Tiada yang menyangsikan kepribadian Amirul Mukminin Umar bin Khattab yang memukau. Diriwayatkan pada masa pemerintahannya, Umar mengutus kaum Muslim untuk berperang melawan Bangsa Persia.
Perang ini terkenal dengan sebutan perang Qadisiah. Berkat pertolongan Allah, kaum Muslim yang dikomandani oleh Saad bin Abi Waqqas berhasil memenangkan pertempuran.
Sa’ad lalu menulis sepucuk surat yang mengabarkan kemenangan heroik tersebut kepada Amirul Mukminin di Madinah. Surat itu dibawa oleh salah seorang mujahid di antara mereka.
Di penghujung kota Madinah, Umar bertemu dengan sang mujahid. “Hai hamba Allah, ceritakan aku bagaimana keadaan kalian?” Mujahid itu menjawab; “Sesungguhnya atas bantuan Allah, kaum Musyrikin telah hancur.”
Sang mujahid sama sekali tidak tahu bila yang menjemputnya itu adalah Umar. Sebab, ia memang tidak pernah melihat wajahnya. Itulah sebabnya ia tidak turun dari untanya sampai keduanya masuk kota.
Kaum Muslim sedikit heran dengan kejadian itu. Mereka lalu mengucapkan salam kepada Umar. Setelah itu, sang mujahid pun sadar. “Semoga Allah merahmatimu, kenapa engkau tidak berterus terang bahwa engkau adalah Amirul Mukminin,” ujarnya. Umar menjelaskan, hal itu tidak masalah baginya.
Kejadian serupa juga dialami Ali bin Abi Thalib, saat ia ditunjuk menjadi khalifah. Suatu ketika, Ali memanggil budaknya karena satu keperluan. Sang budak tidak menyahut. Ali memanggilnya lagi, namun sang budak juga tak menyahutinya, hingga panggilan yang ketiga.
Ali lalu mencari budaknya itu, dan menemukannya sedang berbaring santai. Ali lalu bertanya, ”Tidakkah kamu mendengar panggilanku tadi hai Ghulam?” ”Benar, saya mendengarnya,” ujarnya.
””Lalu kenapa kamu tidak menjawabnya,” tanya Ali. ”Saya sangat yakin Anda tidak akan menghukum saya, jadi saya pura-pura malas,” jawabnya tanpa rasa bersalah.
Tanpa marah sedikitpun, Ali akhirnya memutuskan untuk membebaskan budaknya itu dan menjadikannya sebagai seseorang yang bebas (merdeka).
Kisah kedua khalifah yang termaktub dalam Kitab Qabasat min hayati ar-Rasul, karya Syekh Ahmad Muhammad ’Assaf ini, menunjukkan akan kemuliaan dua pemimpin Islam yang mengagumkan. Sungguh sangat sulit mencari pemimpin seperti itu di zaman sekarang.
Pejabat publik kita bila tampil di depan khalayak, hobinya tebar pesona. Dia berharap masyarakat tahu dirinya adalah pemimpin rakyat. Gayanya pun khas, meminta dilayani. Termasuk dengan fasilitas yang mewah dengan kawalan aparat.
Pemimpin yang bersenjatakan sabar dan tawadhu’ senantiasa dicintai rakyatnya. Tanpa harus berpura-pura, dia pasti dielu-elukan. Pejabat yang seperti Umar dan Ali itulah yang sangat dinantikan masyarakat.
Ibrah atau pelajaran penting yang dapat diambil dari kisah di atas, pertama, menjadi pejabat tidak boleh tinggi hati. Ia juga selalu mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadinya.
Kedua, pemimpin tidak mudah tersinggung, apalagi marah-marah. Sebaik-baik pemimpin ialah yang mencintai rakyatnya dan rakyatnya pun sangat mencintainya. Itulah pemimpin sejati.
Oleh Habib Ziadi
sumber : www.republika.co.id
Perang ini terkenal dengan sebutan perang Qadisiah. Berkat pertolongan Allah, kaum Muslim yang dikomandani oleh Saad bin Abi Waqqas berhasil memenangkan pertempuran.
Sa’ad lalu menulis sepucuk surat yang mengabarkan kemenangan heroik tersebut kepada Amirul Mukminin di Madinah. Surat itu dibawa oleh salah seorang mujahid di antara mereka.
Di penghujung kota Madinah, Umar bertemu dengan sang mujahid. “Hai hamba Allah, ceritakan aku bagaimana keadaan kalian?” Mujahid itu menjawab; “Sesungguhnya atas bantuan Allah, kaum Musyrikin telah hancur.”
Sang mujahid sama sekali tidak tahu bila yang menjemputnya itu adalah Umar. Sebab, ia memang tidak pernah melihat wajahnya. Itulah sebabnya ia tidak turun dari untanya sampai keduanya masuk kota.
Kaum Muslim sedikit heran dengan kejadian itu. Mereka lalu mengucapkan salam kepada Umar. Setelah itu, sang mujahid pun sadar. “Semoga Allah merahmatimu, kenapa engkau tidak berterus terang bahwa engkau adalah Amirul Mukminin,” ujarnya. Umar menjelaskan, hal itu tidak masalah baginya.
Kejadian serupa juga dialami Ali bin Abi Thalib, saat ia ditunjuk menjadi khalifah. Suatu ketika, Ali memanggil budaknya karena satu keperluan. Sang budak tidak menyahut. Ali memanggilnya lagi, namun sang budak juga tak menyahutinya, hingga panggilan yang ketiga.
Ali lalu mencari budaknya itu, dan menemukannya sedang berbaring santai. Ali lalu bertanya, ”Tidakkah kamu mendengar panggilanku tadi hai Ghulam?” ”Benar, saya mendengarnya,” ujarnya.
””Lalu kenapa kamu tidak menjawabnya,” tanya Ali. ”Saya sangat yakin Anda tidak akan menghukum saya, jadi saya pura-pura malas,” jawabnya tanpa rasa bersalah.
Tanpa marah sedikitpun, Ali akhirnya memutuskan untuk membebaskan budaknya itu dan menjadikannya sebagai seseorang yang bebas (merdeka).
Kisah kedua khalifah yang termaktub dalam Kitab Qabasat min hayati ar-Rasul, karya Syekh Ahmad Muhammad ’Assaf ini, menunjukkan akan kemuliaan dua pemimpin Islam yang mengagumkan. Sungguh sangat sulit mencari pemimpin seperti itu di zaman sekarang.
Pejabat publik kita bila tampil di depan khalayak, hobinya tebar pesona. Dia berharap masyarakat tahu dirinya adalah pemimpin rakyat. Gayanya pun khas, meminta dilayani. Termasuk dengan fasilitas yang mewah dengan kawalan aparat.
Pemimpin yang bersenjatakan sabar dan tawadhu’ senantiasa dicintai rakyatnya. Tanpa harus berpura-pura, dia pasti dielu-elukan. Pejabat yang seperti Umar dan Ali itulah yang sangat dinantikan masyarakat.
Ibrah atau pelajaran penting yang dapat diambil dari kisah di atas, pertama, menjadi pejabat tidak boleh tinggi hati. Ia juga selalu mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadinya.
Kedua, pemimpin tidak mudah tersinggung, apalagi marah-marah. Sebaik-baik pemimpin ialah yang mencintai rakyatnya dan rakyatnya pun sangat mencintainya. Itulah pemimpin sejati.
Oleh Habib Ziadi
sumber : www.republika.co.id