Pada suatu hari, Ibrahim bin Adham, anak raja, yang beralih menjadi sufi ini, bertemu seorang yang sedang gelisah (galau).
Untuk menghibur dan dengan maksud membantu orang itu keluar dari keputusasaan dan kegalauan, Ibrahim menyampaikan tiga pertanyaan kepadanya.
Pertama, “Apakah sesuatu yang tidak dikehendaki Allah bisa terjadi di alam ini?” Jawabnya, “Tidak.”
Kedua, “Apakah rezeki yang ditetapkan Allah kepadamu bisa berkurang?” Jawabnya, “Tidak.”
Ketiga, apakah umur yang ditentukan Allah kepadamu bisa berkurang?” Jawabnya, “Tidak”! Lantas, mengapa engkau larut dalam kesedihan dan kegalauan,” sanggah Ibrahim.
Dialog ini menarik dan menyampaikan pesan berharga. Pertama, soal perlunya perhatian dan kepedulian kita kepada orang lain. Perhatian, juga tegur sapa, sangat penting, karena manusia pada abad ini makin tidak sosial. Perhatian dan kepedulian menjadi barang langka.
Kini, dengan kemajuan teknologi, alat-alat komunikasi memang membeludak alias bertebaran. Tapi, karena sibuk internetan, BBM-an, SMS-an, dan lain-lain permainan, kita tak jarang menjadi lupa dan abai pada orang-orang di sekitar kita.
Terjadi ironi di sini. Alat-alat canggih itu mampu mendekatkan yang jauh, tetapi dalam waktu bersamaan, bisa menajuhkan yang dekat.
Kedua, soal perlunya peningkatan peran dai dalam memecahkan persoalan umat. Dakwah tidak boleh dipersempit maknanya hanya sebagai ceramah atau retorika, tetapi merupakan usaha orang beriman mengindentifikasi dan mencari solusi terhadap problem-problem keumatan.
Dai, seperti ditunjukkan Ibrahim bin Adham, tak ubahnya seorang dokter. Ia pandai melakukan diagnosis dan memberikan resep dan terapi penyembuhan dengan cermat dan tepat.
Al-Bahi al-Huli, memang menyebut dai sebagai “Thabib al-Mujtama” (dokter sosial) yang harus menanggulangi berbagai penyakit masyarakat, baik penyakit moral, sosial, maupun spiritual.
Berbagai penyakit masyarakat itu, kata al-Huli, tak bakal bisa disembuhkan hanya dengan retorika, dengan cara memainkan kata-kata atau menggerak-gerakkan telunjuk.
Ketiga, soal perlunya penghayatan dan pengamalan iman. Iman, dalam pengertian generiknya, mengandung makna percaya atau lebih tepat lagi, menaruh kepercayaan, kepada Allah SWT.
Kepercayaan kepada Allah SWT, Pencipta dan Penguasa alam jagat raya ini, menjadi sumber pengharapan (optimisme) bagi orang beriman. Maka logikanya, iman yang benar (al-iman) mesti menimbulkan rasa aman (al-amn) dan rasa damai (al-salam) yang tinggi. (QS al-Hasyr [59]: 23).
Iman adalah fitrah dalam arti panggilan dan kecenderungan primordial manusia (QS al-Rum [30]: 30). Dengan iman, manusia menjadi eksis dan survive, lantaran ia berada di jalan (orbit) Tuhan dan senantiasa menuju kesempurnaan dengan menghayati kehadiran-Nya melalui proses transendensi secara terus-menerus.
Dalam pengertian ini, iman menjadi sumber optimisme dan pangkal kebahagiaan. Inilah yang dipesankan Nabi dalam hadis Muslim, “Janganlah kamu mati, kecuali engkau penuh harap (optimistis) kepada Allah.” Wallahu a`lam. Oleh: A Ilyas Ismail
sumber : www.republika.co.id
Untuk menghibur dan dengan maksud membantu orang itu keluar dari keputusasaan dan kegalauan, Ibrahim menyampaikan tiga pertanyaan kepadanya.
Pertama, “Apakah sesuatu yang tidak dikehendaki Allah bisa terjadi di alam ini?” Jawabnya, “Tidak.”
Kedua, “Apakah rezeki yang ditetapkan Allah kepadamu bisa berkurang?” Jawabnya, “Tidak.”
Ketiga, apakah umur yang ditentukan Allah kepadamu bisa berkurang?” Jawabnya, “Tidak”! Lantas, mengapa engkau larut dalam kesedihan dan kegalauan,” sanggah Ibrahim.
Dialog ini menarik dan menyampaikan pesan berharga. Pertama, soal perlunya perhatian dan kepedulian kita kepada orang lain. Perhatian, juga tegur sapa, sangat penting, karena manusia pada abad ini makin tidak sosial. Perhatian dan kepedulian menjadi barang langka.
Kini, dengan kemajuan teknologi, alat-alat komunikasi memang membeludak alias bertebaran. Tapi, karena sibuk internetan, BBM-an, SMS-an, dan lain-lain permainan, kita tak jarang menjadi lupa dan abai pada orang-orang di sekitar kita.
Terjadi ironi di sini. Alat-alat canggih itu mampu mendekatkan yang jauh, tetapi dalam waktu bersamaan, bisa menajuhkan yang dekat.
Kedua, soal perlunya peningkatan peran dai dalam memecahkan persoalan umat. Dakwah tidak boleh dipersempit maknanya hanya sebagai ceramah atau retorika, tetapi merupakan usaha orang beriman mengindentifikasi dan mencari solusi terhadap problem-problem keumatan.
Dai, seperti ditunjukkan Ibrahim bin Adham, tak ubahnya seorang dokter. Ia pandai melakukan diagnosis dan memberikan resep dan terapi penyembuhan dengan cermat dan tepat.
Al-Bahi al-Huli, memang menyebut dai sebagai “Thabib al-Mujtama” (dokter sosial) yang harus menanggulangi berbagai penyakit masyarakat, baik penyakit moral, sosial, maupun spiritual.
Berbagai penyakit masyarakat itu, kata al-Huli, tak bakal bisa disembuhkan hanya dengan retorika, dengan cara memainkan kata-kata atau menggerak-gerakkan telunjuk.
Ketiga, soal perlunya penghayatan dan pengamalan iman. Iman, dalam pengertian generiknya, mengandung makna percaya atau lebih tepat lagi, menaruh kepercayaan, kepada Allah SWT.
Kepercayaan kepada Allah SWT, Pencipta dan Penguasa alam jagat raya ini, menjadi sumber pengharapan (optimisme) bagi orang beriman. Maka logikanya, iman yang benar (al-iman) mesti menimbulkan rasa aman (al-amn) dan rasa damai (al-salam) yang tinggi. (QS al-Hasyr [59]: 23).
Iman adalah fitrah dalam arti panggilan dan kecenderungan primordial manusia (QS al-Rum [30]: 30). Dengan iman, manusia menjadi eksis dan survive, lantaran ia berada di jalan (orbit) Tuhan dan senantiasa menuju kesempurnaan dengan menghayati kehadiran-Nya melalui proses transendensi secara terus-menerus.
Dalam pengertian ini, iman menjadi sumber optimisme dan pangkal kebahagiaan. Inilah yang dipesankan Nabi dalam hadis Muslim, “Janganlah kamu mati, kecuali engkau penuh harap (optimistis) kepada Allah.” Wallahu a`lam. Oleh: A Ilyas Ismail
sumber : www.republika.co.id