Sahabatku, tidak ada satu pun kejadian yang menimpa kita tak ada tujuannya (there is no coincident in life). Keterbatasan pengetahuanlah yang menyebabkan manusia buta akan makna dalam setiap peristiwa.
Hanya mereka yang berpikir dan terus meningkatkan ketawakalan karena mengimaninya, akan mendapatkan jawaban atas setiap pertanyaan dan merasakan kebahagiaan di balik kesusahan.
Memang, tak semua dari kita yang menyadarinya. Atau bahkan melakukan perenungan batin atas setiap kejadian yang menimpa. Padahal, perenungan dan berpikir adalah tugas mulia yang hendaknya manusia banyak melakukannya. Kenapa? Karena setelah itu, jiwa ini akan dibimbing-Nya untuk menemukan jawaban. Dan, iman pun semakin dikuatkan.
Pernah suatu ketika, dalam perjalanan pulang dari Bangladesh, awal Desember 2012 lalu, kami mengalami peristiwa yang menyedihkan jika diukur dari keinginan manusiawi. Pesawat yang ditumpangi, ada sedikit kendala teknis pada mesin dan divonis tidak bisa terbang malam itu.
Berpindah ke maskapai penerbangan lain adalah pilihan, padahal tugas menumpuk telah menunggu di Jakarta. Disaat jeda itu lah, suara adzan maghrib dari Bandara memanggil dan shalat pun didirikan. Karena sedang di perjalanan, kami pun menjamaknya.
Bertegur sapa dengan sahabat yang berasal dari Bangladesh dan lama menetap di Amerika Serikat, adalah awal ceritanya. Seolah menduga kesulitan yang tengah dihadapi, sahabat yang duduk disamping kami itu pun bertanya: “Pasti Anda sedang ditimpa kesulitan,” ujarnya yakin.
Saya bertanya balik: “Kok bisa bapak bisa menebak?” Dalam bahasa Inggris. Lantas sahabat Bangladesh yang usianya sekira 60 tahunan berkata: “Iya, saya bisa lihat dari wajah Anda, namun sayangnya manusia baru ingat Allah Sang Pencipta di kala tertimpa kesulitan”.
Yakinlah, bahwa segalanya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa, inti pesan dia. Obrolan pun semakin hangat dan mendalam. Sahabat tersebut mengaku gelisah, kini berbagai aktivitas ibadah banyak yang dimudahkan atasnama rasionalitas dan kesibukan manusia.
Dia pun mengaku khawatir, kelak, akan banyak ibadah yang ditinggalkan oleh umat Islam hanya dengan alasan Islam itu memudahkan. Padahal dari setiap gerak dan ritualitas itu, ada makna mendalam yang boleh jadi belum diketahui.
Melalui sahabat tersebut, Tuhan seolah mengingatkan kami tentang pentingnya ketawakalan dan berprasangka baik kepada-Nya. Bukankah Tuhan sesuai persangkaan hamba-Nya?
Hanya berselang beberapa belas menit setelah adzan Isya berkumandang, panggilan dari pilot pesawat kami tiba dan perjalanan pulang yang awalnya terkendala, seizin Allah, ajaib dapat kembali dilanjutkan. Tidak perlu berpindah maskapai, karena tentu akan sangat merepotkan.
Namun sepanjang jalan, jiwa ini mengiyakan, bahwa obrolan santai dengan sahabat tadi memberikan keteguhan batin, bahwa seburuk apapun yang dialami, jika iman menyertai dan tawakal menjadi pijakan, selalu ada hikmahnya.
Pertemuan tadi seolah hendak menuntun kami untuk kembali mengingat makna kekhusyuan dan pengutamaan ibadah kepada-Nya dibandingkan urusan lain. Agama memang tidak mempersulit, tapi bukan untuk dipermudah. Tidak boleh ada hal apapun yang memalingkan kita dari beribadah kepada-Nya.
Pertemuan itu pun sekaligus mengafirmasi bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik. Manusiawi, bila kita merasa sedih dan takut. Tapi ingatlah, sesungguhnya itu merupakan ujian. Sebentuk pengingatan bahwa ada kuasa yang melebihi kuasa manusia.
Tersenyum menghadapi seluruh peristiwa kehidupan, berprasangka baik kepada-Nya, bertawakal setelah berusaha keras, sertai doa ikhlas adalah jawabannya. Ingatlah, setiap saat, limpahan rahmat-Nya terus mengaliri helaan napas kehidupan. Hanya karena Dia memberi kita sedikit ujian, pantaskah nikmat yang sangat besar itu kita dustakan?
Oleh: Sandiaga S Uno
sumber : www.republika.co.id
Hanya mereka yang berpikir dan terus meningkatkan ketawakalan karena mengimaninya, akan mendapatkan jawaban atas setiap pertanyaan dan merasakan kebahagiaan di balik kesusahan.
Memang, tak semua dari kita yang menyadarinya. Atau bahkan melakukan perenungan batin atas setiap kejadian yang menimpa. Padahal, perenungan dan berpikir adalah tugas mulia yang hendaknya manusia banyak melakukannya. Kenapa? Karena setelah itu, jiwa ini akan dibimbing-Nya untuk menemukan jawaban. Dan, iman pun semakin dikuatkan.
Pernah suatu ketika, dalam perjalanan pulang dari Bangladesh, awal Desember 2012 lalu, kami mengalami peristiwa yang menyedihkan jika diukur dari keinginan manusiawi. Pesawat yang ditumpangi, ada sedikit kendala teknis pada mesin dan divonis tidak bisa terbang malam itu.
Berpindah ke maskapai penerbangan lain adalah pilihan, padahal tugas menumpuk telah menunggu di Jakarta. Disaat jeda itu lah, suara adzan maghrib dari Bandara memanggil dan shalat pun didirikan. Karena sedang di perjalanan, kami pun menjamaknya.
Bertegur sapa dengan sahabat yang berasal dari Bangladesh dan lama menetap di Amerika Serikat, adalah awal ceritanya. Seolah menduga kesulitan yang tengah dihadapi, sahabat yang duduk disamping kami itu pun bertanya: “Pasti Anda sedang ditimpa kesulitan,” ujarnya yakin.
Saya bertanya balik: “Kok bisa bapak bisa menebak?” Dalam bahasa Inggris. Lantas sahabat Bangladesh yang usianya sekira 60 tahunan berkata: “Iya, saya bisa lihat dari wajah Anda, namun sayangnya manusia baru ingat Allah Sang Pencipta di kala tertimpa kesulitan”.
Yakinlah, bahwa segalanya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa, inti pesan dia. Obrolan pun semakin hangat dan mendalam. Sahabat tersebut mengaku gelisah, kini berbagai aktivitas ibadah banyak yang dimudahkan atasnama rasionalitas dan kesibukan manusia.
Dia pun mengaku khawatir, kelak, akan banyak ibadah yang ditinggalkan oleh umat Islam hanya dengan alasan Islam itu memudahkan. Padahal dari setiap gerak dan ritualitas itu, ada makna mendalam yang boleh jadi belum diketahui.
Melalui sahabat tersebut, Tuhan seolah mengingatkan kami tentang pentingnya ketawakalan dan berprasangka baik kepada-Nya. Bukankah Tuhan sesuai persangkaan hamba-Nya?
Hanya berselang beberapa belas menit setelah adzan Isya berkumandang, panggilan dari pilot pesawat kami tiba dan perjalanan pulang yang awalnya terkendala, seizin Allah, ajaib dapat kembali dilanjutkan. Tidak perlu berpindah maskapai, karena tentu akan sangat merepotkan.
Namun sepanjang jalan, jiwa ini mengiyakan, bahwa obrolan santai dengan sahabat tadi memberikan keteguhan batin, bahwa seburuk apapun yang dialami, jika iman menyertai dan tawakal menjadi pijakan, selalu ada hikmahnya.
Pertemuan tadi seolah hendak menuntun kami untuk kembali mengingat makna kekhusyuan dan pengutamaan ibadah kepada-Nya dibandingkan urusan lain. Agama memang tidak mempersulit, tapi bukan untuk dipermudah. Tidak boleh ada hal apapun yang memalingkan kita dari beribadah kepada-Nya.
Pertemuan itu pun sekaligus mengafirmasi bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik. Manusiawi, bila kita merasa sedih dan takut. Tapi ingatlah, sesungguhnya itu merupakan ujian. Sebentuk pengingatan bahwa ada kuasa yang melebihi kuasa manusia.
Tersenyum menghadapi seluruh peristiwa kehidupan, berprasangka baik kepada-Nya, bertawakal setelah berusaha keras, sertai doa ikhlas adalah jawabannya. Ingatlah, setiap saat, limpahan rahmat-Nya terus mengaliri helaan napas kehidupan. Hanya karena Dia memberi kita sedikit ujian, pantaskah nikmat yang sangat besar itu kita dustakan?
Oleh: Sandiaga S Uno
sumber : www.republika.co.id