“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS : At Taubah (9):36).
Dzulhijjah telah pergi, Muharram pun tiba. Muharram, sebagai bulan yang ditetapkan sebagai awal pergantian tahun hijriyah dilakukan pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah. Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29-30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah pada surah at-Taubah ayat 36 di atas.
Sebelumnya, orang Arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah pada tahun gajah. Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu.
Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhah bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam.
Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makka ke Yatstrib (Madinah).
Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku pada masa itu di wilayah Arab.
Sejarah hijrah memang tak terlepas dari berpindahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah, sesuai dengan perintah Allah untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Namun, hijrah era kekinian dipahami sebagai bentuk transformasi global di seluruh lapisan masyarakat.
Jika kita mengamati pemberitaan akhir-akhir ini, maka keadaan yang memiriskan ialah kasus adegan seks yang menimpa generasi muda. Mereka, yang diharapkan menjadi ‘
dzurriyah’ yang memiliki iman, takwa, serta kecerdasan yang membanggakan justru sebaliknya. Rasa malu tak terhingga dirasa oleh guru, kepala sekolah, kawan-kawan, terlebih orang tua.
Menanggapi kasus ini, ada sebagian kalangan yang menyalahkan teknologi, ada pula yang menuding orangtua, karena kurangnya pengawasan. Lebih dari itu, masa remaja adalah masa pencarian jati diri. Tentu semua pihak berpengaruh dalam masa-masa ini. Dampak negatif dan positif dari teknologi pasti berpengaruh jika kurangnya kontrol dari segenap pihak.
Oleh sebab itu, adanya perhatian khusus dari orangtua, pembekalan dari para guru, serta kesadaran spiritual dan sosial siswa menentukan sikap anak-anak remaja kita saat ini.
Sejatinya, pemaknaan hijrah sangatlah dekat, tak perlu mengukur jarak antara Makkah-Madinah. Cukuplah kesadaran pribadi sebagai ukuran, bahwa hijrah sejati ialah perpindahan dinamis—meminimalisasi akhlak madzmumah menuju akhlak mahmudah.
Wallahu a'lam bish shawwaab..
, Oleh Ina Salma Febriany
sumber : www.republika.co.id
Dzulhijjah telah pergi, Muharram pun tiba. Muharram, sebagai bulan yang ditetapkan sebagai awal pergantian tahun hijriyah dilakukan pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah. Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29-30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah pada surah at-Taubah ayat 36 di atas.
Sebelumnya, orang Arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah pada tahun gajah. Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu.
Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhah bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam.
Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makka ke Yatstrib (Madinah).
Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku pada masa itu di wilayah Arab.
Sejarah hijrah memang tak terlepas dari berpindahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah, sesuai dengan perintah Allah untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Namun, hijrah era kekinian dipahami sebagai bentuk transformasi global di seluruh lapisan masyarakat.
Jika kita mengamati pemberitaan akhir-akhir ini, maka keadaan yang memiriskan ialah kasus adegan seks yang menimpa generasi muda. Mereka, yang diharapkan menjadi ‘
dzurriyah’ yang memiliki iman, takwa, serta kecerdasan yang membanggakan justru sebaliknya. Rasa malu tak terhingga dirasa oleh guru, kepala sekolah, kawan-kawan, terlebih orang tua.
Menanggapi kasus ini, ada sebagian kalangan yang menyalahkan teknologi, ada pula yang menuding orangtua, karena kurangnya pengawasan. Lebih dari itu, masa remaja adalah masa pencarian jati diri. Tentu semua pihak berpengaruh dalam masa-masa ini. Dampak negatif dan positif dari teknologi pasti berpengaruh jika kurangnya kontrol dari segenap pihak.
Oleh sebab itu, adanya perhatian khusus dari orangtua, pembekalan dari para guru, serta kesadaran spiritual dan sosial siswa menentukan sikap anak-anak remaja kita saat ini.
Sejatinya, pemaknaan hijrah sangatlah dekat, tak perlu mengukur jarak antara Makkah-Madinah. Cukuplah kesadaran pribadi sebagai ukuran, bahwa hijrah sejati ialah perpindahan dinamis—meminimalisasi akhlak madzmumah menuju akhlak mahmudah.
Wallahu a'lam bish shawwaab..
, Oleh Ina Salma Febriany