“Kakek 74 Tahun Tewas dalam Pembagian Daging Kurban”, “Berbagi Sedekah Renggut 3 Nyawa”, “Zakat Belum Tuntas Dibagikan, 5 Nyawa Melayang”, “Pembagian Sembako Ricuh, Seorang Wanita Hamil Pingsan”.
Begitulah judul-judul berita di media massa yang kerap mengusik batin kita. Di negeri super kaya ini, ternyata masih ada kasus rebutan ‘makan’ yang menelan korban. Bagi-bagi berkah malah berujung malapetaka.
Banyak pihak menagih tanggung jawab panitia penyelenggara. Panitia dianggap lalai, karena terjadi kericuhan dan menyebabkan kematian. Muncullah larangan pembagian ‘sesuatu’ secara massal. Di Sumatera Barat, misalnya, MUI melarang pembagian zakat atau sedekah massal.
Alasannya, mengumpulkan calon penerima dalam jumlah banyak dalam satu tempat itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Menurut MUI, itu sama dengan melecehkan dan menyusahkan masyarakat. Terlebih kalau zakat atau sedekah yang diterimakan hanya Rp 20 ribu. Jelas tidak sebanding dengan risiko yang ditanggung penerima.
Kita sepakat dengan larangan itu. Acara berbagi rezeki massal itu memang mudaratnya lebih besar tinimbang manfaatnya. Terlebih jika pelaksanaannya tidak profesional. Banyak cara dapat ditempuh untuk menerimakan zakat atau sedekah kepada yang berhak. Tidak harus mengumpulkan khalayak, apalagi mengeksposnya besar-besaran di media massa, sebagaimana biasa kita saksikan.
Risikonya tidak hanya menimpa penerima. Pemberi juga rentan terancam virus senang menampilkan kebaikan (riya’) atau memperdengarkan kebaikan (sum’ah). Islam tidak melarang sedekah terang-terangan. Tetapi menyembunyikan sedekah itulah yang lebih utama.
“Jika kamu menampakkan sedekah, maka itu baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan darimu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS Al-Baqarah: 271].
Indah nian ajaran Islam tentang cara bersedekah. Ayat itu kian jelas ketika dikaitkan dengan hadis Rasulullah tentang tujuh golongan manusia yang kelak mendapatkan payung dari Allah pada hari mahsyar. Mereka itu, di antaranya, adalah “...seseorang yang bersedekah kemudian menyembunyikannya, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan tangan kanannya.” [HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi].
Kendati demikian, bukan Islam jika tidak mengajarkan keseimbangan. Orang kaya diperintahkan untuk gemar bersedekah. Di sisi lain, kaum jelata dilarang meminta-minta. Agama dan budaya mana pun pasti sepakat bahwa mental pengemis itu bukan sebuah kemuliaan. Di mana-mana pengemis akan dipandang rendah dan hina. Sementara Allah menginginkan umat Islam tampil sebagai pribadi mulia. Mulia sebagai orang kaya yang gemar bersedekah. Mulia sebagai orang miskin yang pantang meminta-minta.
Indonesia sendiri belum keluar dari jeratan kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) perbulan Maret 2013, warga miskin di Indonesia mencapai 28,07 juta jiwa atau 11,37%. Angka kemiskinan itu melebihi target Pemerintah dan DPR dalam APBN-P 2013 bahwa angka kemiskinan ditetapkan 10,5%. Demikian pula, data BPS perbulan Februari 2013 menunjukkan, pengangguran di Indonesia mencapai 7,17 juta jiwa atau 5,92%. Padahal target Pemerintah dan DPR sebesar 5,5-5,8% di akhir 2013. Angka-angka itu menunjukkan bahwa 1 di antara 9 orang Indonesia adalah miskin dan 1 di antara 17 orang Indonesia adalah pengangguran.
Namun demikian, kita tidak yakin bahwa setiap pengemis di Indonesia ini pasti orang miskin. Belum tentu pula mereka yang berebut zakat atau sedekah sampai tidak peduli keselamatan diri itu adalah orang jelata. Sudah banyak buktinya. Ketika ada program bantuan uang atau beras dari pemerintah, tidak sedikit orang berebut meminta jatah.
Kendati tergolong mampu secara ekonomi, demi mendapatkan jatah bantuan, banyak orang minta dicatat sebagai warga miskin. Itulah yang juga terjadi pada pembagian zakat, sedekah, daging kurban, dan serupanya. Orang sangat nekat untuk mendapatkan rezeki cuma-cuma itu. Tidak mau antri. Ketika sudah mendapatkan jatah pun terus ingin tambah lagi dan lagi.
Demikianlah mental pengemis, yang sering memicu masalah. Berarti, gemar meminta-minta itu jelas faktor mental, bukan faktor miskin atau kaya. Bukti lain, banyak orang yang hidupnya sederhana ogah meminta-minta. Sebaliknya, banyak orang berharta sangat melimpah malah terlampau gemar meminta-minta, bahkan menghalalkan segala cara. Tengok saja para pejabat yang mengemis suara rakyat, menjual diri demi jabatan, menempuh jalan pintas untuk mendongkrak nama, melakukan gratifikasi dan korupsi agar lekas kaya. Adakah mereka itu bukan orang kaya?
Padahal Rasulullah berpesan, “Barang siapa meminta-minta kepada orang dengan maksud supaya apa yang dimilikinya menjadi banyak, maka sebenarnya orang itu meminta bara api.” [HR Muslim]. Ketika menafsirkan hadis ini, Al-Qadhi lyadh berkata, orang yang sebenarnya sudah cukup tetapi masih meminta-minta lebih dari kebutuhan akan disiksa di neraka. Kalimat “meminta bara api” dapat pula diartikan secara lahiriah, yaitu api akan dimasukkan ke dalam setrika dan disetrikakan pada punggung dan lambungnya, sebagaimana keadaan orang yang sudah berkewajiban zakat, namun enggan mengeluarkan zakat.
Tidak ada orang yang mau hidup susah. Namun, kita jangan lantas menginginkan enak tanpa mau berusaha. Jangan seperti orang yang siang dan malam mengeluh ingin kaya tetapi ogah bekerja. Ada lagi yang terus-menerus memimpikan bahagia, tetapi malas beribadah. Hidup bebas dari agama sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Tidak tahu mana perintah dan mana larangan, mana halal dan mana haram, mana sunah dan mana bid’ah, mana syariat dan mana maksiat, mana dosa dan mana pahala, mana tuntunan Islam dan mana tuntunan setan. Lucunya, meski selalu melanggar agama, dia kerap menagih kemurahan Allah ketika ditimpa musibah.
Sikap demikian bertolak belakang dengan hamba-hamba saleh ketika ditimpa musibah. Kendati hidup susah dan jelata, mereka tidak mengeluh, apalagi meminta-minta. Mereka sangat malu kepada Allah, mengingat karunia yang diterima lebih banyak ketimbang musibah yang sedang diterima. Karena itulah, senjata yang mereka andalkan adalah usaha tanpa kenal lelah disertai doa dan sabar. Lihatlah Nabi Ya’kub (1837-1690 SM), yang hidup miskin dan menderita buta di masa tua. Nabi Ya’kub rajin beribadah dan tidak pernah buruk sangka kepada Allah.
Juga Nabi Ayub (1540-1420 SM) yang hidup miskin dan sakit-sakitan selama tahunan. Akibat penyakitnya, jangankan teman, bahkan anak dan istrinya lari darinya. Tetapi Nabi dan Rasul ke-13 itu pantang bermental cengeng. Dia tidak pernah mengemis, sekali pun sekadar belas kasihan orang lain. Berbagai penderitaan dan kesakitan yang menderanya tidak menghalanginya untuk terus intim dan bersujud kepada Allah. Ajaib. Allah kemudian memberikan kesembuhan total kepadanya.
“Dan ingatlah hamba Kami Ayub ketika dia menyeru Tuhan-nya, ‘Sungguh aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan’. (Allah berfirman), ‘Hantamkanlah kakimu. Inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum’. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” [QS Shad: 41-43].
Banyak lagi kisah-kisah hamba mulia yang patut dijadikan teladan dalam menyikapi romantika dunia. Ketika kaya tidak lupa, ketika miskin pantang meminta-minta. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Adalah Nabi Daud tidak suka memakan sesuatu, kecuali dari hasil usaha tangannya sendiri.” [HR Bukhari]. Dalam hadis lain, Rasulullah juga berkisah, “Nabi Zakaria adalah seorang tukang kayu.” [HR Muslim].
Kesalehan, bahkan kenabian dan kerasulan, tidak lantas menjauhkan manusia dari penderitaan. Sejarah telah membeberkan betapa Nabi dan Rasul hidup berkalang derita. Sejarah hidup Rasulullah sendiri tidak sepi dari berbagai penderitaan. Tetapi, Allah memuji siapa saja yang pantang menadahkan tangan kendati hidup serba kurang.
“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya. Mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak, dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sungguh Allah Maha Mengetahui.” [QS Al-Baqarah: 273].
Jelaslah, kemiskinan bukan aib. Saatnya orang beriman mampu mengikis mental pengemis dari sanubari. Tanamkan kalimat berikut dengan mantap: biar miskin, aku pantang mengemis!
, Oleh M Husnaini
Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia’. Email: hus_surya06@yahoo.co.id
sumber : www.republika.co.id
Begitulah judul-judul berita di media massa yang kerap mengusik batin kita. Di negeri super kaya ini, ternyata masih ada kasus rebutan ‘makan’ yang menelan korban. Bagi-bagi berkah malah berujung malapetaka.
Banyak pihak menagih tanggung jawab panitia penyelenggara. Panitia dianggap lalai, karena terjadi kericuhan dan menyebabkan kematian. Muncullah larangan pembagian ‘sesuatu’ secara massal. Di Sumatera Barat, misalnya, MUI melarang pembagian zakat atau sedekah massal.
Alasannya, mengumpulkan calon penerima dalam jumlah banyak dalam satu tempat itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Menurut MUI, itu sama dengan melecehkan dan menyusahkan masyarakat. Terlebih kalau zakat atau sedekah yang diterimakan hanya Rp 20 ribu. Jelas tidak sebanding dengan risiko yang ditanggung penerima.
Kita sepakat dengan larangan itu. Acara berbagi rezeki massal itu memang mudaratnya lebih besar tinimbang manfaatnya. Terlebih jika pelaksanaannya tidak profesional. Banyak cara dapat ditempuh untuk menerimakan zakat atau sedekah kepada yang berhak. Tidak harus mengumpulkan khalayak, apalagi mengeksposnya besar-besaran di media massa, sebagaimana biasa kita saksikan.
Risikonya tidak hanya menimpa penerima. Pemberi juga rentan terancam virus senang menampilkan kebaikan (riya’) atau memperdengarkan kebaikan (sum’ah). Islam tidak melarang sedekah terang-terangan. Tetapi menyembunyikan sedekah itulah yang lebih utama.
“Jika kamu menampakkan sedekah, maka itu baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan darimu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS Al-Baqarah: 271].
Indah nian ajaran Islam tentang cara bersedekah. Ayat itu kian jelas ketika dikaitkan dengan hadis Rasulullah tentang tujuh golongan manusia yang kelak mendapatkan payung dari Allah pada hari mahsyar. Mereka itu, di antaranya, adalah “...seseorang yang bersedekah kemudian menyembunyikannya, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan tangan kanannya.” [HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi].
Kendati demikian, bukan Islam jika tidak mengajarkan keseimbangan. Orang kaya diperintahkan untuk gemar bersedekah. Di sisi lain, kaum jelata dilarang meminta-minta. Agama dan budaya mana pun pasti sepakat bahwa mental pengemis itu bukan sebuah kemuliaan. Di mana-mana pengemis akan dipandang rendah dan hina. Sementara Allah menginginkan umat Islam tampil sebagai pribadi mulia. Mulia sebagai orang kaya yang gemar bersedekah. Mulia sebagai orang miskin yang pantang meminta-minta.
Indonesia sendiri belum keluar dari jeratan kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) perbulan Maret 2013, warga miskin di Indonesia mencapai 28,07 juta jiwa atau 11,37%. Angka kemiskinan itu melebihi target Pemerintah dan DPR dalam APBN-P 2013 bahwa angka kemiskinan ditetapkan 10,5%. Demikian pula, data BPS perbulan Februari 2013 menunjukkan, pengangguran di Indonesia mencapai 7,17 juta jiwa atau 5,92%. Padahal target Pemerintah dan DPR sebesar 5,5-5,8% di akhir 2013. Angka-angka itu menunjukkan bahwa 1 di antara 9 orang Indonesia adalah miskin dan 1 di antara 17 orang Indonesia adalah pengangguran.
Namun demikian, kita tidak yakin bahwa setiap pengemis di Indonesia ini pasti orang miskin. Belum tentu pula mereka yang berebut zakat atau sedekah sampai tidak peduli keselamatan diri itu adalah orang jelata. Sudah banyak buktinya. Ketika ada program bantuan uang atau beras dari pemerintah, tidak sedikit orang berebut meminta jatah.
Kendati tergolong mampu secara ekonomi, demi mendapatkan jatah bantuan, banyak orang minta dicatat sebagai warga miskin. Itulah yang juga terjadi pada pembagian zakat, sedekah, daging kurban, dan serupanya. Orang sangat nekat untuk mendapatkan rezeki cuma-cuma itu. Tidak mau antri. Ketika sudah mendapatkan jatah pun terus ingin tambah lagi dan lagi.
Demikianlah mental pengemis, yang sering memicu masalah. Berarti, gemar meminta-minta itu jelas faktor mental, bukan faktor miskin atau kaya. Bukti lain, banyak orang yang hidupnya sederhana ogah meminta-minta. Sebaliknya, banyak orang berharta sangat melimpah malah terlampau gemar meminta-minta, bahkan menghalalkan segala cara. Tengok saja para pejabat yang mengemis suara rakyat, menjual diri demi jabatan, menempuh jalan pintas untuk mendongkrak nama, melakukan gratifikasi dan korupsi agar lekas kaya. Adakah mereka itu bukan orang kaya?
Padahal Rasulullah berpesan, “Barang siapa meminta-minta kepada orang dengan maksud supaya apa yang dimilikinya menjadi banyak, maka sebenarnya orang itu meminta bara api.” [HR Muslim]. Ketika menafsirkan hadis ini, Al-Qadhi lyadh berkata, orang yang sebenarnya sudah cukup tetapi masih meminta-minta lebih dari kebutuhan akan disiksa di neraka. Kalimat “meminta bara api” dapat pula diartikan secara lahiriah, yaitu api akan dimasukkan ke dalam setrika dan disetrikakan pada punggung dan lambungnya, sebagaimana keadaan orang yang sudah berkewajiban zakat, namun enggan mengeluarkan zakat.
Tidak ada orang yang mau hidup susah. Namun, kita jangan lantas menginginkan enak tanpa mau berusaha. Jangan seperti orang yang siang dan malam mengeluh ingin kaya tetapi ogah bekerja. Ada lagi yang terus-menerus memimpikan bahagia, tetapi malas beribadah. Hidup bebas dari agama sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Tidak tahu mana perintah dan mana larangan, mana halal dan mana haram, mana sunah dan mana bid’ah, mana syariat dan mana maksiat, mana dosa dan mana pahala, mana tuntunan Islam dan mana tuntunan setan. Lucunya, meski selalu melanggar agama, dia kerap menagih kemurahan Allah ketika ditimpa musibah.
Sikap demikian bertolak belakang dengan hamba-hamba saleh ketika ditimpa musibah. Kendati hidup susah dan jelata, mereka tidak mengeluh, apalagi meminta-minta. Mereka sangat malu kepada Allah, mengingat karunia yang diterima lebih banyak ketimbang musibah yang sedang diterima. Karena itulah, senjata yang mereka andalkan adalah usaha tanpa kenal lelah disertai doa dan sabar. Lihatlah Nabi Ya’kub (1837-1690 SM), yang hidup miskin dan menderita buta di masa tua. Nabi Ya’kub rajin beribadah dan tidak pernah buruk sangka kepada Allah.
Juga Nabi Ayub (1540-1420 SM) yang hidup miskin dan sakit-sakitan selama tahunan. Akibat penyakitnya, jangankan teman, bahkan anak dan istrinya lari darinya. Tetapi Nabi dan Rasul ke-13 itu pantang bermental cengeng. Dia tidak pernah mengemis, sekali pun sekadar belas kasihan orang lain. Berbagai penderitaan dan kesakitan yang menderanya tidak menghalanginya untuk terus intim dan bersujud kepada Allah. Ajaib. Allah kemudian memberikan kesembuhan total kepadanya.
“Dan ingatlah hamba Kami Ayub ketika dia menyeru Tuhan-nya, ‘Sungguh aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan’. (Allah berfirman), ‘Hantamkanlah kakimu. Inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum’. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” [QS Shad: 41-43].
Banyak lagi kisah-kisah hamba mulia yang patut dijadikan teladan dalam menyikapi romantika dunia. Ketika kaya tidak lupa, ketika miskin pantang meminta-minta. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Adalah Nabi Daud tidak suka memakan sesuatu, kecuali dari hasil usaha tangannya sendiri.” [HR Bukhari]. Dalam hadis lain, Rasulullah juga berkisah, “Nabi Zakaria adalah seorang tukang kayu.” [HR Muslim].
Kesalehan, bahkan kenabian dan kerasulan, tidak lantas menjauhkan manusia dari penderitaan. Sejarah telah membeberkan betapa Nabi dan Rasul hidup berkalang derita. Sejarah hidup Rasulullah sendiri tidak sepi dari berbagai penderitaan. Tetapi, Allah memuji siapa saja yang pantang menadahkan tangan kendati hidup serba kurang.
“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya. Mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak, dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sungguh Allah Maha Mengetahui.” [QS Al-Baqarah: 273].
Jelaslah, kemiskinan bukan aib. Saatnya orang beriman mampu mengikis mental pengemis dari sanubari. Tanamkan kalimat berikut dengan mantap: biar miskin, aku pantang mengemis!
, Oleh M Husnaini
Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia’. Email: hus_surya06@yahoo.co.id
sumber : www.republika.co.id