Satu bukti bahwa Islam adalah agama universal dan komprehensif adalah ditetapkannya perintah musyawarah. Bahkan, Allah SWT menyejajarkan musyawarah dengan ibadah shalat.
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS Asy-Syura [42]: 38).
Secara eksplisit, orang beriman itu memiliki tiga tradisi penting, yakni shalat, musyawarah, dan gemar berinfak (membelanjakan hartanya di jalan Allah).
Ini menandakan musyawarah menduduki posisi penting dalam urusan sosial kemasyarakatan, sama seperti pentingnya shalat bagi hubungan pribadi kepada Allah Ta’ala.
Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan orang yang beriman itu tidak menunaikan satu urusan kecuali telah dimusyawarahkan, sehingga tidak ada salah paham. Tetapi, yang terjadi adalah saling mendukung, menguatkan, dan mengisi.
Oleh karena itu, di dalam ayat yang lain Allah SWT secara gamblang memerintahkan orang-orang beriman untuk bermusyawarah dalam menetapkan suatu urusan. “Dan, bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Ali Imran (3): 159).
Rasulullah SAW sendiri, sebagai Nabi yang dijamin bebas dari dosa (maksum) telah memberikan keteladanan yang sangat baik dengan menjadikan musyawarah sebagai tahap akhir dalam pengambilan keputusan urusan keumatan.
Seperti pada peristiwa perang Khandaq. Rasulullah SAW mengajak sahabat-sa habatnya untuk bermusyawarah tentang strategi apa yang akan diterapkan menghadapi kelompok kafir yang memiliki jumlah pasukan sangat besar.
Atas saran Salman Al-Farisi, diputuskanlah untuk membuat parit. Padahal, Nabi SAW sebagai pribadi juga telah mengajukan pendapatnya.
Tetapi, karena beliau melihat saran Salman Al-Farisi memang benar-benar brilian, beliau tidak ragu, apalagi gengsi untuk menerimanya sebagai keputusan dalam musyawarah tersebut.
Subhanallah, musyawarah tersebut justru mengundang pertolongan Allah, sehingga kaum Muslimin yang dikepung pasukan sekutu (ahzab) itu Allah selamatkan dari kejahatan orang kafir. Dan, inilah salah satu hikmah dari dilaksanakannya perintah musyawarah.
Tuntunan musyawarah ini benar-benar menjadi perhatian utama orang-orang saleh terdahulu. Fudhail bin Iyadh, misalnya, ia berkata, “Musyawarah mendatangkan keberkahan, hingga saya pun mau mengajak musyawarah dengan hamba sahaya Etiopia yang nonpribumi ini.”
Jadi, adalah benar jika kemudian muncul perkataan hikmah, “Tidak akan merugi orang yang mau istikharah dan tidak akan menyesal orang yang mau bermusywarah.”
Dan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berpendapat, “Musyawarah adalah pintu rahmat dan kunci keberkahan. Dengan keduanya, ide-ide tidak akan tersesat dan impian-impian tidak akan musnah.”
Dengan demikian, mari biasakan diri bermusyawarah, utamanya terhadap hal-hal yang menyangkut terjaminnya hajat hidup umat, rakyat, bangsa, agama, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh: Imam Nawawi
sumber : www.republika.co.id
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS Asy-Syura [42]: 38).
Secara eksplisit, orang beriman itu memiliki tiga tradisi penting, yakni shalat, musyawarah, dan gemar berinfak (membelanjakan hartanya di jalan Allah).
Ini menandakan musyawarah menduduki posisi penting dalam urusan sosial kemasyarakatan, sama seperti pentingnya shalat bagi hubungan pribadi kepada Allah Ta’ala.
Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan orang yang beriman itu tidak menunaikan satu urusan kecuali telah dimusyawarahkan, sehingga tidak ada salah paham. Tetapi, yang terjadi adalah saling mendukung, menguatkan, dan mengisi.
Oleh karena itu, di dalam ayat yang lain Allah SWT secara gamblang memerintahkan orang-orang beriman untuk bermusyawarah dalam menetapkan suatu urusan. “Dan, bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Ali Imran (3): 159).
Rasulullah SAW sendiri, sebagai Nabi yang dijamin bebas dari dosa (maksum) telah memberikan keteladanan yang sangat baik dengan menjadikan musyawarah sebagai tahap akhir dalam pengambilan keputusan urusan keumatan.
Seperti pada peristiwa perang Khandaq. Rasulullah SAW mengajak sahabat-sa habatnya untuk bermusyawarah tentang strategi apa yang akan diterapkan menghadapi kelompok kafir yang memiliki jumlah pasukan sangat besar.
Atas saran Salman Al-Farisi, diputuskanlah untuk membuat parit. Padahal, Nabi SAW sebagai pribadi juga telah mengajukan pendapatnya.
Tetapi, karena beliau melihat saran Salman Al-Farisi memang benar-benar brilian, beliau tidak ragu, apalagi gengsi untuk menerimanya sebagai keputusan dalam musyawarah tersebut.
Subhanallah, musyawarah tersebut justru mengundang pertolongan Allah, sehingga kaum Muslimin yang dikepung pasukan sekutu (ahzab) itu Allah selamatkan dari kejahatan orang kafir. Dan, inilah salah satu hikmah dari dilaksanakannya perintah musyawarah.
Tuntunan musyawarah ini benar-benar menjadi perhatian utama orang-orang saleh terdahulu. Fudhail bin Iyadh, misalnya, ia berkata, “Musyawarah mendatangkan keberkahan, hingga saya pun mau mengajak musyawarah dengan hamba sahaya Etiopia yang nonpribumi ini.”
Jadi, adalah benar jika kemudian muncul perkataan hikmah, “Tidak akan merugi orang yang mau istikharah dan tidak akan menyesal orang yang mau bermusywarah.”
Dan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berpendapat, “Musyawarah adalah pintu rahmat dan kunci keberkahan. Dengan keduanya, ide-ide tidak akan tersesat dan impian-impian tidak akan musnah.”
Dengan demikian, mari biasakan diri bermusyawarah, utamanya terhadap hal-hal yang menyangkut terjaminnya hajat hidup umat, rakyat, bangsa, agama, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh: Imam Nawawi
sumber : www.republika.co.id