Salah satu seni tradisional asal Bandung yang terbilang langka dan hampir terlupakan adalah seni gulat Benjang. Seni tradisional ini banyak hidup dan berkembang di kawasan Bandung Timur, tepatnya di daerah Ujungberung dan Cibiru.
Seni Beladiri Benjang diperkirakan sudah ada di Tanah Sunda sejak awal abad ke 20. Benjang adalah sebuah seni beladiri yang mirip gulat gaya Romawi. Bedanya, Benjang lebih menitikberatkan kepada atraksi, disamping ada unsur olahraga.
Tidak hanya seni bela diri yang ada dalam seni benjang. Terdapat pula topeng benjang dan helaran benjang (Reak). Namun untuk topeng benjang, kondisinya sangat memprihatinkan. Hingga saat ini belum ada generasi penerus yang pas dan bisa menarikan topeng benjang, yang terdiri atas empat mimik topeng.
Justru sebaliknya dengan seni helaran benjang (Reak) dan gulat benjang, justru perkembangannya cukup signifikan. Kedua kesenian ini masih bisa bertahan hingga sekarang. Bahkan banyak generasi penerusnya dari kalangan anak-anak.
Tidak sembarang orang dapat tampil bertarung di arena benjang. Harus ada surat pernyataan tidak melakukan tuntutan bila mengalami cedera serius. Tidak hanya itu, atlit bendjang pun kerap dibekali ilmu magis, untuk menambah kekuatan.
Keunikan benjang adalah musik tradisional Sunda yang menjadi pengiringnya. Seperti halnya pencak silat, penampilan bendjang memang diiringi musik tradisional Sunda, seperti menggunakan kendang pencak dan rebana maupun terompet. Beladiri ini memang berbeda dengan kebanyakan seni beladiri lainnya. Benjang memiliki tingkat risiko cedera lebih tinggi, bahkan jika dibanding olahraga gulat.
Bila gulat lebih menitik beratkan pada kelenturan dan keterampilan mengunci lawan, benjang sebaliknya. Berhasil melumpuhkan lawan dengan cara yang mematikan, dialah pemenangnya. Karena itu, tidak sembarang orang dapat tampil bertarung di arena benjang.
Alasannya, selain harus bersedia membuat surat pernyataan untuk tidak melakukan tuntutan apabila mengalami cedera fatal, para pebenjang yang akan tampil tidak cukup hanya mengandalkan keberanian saja, tapi juga keterampilan.
“Seni tradisional Ujungberung yang dikenal dengan nama benjang tercipta sekitar tahun 1906-1923. Olahraga ini diciptakan oleh H. Hayat atau lebih dikenal dengan nama Anom Haji, putera ketiga dari hartawan bangsa pribumi yang terkenal pada masa itu," ujar Hasan Yusuf, salah satu cucu pencipta Benjang, seperti dikutip viva.co.id.
Adapun alasan benjang disebut sebagai olahraga asli Ujungberung karena penemunya, tinggal di kampung Warunggede, Desa Cibiru, Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung.
Hasan menuturkan, ada dua versi asal-usul nama benjang, yaitu satuan kata ben yang artinya permainan serta kata jang, yang merupakan singkatan dari bujang (pemuda).
"Jadi kata benjang adalah permainan para pemuda," terang Hasan.
Versi lain nama benjang berasal dari kata dari genjang, bahan cerita dari Mang Unung Aspali, tokoh silat dari Ujungberung.
“Pihak yang menang adalah yang dapat membanting lawannya ke tanah, dari silih banting menjadi silih menindih. Yang menang adalah yang dapat menindih lawan yang terlentang menghitung bentang (bintang),”katanya.
Kurnia Somantri, salah satu atlet benjang yang juga kakak Hasan Yusuf membeberkan, gerakan jurus pada seni benjang adalah perpaduan dari jurus ketangkasan di masa lalu, terutama jenis beladiri kontak badan selain silat, seperti, sumo, sampai pada westerlen, judo, gulat, jujitsu, kempo dan karate.
Ada yang menarik dari benjang, yakni keharmonisan dan lenturnya gerakan dalam pertandingan, yang dibatasi peraturan, diantaranya tidak boleh mencekik leher lawan, memukul, menyikut, mencubit, menggigit dan menendang lawan, juga memegang kaki baik satu atau keduanya.
Kurnia melanjutkan, pertunjukan benjang biasa digelar di atas lapangan berdiameter minimal 5-9 meter, sebagai arena pertandingan yang berbentuk lingkaran. Diselenggarakan pada malam hari, penerangannya berupa obor bambu atau petromaks, digantung pada tiang bambu.
Kiki Kurnia
Sumber: galamedianews.com