Mipit bukit palasari, tanjakan maraga cinta. Sundana: apik ka ati nyaah ka tanaga, udaran cangreud tina beuheung, tina cangreud loba biheung. Jeung sasama silih papatahan silih pikaheman. Nu matak sok pedar jodo panjang duriat, jodo meunang jodo, jadi opat modalna kasukaan, jadi kalimana.
TEKS yang ditulis Haji Hasan Mustapa di atas untuk menafsir satu ayat dari sebuah Kitab Suci. Pesan moral yang hendak disampaikannya adalah nilai penting manusia memiliki keinsafan untuk menebarkan kasih kepada sesama. Manusia tidak mungkin meraih damai dari langit kalau tidak mau berdamai dengan bumi.
Sebuah ungkapan yang menyiratkan tentang keharusan agama --atau lebih substantif lagi rasa iman yang dikukuhinya-- memiliki korelasi positif dengan hasrat membangun kemanusiaan berkeadaban. Iman bukan sekadar ungkapan verbal dan kayakinan yang mengendap dalam sanubari tapi otentisitas iman itu diartikulasikan dalam wujud tindakan positif. Iman aktif dan efektif menjadi energi yang menggerakkan daya manusia ke arah hidup yang lebih bermakna.
Wacana keberagamaan yang terlampau jatuh dalam kutub Ãlangità bukan hanya tidak cukup bermanfaat namun juga sejatinya berseberangan dengan semantik iman. Kita simak bagaimana Haji Hasan Mustapa dengan memikat memberikan interpretasi tentang hal ini:
He, kabeh anu ngarakukeun mumin-mumin! Keur naon nyaritakeun nu henteu dipigawe ku maneh? Gede salahna di Alloh nu nyarita naon-naon nu henteu dipigawe; sabab iman taya iman, karana ngaran iman teh wawanen, aman salamet amanat puraga jiwa ragana, tacan nelah lamun tacan kapilampah
Dalam bahasa lain religiositas itu tolok ukurnya bukan sekadar upacara (ritual) yang berkaitan dengan kasalehan indvidual melainkan keikhlasan bersama-sama membangun kaselahan dan kohesivitas sosial.
Bangunan sosial itu bisa bernama birokrasi yang dikelola secara bersih dan transparan bebas dari hama korupsi, ekonomi yang mengalirkan kesejahteraan, pendidikan yang memberikan kesadaran baru, politik yang membawa perubahan ke arah kebaikan atau kebudayaan yang menginjeksikan keinsafan tentang humanisasi dan transendensi.
Suatu keniscayaan
Tentu saja di sini mengandaikan hadirnya sikap diri yang terbuka, iman inklusif, keberagamaan yang lapang, dan kesediaan berdialog hatta dengan mereka yang berlainan keyakinan. Sikap-sikap seperti ini bukan bentuk pendangkalan rasa iman, justru untuk mematangkannya dan sebagai pintu masuk cakrawala yang lebih luas. Untuk menanamkan satu kayakinan bahwa keragaman pluralisme dan multikulturalisme) adalah fakta sosial yang tidak bisa kita hindari dan merupakan kenyataan sejarah yang harus diapresiasi sebagai rahmat.
Kebinekaan bukan untuk diseragamkan tapi kenyataan empirik keseharian yang harus menjadi pemicu dirayakannya kebaikan. Jeung sasama silih papatahan silih pikaheman. Inilah sesungguhnya jalan Tuhan itu. Mipir bukit palasari. Jalan yang dapat menyambut fajar peradaban.
Tentu dalam menempuh jalan seperti ini tidaklah mudah. Akan ada dialektika. Tidak terhindarkan upaya terus-menerus menyalakan semangat mencari Kebenaran sebagaimana nampak dalam sebuah guguritan:
Mapay talapakan sanubari//Di mana nya mukti sari//Di mana Alloh kaula//Bisi pahili papanggih//Kadungsang-dungsang kasandung//Manggih lain manggih lain//Rek nanya nanya ka saha//Keur pada ngalain-lain...Di buru da lain kitu//Di lain-lain da bukti//Di jaga-jaga ka saha//Di sidik-sidik aringgis//Wantu mapay nu neangan//Kapanggih aringgis lain.
Proses pencarian ini selamanya tidak akan pernah final, akan tetap bergejolak. Namun justru dalam kondisi seperti ini manusia akan tetap sadar dan rendah hati bahwa kebenaran yang diyakininya adalah sesuatu yang subjektif, sepanjang berkaitan dengan nalar. Bahwa memonopoli sebuah kebenaran seraya menisbahkan kesesatan kepada Ãyang lainà bukan hanya berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia namun juga bertentangan dengan makna iman itu seperti dengan sangat bagus tergambarkan dalam "Puyuh Ngungkung dina Kurung" Ngalantung neangan tungtung/Kawit deui kawit deui/Sapanjang neangan padang/surem deui surem deui.
Refleksi mutakhir
Selama ini diakui atau tidak acapkali muncul kerusuhan dan konflik yang berlatarbelakang keagamaan, salah satu pemicunya sesugguhnya adalah ketidak akuratan dalam memaknai iman itu. Karena iman ditempatkan dalam kata benda yang statis (bukan pencarian yang dinamis), maka akhirnya orang tidak lagi bergairah melakukan kajian ulang terhadap faham dogmatis kalu tidak malah menerima ajaran agama secara taken for granted yang ditransfer secara indoktrinasi walaupun hal itu bertentangan dengan nalar, bertabrakan dengan etika sosial, dan melanggar hak asasi manusia.
Dari iman tertutup yang disampaikan oleh agama resmi mana pun sangat potensial memicu tumbuhnya persengketaan. Ujungnya, iman seperti ini dengan mudah menyerukan manusia untuk berperang bukan melawan hawa nafsunya sendiri melainkan melawan orang lain yang berbeda dengan dirinya bahkan kalau perlu mengiming-imingnya dengan balasan surgawi.
Di titik ini muncul terorisme berbasis faham keagamaan yang menyimpang. Di titik ini pula mencuat pemaknaan ayat-ayat perang dengan salah kaprah, muncul pengertian jihad secara serampangan. Menjamur organisasi kemasyarakatan yang merasa paling islami dan memandang mereka yang tak sehaluan sebagai nu lian yang layak mendapat stigma sesat, murtad, kafir, dan tukang maksiat.
Haji Hasan Mustapa dengan tafsir imannya yang inklusif, berbasis tradisi kultural dan nafas penghayatan kesundaan yang kuat sudah selayaknya diapresiasi dan dijadikan pijakan epistemologi kultural untuk membangun tatar Pasundan khususnya dan bangsa Indonesia umunya yang terbebas dari paham keagamaan yang ekstrem, fundamentalis, a historis dan utopis.
Sebuah sumbangan besar dari filsuf Sunda yang patut kita syukuri dan aplikasikan. Agar kehidupan kembali menemukan harkatnya. Hirup panggih jeung huripna.
(Penulis, pemerhati sosial budaya/dosen IAILM dan UIN Bandung)
Galamedia
kamis, 29 maret 2012 05:16 WIB
Oleh : ASEP SALAHUDIN
TEKS yang ditulis Haji Hasan Mustapa di atas untuk menafsir satu ayat dari sebuah Kitab Suci. Pesan moral yang hendak disampaikannya adalah nilai penting manusia memiliki keinsafan untuk menebarkan kasih kepada sesama. Manusia tidak mungkin meraih damai dari langit kalau tidak mau berdamai dengan bumi.
Sebuah ungkapan yang menyiratkan tentang keharusan agama --atau lebih substantif lagi rasa iman yang dikukuhinya-- memiliki korelasi positif dengan hasrat membangun kemanusiaan berkeadaban. Iman bukan sekadar ungkapan verbal dan kayakinan yang mengendap dalam sanubari tapi otentisitas iman itu diartikulasikan dalam wujud tindakan positif. Iman aktif dan efektif menjadi energi yang menggerakkan daya manusia ke arah hidup yang lebih bermakna.
Wacana keberagamaan yang terlampau jatuh dalam kutub Ãlangità bukan hanya tidak cukup bermanfaat namun juga sejatinya berseberangan dengan semantik iman. Kita simak bagaimana Haji Hasan Mustapa dengan memikat memberikan interpretasi tentang hal ini:
He, kabeh anu ngarakukeun mumin-mumin! Keur naon nyaritakeun nu henteu dipigawe ku maneh? Gede salahna di Alloh nu nyarita naon-naon nu henteu dipigawe; sabab iman taya iman, karana ngaran iman teh wawanen, aman salamet amanat puraga jiwa ragana, tacan nelah lamun tacan kapilampah
Dalam bahasa lain religiositas itu tolok ukurnya bukan sekadar upacara (ritual) yang berkaitan dengan kasalehan indvidual melainkan keikhlasan bersama-sama membangun kaselahan dan kohesivitas sosial.
Bangunan sosial itu bisa bernama birokrasi yang dikelola secara bersih dan transparan bebas dari hama korupsi, ekonomi yang mengalirkan kesejahteraan, pendidikan yang memberikan kesadaran baru, politik yang membawa perubahan ke arah kebaikan atau kebudayaan yang menginjeksikan keinsafan tentang humanisasi dan transendensi.
Suatu keniscayaan
Tentu saja di sini mengandaikan hadirnya sikap diri yang terbuka, iman inklusif, keberagamaan yang lapang, dan kesediaan berdialog hatta dengan mereka yang berlainan keyakinan. Sikap-sikap seperti ini bukan bentuk pendangkalan rasa iman, justru untuk mematangkannya dan sebagai pintu masuk cakrawala yang lebih luas. Untuk menanamkan satu kayakinan bahwa keragaman pluralisme dan multikulturalisme) adalah fakta sosial yang tidak bisa kita hindari dan merupakan kenyataan sejarah yang harus diapresiasi sebagai rahmat.
Kebinekaan bukan untuk diseragamkan tapi kenyataan empirik keseharian yang harus menjadi pemicu dirayakannya kebaikan. Jeung sasama silih papatahan silih pikaheman. Inilah sesungguhnya jalan Tuhan itu. Mipir bukit palasari. Jalan yang dapat menyambut fajar peradaban.
Tentu dalam menempuh jalan seperti ini tidaklah mudah. Akan ada dialektika. Tidak terhindarkan upaya terus-menerus menyalakan semangat mencari Kebenaran sebagaimana nampak dalam sebuah guguritan:
Mapay talapakan sanubari//Di mana nya mukti sari//Di mana Alloh kaula//Bisi pahili papanggih//Kadungsang-dungsang kasandung//Manggih lain manggih lain//Rek nanya nanya ka saha//Keur pada ngalain-lain...Di buru da lain kitu//Di lain-lain da bukti//Di jaga-jaga ka saha//Di sidik-sidik aringgis//Wantu mapay nu neangan//Kapanggih aringgis lain.
Proses pencarian ini selamanya tidak akan pernah final, akan tetap bergejolak. Namun justru dalam kondisi seperti ini manusia akan tetap sadar dan rendah hati bahwa kebenaran yang diyakininya adalah sesuatu yang subjektif, sepanjang berkaitan dengan nalar. Bahwa memonopoli sebuah kebenaran seraya menisbahkan kesesatan kepada Ãyang lainà bukan hanya berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia namun juga bertentangan dengan makna iman itu seperti dengan sangat bagus tergambarkan dalam "Puyuh Ngungkung dina Kurung" Ngalantung neangan tungtung/Kawit deui kawit deui/Sapanjang neangan padang/surem deui surem deui.
Refleksi mutakhir
Selama ini diakui atau tidak acapkali muncul kerusuhan dan konflik yang berlatarbelakang keagamaan, salah satu pemicunya sesugguhnya adalah ketidak akuratan dalam memaknai iman itu. Karena iman ditempatkan dalam kata benda yang statis (bukan pencarian yang dinamis), maka akhirnya orang tidak lagi bergairah melakukan kajian ulang terhadap faham dogmatis kalu tidak malah menerima ajaran agama secara taken for granted yang ditransfer secara indoktrinasi walaupun hal itu bertentangan dengan nalar, bertabrakan dengan etika sosial, dan melanggar hak asasi manusia.
Dari iman tertutup yang disampaikan oleh agama resmi mana pun sangat potensial memicu tumbuhnya persengketaan. Ujungnya, iman seperti ini dengan mudah menyerukan manusia untuk berperang bukan melawan hawa nafsunya sendiri melainkan melawan orang lain yang berbeda dengan dirinya bahkan kalau perlu mengiming-imingnya dengan balasan surgawi.
Di titik ini muncul terorisme berbasis faham keagamaan yang menyimpang. Di titik ini pula mencuat pemaknaan ayat-ayat perang dengan salah kaprah, muncul pengertian jihad secara serampangan. Menjamur organisasi kemasyarakatan yang merasa paling islami dan memandang mereka yang tak sehaluan sebagai nu lian yang layak mendapat stigma sesat, murtad, kafir, dan tukang maksiat.
Haji Hasan Mustapa dengan tafsir imannya yang inklusif, berbasis tradisi kultural dan nafas penghayatan kesundaan yang kuat sudah selayaknya diapresiasi dan dijadikan pijakan epistemologi kultural untuk membangun tatar Pasundan khususnya dan bangsa Indonesia umunya yang terbebas dari paham keagamaan yang ekstrem, fundamentalis, a historis dan utopis.
Sebuah sumbangan besar dari filsuf Sunda yang patut kita syukuri dan aplikasikan. Agar kehidupan kembali menemukan harkatnya. Hirup panggih jeung huripna.
(Penulis, pemerhati sosial budaya/dosen IAILM dan UIN Bandung)
Galamedia
kamis, 29 maret 2012 05:16 WIB
Oleh : ASEP SALAHUDIN