana Hatta dapat menyingkirkan hasrat pribadinya untuk mementingkan negara dan rakyat. Uniknya, sifat istiqomah yang tertanam pada dirinya, menunjukan keteguhan dalam mencapai tujuan, serta kecerdikannya dalam memilih jalan, patut kita acungi jempol.

Kendati demikian, Hatta pernah berujar dengan lantang, suatu hari ketika sekitaran tahun 1931, Soekarno ditangkap penjajah dan PNI dibubarkan menjadi Partindo. "Pergerakan kita tak boleh tinggal pergerakan pemimpin, yang hidup dan mati mengikuti pemimpin. Pergerakan kita harus menjadi pahlawan-pahlawan yang tak punya nama. Artinya pergerakan kita adalah pergerakan rakyat yang tidak tergantung pada nasib para pemimpin" (Mohammad Hatta, memoir: 318-319).

Sementara itu Dedi Ahimsa Riyadi penulis novel biografi (Hatta; Hikayat Cinta dan kemerdekaan:2010) menceritakan sepak terjang Hatta dalam dunia perpolitikan dan perjuangannya untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. "bagaikan Yin dan Yang. Bagaikan kedalaman samudra dan amuk gelombang, kedua orang itu, Soekarno dan Hatta, saling mengisi dan melengkapi. Di balik wajahnya yang datar tanpa riak, Hatta menyimpan kecerdasan, kebijakan dan pengetahuan" (hal 218).

Begitulah, sosok penggambaran Hatta dalam novel tersebut. Sebagai wakil presiden pertama Indonesia, lelaki berkacamata itu bernama lengkap Mohammad Hatta. Pers Jepang menyebutnya "Ghandi of Java" karena ketulusannya menempuh perjuangan, perlawanan tanpa jeda dan sikapnya yang anti kekerasan. Serta Mavin Rose menyebutnya "muslim sejati" karena beristri empat; Indonesia, rakyat Indonesia, buku, dan Rahmi Rachim.

Di sisi lain sejak tahun 1926, Hatta terus melakukan interaksi dengan para aktivis pergerakan di tanah air. Perlawanan Hatta dilakukan semenjak sekolah di negeri Belanda. Saking perhatiannya terhadap Indonesia, dengan gagasan-gagasannya, tidak lama berselang berdirilah Partai Nasional Indonesia. Salah satu kelompok yang paling giat mengadopsi dan menerjemahkan pemikiran Hatta dalam aksi nyata adalah Studi Klub Bandung.

Pada akhir bulan desember 1935, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Bandaira, Maluku. Sebagai imbalannya, penguasa kolonial meminta untuk menandatangani deklarasi bahwa tidak akan ada lagi aktivitas politik. Meski begitu, Hatta selalu bertindak rasional, sebagai pemimpin pergerakan bangsa yang kehadirannya dinanti rakyat banyak. Hatta harus tetap hidup demi menjaga keberlangsungan perjuangan.

Sejak awal memang dia giat menyebarkan gagasan dan pemikirannya tentang kemerdakaan lewat tulisan dan tidak lupa untuk selalu membawa-membaca buku. Dalam sebuah surat kepada Mu'rad, redaktur harian Daulat Rakyat: "Buku merupakan sahabat sejati yang menemani hari-hari. Buku merupakan tempat studiku yang paling damai selama memiliki buku, aku bisa hidup di mana pun tak seorang pun yang merasakan hidup nikmat di penjara. Filosofi hidupku terus berjuang selama hidup bebas; ketika seseorang mengikat sayapku, teruslah berjuang untuk meraih pengetahuan." (Daulat Rakyat, 10 Mei 1934).

Ya, menjadi seorang negarawan sejati tidak mudah seperti membalikan telapak tangan. Kuncinya perjuangan, pengorbanan, ketelatenan dan sikap cerdik dalam memilih keputusan. Terutama meredam hasrat kepentingan pribadi untuk negara dan rakyat Indonesia. Tidak hanya melulu menjajikan kepada rakyat, apalagi memperkaya diri sendiri. Memang, hidup di Indonesia kita tidak bisa lepas dari sejarah panjang yang penuh pengorbanan dan luka. Tapi sejarah hanya tinggal sejarah, tanpa dibaca kembali dan menjadi perenungan yang mendalam.
(Penulis, eksponen Sasaka dan bergiat di Forum Alternatif Sastra Bandung)**
Galamedia
senin, 26 november 2012 01:21 WIB
Oleh : PUNGKIT WIJAYA

Artikel yang Berkaitan

1 komentar:

Great article..
Sekarang ini susah menemukan negarawan, yg ada politisi pencari keuntungan

-

Post a Comment