"Siapakah Tuhanmu?" Jika ditanyakan kepada semua orang, termasuk diri kita sendiri, jawabannya suka meyakinkan, Allah adalah Tuhanku, tak ada yang lain. Terkadang agar lebih meyakinkan, pakai tanda seru, biar jelas dan tegas.
Padahal, dalam realitasnya kita tak sepenuhnya demikian. Kita sering salah menempatkan posisi Tuhan. Karena itu, semuanya perlu pembuktian.
Sekarang, cobalah hal yang sederhana. Silakan ibu-ibu pergi ke pasar seperti biasa belanja harian tanpa membawa uang. Untuk bapak-bapak, silakan pergi ke rumah makan dan makanlah disana, tanpa membawa uang. Gimana, bisa?
Biasanya suka pada tertawa. "Emangnya ke pasar, muter doang? Lah, nggak bawa uang, mau belanja pakai apa?" Yang bapak-bapak juga menjawab sambil tertawa kecil, sebab dianggapnya pertanyaan ini ada-ada saja. "Ngutang mah bisa kali. Yang namanya makan, ya bayar. Apalagi di rumah makan tertentu, bayarnya duluan."
Ini dia. Ini baru contoh kecil. Tuhannya udah bukan Allah, tapi duit. La ilaha illa fulus (uang). Nggak ada uang, maka kita nggak bisa berbuat apa-apa. Nggak bisa beli ini dan itu.
Sekarang, bertanyalah pada diri sendiri. Semua yang ada di langit dan di bumi ini, milik siapa? Milik Allah, kan? Termasuk pasar dengan segala isinya, juga milik Allah.
Nah, sekarang berangkatlah ke pasar. Minta terlebih dahulu kepada Allah. Masak iya yang berangkat ke pasar bawa uang, lalu ditemani Yang Punya Uang dan Punya Pasar, kemudian pulang ke rumah nggak bawa barang-barang belanja?
Cobalah cara yang kecil ini. Untuk sementara, nggak usah yang besar dulu, seperti pergi haji umrah, nggak pakai uang. Bangun rumah, nggak pakai uang. Memulai usaha, mengembangkan usaha, juga nggak pakai uang. Menyekolahkan dan nguliahin anak, nggak pakai uang. Beli motor atau mobil, nggak pakai uang.
Cobalah yang kecil dulu. Benar-benar pergi ke warung makan. Minta sama Allah dengan meyakinkan, bahwa kalau minta, ya mesti dikasih. Jangan minta sama yang menjaga dan menunggu warung. Minta sama Yang Punya Warung. Insya Allah dikasih. Malah bisa dikasih lebih. Plus bungkus, he he.
Insya Allah, cara-cara-Nya akan ditunjukkan oleh Allah untuk mereka yang percaya dan yakin. Tapi bagaimana mau yakin? Belum apa-apa sudah meminggirkan Allah. Dan tuhannya semakin banyak saja. Selain uang, dia ada berbentuk pikiran, atau kadang ikhtiar.
Ya, ikhtiar suka jadi tuhan juga. Belum lagi kehadiran kenalan, sahabat, keluarga, yang juga kerap menjadi Tuhan.
Oke. Mumpung masih di awal tahun, kembalilah bertuhan Allah. Sebenar-benarnya bertuhan Allah. Apa saja, andalkan Allah, berharap sama Allah. Bahwa kita bermuamalah, berdagang, bekerja, berusaha, berikhtiar, semua hanyalah adab kita, akhlak kita, dan ibadah kita, kepada Allah. Wallahu a'lam.
Oleh: Ustaz Yusuf Mansur
sumber : www.republika.co.id
Padahal, dalam realitasnya kita tak sepenuhnya demikian. Kita sering salah menempatkan posisi Tuhan. Karena itu, semuanya perlu pembuktian.
Sekarang, cobalah hal yang sederhana. Silakan ibu-ibu pergi ke pasar seperti biasa belanja harian tanpa membawa uang. Untuk bapak-bapak, silakan pergi ke rumah makan dan makanlah disana, tanpa membawa uang. Gimana, bisa?
Biasanya suka pada tertawa. "Emangnya ke pasar, muter doang? Lah, nggak bawa uang, mau belanja pakai apa?" Yang bapak-bapak juga menjawab sambil tertawa kecil, sebab dianggapnya pertanyaan ini ada-ada saja. "Ngutang mah bisa kali. Yang namanya makan, ya bayar. Apalagi di rumah makan tertentu, bayarnya duluan."
Ini dia. Ini baru contoh kecil. Tuhannya udah bukan Allah, tapi duit. La ilaha illa fulus (uang). Nggak ada uang, maka kita nggak bisa berbuat apa-apa. Nggak bisa beli ini dan itu.
Sekarang, bertanyalah pada diri sendiri. Semua yang ada di langit dan di bumi ini, milik siapa? Milik Allah, kan? Termasuk pasar dengan segala isinya, juga milik Allah.
Nah, sekarang berangkatlah ke pasar. Minta terlebih dahulu kepada Allah. Masak iya yang berangkat ke pasar bawa uang, lalu ditemani Yang Punya Uang dan Punya Pasar, kemudian pulang ke rumah nggak bawa barang-barang belanja?
Cobalah cara yang kecil ini. Untuk sementara, nggak usah yang besar dulu, seperti pergi haji umrah, nggak pakai uang. Bangun rumah, nggak pakai uang. Memulai usaha, mengembangkan usaha, juga nggak pakai uang. Menyekolahkan dan nguliahin anak, nggak pakai uang. Beli motor atau mobil, nggak pakai uang.
Cobalah yang kecil dulu. Benar-benar pergi ke warung makan. Minta sama Allah dengan meyakinkan, bahwa kalau minta, ya mesti dikasih. Jangan minta sama yang menjaga dan menunggu warung. Minta sama Yang Punya Warung. Insya Allah dikasih. Malah bisa dikasih lebih. Plus bungkus, he he.
Insya Allah, cara-cara-Nya akan ditunjukkan oleh Allah untuk mereka yang percaya dan yakin. Tapi bagaimana mau yakin? Belum apa-apa sudah meminggirkan Allah. Dan tuhannya semakin banyak saja. Selain uang, dia ada berbentuk pikiran, atau kadang ikhtiar.
Ya, ikhtiar suka jadi tuhan juga. Belum lagi kehadiran kenalan, sahabat, keluarga, yang juga kerap menjadi Tuhan.
Oke. Mumpung masih di awal tahun, kembalilah bertuhan Allah. Sebenar-benarnya bertuhan Allah. Apa saja, andalkan Allah, berharap sama Allah. Bahwa kita bermuamalah, berdagang, bekerja, berusaha, berikhtiar, semua hanyalah adab kita, akhlak kita, dan ibadah kita, kepada Allah. Wallahu a'lam.
Oleh: Ustaz Yusuf Mansur
sumber : www.republika.co.id