-

Monday, September 02, 2013

Telapak Tangan di Tanah

 Rasulullah SAW bersabda “yaquulullah tabaaraka wa taala man tawaadha’a lii haakadzaa rafa’tuhu haakadzaa”—Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, 'Barangsiapa rendah hati karena-Ku seperti ini, Aku akan  mengangkat derajatnya seperti ini—(HR Muslim).

Beliau menyampaikan hadits tersebut sambil memberi isyarat dengan tangan kanannya yakni telapak tangan di bawah dan menempel di tanah dengan punggung tangannya ke atas. Sementara ketika menyatakan “aku akan mengangkat derajatnya seperti ini”, beliau SAW meletakkan telapak tangannya menghadap ke atas dan mengangkat ke langit.

Rendah hati adalah kata kunci. Allah akan tinggikan derajat hamba baik dalam pergaulan sesama maupun dihadapan Allah SWT bagi mereka yang memiliki kerendahan hati. Sebaliknya orang yang menyombongkan diri, maka allah akan rendahkan derajat mereka. Sejarah kehidupan orang sombong selalu berakhir dengan kehinaan. Rosululullah SAW sendiri adalah figur yang sangat rendah hati.

Rosulullah SAW adalah seorang pemimpin yang rendah hati dan sangat lembut, selalu memperhatikan setiap orang yang bertanya, tidak berpaling hingga si penanya yang berpaling. Menyambut setiap orang yang mengulurkan, tidak akan melepaskan jabatan tangannya hingga orang itulah yang melepaskannya.

Tatkala ada delegasi Najasi datang, beliau sendiri yang melayani mereka. Ketika sahabat menegur “sudah cukup ada yang lain” jawab beliau “aku ingin membalas sendiri kebaikan mereka”. Ketika dalam perjalanan Rosulullah perintahkan menyembelih kambing, masing masing menyatakan “ aku yang menyembelih” yang lain mengatakan “aku yang menguliti”, yang lain lagi “aku yang memasak”, Rosulullah SAW menyatakan “aku yang mencari kayu bakarnya !” Mereka berkata “cukup kami saja yang mengerjakannya”. Beliau berkata “Aku tahu kalian sudah cukup untuk mengerjakan, tetapi aku tidak suka melihat hambanya diistimewakan dari teman-temannya !”.

Allah memerintahkan kita shalat dengan bersujud hingga kening menyentuh permukaan lantai atau tanah, posisiyang sangat rendah, dengan maksud Allah angkat derajat hamba yang merendah itu. Ketinggian malaikat juga dinilai dari mentaati perintah Allah untuk sujud kepada Adam. Sementara keengganan untuk sujud merendah  Iblis,  menyebabkan ia harus turun derajat terlempar jauh ke lembah kehinaan. Kesombongan adalah jalan kenistaan.    

Ibnu Abbas  Ra dalam HR Attirmidzi dan At Thabranimenceritakan kepada kita ketika Rosulullah SAW ditanya apa yang dimaksud dengan derajat (wa maa ad darojaat ?) Beliau menegaskan pertama menyebarkan salam (ifsyaa-us salaam), kedua sedekah memberi makan (ith’aamuth thoaam), ketiga shalat malam (As sholaatu bil laili wan naasu niyaam), dan keempat melembutkan perkataan (layyinul kalaam). Seluruhnya itu menggambarkan kerendahan hati seorang hamba.

Kini seandainya para pemimpin kita baik mereka yang menjabat di jajaran birokrasi ataupun menjadi anggota parlemen atau para pempimpin informal memiliki karakter yang rendah hati, insya Allah, Allah SWT akan mengangkat derajat mereka ke tempat yang tinggi.

Tetap berkhidmah pada rakyat dan umat dengan meminimalkan keistimewaan diri dari yang lainnya. Tidak seperti fenomena yang nampak dimana jabatan yang semakin tinggi justru membuat diri semakintinggi hati, ke bawahan main perintah, selalu ingin dikawal dan dihormati, bersalaman tegak yang lain membungkuk lalu cepat melepaskannya, dan suka dengan layanan upeti atau gratifikasi.

Istimewa. Sementara mereka yang menjadi anggota parlemen baik di pusat maupun daerah menunjukkan perilaku dan gaya hidup yang jauh berbeda dengan sebelum terpilih menjadi anggota. Orang sering menyebut OKB orang kaya baru atau orang kuasa baru. Dandanan baru, mobil baru, rumah baru, gaya hidup baru.

Elitis bak selebritis. Kerendahan hati telah tergadai mungkin oleh biaya politik yang tinggi. Persoalannya adalah kewibawaan menjadi hilang, penghargaan publik sirna, celotehan mencibir menjadi pembicaraan harian. Para pemimpin yang telah kehilangan kerendahan hati.

 Sebenarnya jabatan tinggi tidak mutatis mutandis dengan derajat yang semakin tinggi. Pragmatisme mengganti harga diri. Tak jarang dengan rasa prihatin yang sangat mendalam dan mengelus dada kita menyaksikan drama jabatan  yang berakhir di jaket pesakitan yang memalukan.   

Saatnya untuk mengembalikan makna ketinggian derajat sesuai dengan  hakekatnya. Semua tugas dan amanah diakses untuk sebesar-besar kepentingan orang banyak. Bukan sebaliknya, orang banyak yang ditunggangi untuk membuat kita jadi penting. Allah lah yang memuliakan dan menghinakan. Kekuasaan adalah milik-Nya.

Katakanlah (Wahai Muhammad) ’Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapapun yang Engkau kehendaki. Ditangan Engkau-lah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS Ali Imron 26).
, Oleh HM. Rizal Fadillah
sumber : www.republika.co.id

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment