Ibadah puasa sungguh merupakan ibadah yang sangat istimewa karena banyaknya kebaikan dan keutamaan yang terkandung di dalamnya, baik fisik, mental, maupun spiritual. Ibadah puasa menjadi lebih istimewa karena diyakini dapat mengantar pelakunya meraih derajat takwa. (QS al-Baqarah [2]: 183).
Pada kenyataannya, ibadah puasa memperlihatkan tingkatan kualitas yang beragam sejalan dengan tingkat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan pelakunya. Al-Ghazali membagi kualitas puasa itu ke dalam tiga tingkatan, yaitu awam, khusus, dan lebih khusus lagi (khash al-khawash).
Puasa awam adalah tidak makan dan minum serta tidak melakukan hubungan suami-istri dari terbit fajar hingga mata hari terbenam. Puasa awam tak memiliki dampak positif secara moral maupun spiritual. Ia hanya beroleh lapar dan dahaga. (HR Bukhari dan Muslim).
Puasa khusus adalah menahan diri dari dosa-dosa dan maksiat serta dari segala hal yang menjauhkan manusia dari rahmat Allah. Dalam buku Asrar al-shaum, al-Ghazali menetapkan enam rukun yang bersifat moral dan spiritual agar puasa khusus dapat mencapai sasarannya, yaitu sah dan diterima Allah.
Pertama, menyucikan pandangan (shaum al-bashar) dari segala hal yang dilarang oleh Allah. Pandangan itu berbahaya karena ia sering kali menjadi titik awal keburukan. Kata Nabi, pandangan itu merupakan salah satu anak panah Iblis (sahmun min sihami Iblis).
Kedua, menyucikan lisan (shaum al-lisan) dari dusta, gosip, dan adu domba. “Jangan berkata kotor dan jangan berbuat jahil,” demikian pesan Nabi (HR Bukhari dan Muslim).
Ketiga, menyucikan pendengaran alias tutup telinga (shaum al-sam’) dari perkatan dusta dan kebohongan. Orang yang mendengarkan kebohongan sama buruknya dengan orang yang mengatakannya. Dalam Alquran, pendengar kebohongan disamakan dengan pemakan riba atau suap (QS al-Maidah [5]: 42 dan 63).
Keempat, menyucikan anggota tubuh yang lain (shaum baqiyat al-jawarih), seperti tangan, kaki, dan organ tubuh yang lain serta menyucikan diri dari makan dan minum barang haram.
Kelima, mengurangi makan, jangan terlalu kenyang. Sebab, hal demikian bertentangan dengan salah satu tujuan puasa itu sendiri, yaitu melepaskan diri dari kendali syahwat perut. Keenam, cemas, tetapi tetap penuh harap (optimisme) bahwa ibadah puasa yang dilakukan diterima oleh Allah SWT.
Berbeda dengan puasa awam, puasa khusus memenuhi dimensi batin (esoterik) agama sehingga berpengaruh secara moral dan sosial. Ada makna kesejatian puasa di sini.
Namun, disadari kesejatian puasa itu lebih tampak lagi pada puasa best of the best (khash al-khawash). Di sini, puasa tak hanya bermakna menjauhkan diri dari dosa-dosa, tetapi memusatkan pikiran dan hati untuk hanya mengingat Allah dan menghindarkan diri dari apa pun yang akan memalingkan manusia dari-Nya.
Horizon tertinggi dari puasa yang satu ini, menurut Imam Ghazali, adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya Yang Terkasih (God is the Beloved One).
Pada tingkatan ini, puasa dapat menghantar manusia mencapai esensi Islam, yaitu berserah diri secara total kepada Allah SWT (total surrender to God). Inilah puasa sejati! Wallahu a`lam.
Oleh: A Ilyas Ismail
sumber : www.republika.co.id
Pada kenyataannya, ibadah puasa memperlihatkan tingkatan kualitas yang beragam sejalan dengan tingkat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan pelakunya. Al-Ghazali membagi kualitas puasa itu ke dalam tiga tingkatan, yaitu awam, khusus, dan lebih khusus lagi (khash al-khawash).
Puasa awam adalah tidak makan dan minum serta tidak melakukan hubungan suami-istri dari terbit fajar hingga mata hari terbenam. Puasa awam tak memiliki dampak positif secara moral maupun spiritual. Ia hanya beroleh lapar dan dahaga. (HR Bukhari dan Muslim).
Puasa khusus adalah menahan diri dari dosa-dosa dan maksiat serta dari segala hal yang menjauhkan manusia dari rahmat Allah. Dalam buku Asrar al-shaum, al-Ghazali menetapkan enam rukun yang bersifat moral dan spiritual agar puasa khusus dapat mencapai sasarannya, yaitu sah dan diterima Allah.
Pertama, menyucikan pandangan (shaum al-bashar) dari segala hal yang dilarang oleh Allah. Pandangan itu berbahaya karena ia sering kali menjadi titik awal keburukan. Kata Nabi, pandangan itu merupakan salah satu anak panah Iblis (sahmun min sihami Iblis).
Kedua, menyucikan lisan (shaum al-lisan) dari dusta, gosip, dan adu domba. “Jangan berkata kotor dan jangan berbuat jahil,” demikian pesan Nabi (HR Bukhari dan Muslim).
Ketiga, menyucikan pendengaran alias tutup telinga (shaum al-sam’) dari perkatan dusta dan kebohongan. Orang yang mendengarkan kebohongan sama buruknya dengan orang yang mengatakannya. Dalam Alquran, pendengar kebohongan disamakan dengan pemakan riba atau suap (QS al-Maidah [5]: 42 dan 63).
Keempat, menyucikan anggota tubuh yang lain (shaum baqiyat al-jawarih), seperti tangan, kaki, dan organ tubuh yang lain serta menyucikan diri dari makan dan minum barang haram.
Kelima, mengurangi makan, jangan terlalu kenyang. Sebab, hal demikian bertentangan dengan salah satu tujuan puasa itu sendiri, yaitu melepaskan diri dari kendali syahwat perut. Keenam, cemas, tetapi tetap penuh harap (optimisme) bahwa ibadah puasa yang dilakukan diterima oleh Allah SWT.
Berbeda dengan puasa awam, puasa khusus memenuhi dimensi batin (esoterik) agama sehingga berpengaruh secara moral dan sosial. Ada makna kesejatian puasa di sini.
Namun, disadari kesejatian puasa itu lebih tampak lagi pada puasa best of the best (khash al-khawash). Di sini, puasa tak hanya bermakna menjauhkan diri dari dosa-dosa, tetapi memusatkan pikiran dan hati untuk hanya mengingat Allah dan menghindarkan diri dari apa pun yang akan memalingkan manusia dari-Nya.
Horizon tertinggi dari puasa yang satu ini, menurut Imam Ghazali, adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya Yang Terkasih (God is the Beloved One).
Pada tingkatan ini, puasa dapat menghantar manusia mencapai esensi Islam, yaitu berserah diri secara total kepada Allah SWT (total surrender to God). Inilah puasa sejati! Wallahu a`lam.
Oleh: A Ilyas Ismail
sumber : www.republika.co.id