BEBERAPA tokoh wanita telah menorehkan perannya dalam peradaban dunia. Di antaranya Cleopatra sebagai Ratu Mesir, simbol perempuan yang pernah berkuasa disertai kecantikannya yang melegenda sepanjang masa. Ia memerintah sekitar tahun 51-30 SM.
Ratu Balqis yang berkuasa di wilayah Arabia selatan sekitar Yaman. Ia memerintah sekitar tahun 1000 SM dan beriman kepada Allah melalui Nabi Sulaiman as. sekitar tahun 965-926 SM. Kisahnya diabadikan dalam Alquran (beberapa ayat) dalam surah An- Naml. Namun, secara makro para wanita di dunia pada waktu itu berada dalam budaya patriarki. Baik fisik, psikis, maupun hak-haknya dalam kehidupan sosial masyarakat tertindas dan terabaikan.
Empat belas abad silam, Rasulullah saw. menanamkan hak asasi manusia dan mengangkat derajat wanita dari masa pencampakkan di era-jahiliah ke masa kemuliaan wanita. Hal itu salah satunya tampak dalam Alquran surat Al-Ahzab ayat 35, "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, lakilaki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar."
Di antara makna ayat di atas bahwa Islam menjunjung tinggi hak wanita sesuai kodratnya. Bahkan, Rasulullah saw. menjelang wafatnya berwasiat agar menjaga kaum wanita. Secara tidak langsung bahwa Nabi mengisyaratkan agar hak wanita tidak diabaikan.
Dengan demikian, pemikiran tentang emansipasi telah didengungkan semenjak dahulu. Di Eropa pun mulai awal abad ke-19 gencar menyerukan kesetaraan gender. Di antaranya dengan mengampanyekan kesamaan hakhak asasi wanita, hak suara bagi perempuan di dunia, dan masalah pendidikan.
Gerakan emansipasi tersebut, menjalar ke Indonesia yang waktu itu tengah berlangsung perjuangan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Mulai berlangsungnya politik etis (politik balas budi) di Indonesia yang dilakukan Belanda atas instruksi dari Ratu Wilhelma (Belanda). Politik etis tersebut memberlakukan dukungan terhadap bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikan bagi kaum pribumi. Imbasnya munculnya keinginan adanya pendidikan bagi kaum wanita yang diprakarsai oleh RA. Kartini. Kemudian dikenal dengan emansipasi wanita.
Emansipasi di Indonesia
Di negeri ini tercatat beberapa perempuan Indonesia yang berjuang melawan penjajah dan membela rakyatnya. Di antaranya Cut Nyak Dien 1850-1908 yang melakukan perang gerilya bersama suaminya (Teuku Umar) melawan Belanda, Cut Meutia 1870-1910 yang gugur melawan penjajah Belanda, Martha Kristina Tiahahu 1800-1818 berjuang bersama ayahnya melawan Belanda, Nyi Ageung Serang (Jawa) 1752-1838 yang sejak kecil sudah mengikuti ayahnya melawan Belanda sampai akhir hayatnya dan sempat memimpin wilayah Serang menggantikan ayahnya. Nyi Ahmad Dahlan 1872-1946 yang giat memperjuangkan persamaan hak bagi wanita, mendirikan asrama-asrama putri, dan memimpin organisasi perempuan. Selain itu, ia aktif pula membantu para pejuang dengan mendirikan dapur-dapur umum. Raden Dewi Sartika 1884- 1947 yang gigih memperjuangkan nasib dan harkat kaum perempuan. Ia mendirikan Sakola Istri yang berganti menjadi Sakola Kautamaan Istri, lalu berubah lagi menjadi Sekolah Raden Dewi (di Bandung). Ia pun mendirikan organisasi Sakola Kautamaan Istri di Tasikmalaya yang berfungsi menaungi sekolah-sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika.
Adapula RA Kartini 1879-1904 yang aktif memperjuangkan citacitanya untuk mewujudkan persamaan hak wanita dan pria, serta mendirikan sekolah untuk perempuan di Rembang yang kemudian menyebar ke wilayah lainnya.
Secara khusus, mengenai perjuangan emansipasi wanita di Indonesia terukir setelah adanya pencerahan pemikiran kaum wanita oleh RA Kartini di Jepara. Hal itu diawali ketika Kartini selalu melakukan kontak korespondensi dengan teman-temannya di Belanda. Di dalam surat-suratnya, berisi keinginannya untuk memajukan kaum wanita sebagaimana yang tengah terjadi di Barat. Setelah Kartini wafat, 106 pucuk suratsuratnya dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku oleh temannya yang bernama J.H. Abendanon. Buku tersebut diberi judul "Door Duistenis Tot Licht" yang diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang."
RA Kartini menggelorakan emansipasi yang bertujuan untuk memajukan wanita Indonesia sesuai dengan kodratnya. Wanita bisa maju dalam pendidikan, menjadi guru atau dosen, menjadi polwan, tekhnokrat, birokrat, politisi, dokter, dan sebagainya. Namun, tetap suatu saat wanita tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya sebagai wanita yang bisa melahirkan dan menyusui, serta sebagai ibu bagi anak-anaknya dan istri bagi suaminya.
Kini, pendidikan sebagian kaum perempuan telah maju, berbagai aspek ranah kehidupan telah dimasukinya, bahkan beberapa di antaranya menjadi tokohnya. Katakanlah Megawati Soekarnoputri, Sri Mulyani, Ceu Popong Jungjunan, Hj. Ratu Atut Chosiyah, dan sebagainya.
Namun, tak dapat dimungkiri adanya pencorengan nama baik wanita Indonesia oleh beberapa oknumnya, di antaranya beberapa waktu lalu yang ramai dibicarakan. Selain itu, tidak dimungkiri pula bahwa masih banyak wanita Indonesia yang masih terbelakang, baik di dalam pendidikan dan tentunya juga di dalam karir. Di antara mereka dengan sangat terpaksa meninggalkan anak dan suaminya untuk menjadi TKW. Ada juga tereksploitasi menjadi wanita tunasusila, dan sebagainya. Jadi, apabila melihat kenyataan pahit seperti itu, perjuangan wanita Indonesia masih panjang.
Peringatan hari Kartini tanggal 21 April, bisa menjadi salah satu momentum untuk merenungkan kembali tentang keberadaan, fungsi, dan kemajuan kaum wanita Indonesia. Selanjutnya, dijadikan satu pijakan yang kuat untuk melangkah ke arah yang lebih baik dan lebih maju dari sebelumnya, tanpa menanggalkan kodrat kewanitaannya.
Melihat kemajuan wanita yang sangat signifikan sebagaimana di atas, penulis yakin bahwa ke depannya, wanita-wanita Indonesia akan semakin maju dalam berbagai bidang. Tinggal pembinaannya semakin ditingkatkan dan pemberdayaannya semakin diperhatikan oleh pihak yang terkait, dalam hal ini oleh pemerintah, apalagi ada Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA). Namun dengan catatan, kemajuan tersebut tidak sampai mengabaikan hak keluarganya.
(Penulis, penggiat pengajian ibu-ibu di Majelis Taklim At-Taqwa, Bandung Barat)**
Galamedia
senin, 23 april 2012 02:54 WIB
Oleh : Asep Juanda
Ratu Balqis yang berkuasa di wilayah Arabia selatan sekitar Yaman. Ia memerintah sekitar tahun 1000 SM dan beriman kepada Allah melalui Nabi Sulaiman as. sekitar tahun 965-926 SM. Kisahnya diabadikan dalam Alquran (beberapa ayat) dalam surah An- Naml. Namun, secara makro para wanita di dunia pada waktu itu berada dalam budaya patriarki. Baik fisik, psikis, maupun hak-haknya dalam kehidupan sosial masyarakat tertindas dan terabaikan.
Empat belas abad silam, Rasulullah saw. menanamkan hak asasi manusia dan mengangkat derajat wanita dari masa pencampakkan di era-jahiliah ke masa kemuliaan wanita. Hal itu salah satunya tampak dalam Alquran surat Al-Ahzab ayat 35, "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, lakilaki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar."
Di antara makna ayat di atas bahwa Islam menjunjung tinggi hak wanita sesuai kodratnya. Bahkan, Rasulullah saw. menjelang wafatnya berwasiat agar menjaga kaum wanita. Secara tidak langsung bahwa Nabi mengisyaratkan agar hak wanita tidak diabaikan.
Dengan demikian, pemikiran tentang emansipasi telah didengungkan semenjak dahulu. Di Eropa pun mulai awal abad ke-19 gencar menyerukan kesetaraan gender. Di antaranya dengan mengampanyekan kesamaan hakhak asasi wanita, hak suara bagi perempuan di dunia, dan masalah pendidikan.
Gerakan emansipasi tersebut, menjalar ke Indonesia yang waktu itu tengah berlangsung perjuangan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Mulai berlangsungnya politik etis (politik balas budi) di Indonesia yang dilakukan Belanda atas instruksi dari Ratu Wilhelma (Belanda). Politik etis tersebut memberlakukan dukungan terhadap bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikan bagi kaum pribumi. Imbasnya munculnya keinginan adanya pendidikan bagi kaum wanita yang diprakarsai oleh RA. Kartini. Kemudian dikenal dengan emansipasi wanita.
Emansipasi di Indonesia
Di negeri ini tercatat beberapa perempuan Indonesia yang berjuang melawan penjajah dan membela rakyatnya. Di antaranya Cut Nyak Dien 1850-1908 yang melakukan perang gerilya bersama suaminya (Teuku Umar) melawan Belanda, Cut Meutia 1870-1910 yang gugur melawan penjajah Belanda, Martha Kristina Tiahahu 1800-1818 berjuang bersama ayahnya melawan Belanda, Nyi Ageung Serang (Jawa) 1752-1838 yang sejak kecil sudah mengikuti ayahnya melawan Belanda sampai akhir hayatnya dan sempat memimpin wilayah Serang menggantikan ayahnya. Nyi Ahmad Dahlan 1872-1946 yang giat memperjuangkan persamaan hak bagi wanita, mendirikan asrama-asrama putri, dan memimpin organisasi perempuan. Selain itu, ia aktif pula membantu para pejuang dengan mendirikan dapur-dapur umum. Raden Dewi Sartika 1884- 1947 yang gigih memperjuangkan nasib dan harkat kaum perempuan. Ia mendirikan Sakola Istri yang berganti menjadi Sakola Kautamaan Istri, lalu berubah lagi menjadi Sekolah Raden Dewi (di Bandung). Ia pun mendirikan organisasi Sakola Kautamaan Istri di Tasikmalaya yang berfungsi menaungi sekolah-sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika.
Adapula RA Kartini 1879-1904 yang aktif memperjuangkan citacitanya untuk mewujudkan persamaan hak wanita dan pria, serta mendirikan sekolah untuk perempuan di Rembang yang kemudian menyebar ke wilayah lainnya.
Secara khusus, mengenai perjuangan emansipasi wanita di Indonesia terukir setelah adanya pencerahan pemikiran kaum wanita oleh RA Kartini di Jepara. Hal itu diawali ketika Kartini selalu melakukan kontak korespondensi dengan teman-temannya di Belanda. Di dalam surat-suratnya, berisi keinginannya untuk memajukan kaum wanita sebagaimana yang tengah terjadi di Barat. Setelah Kartini wafat, 106 pucuk suratsuratnya dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku oleh temannya yang bernama J.H. Abendanon. Buku tersebut diberi judul "Door Duistenis Tot Licht" yang diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang."
RA Kartini menggelorakan emansipasi yang bertujuan untuk memajukan wanita Indonesia sesuai dengan kodratnya. Wanita bisa maju dalam pendidikan, menjadi guru atau dosen, menjadi polwan, tekhnokrat, birokrat, politisi, dokter, dan sebagainya. Namun, tetap suatu saat wanita tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya sebagai wanita yang bisa melahirkan dan menyusui, serta sebagai ibu bagi anak-anaknya dan istri bagi suaminya.
Kini, pendidikan sebagian kaum perempuan telah maju, berbagai aspek ranah kehidupan telah dimasukinya, bahkan beberapa di antaranya menjadi tokohnya. Katakanlah Megawati Soekarnoputri, Sri Mulyani, Ceu Popong Jungjunan, Hj. Ratu Atut Chosiyah, dan sebagainya.
Namun, tak dapat dimungkiri adanya pencorengan nama baik wanita Indonesia oleh beberapa oknumnya, di antaranya beberapa waktu lalu yang ramai dibicarakan. Selain itu, tidak dimungkiri pula bahwa masih banyak wanita Indonesia yang masih terbelakang, baik di dalam pendidikan dan tentunya juga di dalam karir. Di antara mereka dengan sangat terpaksa meninggalkan anak dan suaminya untuk menjadi TKW. Ada juga tereksploitasi menjadi wanita tunasusila, dan sebagainya. Jadi, apabila melihat kenyataan pahit seperti itu, perjuangan wanita Indonesia masih panjang.
Peringatan hari Kartini tanggal 21 April, bisa menjadi salah satu momentum untuk merenungkan kembali tentang keberadaan, fungsi, dan kemajuan kaum wanita Indonesia. Selanjutnya, dijadikan satu pijakan yang kuat untuk melangkah ke arah yang lebih baik dan lebih maju dari sebelumnya, tanpa menanggalkan kodrat kewanitaannya.
Melihat kemajuan wanita yang sangat signifikan sebagaimana di atas, penulis yakin bahwa ke depannya, wanita-wanita Indonesia akan semakin maju dalam berbagai bidang. Tinggal pembinaannya semakin ditingkatkan dan pemberdayaannya semakin diperhatikan oleh pihak yang terkait, dalam hal ini oleh pemerintah, apalagi ada Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA). Namun dengan catatan, kemajuan tersebut tidak sampai mengabaikan hak keluarganya.
(Penulis, penggiat pengajian ibu-ibu di Majelis Taklim At-Taqwa, Bandung Barat)**
Galamedia
senin, 23 april 2012 02:54 WIB
Oleh : Asep Juanda