TREND rendahnya tingkat inflasi dan penurunan suku bunga induk (BI-rate) hingga level 5,75% pada awal maret 2012 (terendah sejak pemberlakuan suku bunga induk) oleh Bank Indonesia, seharusnya dapat menjadi berita gembira untuk semua kalangan seperti pengusaha, debitur kredit pemilikan rumah (KPR) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) karena diharapkan kebijakan bank sentral ini akan diikuti dengan penurunan bunga kredit bank.
Seperti yang kita ketahui, bunga kredit memang sudah mulai turun. Besarannya bervariasi, mulai dari 11% hingga 14%. Bahkan untuk kredit consumer dalam bentuk KPR, bunganya mulai mengarah ke arah single digit. Ada beberapa bank yang menerapkan KPR hingga 8% untuk fiks tiga tahun. Bunga kredit komersial memang belum turun signifikan, sementara berbagai kalangan menyatakan bahwa bunga kredit yang wajar adalah dua atau tiga persen di atas BI rate. Namun, jangan khawatir dulu, penurunan suku bunga itu jelas sangat terbuka luas.
Fenomena ini memberikan signal positif penurunan suku bunga dana dan kredit, karena salah satu faktor yang dianut oleh Indonesia dalam menentukan suku bunga bank ialah BI rate. Dengan demikian, penurunan bunga dana dan kredit adalah sebuah kemungkinan, walaupun masih ada faktor lain yang mempengaruhi suku bunga bank, selain BI rate.
BI rate turun membuat suku bunga simpanan juga turun. Dalam beberapa hal, kondisi ini mengkhawatirkan lantaran dapat memicu berkurangnya nilai simpanan yang dimiliki oleh bank dalam menggalang dana. Jika bunga deposito turun, maka biaya dana atau cost of fund akan turun juga, sehingga tidak ada alasan perbankan untuk tmenurunkan suku bunga kreditnya, artinya dana akan tetap mahal, cost of fund akan tetap mahal.
Suku bunga pinjaman sangat tergantung pada suku bunga dana, kalau suku bunga dana tidak bisa di turunkan, otomatis suku bunga kredit tidak bisa diturunkan, karena perebutan dananya semakin sulit. Hal ini terjadi karena orang yang mempunyai uang makin mengurangi deposito dan mengalihkan dananya ke reksa dana, karena reksa dana memberikan yield yang tinggi selama tiga tahun terakhir seperti yang dikatakan Ekonom INDEF, Aviliani.
Bankir pun berupaya membendung keluarnya dana masyarakat ini dengan imingiming suku bunga deposito tinggi untuk menggalang dana. Inilah awal dari sulitnya menurunkan suku bunga deposito bank belakangan ini. Jadi, untuk menurunkan suku bunga kredit, tidaklah semudah dan seindah yang dibayangkan banyak pihak. Begitu banyaknya faktor yang perlu bersinergi untuk menurunkan bunga kredit, dengan bunga penjaminan turun, maka bank akan menurunkan bunga simpanan atau deposito yang artinya akan mengurangi nilai simpanan.
Penurunan bunga kredit juga masih harus mempertimbangkan pengumpulan dana pihak ketiga, pertumbuhan kredit dan target laba. Bagaimana mungkin bank menurunkan bunga kredit jika akhirnya dikhawatirkan kinerja mereka di bursa memburuk, yang ditandai dengan kecilnya laba yang diperoleh, sehingga akan menurunkan nilai harga sahamnya di bursa efek.
Suku bunga BI maupun suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah rujukan tapi tingkat suku bunga ditentukan pasar dan pasar tidak bisa dikontrol. LPS sudah tidak lagi menggunakan BI rate sebagai patokan karena bunga yang efektif digunakan di pasar oleh perbankan adalah bunga operasi moneter BI seperti discount facility dan term deposit overnight sebesar 3,75 persen.
Barangkali penurunan bunga kredit ini masih berproses dan membutuhkan dukungan sejumlah pihak, termasuk masyarakat. Pemerintah perlu menerbitkan kebijakan yang mendorong peningkatan investasi dan perkembangan dunia usaha, sehingga pangsa pasar perbankan nasional terus bertumbuh.
Banyaknya dana-dana masuk dari luar negeri/hot money yang berdampak pada bergairahnya harga-harga saham (IHSG), digunakan sebagai momentum untuk menurunkan suku bunga bank. Terlebih di tengah-tengah tingkat inflasi tahunan yang hanya 4%, semestinya akan memacu perbankan untuk segera menurunkan suku bunga dana dan gilirannya berdampak pada penurunan bunga kredit.
Jika suatu saat nanti BI kembali mengumumkan penurunan BI rate, maka semua kalangan seperti pengusaha kecil dan menengah, debitur kredit pemilikan rumah (KPR) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) diharapkan bisa merasa gembira karena kebijakan bank sentral itu akan diikuti dengan penurunan bunga kredit bank dan akses peminjaman yang cepat dan mudah sehingga dapat meningkatkan dunia usaha di Indonesia.
(Penulis adalah Mahasiswi Institute Management Telkom Bandung)**
kamis, 19 april 2012 03:48 WIB
Oleh : Rialda Annisya
Seperti yang kita ketahui, bunga kredit memang sudah mulai turun. Besarannya bervariasi, mulai dari 11% hingga 14%. Bahkan untuk kredit consumer dalam bentuk KPR, bunganya mulai mengarah ke arah single digit. Ada beberapa bank yang menerapkan KPR hingga 8% untuk fiks tiga tahun. Bunga kredit komersial memang belum turun signifikan, sementara berbagai kalangan menyatakan bahwa bunga kredit yang wajar adalah dua atau tiga persen di atas BI rate. Namun, jangan khawatir dulu, penurunan suku bunga itu jelas sangat terbuka luas.
Fenomena ini memberikan signal positif penurunan suku bunga dana dan kredit, karena salah satu faktor yang dianut oleh Indonesia dalam menentukan suku bunga bank ialah BI rate. Dengan demikian, penurunan bunga dana dan kredit adalah sebuah kemungkinan, walaupun masih ada faktor lain yang mempengaruhi suku bunga bank, selain BI rate.
BI rate turun membuat suku bunga simpanan juga turun. Dalam beberapa hal, kondisi ini mengkhawatirkan lantaran dapat memicu berkurangnya nilai simpanan yang dimiliki oleh bank dalam menggalang dana. Jika bunga deposito turun, maka biaya dana atau cost of fund akan turun juga, sehingga tidak ada alasan perbankan untuk tmenurunkan suku bunga kreditnya, artinya dana akan tetap mahal, cost of fund akan tetap mahal.
Suku bunga pinjaman sangat tergantung pada suku bunga dana, kalau suku bunga dana tidak bisa di turunkan, otomatis suku bunga kredit tidak bisa diturunkan, karena perebutan dananya semakin sulit. Hal ini terjadi karena orang yang mempunyai uang makin mengurangi deposito dan mengalihkan dananya ke reksa dana, karena reksa dana memberikan yield yang tinggi selama tiga tahun terakhir seperti yang dikatakan Ekonom INDEF, Aviliani.
Bankir pun berupaya membendung keluarnya dana masyarakat ini dengan imingiming suku bunga deposito tinggi untuk menggalang dana. Inilah awal dari sulitnya menurunkan suku bunga deposito bank belakangan ini. Jadi, untuk menurunkan suku bunga kredit, tidaklah semudah dan seindah yang dibayangkan banyak pihak. Begitu banyaknya faktor yang perlu bersinergi untuk menurunkan bunga kredit, dengan bunga penjaminan turun, maka bank akan menurunkan bunga simpanan atau deposito yang artinya akan mengurangi nilai simpanan.
Penurunan bunga kredit juga masih harus mempertimbangkan pengumpulan dana pihak ketiga, pertumbuhan kredit dan target laba. Bagaimana mungkin bank menurunkan bunga kredit jika akhirnya dikhawatirkan kinerja mereka di bursa memburuk, yang ditandai dengan kecilnya laba yang diperoleh, sehingga akan menurunkan nilai harga sahamnya di bursa efek.
Suku bunga BI maupun suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah rujukan tapi tingkat suku bunga ditentukan pasar dan pasar tidak bisa dikontrol. LPS sudah tidak lagi menggunakan BI rate sebagai patokan karena bunga yang efektif digunakan di pasar oleh perbankan adalah bunga operasi moneter BI seperti discount facility dan term deposit overnight sebesar 3,75 persen.
Barangkali penurunan bunga kredit ini masih berproses dan membutuhkan dukungan sejumlah pihak, termasuk masyarakat. Pemerintah perlu menerbitkan kebijakan yang mendorong peningkatan investasi dan perkembangan dunia usaha, sehingga pangsa pasar perbankan nasional terus bertumbuh.
Banyaknya dana-dana masuk dari luar negeri/hot money yang berdampak pada bergairahnya harga-harga saham (IHSG), digunakan sebagai momentum untuk menurunkan suku bunga bank. Terlebih di tengah-tengah tingkat inflasi tahunan yang hanya 4%, semestinya akan memacu perbankan untuk segera menurunkan suku bunga dana dan gilirannya berdampak pada penurunan bunga kredit.
Jika suatu saat nanti BI kembali mengumumkan penurunan BI rate, maka semua kalangan seperti pengusaha kecil dan menengah, debitur kredit pemilikan rumah (KPR) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) diharapkan bisa merasa gembira karena kebijakan bank sentral itu akan diikuti dengan penurunan bunga kredit bank dan akses peminjaman yang cepat dan mudah sehingga dapat meningkatkan dunia usaha di Indonesia.
(Penulis adalah Mahasiswi Institute Management Telkom Bandung)**
kamis, 19 april 2012 03:48 WIB
Oleh : Rialda Annisya