Dari al-Qasim bin Muhammad, ia berkata, “Kami pernah bepergian bersama Abdullah Ibnu Mubarak. Selama dalam perjalanan, sering kali terbetik dalam hatiku, lalu aku berkata dalam hati, ‘Kelebihan apakah yang dimiliki orang ini dari kami sehingga ia terkenal di tengah masyarakat seluas ini? Kalau ia shalat, kami juga shalat.
Kalau ia berpuasa, kami juga berpuasa. Kalau ia berperang, kami juga berperang. Dan kalau ia menunaikan haji, kami juga menunaikan haji?’”
“Maka pada suatu malam, ketika kami berjalan-jalan di Kota Syam, tiba-tiba lampu padam. Seseorang dari kami berdiri, lalu mengambil lampu, atau keluar untuk mencari penerangan. Tak lama kemudian, ia pun datang membawa lampu.
Saat itu, saya melihat wajah Ibnu Mubarak dan janggutnya basah dengan air mata.” Saya pun berkata dalam hati, ‘Karena rasa takut inilah agaknya, orang ini dilebihkan atas kami. Barangkali ketika tak ada lampu, lalu gelap, ia ingat akan Hari Kiamat.’”
Pada era saat ini, padamnya lampu atau matinya listrik adalah hal biasa. Namun, bagi orang-orang alim yang terasah nuraninya dengan sejumlah ibadah mahdhah, fenomena alam yang kecil saja menjadi sesuatu yang menggetarkan jiwanya, yang menggiringnya menguak kebesaran Allah sehingga menjadikan dirinya merasa kerdil di hadapan-Nya.
Dari hatinya yang lembut, gelap gulitanya dunia ini bisa melambungkan spiritualitasnya sehingga semua itu ditangkapnya sebagai miniatur dari pengapnya alam kubur atau bahkan Hari Kiamat. Betapa semua fenomena alam ini membentangkan pelajaran dan pesan-pesan Ilahi yang sarat makna, seraya memuji-Nya (Ali Imran: 191) dan takut kepada-Nya (QS al-Fathir: 28).
Bila ketakutan (kepada Allah) ini sudah bertengger dalam hati manusa, ia akan membakar dan mengharu biru sarang-sarang syahwat yang bercokol dalam dirinya, mengusir dunia darinya, dan meremukkan hatinya sehingga selalu terpaut dengan akhirat. (QS an-Nazi'at: 40-41).
Selama manusia mempunyai rasa khauf pada Allah, ia tetap berada dalam jalan yang benar dan aman dari terseret arus kemaksiatan. Namun jika rasa takut pada-Nya sudah lenyap, ia akan tersesat jalan dan akan mudah terseok-seok dalam bujuk rayu setan. Meruyaknya perilaku korup, merebaknya perbuatan zina, masa bodohnya manusia dari usaha atau makanan yang halal atau haram, mudahnya meremehkan amanah, semua itu merupakan cermin mulai memudarnya ketakutan kepada Allah.
Berbeda dengan takut terhadap makhluk (manusia) yang ditandai dengan menjauh darinya, takut kepada Allah justru mendekat dan tak ingin jauh dari-Nya. Dan, itu antara lain bisa dilatih dengan memahami asma-Nya, selalu beribadah pada-Nya, tidak alfa dari amalan fardhu dan rajin menjalankan amalan sunah, menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, serta hanya mengonsumsi barang-barang yang halal dan menghindari yang haram.
Kalau Ibnu Mubarak bisa takut kepada Allah melalui peristiwa yang sederhana—seperti tersimpul dalam narasi di atas—haruskah kita baru takut pada-Nya jika terbebas dari kecelakaan maut atau bila dokter sudah memvonis kematian buat kita?
Oleh: Makmun Nawawi
sumber : www.republika.co.id
Kalau ia berpuasa, kami juga berpuasa. Kalau ia berperang, kami juga berperang. Dan kalau ia menunaikan haji, kami juga menunaikan haji?’”
“Maka pada suatu malam, ketika kami berjalan-jalan di Kota Syam, tiba-tiba lampu padam. Seseorang dari kami berdiri, lalu mengambil lampu, atau keluar untuk mencari penerangan. Tak lama kemudian, ia pun datang membawa lampu.
Saat itu, saya melihat wajah Ibnu Mubarak dan janggutnya basah dengan air mata.” Saya pun berkata dalam hati, ‘Karena rasa takut inilah agaknya, orang ini dilebihkan atas kami. Barangkali ketika tak ada lampu, lalu gelap, ia ingat akan Hari Kiamat.’”
Pada era saat ini, padamnya lampu atau matinya listrik adalah hal biasa. Namun, bagi orang-orang alim yang terasah nuraninya dengan sejumlah ibadah mahdhah, fenomena alam yang kecil saja menjadi sesuatu yang menggetarkan jiwanya, yang menggiringnya menguak kebesaran Allah sehingga menjadikan dirinya merasa kerdil di hadapan-Nya.
Dari hatinya yang lembut, gelap gulitanya dunia ini bisa melambungkan spiritualitasnya sehingga semua itu ditangkapnya sebagai miniatur dari pengapnya alam kubur atau bahkan Hari Kiamat. Betapa semua fenomena alam ini membentangkan pelajaran dan pesan-pesan Ilahi yang sarat makna, seraya memuji-Nya (Ali Imran: 191) dan takut kepada-Nya (QS al-Fathir: 28).
Bila ketakutan (kepada Allah) ini sudah bertengger dalam hati manusa, ia akan membakar dan mengharu biru sarang-sarang syahwat yang bercokol dalam dirinya, mengusir dunia darinya, dan meremukkan hatinya sehingga selalu terpaut dengan akhirat. (QS an-Nazi'at: 40-41).
Selama manusia mempunyai rasa khauf pada Allah, ia tetap berada dalam jalan yang benar dan aman dari terseret arus kemaksiatan. Namun jika rasa takut pada-Nya sudah lenyap, ia akan tersesat jalan dan akan mudah terseok-seok dalam bujuk rayu setan. Meruyaknya perilaku korup, merebaknya perbuatan zina, masa bodohnya manusia dari usaha atau makanan yang halal atau haram, mudahnya meremehkan amanah, semua itu merupakan cermin mulai memudarnya ketakutan kepada Allah.
Berbeda dengan takut terhadap makhluk (manusia) yang ditandai dengan menjauh darinya, takut kepada Allah justru mendekat dan tak ingin jauh dari-Nya. Dan, itu antara lain bisa dilatih dengan memahami asma-Nya, selalu beribadah pada-Nya, tidak alfa dari amalan fardhu dan rajin menjalankan amalan sunah, menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, serta hanya mengonsumsi barang-barang yang halal dan menghindari yang haram.
Kalau Ibnu Mubarak bisa takut kepada Allah melalui peristiwa yang sederhana—seperti tersimpul dalam narasi di atas—haruskah kita baru takut pada-Nya jika terbebas dari kecelakaan maut atau bila dokter sudah memvonis kematian buat kita?
Oleh: Makmun Nawawi
sumber : www.republika.co.id