Di dalam Alquran Surat Al-Baqarah: 197 “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (kata-kata kotor), berbuat fasik (zalim kepada yang lain) dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”.
Ayat ini secara tegas menyatakan persiapan yang harus dimiliki oleh setiap jamaah calon haji, di samping hal-hal yang bersifat fisik material, termasuk uang dan barang-barang lainnya, juga hal-hal yang bersifat spiritual dan rohaniah yang menguatkan akhlak dan perilaku yang baik, serta menjauhkan dari perilaku yang buruk dan tercela, terutama tiga perilaku yang secara eksplisit diungkap dalam ayat tersebut.
Pertama, dilarang mengeluarkan kata-kata dan ucapan yang kotor dan kasar yang tidak pantas dan tidak layak diucapkan di tanah haram, terlebih lagi pada saat berpakaian ihram, seperti kata-kata yang berbau porno, menyakitkan, atau berisikan cacian dan hinaan.
Selanjutnya harus diganti dengan ucapan-ucapan yang mencerminkan kepatuhan dan ketundukan hati kepada Allah SWT, seperti tasbih, tahmid, takbir, tahlil, doa, membaca salawat kepada Nabi SAW, dan memperbanyak membaca Alquran.
Kedua, dilarang berbuat fasik dan zalim serta aniaya kepada sesama jamaah atau pada makhluk Allah SWT lainnya yang hidup di tanah haram, termasuk dilarang merusak dan mencabuti tanaman yang tumbuh, serta berburu atau membunuh binatang. Dan juga dilarang berdusta, berbohong dan menipu orang lain.
Ketiga, dilarang berbantah-bantahan yang menyebabkan timbulnya permusuhan dan pudarnya semangat persaudaraan atau ukhuwah islamiyyah terutama antar sesama jamaah, baik yang berasal dari satu daerah atau satu negara, maupun dari daerah dan negara lain.
Semua jamaah haji harus harus larut dalam suasana keakraban, kekeluargaan, saling menolong dan saling membantu yang mencerminkan satu tubuh (kal jasadil waahid) atau satu bangunan yang solid (kalbunyaan yasyuddu ba’duhu ba’dhan).
Hal-hal tersebut itulah yang harus menjadi bekal utama dari setiap jamaah calon haji, yang kalau dilatih dan dibiasakan selama ibadah haji, mudah-mudahan akan menjadi perilaku utama yang masuk ke dalam struktur kepribadian para jamaah.
Dan itulah oleh-oleh yang seharusnya dibawa oleh para jamaah ketika kembali ke Tanah Air dan ke tempat masing-masing. Adanya peningkatan perilaku yang semakin baik dari sebelumnya.
Dan itulah yang dikatakan haji mabrur sebagaimana dikemukakan oleh Imam Hasan al-Basri (Fiqh Sunnah Vol. 5) ayyakuuna ahsana min qablu wa ayyakuuna qudwata ahli baladihi (perilakunya lebih baik daripada sebelumnya dan menjadi panutan masyarakat lingkungannya).
Selamat melaksanakan ibadah haji. Semoga mempersiapkan bekal takwa dan membawa oleh-oleh perubahan perilaku yang lebih baik. Wallahu A’lam.
Oleh KH Didin Hafidhuddin
sumber : www.republika.co.id
Ayat ini secara tegas menyatakan persiapan yang harus dimiliki oleh setiap jamaah calon haji, di samping hal-hal yang bersifat fisik material, termasuk uang dan barang-barang lainnya, juga hal-hal yang bersifat spiritual dan rohaniah yang menguatkan akhlak dan perilaku yang baik, serta menjauhkan dari perilaku yang buruk dan tercela, terutama tiga perilaku yang secara eksplisit diungkap dalam ayat tersebut.
Pertama, dilarang mengeluarkan kata-kata dan ucapan yang kotor dan kasar yang tidak pantas dan tidak layak diucapkan di tanah haram, terlebih lagi pada saat berpakaian ihram, seperti kata-kata yang berbau porno, menyakitkan, atau berisikan cacian dan hinaan.
Selanjutnya harus diganti dengan ucapan-ucapan yang mencerminkan kepatuhan dan ketundukan hati kepada Allah SWT, seperti tasbih, tahmid, takbir, tahlil, doa, membaca salawat kepada Nabi SAW, dan memperbanyak membaca Alquran.
Kedua, dilarang berbuat fasik dan zalim serta aniaya kepada sesama jamaah atau pada makhluk Allah SWT lainnya yang hidup di tanah haram, termasuk dilarang merusak dan mencabuti tanaman yang tumbuh, serta berburu atau membunuh binatang. Dan juga dilarang berdusta, berbohong dan menipu orang lain.
Ketiga, dilarang berbantah-bantahan yang menyebabkan timbulnya permusuhan dan pudarnya semangat persaudaraan atau ukhuwah islamiyyah terutama antar sesama jamaah, baik yang berasal dari satu daerah atau satu negara, maupun dari daerah dan negara lain.
Semua jamaah haji harus harus larut dalam suasana keakraban, kekeluargaan, saling menolong dan saling membantu yang mencerminkan satu tubuh (kal jasadil waahid) atau satu bangunan yang solid (kalbunyaan yasyuddu ba’duhu ba’dhan).
Hal-hal tersebut itulah yang harus menjadi bekal utama dari setiap jamaah calon haji, yang kalau dilatih dan dibiasakan selama ibadah haji, mudah-mudahan akan menjadi perilaku utama yang masuk ke dalam struktur kepribadian para jamaah.
Dan itulah oleh-oleh yang seharusnya dibawa oleh para jamaah ketika kembali ke Tanah Air dan ke tempat masing-masing. Adanya peningkatan perilaku yang semakin baik dari sebelumnya.
Dan itulah yang dikatakan haji mabrur sebagaimana dikemukakan oleh Imam Hasan al-Basri (Fiqh Sunnah Vol. 5) ayyakuuna ahsana min qablu wa ayyakuuna qudwata ahli baladihi (perilakunya lebih baik daripada sebelumnya dan menjadi panutan masyarakat lingkungannya).
Selamat melaksanakan ibadah haji. Semoga mempersiapkan bekal takwa dan membawa oleh-oleh perubahan perilaku yang lebih baik. Wallahu A’lam.
Oleh KH Didin Hafidhuddin
sumber : www.republika.co.id