Salah satu nilai spiritual yang utama dari ritualitas ibadah haji adalah merasakan kehadiran Allah. Dalam menjalankan setiap rangkaian manasik haji, mulai dari memakai pakaian ihram hingga tahallul, para tamu Allah (dhuyûf al-Rahmân) itu senantiasa dididik untuk mengingat dan merasakan kehadiran-Nya.
Semakin mendekatkan diri kepada-Nya, getaran sinyal kehadirannya itu makin kuat dan memandu hati untuk selalu berada di jalan-Nya yang benar dan lurus (as-shirath al-mustaqim).
Merasakan kehadiran Allah berarti kita selalu berusaha bersama-Nya di manapun dan kapanpun. Dia selalu hadir dan berperan dalam kehidupan kita.
Kita selalu diawasi, dijaga, dimonitor, dan direkam oleh-Nya. Merasakan kehadiran-Nya juga bermakna bahwa kita harus mengikuti syari'at-Nya jika ingin memperoleh keselamatan, kedamaian, dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Allah SWT memang Mahahadir dalam kehidupan ini, sehingga kita harus selalu menyadari bahwa gerak-gerik hati, lisan, tangan, sikap, dan perbuatan kita selalu dalam pengawasan Allah SWT.
Ketika merespon panggilan Allah SWT untuk menjadi tamu-Nya dengan menyatakan: labbaika Allahumma labbaik… [Ya Allah, aku datang hanya untuk memenuhi panggilan-Mu...], pada dasarnya jamaah haji sedang diuji keimanannya apakah ia telah siap menjadi tamu Allah yang selalu merasakan kehadiran-Nya atau justru status sosial yang hadir mewarnai prosesi manasiknya, sehingga sinyal kehadiran-Nya redup dan tidak mendapat tempat dalam relung hatinya.
Di antara saat dan tempat yang sangat kuat getaran kehadiran Allah adalah wukuf di Arafah. Sabda Nabi: [Esensi] Haji itu adalah arafah (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, setiap Muslim yang menunaikan haji harus hadir di tempat yang merupakan miniatur padang makhsyar ini, tempat manusia kelak dihisab oleh Allah.
Merasakan kehadiran-Nya di tempat suci ini sungguh memberi nilai edukasi yang sangat signifikan bagi pembentukan jiwa yang bersih dan sehat, mental spiritual yang tangguh, dan moral sosial yang anti segala bentuk penyelewengan, korupsi, keserakahan, dan sebagainya.
Merasakan kehadiran-Nya menuntut pengenalan jati diri (‘arafa nafasahu), dimulai dengan pengakuan terhadap segala dosa (i’tiraf), taubat, istighfar, kemudian zikir, dan doa, sehingga dengan begitu hati menjadi bening, suci dan dapat menerima “sinyal-sinyal” kehadiran-Nya.
Sinyal-sinyal nurani ini pada gilirannya dapat mengantarkan hamba untuk mengenal lebih dekat dengan-Nya (‘arafa rabbahu).
Kunci untuk dapat merasakan kehadiran-Nya adalah ihsân, yaitu: “Engkau selalu beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya; tetapi jika engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Allah pasti hadir melihatmu” (HR Muttafaq ‘alaih).
Merasakan kehadiran-Nya tidak hanya penting dimiliki oleh setiap jamaah haji, tetapi juga oleh setiap Muslim, baik yang sudah maupun yang belum menunaikan ibadah haji.
Dengan merasakan kehadiran-Nya, Muslim diharapkan memiliki kecerdasan spiritual dan moral, sehingga kapanpun dan di manapun Muslim semakin menjaga diri dan keluarga dari perbuatan dosa, perilaku tercela dan tidak bermoral, karena Allah hadir mengawasi dan merekam jejak perilakunya non-stop.
Kita semua merindukan para pemimpin yang dapat menjadi teladan dalam merasakan kehadiran-Nya dalam mengurus negara, bangsa, dan melayani masyarakat.
Jika negara ini diurus dengan kecerdasan spiritual dan moral, dan kesadaran akan pentingnya menghadirkan-Nya, niscaya para pejabat selalu merasa takut berbuat salah, enggan korupsi, anti penyelewengan, dan takut berperilaku yang tidak bermoral.
Jika para jamaah haji telah diundang oleh Allah SWT ke rumah suci-Nya, maka sudah semestinya sepulang dari haji mereka selalu mengundang Allah untuk hadir dalam rumah mereka.
Kehadiran Allah dalam setiap rumah Muslim, terutama yang sudah berhaji, tentu saja, akan memberi dampak mental spiritual dan moral sosial yang kuat untuk senantiasa ber-muhâsabah (introspeksi dan evaluasi diri), musâbaqah fi al-khairât (berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan), dan mudâwamah dzikrillah wa al-maut (selalu mengingat Allah dan mengingat kematian).
Agar selalu merasakan kehadiran-Nya, setiap Muslim perlu menghayati makna innâ lillahi wa innâ ilaihi râji’ûn (Sungguh kita semua milik Allah, dan akan kembali kepada-Nya).
Ketika diangkat menjadi khalifah, kalimat pertama yang diucapkan ‘Umar bin al-Khattab adalah innâ lillahi wa innâ ilaihi râji’ûn, bukan Alhamdulillah, sebagai manifestasi dari kesadaran dan tanggung jawab moral bahwa Allah Mahahadir dan selalu mengawasi kinerja kepemimpinannya.
Sungguh sangat merugi Muslim yang tidak dapat merasakan kehadiran-Nya dalam hidupnya hingga ia dipanggil menghadap-Nya.
Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id
Semakin mendekatkan diri kepada-Nya, getaran sinyal kehadirannya itu makin kuat dan memandu hati untuk selalu berada di jalan-Nya yang benar dan lurus (as-shirath al-mustaqim).
Merasakan kehadiran Allah berarti kita selalu berusaha bersama-Nya di manapun dan kapanpun. Dia selalu hadir dan berperan dalam kehidupan kita.
Kita selalu diawasi, dijaga, dimonitor, dan direkam oleh-Nya. Merasakan kehadiran-Nya juga bermakna bahwa kita harus mengikuti syari'at-Nya jika ingin memperoleh keselamatan, kedamaian, dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Allah SWT memang Mahahadir dalam kehidupan ini, sehingga kita harus selalu menyadari bahwa gerak-gerik hati, lisan, tangan, sikap, dan perbuatan kita selalu dalam pengawasan Allah SWT.
Ketika merespon panggilan Allah SWT untuk menjadi tamu-Nya dengan menyatakan: labbaika Allahumma labbaik… [Ya Allah, aku datang hanya untuk memenuhi panggilan-Mu...], pada dasarnya jamaah haji sedang diuji keimanannya apakah ia telah siap menjadi tamu Allah yang selalu merasakan kehadiran-Nya atau justru status sosial yang hadir mewarnai prosesi manasiknya, sehingga sinyal kehadiran-Nya redup dan tidak mendapat tempat dalam relung hatinya.
Di antara saat dan tempat yang sangat kuat getaran kehadiran Allah adalah wukuf di Arafah. Sabda Nabi: [Esensi] Haji itu adalah arafah (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, setiap Muslim yang menunaikan haji harus hadir di tempat yang merupakan miniatur padang makhsyar ini, tempat manusia kelak dihisab oleh Allah.
Merasakan kehadiran-Nya di tempat suci ini sungguh memberi nilai edukasi yang sangat signifikan bagi pembentukan jiwa yang bersih dan sehat, mental spiritual yang tangguh, dan moral sosial yang anti segala bentuk penyelewengan, korupsi, keserakahan, dan sebagainya.
Merasakan kehadiran-Nya menuntut pengenalan jati diri (‘arafa nafasahu), dimulai dengan pengakuan terhadap segala dosa (i’tiraf), taubat, istighfar, kemudian zikir, dan doa, sehingga dengan begitu hati menjadi bening, suci dan dapat menerima “sinyal-sinyal” kehadiran-Nya.
Sinyal-sinyal nurani ini pada gilirannya dapat mengantarkan hamba untuk mengenal lebih dekat dengan-Nya (‘arafa rabbahu).
Kunci untuk dapat merasakan kehadiran-Nya adalah ihsân, yaitu: “Engkau selalu beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya; tetapi jika engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Allah pasti hadir melihatmu” (HR Muttafaq ‘alaih).
Merasakan kehadiran-Nya tidak hanya penting dimiliki oleh setiap jamaah haji, tetapi juga oleh setiap Muslim, baik yang sudah maupun yang belum menunaikan ibadah haji.
Dengan merasakan kehadiran-Nya, Muslim diharapkan memiliki kecerdasan spiritual dan moral, sehingga kapanpun dan di manapun Muslim semakin menjaga diri dan keluarga dari perbuatan dosa, perilaku tercela dan tidak bermoral, karena Allah hadir mengawasi dan merekam jejak perilakunya non-stop.
Kita semua merindukan para pemimpin yang dapat menjadi teladan dalam merasakan kehadiran-Nya dalam mengurus negara, bangsa, dan melayani masyarakat.
Jika negara ini diurus dengan kecerdasan spiritual dan moral, dan kesadaran akan pentingnya menghadirkan-Nya, niscaya para pejabat selalu merasa takut berbuat salah, enggan korupsi, anti penyelewengan, dan takut berperilaku yang tidak bermoral.
Jika para jamaah haji telah diundang oleh Allah SWT ke rumah suci-Nya, maka sudah semestinya sepulang dari haji mereka selalu mengundang Allah untuk hadir dalam rumah mereka.
Kehadiran Allah dalam setiap rumah Muslim, terutama yang sudah berhaji, tentu saja, akan memberi dampak mental spiritual dan moral sosial yang kuat untuk senantiasa ber-muhâsabah (introspeksi dan evaluasi diri), musâbaqah fi al-khairât (berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan), dan mudâwamah dzikrillah wa al-maut (selalu mengingat Allah dan mengingat kematian).
Agar selalu merasakan kehadiran-Nya, setiap Muslim perlu menghayati makna innâ lillahi wa innâ ilaihi râji’ûn (Sungguh kita semua milik Allah, dan akan kembali kepada-Nya).
Ketika diangkat menjadi khalifah, kalimat pertama yang diucapkan ‘Umar bin al-Khattab adalah innâ lillahi wa innâ ilaihi râji’ûn, bukan Alhamdulillah, sebagai manifestasi dari kesadaran dan tanggung jawab moral bahwa Allah Mahahadir dan selalu mengawasi kinerja kepemimpinannya.
Sungguh sangat merugi Muslim yang tidak dapat merasakan kehadiran-Nya dalam hidupnya hingga ia dipanggil menghadap-Nya.
Oleh Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id