Sudah pasti, tak satu pun manusia menginginkan kesengsaraan. Sebaliknya, seluruh manusia mendambakan kebahagiaan.
Tetapi, dunia adalah pentas yang Allah sediakan untuk melihat bagaimana perilaku manusia kala menerima qadha dan takdir-Nya.
Sudah sunnatullah dalam hidup ini ada yang kaya dan ada yang miskin. Bagi Allah, perkara yang paling penting dari seorang hamba adalah bagaimana sikapnya dalam menerima takdir-Nya. Apakah tetap melakukan amal terbaik dalam segala kondisi (QS 67:2) atau tidak?
Soal kaya dan miskin tidak semata-mata ditentukan hukum kausalitas (sebab-akibat). Dan, kebahagiaan di dalam Islam tidak bisa dibeli dengan materi. Sejauh ini, masih ada anggapan siapa yang rajin dan berilmu pasti ia akan mendapatkan kekayaan dunia.
Anggapan ini memotivasi banyak orang belajar untuk kelak dapat hidup kaya (secara materi), sehingga melakukan apa saja untuk itu. Padahal, di dalam Islam menuntut ilmu dengan rajin itu untuk mendapat ridha Allah dengan beriman dan bertakwa kepada-Nya.
Di sisi lain, kaya atau tidak manusia di dunia, itu bergantung dari niat di dalam hatinya. Jadi, akan mengejar apa seorang manusia sangat ditentukan olehniatnya.
Di dalam Alquran Allah menegaskan, “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.’’ (QS 11: 15-16).
Dalam tafsir Ibnu Katsir, Qatadah berpendapat, “Barang siapa yang menjadikan dunia ini sebagai tujuan, niat, dan sesuatu yang selalu ia kejar maka Allah akan memberikan balasan di dunia atas kebaikan yang telah ia lakukan, sehingga ketika menuju alam akhirat kelak, tidak ada lagi kebaikan baginya yang dapat diberikan sebagai balasan. Sedangkan, seorang mukmin akan diberikan balasan di dunia atas kebaikan yang telah dilakukannya dan diberikan pula pahala atasnya kelak di akhirat.”
Sebagai Muslim, kita mesti sadar Allah pasti akan memberikan ujian kepada seluruh hamba-Nya. Entah itu berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. (QS 2: 155).
Hal ini tidak bisa dihindari karena memang sudah ketetapan Allah bagi seluruh hamba-Nya yang mengaku beriman. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. 29: 2).
Artinya, kebahagiaan itu adalah ketika kita mengimani dengan kekuatan ilmu bahwa hidup ini hakikatnya adalah ujian, sehingga hadir keridhaan yang dalam dan keikhlasan yang menghujam terhadap segala qadha dan takdir Allah yang diterimanya. Ridha itulah kunci kebahagiaan.
Nabi bersabda, “Akan merasakan indahnya iman (bahagia), orang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul utasan Allah SWT.'' (HR Muslim).
, Oleh: Imam Nawawi
sumber : www.republika.co.id
Tetapi, dunia adalah pentas yang Allah sediakan untuk melihat bagaimana perilaku manusia kala menerima qadha dan takdir-Nya.
Sudah sunnatullah dalam hidup ini ada yang kaya dan ada yang miskin. Bagi Allah, perkara yang paling penting dari seorang hamba adalah bagaimana sikapnya dalam menerima takdir-Nya. Apakah tetap melakukan amal terbaik dalam segala kondisi (QS 67:2) atau tidak?
Soal kaya dan miskin tidak semata-mata ditentukan hukum kausalitas (sebab-akibat). Dan, kebahagiaan di dalam Islam tidak bisa dibeli dengan materi. Sejauh ini, masih ada anggapan siapa yang rajin dan berilmu pasti ia akan mendapatkan kekayaan dunia.
Anggapan ini memotivasi banyak orang belajar untuk kelak dapat hidup kaya (secara materi), sehingga melakukan apa saja untuk itu. Padahal, di dalam Islam menuntut ilmu dengan rajin itu untuk mendapat ridha Allah dengan beriman dan bertakwa kepada-Nya.
Di sisi lain, kaya atau tidak manusia di dunia, itu bergantung dari niat di dalam hatinya. Jadi, akan mengejar apa seorang manusia sangat ditentukan olehniatnya.
Di dalam Alquran Allah menegaskan, “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.’’ (QS 11: 15-16).
Dalam tafsir Ibnu Katsir, Qatadah berpendapat, “Barang siapa yang menjadikan dunia ini sebagai tujuan, niat, dan sesuatu yang selalu ia kejar maka Allah akan memberikan balasan di dunia atas kebaikan yang telah ia lakukan, sehingga ketika menuju alam akhirat kelak, tidak ada lagi kebaikan baginya yang dapat diberikan sebagai balasan. Sedangkan, seorang mukmin akan diberikan balasan di dunia atas kebaikan yang telah dilakukannya dan diberikan pula pahala atasnya kelak di akhirat.”
Sebagai Muslim, kita mesti sadar Allah pasti akan memberikan ujian kepada seluruh hamba-Nya. Entah itu berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. (QS 2: 155).
Hal ini tidak bisa dihindari karena memang sudah ketetapan Allah bagi seluruh hamba-Nya yang mengaku beriman. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. 29: 2).
Artinya, kebahagiaan itu adalah ketika kita mengimani dengan kekuatan ilmu bahwa hidup ini hakikatnya adalah ujian, sehingga hadir keridhaan yang dalam dan keikhlasan yang menghujam terhadap segala qadha dan takdir Allah yang diterimanya. Ridha itulah kunci kebahagiaan.
Nabi bersabda, “Akan merasakan indahnya iman (bahagia), orang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul utasan Allah SWT.'' (HR Muslim).
, Oleh: Imam Nawawi
sumber : www.republika.co.id