Kekayaan bagi sebagian umat Islam dipandang sebagai sesuatu yang kurang penting bahkan buruk. Hal ini wajar jika yang dilihat dalam konteks tersebut adalah sosok Qarun dan Tsa’labah. Mereka memang kufur dan sombong serta menolak menaati perintah Allah Ta’ala.
Tetapi, kalau kita mengacu pada dua sahabat Nabi Muhammad, yakni Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf, kekayaan menjadi penting bahkan sangat dibutuhkan. Dua sahabat Nabi itu tercatat paling banyak membantu memenuhi kebutuhan umat Islam di Madinah.
Hanya saja kekayaan yang perlu diraih umat Islam harus ditempuh dengan cara yang benar-benar halal. Selain itu, diniatkan untuk ibadah dan jihad dengan memajukan harkat dan martabat umat. Bukan memperkaya diri, lalu berbagga-banggaan dan bermegah-megahan.
Sebab jika diperhatikan, perintah jihad di jalan Allah dimulai dengan harta baru jiwa. “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS al-Mumtahanah [61]: 10-11).
Artinya, dengan harta atau dengan kekayaan, umat Islam bisa berjihad dan karena itu mendapat perniagaan yang dapat menyelamatkan dirinya dari siksa api neraka. Jika umat Islam tidak memiliki harta maka jihad harta tidak bisa dilakukan.
Dengan demikian, harta atau kekayaan itu sangat penting untuk kelangsungan ibadah, bahkan jihad umat Islam itu sendiri. Seperti yang dicontohkan Utsman bin Affan yang menyedekahkan kekayaannya dalam jumlah cukup besar kepada umat Islam.
Demikian juga dengan Abdurrahman bin Auf yang juga seolah berlomba menyedekahkan harta yang dimilikinya.
Bahkan, istri Nabi Muhammad, Sayyidah Khadijah, merelakan seluruh harta kekayaannya digunakan untuk perjuangan dakwah Islam.
Karena itu, umat Islam harus memiliki etos kerja yang bagus dalam mencari karunia-Nya berupa harta kekayaan. Apalagi, dua dari lima rukun Islam, yakni zakat dan haji, hanya bisa dilakukan kalau umat Islam memiliki harta.
Begitu pula dengan bidang keilmuan. Orang bisa sekolah atau belajar mengelola harta. Lebih-lebih dalam gerakan dakwah, mutlak harta sangat diperlukan. Dengan demikian, umat Islam jangan sampai salah paham terhadap konsep kekayaan.
Kaya itu baik selama memang niat kita ibadah dan jihad di jalan-Nya. Bahkan sekiranya umat Islam menguasai peredaran uang dengan niat ibadah dan jihad, tentu bangsa dan negara ini akan menjadi lebih baik. Seperti Abdurrahman bin Auf yang berhasil menguasai pasar di Madinah.
Hanya saja tetap harus dipahami, yang terbaik di sisi Allah bukanlah orang kaya atau miskin melainkan yang bertakwa (QS al-Hujuraat [49]: 13), kemudian mereka yang terbaik amalannya (QS al-Mulk [67]: 2).
Dengan demikian, milikilah harta atas dasar takwa dan berorientasi pada terwujudnya //ahsanu amala// atau amalan yang baik di dunia yang fana ini.
Oleh: Imam Nawawi
sumber : www.republika.co.id
Tetapi, kalau kita mengacu pada dua sahabat Nabi Muhammad, yakni Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf, kekayaan menjadi penting bahkan sangat dibutuhkan. Dua sahabat Nabi itu tercatat paling banyak membantu memenuhi kebutuhan umat Islam di Madinah.
Hanya saja kekayaan yang perlu diraih umat Islam harus ditempuh dengan cara yang benar-benar halal. Selain itu, diniatkan untuk ibadah dan jihad dengan memajukan harkat dan martabat umat. Bukan memperkaya diri, lalu berbagga-banggaan dan bermegah-megahan.
Sebab jika diperhatikan, perintah jihad di jalan Allah dimulai dengan harta baru jiwa. “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS al-Mumtahanah [61]: 10-11).
Artinya, dengan harta atau dengan kekayaan, umat Islam bisa berjihad dan karena itu mendapat perniagaan yang dapat menyelamatkan dirinya dari siksa api neraka. Jika umat Islam tidak memiliki harta maka jihad harta tidak bisa dilakukan.
Dengan demikian, harta atau kekayaan itu sangat penting untuk kelangsungan ibadah, bahkan jihad umat Islam itu sendiri. Seperti yang dicontohkan Utsman bin Affan yang menyedekahkan kekayaannya dalam jumlah cukup besar kepada umat Islam.
Demikian juga dengan Abdurrahman bin Auf yang juga seolah berlomba menyedekahkan harta yang dimilikinya.
Bahkan, istri Nabi Muhammad, Sayyidah Khadijah, merelakan seluruh harta kekayaannya digunakan untuk perjuangan dakwah Islam.
Karena itu, umat Islam harus memiliki etos kerja yang bagus dalam mencari karunia-Nya berupa harta kekayaan. Apalagi, dua dari lima rukun Islam, yakni zakat dan haji, hanya bisa dilakukan kalau umat Islam memiliki harta.
Begitu pula dengan bidang keilmuan. Orang bisa sekolah atau belajar mengelola harta. Lebih-lebih dalam gerakan dakwah, mutlak harta sangat diperlukan. Dengan demikian, umat Islam jangan sampai salah paham terhadap konsep kekayaan.
Kaya itu baik selama memang niat kita ibadah dan jihad di jalan-Nya. Bahkan sekiranya umat Islam menguasai peredaran uang dengan niat ibadah dan jihad, tentu bangsa dan negara ini akan menjadi lebih baik. Seperti Abdurrahman bin Auf yang berhasil menguasai pasar di Madinah.
Hanya saja tetap harus dipahami, yang terbaik di sisi Allah bukanlah orang kaya atau miskin melainkan yang bertakwa (QS al-Hujuraat [49]: 13), kemudian mereka yang terbaik amalannya (QS al-Mulk [67]: 2).
Dengan demikian, milikilah harta atas dasar takwa dan berorientasi pada terwujudnya //ahsanu amala// atau amalan yang baik di dunia yang fana ini.
Oleh: Imam Nawawi
sumber : www.republika.co.id